Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/168

e-Reformed edisi 168 (10-9-2015)

Sebuah Tinjauan terhadap Teologi Feminisme Kristen (II)

______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________

e-Reformed --Sebuah Tinjauan Terhadap Teologi Feminisme Kristen (II)
Edisi 168/September 2015

DAFTAR ISI:
ARTIKEL: SEBUAH TINJAUAN TERHADAP TEOLOGI FEMINISME KRISTEN (II)

Dear e-Reformed Netters,

Artikel ini adalah lanjutan dari artikel edisi sebelumnya. Setelah 
kita memahami latar belakang munculnya teologi feminisme, dalam 
artikel ini kita akan mempelajari dasar dan pandangan Alkitab yang 
dikutip oleh para teolog feminisme dalam mendukung gerakan feminisme 
serta evaluasi terhadap teologi feminisme. Kiranya sajian kami menjadi 
berkat bagi kita sekalian. Soli Deo Gloria.

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Ayub
< ayub(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >


   ARTIKEL: SEBUAH TINJAUAN TERHADAP TEOLOGI FEMINISME KRISTEN (II)

Metode Teologi

".....otoritas Alkitab menurut Russell adalah otoritas yang pragmatis, 
tidak penting apakah Alkitab bisa salah atau tidak, yang penting 
baginya adalah Alkitab itu memiliki kebergunaan dalam kehidupannya."

Dengan pandangan yang cukup negatif tentang Alkitab seperti yang di 
uraikan di atas, timbul pertanyaan: berita positif apa yang terdapat 
dalam Alkitab bagi para feminis? Menurut Russell, Alkitab adalah 
firman yang memerdekakan (liberating word). Hal ini jelas terlihat 
sejak peristiwa eksodus yang dicatat dalam Alkitab sampai zaman para 
nabi dan kemudian jauh hingga zaman Tuhan Yesus. Peristiwa eksodus 
yang dicatat dalam kitab jelas memperlihatkan karya pembebasan Allah 
bagi Israel dari penindasan Mesir. Nubuat yang disampaikan para nabi 
pun berbicara tentang pembebasan dari penindasan, seperti yang dicatat 
dalam Yesaya 61:1-2. Teks ini pulalah yang dikutip oleh Tuhan Yesus 
dalam Lukas 4:18 yang dilanjutkan dengan pernyataan Tuhan Yesus pada 
ayat 21, "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya."

Selanjutnya, dengan sedikit permainan kata Russell mengatakan bahwa 
Alkitab bukan saja merupakan "the liberating word" tetapi juga harus 
menjadi "liberated word" (firman yang merdeka). Apa yang ia maksud 
dengan "the liberated word"? "The liberated word" berarti Alkitab 
dibebaskan dari cara pandang patriarkhal. Caranya adalah dengan 
membuang semua budaya patriarkhal yang telah membelenggu teks-teks 
Alkitab, untuk menemukan berita pembebasan kaum wanita.

Senada dengan pandangan di atas, menurut Ruether Alkitab harus dilihat 
sebagai tradisi profetik-mesianis, yakni melihat Alkitab dari 
perspektif kritis, ketika tradisi biblikal harus terus-menerus 
dievaluasi ulang dalam teks yang baru. Yang ia maksud dengan evaluasi 
ulang adalah melihat dan menilai Alkitab dengan paradigma pembebasan, 
dan konteksnya tidak lain adalah pengalaman kaum wanita. Sedangkan 
yang dimaksud tradisi profetik-mesianik adalah sebagaimana para nabi 
memberitakan penghakiman Allah, demikian juga para feminis 
memberitakan penghakiman atas ketidakadilan yang selama ini telah 
berlangsung, serta menuntut pertobatan dan adanya perubahan. Kaum 
feminis tidak hanya dipanggil untuk memberitakan berita penghakiman 
(profetik), tetapi ada juga unsur mesianisnya, artinya ada kabar 
"keselamatan" bagi kaum wanita, yakni pembebasan dari ketidakadilan. 
Masih menurut Ruether, tradisi profetik-mesianik ini menjadi ukuran 
atau norma untuk menilai teks-teks Alkitab yang lain."

Para feminis juga berpendapat bahwa teologi harus merupakan gabungan 
antara pertanyaan budaya kontemporer dan jawabannya, yang jawaban 
tersebut ditentukan oleh latar belakang budaya kontemporer (budaya 
pada waktu pertanyaan tersebut dilontarkan). Pada masa kini, situasi 
budaya ke mana tradisi Kristen itu harus dihubungkan adalah 
bertumbuhnya kesadaran wanita atau pengalaman kaum wanita di gereja. 
Oleh karena itu, pengalaman kaum wanita harus menjadi sumber dan norma 
bagi teologi Kristen kontemporer yang serius. Pendeknya, menurut 
Ruether, pengalaman manusia harus menjadi starting point dan ending 
point dalam berteologi.

Dasar Alkitab

Bagian Alkitab yang paling sering dikutip oleh teolog-teolog feminis 
dan diklaim sebagai dasar teologi mereka, yang juga dikenal sebagai 
"magna carta of humanity" adalah Galatia 3:28 yang berbunyi: "Dalam 
hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau 
orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua 
adalah satu di alam Kristus Yesus." Galatia 3:28 dipandang sebagai 
ayat yang membebaskan wanita dari penindasan, dominasi, dan 
subordinasi pria. Bagian-bagian lain yang juga berbicara tentang 
kesederajatan adalah Kejadian 34:12; Keluaran 21:7, 22:17; Imamat 
12:1-5; Ulangan 24:1-4; 1 Samuel 18:25 yang berbicara bahwa wanita dan 
pria memiliki status sosial yang sama; Hakim-hakim 4:4, 5:28-29; 2 
Samuel 14:2, 20:16; 2 Raja-raja 1:3, 22:14; Nehemia 6:14 adalah ayat-
ayat yang memperlihatkan bahwa wanita memiliki tempat dalam kehidupan 
religius dan sosial bangsa Israel, kecuali dalam hal keimaman; 
sedangkan dalam Kejadian 1:27 dikatakan bahwa wanita dan pria adalah 
makhluk yang sama-sama diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

Berdasarkan penafsiran terhadap ayat-ayat di atas khususnya Galatia 
3:28, para feminis menyimpulkan bahwa Paulus dengan jelas mengukuhkan 
kesetaraan antara pria dan wanita dalam komunitas Kristen; pria dan 
wanita memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama baik di 
gereja maupun dalam rumah tangga. Kesimpulan lain dari penafsiran ini 
ialah bahwa tujuan panggilan Kristen adalah kemerdekaan.

Selain itu, di dalam usaha menelaah sejarah kaum wanita di dalam 
Alkitab, teolog-teolog feminis tidak hanya menemukan ide tentang 
kesederajatan pria dan wanita. Di dalam Alkitab mereka juga menemukan 
bahwa Allah orang Kristen bukan Allah yang paternal; dari sejumlah 
ayat yang terdapat di Alkitab mereka menemukan bukti-bukti yang 
mendukung konsep Allah yang maternal. Itulah sebabnya, sebagian teolog 
feminis menuntut agar Allah tidak hanya disebut sebagai Bapa tetapi 
juga Ibu. Secara tajam mereka pun mengkritik rumusan baptisan yang 
berbunyi: dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus."

Kesimpulan

Dari pandangan mereka terhadap Alkitab secara ringkas dapat dikatakan 
bahwa bagi para feminis, esensi kekristenan adalah panggilan kenabian 
serta pembebasan bagi kaum tertindas. Atas dasar inilah para feminis 
menuntut adanya suatu pembaharuan dalam teologi. Menurut mereka, 
hingga awal abad ke-19 karya-karya teologis dan intelektual kebanyakan 
dihasilkan dari perspektif nonfeminis; dunia teologi dan intelektual 
pada masa itu adalah dunia kaum lelaki. Sudah tiba saatnya pengalaman 
kaum wanita menjadi pusat refleksi teologis dan menjadi kunci menuju 
hermeneutik atau teori interpretasi.

Evaluasi

Teologi feminis telah memberikan kontribusi yang sangat besar baik 
bagi gereja dan juga terutama bagi kaum wanita. Namun, di samping 
sumbangsih yang diberikannya, tidak dapat dimungkiri bahwa teologi ini 
juga problematik. Dalam bagian ini saya mencoba untuk mengevaluasi 
teologi feminis baik secara negatif maupun positif.

Salah satu hal penting dalam berteologi adalah sumber teologi itu 
sendiri. Teolog-teolog feminis beranggapan bahwa teologi mereka 
bersumber atau berdasar pada Alkitab, firman Allah yang 
diinspirasikan. Namun, ternyata yang dimaksud dengan diinspirasikan 
Allah menurut mereka tidak sama dengan yang diyakini oleh iman 
tradisional. Inspirasi menurut iman Kristen tradisional berarti 
pimpinan Roh Allah secara supernatural dalam pikiran para penulis 
Alkitab yang menjamin ineransi, infalibilitas, dan otoritasnya. Akan 
tetapi, inspirasi menurut feminis tidaklah demikian. Yang dimaksud 
dengan inspirasi adalah bahwa Allah menyampaikan firman-Nya di dalam 
dan melalui kata-kata manusia yang bisa saja salah. Bagi para feminis, 
inspirasi tidak menjamin otoritas dan ineransi Alkitab. Alkitab bisa 
saja salah, berkontradiksi, dan tidak konsisten karena adanya unsur 
keterbatasan manusia. Dengan demikian, bagi para feminis Alkitab tidak 
lebih dari "sumber" yang otoritasnya ditentukan oleh pembacanya, dalam 
hal ini adalah wanita. Alkitab bukan sumber yang normatif dan 
berotoritas karena yang menjadi norma adalah pengalaman dan perjuangan 
kaum wanita untuk mencapai kemerdekaan.

Pandangan demikian jelas tidak benar. Jika kita mendapat Alkitab yang 
falibel (yang dapat keliru - Red.) dari manusia yang juga falibel, 
lalu bagaimana kita menentukan mana yang benar dan mana yang salah? 
Yang cukup menggelikan adalah bagaimana mungkin teolog-teolog feminis 
menolak otoritas Alkitab, tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga 
menggunakan Alkitab yang berotoritas sebagai dasar teologi mereka? 
Tolbert melihat hal ini sebagai sebuah paradoks: "So, one must 
struggle against God as enemy assisted by God as helper, or one must 
defeat the Bible as patriarchal authority by using the Bible as 
liberator. Feminist hermeneutics, then, is profoundly paradoxical." 
("Jadi, seseorang harus berjuang melawan Allah sebagai musuh, yang 
dibantu oleh Allah sebagai penolong, atau seseorang harus mengalahkan 
Alkitab sebagai otoritas patriarkhal dengan menggunakan Alkitab 
sebagai pembebas. Jika demikian, hermeneutika feminis benar-benar 
paradoks." - Red.)

Masalah lain dengan teologi feminis adalah metode penghilangan budaya 
(dekulturisasi) mereka, yang sedikit banyak tidak jauh berbeda dengan 
metode demitologisasi Bultmann. Pertanyaannya adalah bagaimana kita 
tahu bahwa bagian-bagian Alkitab tertentu dikondisikan oleh budaya 
pada saat itu dan oleh karenanya tidak berotoritas? Bagian-bagian mana 
yang masih relevan hingga kini? Pertanyaan lebih lanjut, siapa yang 
berhak menentukan bagian mana yang terkondisi atau terpengaruh oleh 
budaya dan mana yang tidak? Atau, siapa yang dapat menjamin bahwa 
proses ini, dekulturisasi (dan juga demitologisasi) tidak akan 
menghapus berita esensial Alkitab?

Teologi feminis berpijak bukan pada firman Allah melainkan pada 
pengalaman kaum wanita yang tertindas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa 
teologi ini bersifat eksistensialis karena lebih berpusat pada diri 
manusia daripada Allah. Teologi ini juga bersifat subjektif karena 
dipengaruhi oleh kepentingan dan keprihatinan terhadap wanita yang 
akhirnya mendistorsi berita itu sendiri. Seperti halnya teologi 
pembebasan yang dicetuskan Gustavo Gutierrez, injil sosialnya Walter 
Rauschenbusch, ataupun "black theology"-nya James Cone, teologi 
feminis dapat dikategorikan sebagai teologi protes. Dalam teologi 
"protestan," baik melawan ketidakadilan, kesenjangan sosial, gender, 
ataupun ras diskriminasi, akan ada bahaya bila seluruh energi serta 
perhatian kita dicurahkan hanya pada isu-isu yang dikemukakan dan 
lepas dari pusat teologi Kristen, yaitu karya Allah di dalam dan 
melalui Kristus. Berkaitan dengan feminis, bahaya yang ada misalnya, 
jika kita tidak lagi mengakui iman kita bahwa Yesus adalah Tuhan 
karena Ia adalah laki-laki dan laki-laki identik dengan musuh.

Seperti mata uang, teologi feminis juga memiliki dua sisi. Di samping 
yang negatif ada juga hal-hal positif yang dapat kita petik dari 
teologi ini. Memang tidak dapat disangkal bahwa penindasan terhadap 
wanita sudah berlangsung begitu lama dan melukai banyak wanita. Usaha 
para teolog feminis untuk kembali meneliti Alkitab memberikan 
sumbangsih yang sangat besar. Lepas dari subjektivitas penafsiran 
mereka, kita melihat bahwa Allah menciptakan manusia (baik pria maupun 
wanita), memiliki derajat yang sama sebagai gambar dan rupa-Nya. Dosa 
telah merusak keduanya, bukan hanya Hawa. Walaupun Paulus dalam 1 
Timotius 2:14 berkata, "bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan 
itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa," tidak berarti bahwa Adam 
bebas dari tanggung jawab. Teolog yang antifeminis mengutip ayat ini 
dan mengecam teologi feminis, tetapi mengabaikan perkataan Paulus 
dalam Roma 5 yang mengatakan bahwa dosa masuk ke dalam dunia oleh satu 
orang, yaitu Adam. Dari sini kita melihat bahwa acap kali kita memberi 
kritikan dan kecaman, tetapi pada dasarnya kita juga tidak fair (adil) 
dan jatuh pada kesalahan yang sama dengan teologi feminis yakni 
mengambil satu bagian Alkitab dan mengabaikan yang lain, hanya untuk 
mendukung argumentasi atau melegitimasi tindakan kita.

Teologi feminis dimulai dari situasi penindasan terhadap wanita baik 
di dalam gereja maupun masyarakat. Dengan demikian, teologi ini 
merupakan suatu refleksi kritis atas praksis. Jenis teologi kritis 
atau protes tampaknya menjadi ciri teologi masa kini. Dari berbagai 
kritik yang dilontarkan tersebut memang harus kita akui adanya 
kepincangan atau ketidakseimbangan antara teologi dan praksis. Tidak 
sedikit orang Kristen dan pemimpin gereja yang menguasai dengan sangat 
baik bermacam-macam doktrin dalam Alkitab, tetapi pengetahuan itu 
tidak terejawantahkan dalam kehidupan sehari-harinya. Karena itu, 
tidak mengherankan jika muncul teologi hitam, teologi pembebasan, dan 
teologi lain yang sejenis, yang berusaha merelevankan Alkitab ke dalam 
berbagai situasi kehidupan. Usaha para feminis dan juga tokoh 
pembebasan lainnya untuk membuat Alkitab relevan bagi setiap zaman, 
ataupun usaha mereka menjadi jembatan penghubung antara zaman Alkitab 
dengan situasi kontemporer merupakan suatu usaha yang sangat baik. 
Hanya, patut disayangkan, usaha tersebut lebih menitikberatkan unsur 
kepentingan manusia dan konteks sehingga mereka tidak segan-segan 
mengorbankan iman Kristen yang ortodoks. Namun, terlepas dari masalah 
tersebut, usaha untuk menyeimbangkan teologi dan praksis merupakan 
usaha yang juga harus dilakukan gereja masa kini.

Sumbangsih teologi feminis juga terasa di dalam gereja. Selama ini 
tidak sedikit gereja yang melarang kaum wanita mengambil bagian dalam 
pelayanan. Makin bertumbuhnya gerakan kaum wanita, mau tidak mau 
memaksa gereja dan para teolog untuk kembali melihat apa yang 
dikatakan Alkitab mengenai peran wanita dalam gereja. Sedikit demi 
sedikit gereja mulai membuka diri terhadap sumbangsih yang bisa 
diberikan oleh kaum wanita. Di lingkungan gereja di Indonesia, ada 
gereja tertentu yang dahulu "mengharamkan" pelayanan atau jabatan 
tertentu bagi wanita, tetapi saat ini ada cukup banyak gereja yang 
mulai membuka diri terhadap wanita. Ada gereja-gereja tertentu yang 
memberi kesempatan bagi jemaat wanitanya untuk mengambil dalam 
pelayanan dan yang menahbiskan rohaniwatinya ke dalam jabatan pendeta, 
suatu hal yang dahulu jarang terjadi. Menurut saya hal ini baik karena 
tidak sedikit wanita Indonesia pada masa kini yang memiliki bakat, 
kemampuan, dan tingkat kerohanian yang baik, bahkan juga tidak sedikit 
yang lebih baik dari pria. Mereka bisa melayani Tuhan sama baiknya 
dengan pria. Justru dengan natur pria dan wanita yang komplementer, 
saling melengkapi, memberikan tanda bahwa gereja akan diperkaya dengan 
adanya partisipasi wanita dalam pelayanan.

Penutup

"Liberation from a patriarchal worldview is never a finished task," 
("Pembebasan dari pandangan dunia patriarkhal tidak pernah selesai," 
- Red.) demikian kata Russell. Saya tidak berani memastikan bagaimana 
masa depan teologi feminisme di dalam kekristenan atau dalam lingkup 
lainnya selama beberapa dasawarsa ke depan. Memang saat ini gerakan 
pemberdayaan kaum wanita muncul di mana-mana bagaikan cendawan pada 
musim hujan. Namun pertanyaannya, apakah perjuangan wanita-wanita 
Kristen pada era 1960-an masih akan tetap bergabung dan relevan pada 
abad ke-21 ini? Atau jika kita ganti pertanyaannya, apakah teologi 
feminis seperti yang dipaparkan di atas dalam beberapa dasawarsa 
mendatang masih bisa disebut teologi feminis Kristen? Sulit untuk 
menjawabnya. Namun, Ruether jauh sebelumnya (tahun 1983) sudah 
memberikan pernyataan: "The more one becomes a feminist the more 
difficult it becomes to go to church." ("Semakin seseorang menjadi 
seorang feminis, semakin sulit seseorang untuk pergi ke gereja." 
- Red.)

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan Volume 4
Judul bab: Sebuah Tinjauan terhadap Teologi Feminisme Kristen
Judul artikel: Teologi Feminisme
Penulis: Lie Ing Sian
Penerbit: SAAT, Malang 2003
Halaman: 272 -- 278

Kontak: reformed(at)sabda.org
Redaksi: Ayub, Yulia Oeniyati, dan N. Risanti
(c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
______________________________e-Reformed______________________________
Kontak Redaksi: < reformed(a t)sabda.org >
Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Untuk berhenti: < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Arsip e-Reformed: < http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed >
SOTeRI: < http://soteri.sabda.org/ >
Situs YLSA: < http://www.ylsa.org/ >
Situs SABDA Katalog: < http://katalog.sabda.org/ >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org