Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/150

e-Reformed edisi 150 (27-3-2014)

Dietrich Bonhoeffer dan Konteks Gereja pada Zamannya

______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________

e-Reformed -- Dietrich Bonhoeffer dan Konteks Gereja pada Zamannya
Edisi 150/Maret 2014

DAFTAR ISI:
ARTIKEL: DIETRICH BONHOEFFER DAN KONTEKS GEREJA PADA ZAMANNYA
STOP PRESS: SAMBUT PASKAH DENGAN VIDEO PASKAH
"PERJAMUAN MALAM TERAKHIR TUHAN YESUS"

Dear e-Reformed Netters,

Sudah lama kita tidak membahas tentang tokoh dan sejarah. Oleh karena 
itu, pada bulan ini, saya memilih artikel yang membahas tentang 
seorang tokoh gereja yang berani memperjuangkan kebenaran sampai mati 
pada zamannya, yaitu Dietrich Bonhoeffer. Beliau dengan berani dan 
tegas melawan pemerintahan diktator Hitler, yang pada saat itu 
melumpuhkan peran gereja dalam masyarakat. Karena kekejaman dan 
kekuasaan Hitler saat itu, bahkan gereja pun tutup mulut dan tutup 
mata. Gereja tidak berani memberikan teguran dan kritikan pada 
pemerintahan Hitler. Sosok seperti Bonhoeffer inilah yang dibutuhkan 
oleh masyarakat. Orang yang di dalam minoritas, namun tetap berani 
bersuara memperjuangkan kebenaran.

Meskipun pada akhirnya beliau terlibat dalam organisasi yang 
merencanakan pembunuhan Hitler, tetapi kita dapat mengambil makna dari 
keberaniannya dalam memperjuangkan kebenaran. Untuk selengkapnya, 
silakan menyimak artikel berikut ini. Selamat menyimak.

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< teddy(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >


    ARTIKEL: DIETRICH BONHOEFFER DAN KONTEKS GEREJA PADA ZAMANNYA

Gereja dan negara adalah dua lembaga dalam masyarakat. Keduanya 
memiliki peran yang berbeda. Gereja adalah lembaga agama, sedangkan 
negara adalah lembaga politik. Dampak sekularisme menyebabkan gereja 
hanya berperan di wilayah privat, sedangkan negara berperan di wilayah 
publik. Akan tetapi, benarkah dikotomi seperti ini? Apakah gereja 
tidak memiliki peran apa pun dalam publik karena statusnya sebagai 
lembaga agama? Apakah gereja harus diam terhadap masalah-masalah 
sosial dan politik di dalam masyarakat? Dietrich Bonhoeffer akan 
menjawab dengan tegas, "Tidak."

Bonhoeffer adalah seorang teolog Jerman yang melakukan perlawanan 
terhadap rezim Hitler. Beliau menyadari kelumpuhan yang terjadi dalam 
gereja yang menutup mata terhadap kebijakan-kebijakan Hitler sampai 
akhirnya berujung pada Holocaust. Beliau menganggap urusan rohani 
bukan hanya terbatas di dalam gereja, melainkan juga di luar gereja.

KEHIDUPAN BONHOEFFER

Sebelum melihat perlawanan Bonhoeffer, kita perlu memahami latar 
belakang kehidupannya. Bonhoeffer hidup pada tahun 1906-1945. Dia 
dilahirkan dalam keluarga terpelajar yang menekankan pentingnya ilmu 
pengetahuan. Ayahnya bernama Karl Ludwig Bonhoeffer, seorang profesor 
psikiatri dan saraf di Universitas Berlin, sedangkan ibunya bernama 
Paula von Hase, seorang guru yang menjadi ibu rumah tangga. Pada tahun 
1924, Bonhoeffer mendaftar menjadi mahasiswa fakultas teologi di 
Universitas Berlin dan pada tahun 1927, ia mendapat gelar doktor 
setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul "Communio 
Sanctorum". Pada tahun 1929, ia memperoleh jabatan profesor setelah 
menyelesaikan habilitasi atau disertasi kedua yang berjudul "Act and 
Being".

Bonhoeffer adalah seorang akademisi. Dia menghabiskan waktunya dengan 
mengajar dan menulis. Beberapa karyanya yang sangat terkenal adalah 
"The Cost of Discipleship", "Life Together", dan "Ethics". Selain itu, 
dia juga aktif di dalam forum gereja-gereja, baik di Jerman maupun di 
dunia.

Ketika Bonhoeffer hidup, Jerman sedang mengalami perubahan politik. 
Perubahan yang pertama adalah kehancuran Kekaisaran Wilhelmine 
(Kaiserreich) yang disebabkan oleh Perang Dunia I. Kekaisaran 
Wilhelmine didirikan oleh Otto von Bismarck pada tahun 1871 untuk 
menjadikan Jerman sebagai negara paling kuat di Eropa. Pada masa itu, 
negara yang paling disegani di Eropa adalah Kerajaan Inggris Raya, dan 
untuk mengalahkan Inggris, Bismarck meningkatkan kekuatan militer dan 
industri Jerman. Keadaan ini membawa Jerman dalam Perang Dunia I, yang 
berakhir dengan kekalahan Jerman tahun 1918.

Perubahan yang kedua adalah kegagalan Republik Weimar. Setelah Perang 
Dunia I berakhir, Jerman kembali menata kehidupannya. Kekalahan Jerman 
dalam perang dianggap sebagai kegagalan sistem monarki yang didukung 
oleh kelompok intelektual dan industrialis. Sebab itu, kelompok 
oposisi, yaitu buruh, mengusulkan sistem parlementer. Gagasan ini 
kemudian dijalankan dalam bentuk republik yang dikenal sebagai 
Republik Weimar. Republik ini dibentuk dari koalisi kelompok-kelompok 
yang antimonarki. Akan tetapi, pemerintahan ini tidak berjalan dengan 
baik karena kelompok yang konservatif tetap ingin mempertahankan 
sistem monarki Wilhelmine. Dengan demikian, dalam negara Jerman 
terdapat dua kekuatan yang saling berlawanan, yaitu kelompok 
antimonarki dan kelompok antidemokrasi.

Keadaan ini diperparah oleh masalah ekonomi. Pasca-Perang Dunia I, 
Jerman mengalami inflasi yang tinggi karena harus membayar utang 
perangnya, akibatnya pemerintah tidak sanggup mengatasi kekacauan 
ekonomi. Pemerintahan Weimar tidak dapat mengatasi keadaan ini 
sehingga harus berakhir pada tahun 1933.

Perubahan yang terakhir adalah berdirinya pemerintahan Nazi 
(Nasionalis Sosialis). Pada tahun 1933, Partai Nazi yang dipimpin oleh 
Hitler mengambil alih kekuasaan. Hitler diangkat menjadi kanselir dan 
berjanji akan mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran di Jerman. 
Sejarah masa lampau yang begitu gemilang dan kenyataan di depan mata 
yang begitu menyedihkan menyebabkan rakyat Jerman mengharapkan seorang 
pemimpin yang dapat mengembalikan kejayaan Jerman seperti di era 
Bismarck dan Wilhelmine. Bagi rakyat Jerman, pengembalian harga diri 
dan kebanggaan Jerman adalah prioritas utama dan siapa pun yang dapat 
melakukannya akan didukung sepenuhnya. Tidak mengherankan jika saat 
itu tidak banyak yang melakukan perlawanan terhadap Hitler.[1]

Hitler kemudian mengubah sistem parlementer menjadi sistem totaliter. 
Dia mengangkat dirinya menjadi Führer, yaitu pemimpin tertinggi. 
Walaupun hampir sama dengan monarki absolut, tetapi ada perbedaannya. 
Dalam monarki absolut masih terdapat hukum yang dibakukan, tetapi raja 
berada di atas hukum tersebut, sedangkan dalam sistem totaliter 
Hitler, seluruh hukum adalah produk dari nilai-nilai dan pengalaman 
pribadi Sang Führer.[2]

Kemunculan Hitler memang memberikan pengharapan kepada bangsa Jerman, 
tetapi menghasilkan ketakutan kepada bangsa Yahudi yang tinggal di 
Jerman. Demi mempersatukan semangat seluruh bangsa Jerman, Hitler 
meluncurkan propaganda tentang keunggulan ras Arya. Propaganda ini 
bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan diri bangsa Jerman. Akan 
tetapi, propaganda ini kemudian diikuti dengan propaganda anti-Yahudi. 
Hitler menjadikan bangsa Yahudi yang tinggal di Jerman sebagai 
permasalahan bersama sehingga harus disingkirkan jika bangsa Jerman 
ingin mendapatkan kembali kejayaannya. Tentu saja propaganda ini 
mendapatkan dukungan dari rakyat Jerman yang sangat menginginkan 
Jerman kembali berjaya seperti dulu.

Hitler kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang memisahkan bangsa 
Jerman dari bangsa Yahudi. Semua orang Yahudi, yang memiliki jabatan 
di pemerintahan ataupun universitas, diberhentikan. Bahkan, pada 
tanggal 1 April 1933, Hitler mengumumkan pemboikotan terhadap toko-
toko yang dimiliki orang Yahudi. Toko-toko orang Yahudi dijaga oleh 
tentara dan diberi tanda supaya orang Jerman tidak berbelanja ke sana. 
Selain itu, seluruh percetakan dan penerbitan yang dimiliki orang 
Yahudi juga ditutup karena dituduh menyebarkan kebohongan tentang 
pemerintahan Nazi.

Sejak Sang Führer menduduki tampuk kekuasaan, Jerman memasuki 
kekelaman yang tidak disadari oleh semua orang, kecuali beberapa orang 
yang masih berhati nurani seperti Bonhoeffer.

ANUGERAH MURAHAN DAN HARGA SEBUAH PEMURIDAN

Kebijakan anti-Yahudi ini juga berimbas pada gereja karena Hitler 
membuat sebuah aturan pada gereja yang disebut dengan Paragraf Aryan. 
Peraturan ini bertujuan agar gereja sinkron dengan kebijakan Hitler. 
Dalam peraturan tersebut dikatakan gereja Protestan Jerman hanya untuk 
keturunan Arya, dengan demikian semua orang Kristen keturunan Yahudi 
yang sudah dibaptis di gereja tersebut harus dikeluarkan dari 
keanggotaan gereja. Selain itu, semua pendeta yang berdarah Yahudi 
juga tidak boleh melayani dalam gereja tersebut.

Kebijakan ini disambut baik oleh sebagian besar tokoh gereja Protestan 
pada saat itu. Akan tetapi, bukankah kebijakan ini salah? Mengapa 
gereja malah mendukungnya? Semuanya ini hanya bisa dipahami dengan 
melihat kondisi gereja Protestan di Jerman saat itu.

Gereja Protestan di Jerman telah menempati posisi yang penting dalam 
negara sejak zaman Martin Luther. Penguasa negara memberikan 
perlindungan penuh kepada gereja Protestan dan sebaliknya, gereja pun 
memberikan dukungan kepada penguasa. Hubungan ini terus berlangsung 
pada zaman Kekaisaran Wilhelmine. Para tokoh gereja memberikan 
dukungan mereka kepada cita-cita Bismarck untuk menjadikan Jerman 
sebagai negara terkuat di seluruh Eropa dan dunia sekalipun sampai 
harus berperang dengan negara lain. Para tokoh gereja pada saat itu 
sangat dipengaruhi oleh filsafat Hegel yang menyatakan bahwa sejarah 
merupakan pewahyuan dari roh yang absolut sehingga mereka berpikir 
bahwa Jerman merupakan perwujudan dari roh yang absolut tersebut. 
Dengan demikian, jika Jerman menjadi penguasa dunia, berarti Kerajaan 
Allah sudah hadir.

Hubungan antara gereja dan negara telah menyebabkan gereja menganggap 
kebanggaan Jerman sebagai kebanggaan mereka juga. Dengan demikian, 
kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I menyebabkan tokoh-tokoh gereja 
kehilangan kebanggaannya. Mereka menginginkan Jerman seperti pada era 
Kaisar Wilhelmine, maka tidak heran jika mereka menolak pemerintahan 
Republik Weimar.

Ketika Hitler muncul menjadi penguasa, dia berjanji akan mengembalikan 
kejayaan bangsa Jerman seperti masa lampau, tentu saja sebagian tokoh 
gereja bergairah mendengarkan hal ini. Selain itu, Hitler juga 
menunjukkan penghormatan yang tinggi kepada gereja. Dia tidak melarang 
gereja Protestan di Jerman bahkan menyatakan gereja merupakan sumber 
kebudayaan yang penting bagi rakyat Jerman. Selain itu, Hitler 
menyatakan ketegasannya terhadap pemerintah Stalin di Soviet yang 
komunis yang dianggap sebagai musuh Tuhan oleh tokoh gereja di Jerman. 
Keadaan inilah yang menyeret gereja kepada kampanye anti-Yahudi 
Hitler.

Bonhoeffer melihat kondisi ini lebih jauh. Dia menyatakan sikap gereja 
seperti ini disebabkan karena anugerah murahan yang telah diajarkan 
dalam gereja Protestan. Gereja mengajarkan tentang keselamatan melalui 
iman sehingga yang penting adalah percaya dan setelah itu menjadi 
anggota gereja dan mengikuti rutinitas gerejawi. Anugerah murahan ini 
menyebabkan orang-orang Kristen di Jerman sangat menyukai kenyamanan, 
khususnya di dalam gereja. Tidak mengherankan jika gereja tidak berani 
untuk menyatakan kesalahan Hitler karena Hitler tidak mengusik 
kenyamanan di gereja.

Bonhoeffer mengingatkan gereja pada saat itu bahwa Kristus bukan 
memberikan anugerah yang murah, tetapi anugerah yang mahal. Anugerah 
yang mahal menuntut setiap orang yang menerimanya untuk mengikut Yesus 
Kristus seumur hidupnya dan harus menyangkal diri dan memikul salib. 
Bonhoeffer menyatakan ini dalam kalimatnya yang terkenal, "Ketika 
Kristus memanggil seseorang, Dia memanggilnya untuk mati." Inilah yang 
disebut dengan harga sebuah pemuridan. Dengan demikian, setiap orang 
Kristen tidak boleh memikirkan kenyamanannya melainkan harus berani 
membayar harga demi ketaatannya pada Yesus Kristus, termasuk berani 
melawan pemerintah yang salah.

Gereja tidak boleh takut melawan kehendak Hitler jika memang tidak 
sesuai dengan kebenaran firman Allah. Bonhoeffer berkata, "The church 
has only one altar, the altar of the Almighty ... before which all 
creatures must kneel. Whoever seeks something other than this must 
keep away, he cannot join us in the house of God ... the church has 
only one pulpit, and from that pulpit, faith in God will be preached, 
and no other faith, and no other will than the will of God, however 
well-intentioned."

Bonhoeffer mendorong orang percaya agar tidak memerhatikan kenyamanan 
sendiri, melainkan juga kebutuhan orang lain termasuk orang tidak 
percaya. Gereja tidak boleh hanya memedulikan urusan internalnya, 
tetapi juga urusan lain yang terjadi di luar gereja. Bonhoeffer 
berkata, "The church is the church only when it exist for others. To 
make a start, it should give away all its property to those in need 
... The church must share in the secular problems of ordinary human 
life, not dominating, but helping and serving."

PENUTUP

Kehidupan Bonhoeffer ditutup dengan tindakannya yang kontroversial, 
yaitu keterlibatannya dalam rencana pembunuhan Hitler. Hal ini 
menimbulkan sejumlah perdebatan etika di kalangan orang percaya. Kita 
tidak harus menyetujui tindakannya. Akan tetapi, Bonhoeffer 
menunjukkan sisi lain dari hubungan gereja dengan negara. Pada saat 
pemerintah melakukan keadilan, gereja harus menghormati otoritasnya 
tetapi ketika pemerintah melakukan ketidakadilan, bahkan kepada orang-
orang di luar gereja, gereja seharusnya memberikan teguran kepada 
pemerintah.

Catatan Kaki:

[1] John A. Moses. Bonhoeffer’s Germany: the political context” dalam 
John W. de Gruchy (Ed.) “The Cambridge Companion to Dietrich 
Bonhoeffer” (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 17.

[2] Ibid, 16.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: Buletin Pillar
Alamat situs atau URL :
http://www.buletinpillar.org/artikel/dietrich-bonhoeffer
Judul artikel: Dietrich Bonhoeffer
Penulis artikel: Calvin Bangun
Tanggal akses: 4 Februari 2014


          STOP PRESS: SAMBUT PASKAH DENGAN VIDEO PASKAH
              "PERJAMUAN MALAM TERAKHIR TUHAN YESUS"

Sudahkah Anda menyambut Paskah dengan menghidupi teladan Tuhan kita, 
Yesus Kristus?

Yayasan Lembaga SABDA mempersembahkan video Paskah "Perjamuan Malam 
Terakhir Tuhan Yesus" yang dapat Anda saksikan dan unduh secara gratis 
di Youtube < http://youtu.be/jGo4aWo6p80 >. Video ini mengisahkan 
pembasuhan kaki para rasul dan perjamuan malam terakhir Tuhan Yesus 
bersama para murid-murid-Nya, menurut Injil Yohanes dan Injil Matius. 
Mari sambut Paskah dengan video Paskah "Perjamuan Malam Terakhir Tuhan 
Yesus" dan mengingat kembali karya-Nya sebelum kematian-Nya di kayu 
salib.

Video-video Paskah persembahan Yayasan Lembaga
SABDA lainnya --> 
<http://www.youtube.com/playlist?list=PL5knwTVjY1-pj-i0ko2irpMbJ1P7eYE7T >


Kontak: reformed(at)sabda.org
Redaksi: Teddy Wirawan, Yulia Oeniyati, dan Ryan
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

______________________________e-Reformed______________________________

Anda terdaftar dengan alamat: yohanesbayu72@gmail.com
Kontak Redaksi: < reformed(a t)sabda.org >
Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Untuk berhenti: < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Arsip e-Reformed: < http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed >
SOTeRI: < http://soteri.sabda.org/ >
Situs YLSA: < http://www.ylsa.org/ >
Situs SABDA Katalog: < http://katalog.sabda.org/ >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org