Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/148 |
|
e-Reformed edisi 148 (31-1-2014)
|
|
______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________ e-Reformed -- Mukjizat Tuhan Yesus Edisi 148/Januari 2014 DAFTAR ISI: ARTIKEL: MUJIKZAT TUHAN YESUS Dear e-Reformed Netters, Kita telah memasuki tahun 2014, tahun yang baru dan rencana yang baru. Untuk mengawali e-Reformed tahun ini, saya memilih artikel yang saya dapatkan dari jurnal Pelita Zaman. Artikel ini ditulis oleh Pdt. Andi Halim pada tahun 1992, yang membahas tentang mukjizat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Artikel ini mencoba membandingkan pandangan dua kubu ekstrem, kubu yang satu berpendapat bahwa mukjizat itu tidak ada, sedangkan kubu yang satunya mengagung- agungkan mukjizat dan percaya bahwa dengan keyakinan yang besar, semua hal dapat terjadi sesuai keinginannya. Artikel ini mengajak kita untuk memosisikan mukjizat sebagaimana mestinya. Mari kita simak saja artikel ini selengkapnya. Selamat menyimak. Pemimpin Redaksi e-Reformed, Teddy Wirawan < teddy(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org > ARTIKEL: MUKJIZAT TUHAN YESUS Bila saat ini kita atau orang yang sangat kita kasihi menderita sakit parah dan dalam keadaan sangat kritis, mungkin kita adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mengharapkan mukjizat terjadi. Salahkah sikap seperti ini? Tentunya tidak. Memang ada kelompok yang cukup ekstrem beranggapan bahwa mukjizat pada zaman ini sudah tidak pernah terjadi lagi. Bahkan, lebih dari itu, mukjizat di Alkitab pun diragukan kebenarannya. Jelas bahwa kelompok seperti ini adalah kelompok yang sudah terjerat oleh pola pikir rasionalisme dan liberalisme. Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang "tidak masuk akal" berarti tidak pernah ada. Bila ada peristiwa yang tampak seperti "mukjizat", itu dianggap hanya sebagai kebetulan atau sugesti diri atau psikosomatis, halusinasi, atau fiksi. Kelompok ini menganggap akal atau logika adalah segalanya, selalu benar, dan menjadi standar atau patokan terhadap segala penilaian. Di pihak lain, ada yang meninjau dari teladan Tuhan Yesus sendiri. Tuhan Yesus banyak kali memperhatikan orang yang mengharapkan kesembuhan atau pertolongan berupa mukjizat. Ia sendiri pun pernah berfirman: "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu ...." (Matius 7:7) "... Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, -- maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu." (Matius 17:20) "... apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu." (Markus 11:24) Saat masih di dunia sebagai manusia, Tuhan Yesus tercatat dalam Alkitab telah melakukan mukjizat lebih dari 37 kali (belum lagi yang tidak tercatat; bdk. Yohanes 21:25). Jadi, bukankah Alkitab memberi tahu bahwa mukjizat merupakan suatu kejadian dan pengalaman yang unik bagi orang yang mau percaya? Bukankah Tuhan Yesus datang untuk menyembuhkan semua orang percaya dari segala macam penyakit? "Ia ... melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu. Maka ... dibawalah kepadaNya semua orang yang buruk keadaannya, yang menderita pelbagai penyakit dan sengsara, yang kerasukan, yang sakit ayan dan yang lumpuh, lalu Yesus menyembuhkan mereka." (Matius 4:23-24) "Banyak orang mengikuti Yesus dan Ia menyembuhkan mereka semuanya" (Matius 12:15b, 14:35-36, 15:30-31). Dari semua nabi, rasul, maupun orang-orang lain yang dipakai Allah, tidak pernah ada yang melakukan mukjizat sedemikian "banyak" dan "besar" seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, termasuk mukjizat membangkitkan diri-Nya sendiri dari kubur (Yohanes 2:19,21; Matius 26:32). Di samping itu, ada kelompok ekstrem lain yang berlawanan dengan rasionalisme, yang mengajarkan bahwa Allah menghendaki anak-anak-Nya sehat walafiat, tanpa sakit apa pun, dalam keadaan berkelimpahan berkat, hidup makmur, dan tanpa penderitaan apa pun. Bahkan, pengalaman kesembuhan ilahi, hidup penuh dengan kesuksesan dan kelimpahan bukan lagi ditentukan oleh kehendak Tuhan, melainkan oleh kemauan atau usaha diri kita sendiri. Misalnya, perempuan yang menderita pendarahan, yang mau menjamah jubah Tuhan Yesus (Markus 5:28), seorang perwira yang bawahannya sedang sakit (Matius 8:10), dan perempuan Kanaan yang anaknya kerasukan setan (Matius 15:28), dipuji karena imannya yang sangat "besar". Iman dari Elia, Elisa, dan Paulus juga mendukung bukti bahwa mukjizat bergantung mutlak pada "besar kecilnya iman seseorang" terhadap mukjizat yang diharapkannya. Bahkan, lebih dari itu, menurut kelompok ini, bukankah Tuhan Yesus juga berjanji bahwa setiap orang yang mau percaya akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada pekerjaan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus (Yohanes 14:12)? Tuhan Yesus juga mengatakan bahwa tanda-tanda orang percaya adalah dapat mengusir setan, berbicara dalam bahasa baru, minum racun tidak mati, dan menumpangkan tangan pada orang sakit dan orang itu sembuh (Markus 16:17-18). Bukankah semua ini membuktikan bahwa mukjizat sungguh-sungguh terjadi, dan bahkan sampai hari ini dapat terjadi bagi setiap orang yang sungguh-sungguh percaya/beriman? Kita memang mengimani bahwa mukjizat sungguh-sungguh dapat terjadi, baik pada masa lampau, sekarang, maupun pada yang akan datang. Kita percaya bukan kepada Allah yang tidak dapat berbuat apa-apa alias patung atau berhala, namun Allah yang kita sembah adalah Allah yang hidup, yang berkarya dalam kekekalan dan dalam sejarah manusia, mahakuasa, Allah yang tak terhingga dalam kekuatan dan kedaulatan-Nya. Namun demikian, meskipun Alkitab mencatat banyak mukjizat luar biasa terjadi karena "iman" seseorang, dan mukjizat yang tidak terjadi karena orang yang kurang atau tidak "beriman" (Matius 13:58, 17:19-20), kita jangan sampai terjebak pada hal-hal yang kita lihat sekadar secara lahiriah. Banyak orang, sekali lagi, yang beranggapan bahwa mukjizat sangat bergantung pada "iman" dan "kemauan" kita. Bila kita beriman dan mau mengalami mukjizat, maka terjadilah mukjizat itu; dan sebaliknya. Dengan perkataan lain, tindakan Allah dalam melakukan mukjizat sangat bergantung pada kondisi "iman" dan "kemauan" (kepercayaan) kita terhadap mukjizat itu sendiri. Sebuah pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah: Apakah Allah yang Alkitab perkenalkan adalah Allah yang demikian bergantung pada sikap kita? Pernah dikisahkan sebuah lelucon yang menceritakan dua orang yang akan saling berhadapan dalam pertandingan badminton. Keduanya beriman dengan kualitas yang sama persis; keduanya berdoa agar mereka beroleh kemenangan. Lalu, bila jawaban doa itu bergantung pada "iman" dan "kemauan" masing-masing pemain, apakah pertandingan tersebut akan berakhir imbang? Ada juga cerita bahwa dalam satu desa terdapat seorang yang beriman mempunyai sawah dan pabrik payung, sedangkan seseorang yang lain beriman mempunyai pabrik kerupuk dan tambak yang menghasilkan garam. Yang satu berdoa supaya turun hujan agar sawahnya subur dan payungnya laris, yang satunya berdoa agar hujan sama sekali tidak turun agar garam dan kerupuknya jadi. Bagaimana kira-kira jawaban yang tepat bagi doa-doa orang yang "beriman" ini (misalkan Anda yang menjadi Allah)? Memang Tuhan Yesus, beberapa nabi, rasul, dan orang-orang yang dipakai Allah disertai tanda-tanda mukjizat yang luar biasa, namun hal ini tidak harus berarti bahwa segala mukjizat yang dilakukan itu bergantung pada "iman" masing-masing sehingga setiap orang yang "beriman" pasti dapat melakukan (mengalami) mukjizat sesuai dengan apa yang diinginkannya (seperti orang yang memencet tombol otomatis). Di pihak lain, ternyata ada juga mukjizat, yang meskipun terjadi di depan orang yang tidak beriman, hasilnya tetap tidak menjadikan mereka percaya (Matius 11:20; bdk. Lukas 17:12-19). Bangsa Israel hampir setiap hari melihat mukjizat yang datang dari Allah, misalnya manna yang turun dari surga, laut terbelah, tiang api dan awan, dll., namun mereka tetap mengeraskan hati dan tidak mau taat kepada Allah. Ternyata ada juga mukjizat yang diberikan Allah bukan sebagai berkat bagi seseorang, namun sebagai hukuman bagi mereka yang gila mukjizat atau yang mencobai Allah (Mazmur 106:15). Jadi, mukjizat bukan merupakan jaminan bahwa hal tersebut adalah suatu berkat yang datang dari Allah. Bahkan, dalam Matius 7:21- 23, dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat melakukan mukjizat sama sekali tidak dapat menjamin bahwa ia sudah diselamatkan (lahir baru). Rasul Paulus mengingatkan bahwa pada akhir zaman akan banyak berdatangan nabi atau rasul palsu yang dapat menyerupai aslinya, terutama dalam kemampuannya melakukan mukjizat ataupun hal spektakuler atau yang menimbulkan sensasi lainnya (2 Tesalonika 2:9-12; 2 Korintus 11:12-15, Iblis dapat menjadi seperti malaikat terang). Bahkan, Tuhan Yesus sebelumnya juga pernah mengatakan bahwa di tengah- tengah kita akan muncul serigala yang berbulu domba (Matius 7:15)! Surat 1 Yohanes 4:1 dst. menegaskan agar kita selalu menguji setiap roh, apakah peristiwa, atau pemikiran, perkataan yang kita terima itu benar-benar dari Tuhan atau bukan. Jika demikian, mengapa Tuhan Yesus, para rasul, nabi, dan orang-orang yang dipakai Allah dapat melakukan mukjizat yang begitu luar biasa? Dan, dalam hal itu, mengapa "iman" seolah-olah merupakan faktor yang sangat menentukan terjadi atau tidaknya suatu mukjizat? Dan, mengapa sampai hari ini mukjizat yang dilakukan oleh tokoh-tokoh "iman" masih terjadi demikian hebatnya dan berdampak luar biasa? Melalui Matius 7:21-23, kita melihat bahwa ternyata ada "iman" yang tidak jelas sumbernya. Sebagai orang "beriman", mereka dapat melakukan mukjizat dalam nama Tuhan, namun sama sekali tidak mengenal siapa Tuhan yang mereka sebutkan itu. Dengan demikian, perlu dipertanyakan kembali dari mana asal (sumber) mukjizat yang mereka lakukan? Banyak orang yang mengaku beriman dan beribadah kepada Tuhan, namun perlu dipertanyakan apakah Tuhan yang kita anggap Tuhan itu benar- benar adalah Tuhan yang benar (Roma 10:1-3). Roma 10:17 menyatakan bahwa iman yang benar berasal dari pendengaran dan pendengaran akan firman Allah. Iman yang benar adalah iman yang lahir dari persekutuan atau hubungan pribadi dengan Allah. Artinya, iman harus dan pasti sesuai dengan kehendak dan firman Allah. Mukjizat yang benar harus berdasarkan atau bersumber pada iman yang benar, sedang iman yang benar harus bersumber pada kehendak dan rencana Allah sendiri. Jadi, sumber terjadinya mukjizat sebenarnya bukan bergantung pada iman kita, namun pada kehendak dan rencana Allah. Iman tidak sama dengan keyakinan. Iman adalah kepercayaan pada janji dan firman- Nya yang pasti diwujudkan sesuai dengan rencana-Nya. Iman itu sendiri adalah pemberian Allah sehingga melalui iman yang dianugerahkan itu, kita boleh mengerti kehendak dan rencana Allah, serta hidup seturut atau sesuai dengan rencana-Nya. Sebagai contoh, Elia mampu mendatangkan mukjizat hujan tidak turun selama 3 tahun, serta mukjizat hujan turun setelah masa kemarau selama 3 tahun. Dari mana asalnya iman yang mampu melaksanakan mukjizat yang demikian hebat (Yakobus 5:17-18)? Kebanyakan orang akan beranggapan bahwa semua itu berasal dari "kebolehan" iman (keyakinan) Elia yang sangat kuat sehingga dia mampu mengatur alam semesta, ia dapat mengubah cuaca dan keadaan. Benarkah analisis ini? Fungsi seorang nabi adalah sebagai juru bicara Allah. Ia tidak boleh menyampaikan apa pun kepada umat bila Allah tidak memberikan perintah kepadanya, termasuk dalam melakukan mukjizat. Bila ada nabi yang berani bertindak atau menjanjikan sesuatu atas nama Allah, tetapi Allah sendiri tidak pernah memberikan perintah tersebut, boleh dikatakan bahwa itu adalah nabi palsu. Elia menegaskan kata-katanya (1 Raja-raja 18:41-46) hanya berdasarkan perintah yang datang dari Allah (1 Raja-raja 18:1). Jadi, jelas bahwa mukjizat yang dilakukan oleh Elia bersumber dari kehendak Allah pada waktu itu. Banyak orang Kristen mengharapkan mukjizat, namun tidak mendapatkannya sesuai selera mereka. Alasannya hanya satu, yaitu Tuhan sendiri tidak merencanakan seperti demikian (2 Korintus 12:7-10). Bahkan, kadang kala Tuhan mengizinkan peristiwa-peristiwa yang "tidak menyenangkan" terjadi (1 Timotius 5:23, Ibrani 12:6-11), hanya supaya kita makin bersandar dan menyadari bahwa manusia penuh dengan kelemahan dan kekurangan, dan hanya Tuhan saja yang berdaulat dan merupakan sumber kekuatan serta kehidupan kita. Kecanduan (kegandrungan) akan mukjizat serta kekecewaan yang mendalam bila mukjizat tidak terjadi adalah tanda atau bukti bahwa iman kita masih seperti iman orang yang tidak percaya/kafir (1 Korintus 1:22). Tuhan Yesus sangat mencela dan sering kali menyindir orang-orang yang selalu menuntut tanda sebagai angkatan yang jahat (Matius 12:39; bdk. Yohanes 6:26). Sebenarnya, jika kita mau jujur mengakui, inti dari tuntutan orang yang "memaksa" Tuhan melakukan mukjizat, bukanlah untuk kemuliaan nama Tuhan, namun hanya sebagai pelampiasan hawa nafsu atau kepuasan (kepentingan) dirinya sendiri. Sering kali, Tuhan Yesus disertai dengan tanda-tanda, bukan untuk kepuasan atau kenikmatan pribadi-Nya sendiri, namun bagi kemuliaan nama Tuhan dan untuk menggenapi misi Allah bagi dunia. Tuhan Yesus begitu banyak disertai tanda-tanda yang luar biasa karena memang sudah dinubuatkan bahwa Mesias yang akan datang di tengah-tengah umat Israel akan disertai tanda-tanda yang luar biasa (Kisah para Rasul 2:22). Para Rasul dan Nabi sering kali disertai tanda-tanda karena mereka mempunyai status yang sangat istimewa sebagai dasar berdirinya gereja (Efesus 2:19-20), serta menjadi saksi mata yang Allah utus sendiri untuk bersaksi dan membina jemaat mula-mula (Ibrani 2:3-4; Kisah Para Rasul 2:42). Kesimpulan dari semua pembahasan ini adalah bahwa mukjizat bukanlah misi utama Allah, namun hanya sebagai salah satu alat atau tanda yang menyatakan pekerjaan Allah pada masa itu. Dengan demikian, tidak setiap pekerjaan Allah harus disertai dengan tanda atau mukjizat. Seperti Yohanes Pembaptis, ia sama sekali tidak pernah melakukan mukjizat, bahkan sampai matinya tidak ada sesuatu yang istimewa. Sebenarnya, sebagai seorang yang beriman, mukjizat bukan lagi kebutuhan utama dalam hidup kita. Bahkan, mata rohani kita dibukakan, yaitu diberi kemampuan untuk melihat bahwa dalam setiap keadaan, apa pun keadaan itu, di dalamnya mukjizat Allah dinyatakan, meskipun tidak ada peristiwa spektakuler atau yang menimbulkan sensasi. Dengan demikian, dalam setiap keadaan, kita belajar bersyukur, Tuhan selalu mempunyai rencana yang baik (Roma 8:28; 1 Korintus 10:13). Sikap doa orang beriman seharusnya meneladani Tuhan Yesus: "Bukan kehendak-Ku Bapa, melainkan kehendak-Mulah yang jadi". Bila Tuhan memang berkehendak memakai kita untuk melakukan atau mengalami mukjizat, mukjizat pasti terjadi dan hidup kita akan dipersiapkan untuk menghadapinya. Daftar pustaka: 1. Abineno, J. L. Ch., "Penyakit dan Penyembuhan". Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982. 2. Caldwell, W., "Meet The Healer". Front Line Evangelism, 1965. 3. Davis, B., "How to Activate Miracles In Your Life and Ministry". Harrison House, 1978. 4. Handjojo, J., "Anda Sakit Jadilah Sembuh". Gereja Kristen Anugerah,1985. 5. Hunter, C. & F., "Menyembuhkan Orang Sakit". Surabaya: GBT Bukit Zaitun Surabaya, 1984. 6. Murray, A., "Kesembuhan Ilahi". Bandung: Kalam Hidup, 1967. 7. ______, "The Plain Truth About Healing". Worldwide Church of God, 1979. Diambil dan disunting dari: Judul jurnal: Jurnal Pelita Zaman, Volume 07, Nomor 01 (Mei 1992) Penulis: Andi Halim Penerbit: Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman Halaman: 83 -- 88 Kontak: reformed(at)sabda.org Redaksi: Teddy Wirawan, Yulia Oeniyati, dan Ryan (c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org > ______________________________e-Reformed______________________________ Anda terdaftar dengan alamat: ysahaduta@gmail.com Kontak Redaksi: < reformed(a t)sabda.org > Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org > Untuk berhenti: < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org > Arsip e-Reformed: < http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed > SOTeRI: < http://soteri.sabda.org/ > Situs YLSA: < http://www.ylsa.org/ > Situs SABDA Katalog: < http://katalog.sabda.org/ > Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati ______________________________________________________________________
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |