Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/139

e-Reformed edisi 139 (1-4-2013)

Perspektif Alkitabiah Pelayanan Kaum Awam (1)

______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________

e-Reformed -- Perspektif Alkitabiah Pelayanan Kaum Awam (1)
Edisi 139/April 2013

DAFTAR ISI:
ARTIKEL: PERSPEKTIF ALKITABIAH PELAYANAN KAUM AWAM

Dear e-Reformed Netters,

Pelayanan adalah sebuah anugerah yang Tuhan percayakan kepada kita. Meskipun 
kita tidak layak, tetapi Tuhan melayakkan kita untuk ikut ambil bagian dalam 
pekerjaan-Nya. Pada bulan ini, kami akan kirimkan satu artikel (2 bagian) yang 
membahas perspektif alkitabiah tentang pelayanan kaum awam. Banyak orang yang 
masih membagi umat Allah dalam dua bagian, yaitu para rohaniwan dan para kaum 
awam. Para rohaniwan yang dianggap layak untuk mengerjakan tugas-tugas 
pelayanan, sedangkan orang awam hanyalah kaum biasa-biasa saja yang pasif. 
Tentunya dikotomi ini tidak alkitabiah dan dapat merusak fungsi umat Allah yang 
sesungguhnya.

Artikel pada edisi 2 ini membahas tentang konsep kata "awam" dalam Perjanjian 
Lama dan Perjanjian Baru dan konsep keimaman seluruh orang percaya yang berasal 
dari sifat-sifat gereja sendiri. Kiranya artikel ini dapat meluruskan pandangan-
pandangan yang salah tentang konsep pelayanan kaum awam dan dapat menggerakkan 
setiap pembaca untuk semakin giat dalam melayani Tuhan. Soli Deo Gloria!

Selamat menyimak.

Staf Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< http://reformed.sabda.org >


ARTIKEL: PERSPEKTIF ALKITABIAH PELAYANAN KAUM AWAM (1)

Isu mengenai pelayanan kaum awam telah menjadi suatu topik populer dalam banyak 
artikel dan buku-buku, serta disampaikan dalam banyak khotbah. [1] Selain itu, 
Strauch [2] menyatakan bahwa masalah tentang pembaruan kaum awam telah menjadi 
suatu bahan diskusi yang meluas. Selain populer, teologi kaum awam banyak 
disalah mengerti. Bahkan istilah "awam" seringkali ditafsirkan secara salah. 
Kaum awam kerap dianggap setara dengan golongan "nonprofesional", ketika 
ditinjau dari keahlian atau kemampuan khusus tiap individu. Dalam organisasi-
organisasi keagamaan, orang awam dianggap sebagai "kaum percaya biasa" yang 
berbeda dari "pengerja" penuh waktu atau hamba Tuhan. [3]

Dampak konsep tersebut adalah pembagian umat Allah ke dalam dua tingkatan, yaitu 
struktur pengerja penuh, yang menampilkan fungsi-fungsi religius masyarakat, dan 
sejumlah besar kaum awam yang tidak berkualifikasi. [4] Pembagian itu merupakan 
hasil tiruan pola kepemimpinan "Graeco-Roman", yang membagi administrasi kota 
menjadi dua bagian yaitu: "para pegawai", yang memimpin dan "kaum awam", warga 
yang polos serta tidak berpendidikan. [5] Jika pola tersebut diterapkan pada 
pelayanan di gereja, maka dapat menyebabkan perpecahan yang menghancurkan, 
menghilangkan partisipasi penuh umat Kristiani dalam pelayanan, serta mencegah 
pertumbuhan atau kedewasaan Rohani.

Konsep Awam dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Dalam rangka mencegah dikotomi dan mengembangkan suara teologia awam, istilah 
"awam" harus dijelaskan dengan menggunakan sudut pandang alkitabiah. Istilah 
tersebut diambil dari kata sifat bahasa Latin "laicus", yang sama dengan kata 
sifat bahasa Yunani "laikos", yang berarti "milik masyarakat". Kata bendanya 
adalah "laos", yang mengekspresikan konsep yang signifikan, [6] karena muncul 
2000 kali dalam Septuaginta dan ditambah 140 kali dalam Perjanjian Baru. [7]

Dalam Perjanjian Lama (Keluaran 19:4-7; Ulangan 4; Ulangan 7:6-12), "laos" 
biasanya mengacu kepada bangsa Israel. Kata tersebut mengandung "nilai khusus 
bagi masyarakat, karena keaslian dan tujuannya dalam kasih karunia yang Tuhan 
tentukan. Bangsa Israel menganggap diri mereka sebagai `laos theou` (umat 
pilihan Allah)". [8] Secara teologis, hal tersebut menunjukkan bahwa Bangsa 
Israel adalah suatu bangsa yang terpisah dari bangsa-bangsa lain di dunia, yang 
disebabkan oleh pilihan Tuhan atas mereka sebagai milik-Nya (Ulangan 7:6). 
Mereka memperoleh status istimewa sebagai "umat Allah". Meskipun demikian, umat 
Allah tidak hanya menerima status istimewa, tetapi juga pelayanan istimewa. Bucy 
menjelaskan lebih lanjut, "seluruh kaum awam merupakan `milik Tuhan`, dipilih 
bukan sekadar memperoleh hak-hak istimewa, tapi untuk pelayanan istimewa. 
Perhatikan juga bahwa sifat pelayanan tersebut, dijabarkan dalam hubungan 
langsung dengan hak Tuhan atas `seluruh bumi`. Bangsa Israel terpanggil dari 
antara `segala bangsa`, untuk melayani sebagai suatu `kerajaan imam dan segala 
bangsa yang kudus`, mewakili kerajaan-kerajaan dan bangsa-bangsa di dunia". [9] 
Singkat kata, umat Allah atau kaum awam, dipanggil untuk memenuhi misi penebusan 
Allah bagi perdamaian dunia. [10]

Umat Allah dalam Perjanjian Lama hanya mengacu pada Bangsa Israel. Dalam 
Perjanjian Baru, umat Allah mengacu kepada bangsa Israel dan bangsa-bangsa lain. 
Mengenai hal tersebut, Kraemer menegaskan bahwa Yahweh ingin bangsa Israel 
menjadi kudus-Nya, yang merespons sepenuhnya kepemilikan Tuhan yang telah 
memilih mereka. Hal yang sama berlaku bagi gereja. [11]

Gereja disebut sebagai "umat yang terpilih, imamat rajani, bangsa yang kudus, 
umat kepunyaan Allah." (1 Petrus 2:9) Secara khusus, gereja dalam 1 Petrus 2:5 
digambarkan sebagai "batu-batu hidup", yang dibangun menjadi sebuah rumah 
Rohani, dan mereka mempersembahkan korban-korban rohani yang berkenan di hadapan 
Allah melalui Yesus Kristus. Kedua pasal memperlihatkan bahwa gereja terdiri 
dari orang-orang percaya yang disebut "suatu keimamatan". Kata Yunani untuk 
keimaman ialah "hierateuma", yang menunjukkan suatu gagasan komunitas masyarakat 
yang melayani sebagai "imam". [12] Oleh karena itu, gereja merupakan komunitas 
imam atau keimaman dari orang-orang percaya, yang hanya mungkin terjadi melalui 
Yesus Kristus, Imam Besar perjanjian yang baru, yang telah mengorbankan diri-Nya 
dan menguduskan, serta menyempurnakan orang-orang percaya sekali untuk selamanya 
(Ibrani 9:15, 10:10,14). Konsekuensinya yaitu seluruh orang percaya boleh 
mempersembahkan korban secara langsung melalui Kristus. Mengenai hal ini, Kung 
menyatakan demikian, "Bila seluruh orang percaya harus mempersembahkan korban 
lewat Kristus dengan cara tersebut, berarti mereka memiliki fungsi Imam, dalam 
pengertian yang sama sekali baru, melalui Kristus Sang Imam Besar dan 
Pengantara. Mengabolisikan kasta istimewa keimaman dan pengertiannya oleh Imam 
Besar yang baru dan kekal, menurut konsekuensinya yang unik namun logis, 
memiliki fakta bahwa seluruh orang percaya terlibat dalam keimaman secara 
universal." [13]

Hakikat Gereja

Kenyataannya, konsep keimaman orang-orang percaya diperoleh dari sifat gereja 
itu sendiri, yaitu umat Allah, tubuh Kristus, bangunan rohani, dan Bait Roh 
Kudus. Konsep itu diperluas sebagai berikut.

1. Gereja adalah Umat Allah

Artinya seluruh anggota gereja mempunyai persamaan yang mendasar. Tidak ada 
istilah kelas atau kasta dalam hubungan antar anggota, karena semuanya adalah: 
"orang-orang terpilih", "orang-orang kudus", "murid-murid", dan "saudara-
saudara". Selain itu, "tidak ada jarak" antar anggota dan tidak ada penduduk 
kelas dua dalam keluarga Allah. Tentang persamaan, umat Allah diangkat 
martabatnya sebagai pelayan-pelayan Yesus Kristus. [17] Gibbs dan Morton dengan 
tegas menyatakan, "Doktrin sejati kaum awam sebagai umat Allah, yang bermitra 
bersama-sama tanpa perbedaan kelas." [18]

2. Gereja adalah Tubuh Kristus

Tentang karakter yang saling berkaitan dari anggota-anggota gereja (Roma 12:4-8;
1 Korintus 12:12), tubuh dibangun oleh anggota-anggota yang saling bergantung 
satu sama lain sebagai kesatuan tubuh. [19] Seluruh anggota tubuh Kristus 
memainkan peranan penting. Masing-masing memiliki martabat dan fungsi "semuanya 
saling melayani dalam simpati dan kasih yang menguntungkan, serta dalam 
sukacita". [20]

3. Gereja adalah Bangunan/Bait Rohani

Gereja adalah bangunan/bait rohani, yang berarti bahwa Roh Kudus tinggal di 
dalam seluruh orang-orang percaya (Kisah Para Rasul 2). Akibatnya, seluruh umat 
Kristen dibenarkan, dituntun dan dipimpin, serta hidup oleh Roh Kudus. Dalam 1 
Korintus 3:16 dan Efesus 2:22, Rasul Paulus menekankan bahwa Roh Kudus berdiam 
dalam hati orang-orang percaya. Mereka adalah bait Allah yang kudus. Konsep bait 
Allah yang kudus di bumi dipersamakan dengan komunitas Kristen yang dimungkinkan 
hanya melalui Yesus Kristus; hanya melalui Dia, bait Allah yang kudus digantikan 
oleh "bangsa yang kudus".

4. Gereja adalah Bait Roh Kudus

Ketika suatu gereja dikatakan sebagai Bait Roh Kudus, hal itu mengandung arti 
setiap anggota gereja adalah suatu Bait yang dipenuhi oleh Roh Kudus. Dalam 
bentuk ini, Bait tersebut dibangun atas "kunci kehidupan" dan "batu penjuru", 
Tuhan Yesus, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, batu hidup dan yang 
setia. Bentuk Bait Keimaman merupakan kelanjutan dari bentuk yang baru saja 
diperkenalkan (1 Petrus 2:4). Lebih lanjut dikatakan, konsep itu tidak 
diperuntukkan bagi keimaman resmi suatu kelompok Kristen tertentu, tapi bagi 
semua orang percaya. "Semua orang yang dipenuhi oleh Roh Kristus, menjadi suatu 
keimaman yang terpisah; seluruh umat Kristen adalah hamba Tuhan".

[Lanjutan artikel ini (Bagian 2) akan kami kirimkan dalam email yang terpisah.]

Catatan kaki:

1.  F.B Edge, "Into The World, so Send You` dalam The New Laity: Between Church 
    	and World, R.D Bucy, ed (Waco: World, 1978), 14
2.  Alexander Strauch, Biblical Eldership: An Urgent Call to Restore Biblical 
    	Church Leadership (Littleton: Lewis and Roth, 1986), 91
3.  Edge dalam The New Laity, 14
4.  Strauch, Biblical Eldership, 101
5.  R.P. Stevens, Liberating the Laity: Equipping All the Saints for Ministry 
    	(Downers Grove: InterVarsity, 1985), 21
6.  Edge, 14
7.  Howard A. Snyder, The Problem of Wine Skins: Church Stucture in A 
    	Technological Age (Downers Grove: InterVarsity, 1975), 102
8.  Dalam Bucy, The New Laity, 15
9.  Snyder, The Problem of Wine Skkins, 102
10. F.B. Edge, The Doctrine of the Laity (Nashville: Convention, 1985), 28
12. R.D. Nelson, Raising Up A Faithfull Priest: Community and Priesthood 
    	(Lousville: Westminster, 1003), 160
13. Hans Kung, The Church (Garden City: Image 1976), 473
14. Ibid
15. G. Ogden, The New Reformation Returning, The Minitry to the People of God 
    	(Grand Rapids: Ministry Resourch Library), 11
16. V.J. Dozier, Toward A Theology of Laity: Lay Leaders Resourch Notebook 
    	(Washington: Alban Intitute, 1976), 16
17. R.P. Stevens, Liberating the Laity, 27
18. M. Gibbs & T.R. Morton, God`s Frozen People: A Book for and about Christian 
    	Layman (Philadelpihia: Westminster,1964), 15
19. R.D. Dale, Sharing Ministry whit Volunteer Leaders (Nashville: Convention 
    	Press, 1986), 13
20. Kung, the Church, 474

Diambil dari:
Judul buku: Keunggulan Anugerah Mutlak: Kumpulan Refleksi Teologis Atas Iman Kristen
Judul artikel: Perspektif Alkitabiah Pelayanan Kaum Awam
Penyusun: Dr. Joseph Tong
Penerbit: Sekolah Tinggi Teologia Bandung, 2006
Halaman: 173 -- 177

Kontak: reformed(at)sabda.org
Redaksi: Yulia Oeniyati dan Teddy Wirawan
Berlangganan: subscribe-i-kan-untuk-Reformed(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(at)hub.xc.org
Arsip: http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org > 

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org