Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/134

e-Reformed edisi 134 (27-11-2012)

Aksi Sosial Kristen dan Kepedulian kepada Orang Miskin

______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________

e-Reformed -- Aksi Sosial Kristen dan Kepedulian kepada Orang Miskin
Edisi 134/November 2012

Dear e-Reformed Netters,

Menjalani abad 21 ini, perkembangan karya manusia begitu cepat, 
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal ini memengaruhi budaya 
dan pola pikir manusia pada umumnya, tak terkecuali orang-orang 
Kristen. Kemajuan jaman seringkali justru semakin mempermudah orang 
Kristen hidup dan memikirkan hanya untuk dirinya sendiri, sehingga 
rasa kemanusiaan semakin terkikis oleh nafsu duniawi yang berpusat 
pada diri.

Pada edisi e-Reformed 134 ini, artikel yang disuguhkan ingin menggedor 
sensitivitas kita sebagai bagian dari Tubuh Kristus, untuk berani 
menyikapi tindakan orang Kristen yang mulai terprovokasi untuk melawan 
dunia (kemiskinan, kelaparan, terpinggirkan), tetapi tidak mengubah 
dunia dengan kasih Kristus. Dr. Joseph Tong, penulis artikel ini, 
mendorong kita untuk merenungkan 2 hal yang sangat penting dalam 
menjalankan tindakan sosial Kristen: kemampuan memberi dan kuasa 
memberi. Silakan merenungkan pembahasan beliau karena hal ini akan 
menolong mengubah pola pikir kita dalam hal memberi agar semakin 
serupa dengan ajaran Kristus. Selamat menerungkan.

Staf Redaksi e-Reformed,
Yonathan Sigit
< http://reformed.sabda.org >


 ARTIKEL: AKSI SOSIAL KRISTEN DAN KEPEDULIAN KEPADA ORANG MISKIN

Menjadi orang Kristen di dunia sekuler tidak mudah, terutama dalam 
abad ke-21 ini. Kesadaran sosial telah membawa pada realitas yang 
belum terlihat sekarang, yaitu gejala dari sisi tergelap manusia. Hal-
hal yang belum pernah kita dengar, bahkan belum pernah terbayangkan di 
masa lalu, telah menjadi hal yang biasa pada tahun-tahun terakhir ini. 
Mereka menuntut hak-hak legal dengan berani di pengadilan publik, 
lembaga-lembaga hukum dan legislatif, serta melanjutkan tuntutan akan 
pengakuan dalam segala bidang kehidupan, termasuk agama dan moralitas. 
Cukup aneh. Hal-hal ini bukan saja merembes dan mengubah moralitas 
Dunia Barat, tetapi juga memenangkan tempat dalam banyak negara yang 
baru terbentuk dari budaya dan tradisi yang paling ortodoks. Dapat 
dikatakan, dunia ini nampaknya akan dijungkirbalikkan secara moral. 
Inilah pasang-surut zaman. Nampaknya, suatu gelombang yang tidak 
tertahankan sedang memenangkan lahan komunitas Kristen. Mendapati diri 
kita sendiri dalam suatu situasi semacam ini, roh kita tergugah, 
seperti ketika Paulus ada di tengah-tengah para pemuja berhala Athena.

Orang Kristen dan Perhatian Sosialnya

Dari waktu ke waktu kita melihat ada orang-orang Kristen yang akan 
berdiri tegak bagi Yesus, sebagaimana yang dihimbaukan oleh himne 
terkait, berperang dalam "pertempuran yang baik". Untuk membalikkan 
situasi dengan mengambil tindakan sosial, mereka tidak raga-ragu 
membawa kasus itu ke tempat terbuka, ke jalan, untuk memprotes tempat 
perdagangan dan mengawali keributan. Mereka siap mengambil risiko 
ditahan demi mengingatkan kesadaran sosial dan hati nurani publik 
untuk membangkitkan perubahan sosial. Suatu kasus klasik pemberontakan 
sipil. Beberapa bahkan mengambil suatu sikap militan, tanpa maksud 
mengabaikan provokasi apa pun, bahkan yang terkecil sekalipun. 
Sayangnya, semangat untuk melawan balik telah menjadi suatu tanggapan 
refleks bagi mereka, bahkan kadang kala tercampur dengan sikap 
membenci dan kekerasan.

Dalam konteks diskusi isu relasi antara gereja dan masyarakat, kita 
semua sepakat bahwa gereja akan selalu berfungsi sebagai "hati nurani 
sosial" dan menjadi "referensi sosial", serta pada waktunya akan 
mengambil peran "Agen perubahan sosial". Memenuhi panggilan dan mandat 
semacam itu, apa yang seharusnya menjadi sikap gereja dan apa yang 
akan menjadi tindakan Kristen? Bagi beberapa orang Kristen, apa pun 
yang terjadi di dalam dunia yang tidak kristiani, di mata mereka 
selalu membangkitkan kemurkaan. Dengan menanggapi secara kasar 
rangsangan provokatif itu, orang-orang Kristen kelihatannya selalu 
siap bergerak untuk mengambil tindakan. Murka Allah adalah model 
mereka. Sayangnya dalam analisis finalnya, kita selalu melihat bahwa 
tindakan-tindakan mereka hanyalah ledakan dari roh batiniah yang tidak 
tenang, yang pada akhirnya menghabiskan energi untuk menanggung 
kesaksian hidup bagi Injil yang penuh anugerah dan Yesus Kristus. 
Sayangnya, walaupun mereka mungkin berhasil dalam tindakan, mereka 
harus membayar harganya, yaitu menjadi hangus sama sekali.

Provokasi atau Tantangan?

Apakah orang-orang Kristen itu mudah terprovokasi kapan saja? Tentu 
saja tidak. Secara etimologi, terprovokasi adalah tergugah ke arah 
kemarahan dan terbangkitkan secara emosional untuk melakukan tindakan 
spontan. Ketika Kristus menjanjikan damai sejahtera-Nya bagi para 
murid-Nya, Ia memang mengingatkan mereka akan masa kesusahan, 
perlawanan, dan situasi-situasi antagonistik. Sewaktu mengingatkan 
mereka akan situasi-situasi demikian, Ia berkata, "Damai-Ku, 
Kutinggalkan bagimu." Ketika berhadapan dengan hakim-hakim yang tidak 
adil dan saksi palsu, bahkan pencuri yang disalibkan, Ia dengan tegas 
menolak penuduhan. Dengan damai Ia menolak kejahatan dan membuktikan 
diri sendiri kebal terhadap provokasi. Khotbah di bukit yang Ia 
sampaikan memberikan prinsip-prinsip kehidupan bagi murid-murid-Nya. 
Mereka harus menjalani kehidupan yang sederhana dan penuh kedamaian. 
Mereka harus kebal terhadap provokasi, bahkan terhadap provokasi yang 
paling tidak adil dan jahat.

Contoh praktis yang Ia berikan adalah bahwa mereka harus membiarkan 
orang lain memiliki baju sekaligus jubah, memberkati orang yang 
mengutuk mereka, dan bahkan memberikan pipi yang sebelahnya kepada 
orang yang menampar mereka. Orang-orang Kristen harus memiliki hati 
yang penuh damai dan membiarkan Tuhan yang memegang kendali. 
Demikianlah mereka akan membuktikan roh yang tidak dapat diprovokasi 
dan iman yang tidak berubah-ubah. Mereka diingatkan akan perintah 
Tuhan: "diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Tuhan." (Mazmur 46:10)

Kalau begitu, apakah kita ini lamban? Tentu saja tidak. Kita juga 
tidak apatis. Di hadapan kejahatan dan ketidakadilan, terutama dalam 
konteks tindakan sosial, orang-orang Kristen memiliki sisi lain dari 
kuasa yang hakiki, kuasa dari maksud Injil, yaitu kuasa penyelamatan 
Kristus. Kuasa untuk menerima tantangan, bukannya terprovokasi. Kuasa 
ini bukanlah untuk bertempur melawan dunia, tetapi untuk mengubah 
dunia dan membaruinya.

Diperhadapkan dengan gejala sosial yang tidak menyenangkan, seperti 
permasalahan moral, ketidakadilan, dan praktik-praktik yang tidak 
etis, maka orang-orang Kristen dipanggil untuk mengambil posisi damai 
dan memproklamasikan firman Tuhan yang hidup. Orang-orang Kristen 
dipanggil untuk mempertahankan jati diri sebelum mempertahankan hak-
hak mereka. Untuk memberi pertanggungjawaban iman dan menerima undang-
undang, bukan provokasi-provokasi, untuk menanggapi panggilan realitas 
demi mengemban kesaksian untuk kebenaran. Motivasi utama di sini 
adalah untuk bersaksi ketimbang bertindak. Dengan demikian, daripada 
memilih jalur tanggapan untuk memenangkan pujian dan upah, saya 
percaya adalah tugas kita untuk menanggapi dengan menerima tantangan 
sebagai imamat yang rajani, untuk memproklamasikan dekret Ilahi dengan 
hati yang berdoa. Adalah suatu mandat Kristiani untuk terlibat dalam 
cabang-cabang pemerintahan eksekutif, legislatif, dan hukum. Bersikap 
baik, ramah, dan penuh kuasa, akan selalu membuat suatu pembedaan 
antara provokasi dan tantangan, serta membuktikan bahwa kita bukan 
anak-anak jalanan, yang cocok dan yang memilih untuk tanggapan 
refleks, berupa angkara dan perkelahian yang tidak ada gunanya, 
kecuali untuk provokasi.

Prinsip Kristen Tentang "Memberi"

Dalam pemberian Kristen, dua hal harus selalu tampil sebagai aspek 
yang sangat penting dari memberi: kemampuan memberi dan kuasa memberi. 
Supaya seseorang dapat memberi, ia harus memiliki sesuatu untuk 
diberikan. Apa yang dimilikinya memampukan dia untuk memberi. Tentu 
saja kalau ia memiliki hati, dorongan, dan niat baik untuk memberi.

Bagi beberapa pengumpul dana profesional, demi memotivasi seseorang 
untuk memberi dengan murah hati, mereka perlu membangkitkan dorongan. 
Dalam istilah psikologi, memicu "n-succorant -- need-succorant" (suatu 
kebutuhan yang kuat atau tak tertahankan untuk menolong orang lain) --
Begitu seseorang telah tergugah simpatinya, ia pasti akan memberi, 
bahkan memberi melebihi kemampuannya. Seseorang perlu didorong untuk 
meningkatkan level empatinya dan kesadaran kemanusiaannya, atau dengan 
meningkatkan level kekhawatirannya, dengan cara menghadapkan seseorang 
pada kebutuhan orang lain, maka orang tersebut pasti akan membuka hati 
dan dompetnya pula. Ini prosedur normal dari praktik mengumpulkan 
dana. Ini adalah suatu praktik yang sama sekali dapat diterima di 
antara kegiatan para pengumpul dana kemanusiaan.

Nah, sekarang bagaimana dengan pandangan Kristen tentang memberi? Atau 
untuk lebih konkretnya, atas dasar apa kita meminta orang-orang, 
terutama umat Tuhan untuk memberi? Adakah sesuatu selain praktik umum 
para pengumpul dana yang dapat kita gunakan, demi menjaga perbedaan 
dan mencapai sasaran yang diharapkan? Saya percaya, isu semacam ini 
menuntut perenungan yang cermat dari diri kita.

Secara alkitabiah, kita memberi oleh karena kita telah lebih dulu 
menerima. Tuhan sebagai sumber dari segala berkat, pertama-tama telah 
memberi kita Putra-Nya, dan bersama dengan Dia, Ia telah dengan murah 
hati memberi kita segala sesuatu (Roma 8:32). Memberi itu adalah 
Ilahi, tetapi menerima tidak selalu manusiawi. Hanya apabila seseorang 
dipanggil oleh kemurahan Tuhan, pada iman dalam Kristus, ia tahu apa 
yang harus diterima, bukan untuk mengambil. Untuk dapat menerima, 
seseorang harus mengakui keadaannya yang kekurangan dan kebutuhannya. 
Demikianlah ia mengakui tindakan belas kasihan dari Sang Pemberi. Pada 
waktu Yohanes memproklamasikan, "Semua orang yang menerima-Nya diberi-
Nya `kuasa` supaya menjadi anak-anak Allah," hal ini menyiratkan bahwa 
seseorang yang menerima, diberi kuasa untuk menjadi anak-anak Tuhan 
dalam konteks anugerah. Dengan pemahaman seperti ini, menerima 
anugerah Tuhan berarti menerima kuasa untuk menjadi apa yang Tuhan 
inginkan: anak-anak Tuhan.

Dalam konteks ini, kita mengamati lebih dekat interaksi dengan sesama 
-- terutama mereka yang kurang beruntung dan dilanda kemiskinan --
Saya percaya, kita akan membedakan kuasa memberi dan kemampuan 
memberi. Sementara, baik kuasa maupun kemampuan memberi adalah aspek-
aspek memberi sebagai tanda kemurahan hati manusia terhadap sesamanya; 
kemampuan memberi banyak tergantung pada sumber yang dimiliki 
seseorang, daripada kondisinya. Seseorang dapat memberi karena ia 
memiliki sesuatu untuk diberikan. Ia telah mencapai hal-hal tertentu 
atau ia memiliki akses kepada sumber-sumber itu, maka ia memberi. Ia 
tidak dapat memberi, jika ia tidak memunyai apa-apa untuk diberikan. 
Jika ia miskin, tidak ada yang menyalahkannya karena tidak ada yang 
mengharapkan sesuatu darinya. Peraturannya adalah bahwa seorang 
pengemis tidak akan meminta sedekah dari pengemis lainnya.

Orang-orang Kristen memunyai peraturan lain. Mereka memahami aspek 
yang mendasar dari memberi, yaitu kuasa memberi dalam tindakan 
memberi. Dalam pemberian Kristen, kita tertarik pada fakta bahwa kita 
mengambil bagian dalam tindakan Tuhan dalam penyediaan-Nya yang baik. 
Seperti orang-orang Kristen di Makedonia, di tengah-tengah kemiskinan 
ekstrem, sukacita mereka yang berlimpah-limpah meluap dengan penuh 
kemurahan hati (2 Korintus 8:1). Fakta bahwa Tuhanlah yang pertama-
tama memberi mereka anugerah adalah alasan yang cukup bagi mereka 
untuk memberi.

Jadi, di dalam iman kita telah menerima dan di dalam tindakan 
menerima, kita dijadikan alat oleh Tuhan untuk menjadi anak-anak-Nya 
di dunia ini. Dalam memberi dan bertindak sebagai anak-anak Tuhan, 
kita tidak memberikan apa yang kita miliki, tetapi apa yang telah 
Tuhan berikan kepada kita sebagai hasil dari apa yang Tuhan perbuat. 
Kita bertindak demi Dia dalam membagi-bagikan anugerah-Nya dan 
karunia-karunia-Nya. Untuk tindakan-tindakan semacam itu, kita tidak 
memerlukan apa-apa, kecuali wewenang Tuhan dan kuasa memberi, supaya 
penerimanya juga dimampukan oleh anugerah-Nya, sehingga ia akan 
menjadi seorang pemberi, bukan sekadar penerima.

Inilah pembedaan antara pemberian Kristiani dan pemberian kemanusiaan 
belaka. Amal sosial telah menjadi dan selalu merupakan relasi dan 
interaksi antara dan di antara kelembagaan mereka "yang punya" dan 
mereka "yang tidak punya". Demikianlah para sponsor telah tanpa 
sengaja atau bahkan adakalanya sengaja, bertanggung jawab atas adanya 
pembedaan antara strata sosial yang tidak adil, praktik pemisahan, dan 
diskriminasi. Pihak yang menerima, tanpa sengaja ataupun dengan 
sengaja dilukai justru dalam tindakan memberi dan menolong. Luka dan 
rasa sakit, entah ditingkatkan atau diabaikan dari waktu ke waktu. 
Kita melakukan hal yang baik, tetapi mungkin masih jauh dari melakukan 
hal yang benar.

Kuasa Memberi

Apabila seseorang memahami kuasa memberi dalam konteks Kristen dan 
memberi sebagai pelaksanaan kuasa memberi, maka ia dapat melihat bahwa 
pemberiannya tidak bergantung pada kemampuannya memberi. Dengan 
memandang melampaui dirinya sendiri, si pemberi akan selalu melihat 
kepada pihak penerima dan pemberiannya: di sana ada sesamanya yang 
sama seperti dia, seseorang yang memantulkan citra Tuhan. Oleh 
anugerah Tuhan dan penyediaan-Nya, maka sesamanya ditempatkan di 
hadapannya, supaya ia dapat melaksanakan kuasa memberi. Dengan berbuat 
demikian, boleh jadi mendayakan di dalam dirinya kuasa Tuhan untuk 
menjadikan sesamanya seorang anak Tuhan. Suatu pribadi yang 
bermartabat kerajaan dan mulia, daripada seorang pengemis yang dilanda 
kemiskinan dan patut dikasihani. Dengan kuasa memberi, maka ia akan 
memberi. Dalam konteks semacam ini, memberi tidak lagi sekadar 
tindakan kemanusiaan, tetapi suatu mandat Ilahi, yang pada gilirannya 
akan membuat si penerima melihat Bapa segala terang, yang daripada-Nya 
berasal segala hadiah yang baik dan sempurna (Yakobus 1:16). Dengan 
demikian, kita telah melaksanakan anugerah Allah, "kuasa memberi".

Tulisan "Aksi Sosial Kristen dan Kepedulian Kepada Orang Miskin" 
pernah dimuat dalam Jurnal Teologi STULOS 3/2, STT Bandung, Desember 
2004, Hal. 1-12.

Diambil dari:
Judul buku: Keunggulan Anugerah Mutlak: Kumpulan Refleksi Teologis 
Atas Iman Kristen
Judul artikel: Aksi Sosial Kristen dan Kepedulian Kepada Orang Miskin
Penyusun: Dr. Joseph Tong
Penerbit: Sekolah Tinggi Teologia Bandung, 2006
Halaman: 203 -- 215

Kontak Redaksi: < reformed(at)sabda.org >
Redaksi: Yulia Oeniyati, Novita Yuniarti, Yonathan Sigit, dan Desi 
Rianto
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/reformed >
Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(at)hub.xc.org >
Untuk berhenti: < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org