Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/123 |
|
e-Reformed edisi 123 (1-11-2010)
|
|
______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________ e-Reformed -- Melawan Kebohongan Gerakan Pengembangan Diri -- (Bagian 2) Edisi 123/Nov/2010 DAFTAR ISI ARTIKEL: MELAWAN KEBOHONGAN GERAKAN PENGEMBANGAN DIRI -- (BAGIAN 2) Dear e-Reformed Netters, Saya minta maaf sebesar-besarnya karena dulu ada salah satu edisi e-Reformed yang tertunda sangat lama, dan baru sekarang saya kirimkan. Edisi tersebut adalah no. 123. Edisi ini adalah lanjutan dari artikel yang saya kirim sebelumnya, yang berjudul "MELAWAN KEBOHONGAN GERAKAN PENGEMBANGAN DIRI" (1) yang terkirim 25 Oktober 2010. Semoga pengiriman edisi ini (walaupun terlambat) dapat diterima dengan baik. Sebelum melanjutkan membaca, saya berikan sedikit overview isi buku. Penulis, yaitu Stephanie Forbes memberikan 7 langkah untuk menghadapi gerakan pengembangan diri. Tujuh langkah tersebut adalah: 1. Mempelajari Alkitab 2. Mempelajari Sejarah Gereja 3. Pelajarilah Kredo-Kredo Gereja 4. Mempelajari Apologetika 5. Belajar Untuk Menerima Paradoks 6. Mengevaluasi Buku-Buku Kehidupan Kristen 7. Ingatlah siapa musuh kita Di artikel bagian pertama sudah saya kirim, dibahas 2 langkah untuk menghindarkan diri dari kebohongan gerakan pengembangan diri. Catt: Jika Anda belum mendapatkan, (atau lupa artikel yang mana), silakan mengakses ke situs SOTERI di: < http://reformed.sabda.org/melawan_kebohongan_bagian_1 > Jadi, berikut adalah 5 langkah selanjutnya yang perlu Anda simak untuk menolong Anda tidak ikut terjebak dalam gerakan pengembangan diri. Selamat menyimak. In Christ, Yulia Oeniyati < yulia@in-christ.net > http://reformed.sabda.org http://fb.sabda.org/reformed MELAWAN KEBOHONGAN GERAKAN PENGEMBANGAN DIRI (Bag. 2) 3. Pelajarilah Kredo-Kredo Gereja Gereja-gereja Injili cenderung mengabaikan kredo (noncreedal), karena mereka meyakini bahwa semua sistim kepercayaan atau pengakuan iman atau yang disebut kredo itu pasti tunduk pada Alkitab. Tentu saja Alkitab selalu diutamakan, tetapi mengabaikan kredo-kredo tradisional akan mengulangi kesalahan lama -- seperti peribahasa "membuang bayi bersama air bekas mandinya" [membuang sesuatu yang berharga bersama dengan sesuatu yang tidak diinginkan, Red.]. Parahnya, dengan mengabaikan kredo-kredo tersebut, kita membuat asumsi yang arogan bahwa seakan-akan Roh Kudus sudah meninggalkan gereja setelah kematian para Rasul. Pengakuan Iman yang resmi memiliki peranan penting bagi pertumbuhan iman orang percaya. Kredo-kredo tradisional membantu mempertahankan pengajaran (doktrin) yang terdahulu (orthodoksi). Kredo-kredo tersebut tidak dituliskan oleh satu atau dua orang untuk mengungkapkan pandangan pribadi tentang doktrin atau tentang Alkitab; dan juga tidak dituliskan untuk mengguncangkan iman orang-orang percaya yang tanpa kompromi dan tak gentar sedang dalam pencarian penafsiran terakhir tentang hakikat dan arti Ketuhanan, yang akhir-akhir ini sering menjadi persoalan dalam kaitannya dengan karya-karya teologia masa kini, khususnya dari aliran liberal. Kredo-kredo ini dituliskan untuk menguji kebenaran Alkitab dan untuk menyelamatkan gereja dari aliran sesat dan kemurtadan. Kredo-kredo tersebut dirumuskan dengan cara mengumpulkan pemimpin-pemimpin gereja yang ahli dan pakar-pakar Alkitab, lalu mereka berdebat tentang masalah serius atau perselisihan yang timbul dalam gereja. Konsili Nicea, contohnya, bertemu pada tahun 325 untuk menyelesaikan perselisihan pendapat tentang hakikat ke-Tri-Tunggalan Allah dan ke-Allahan Kristus. Alhasil, aliran sesat `Arianisme` (yang menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah sosok yang diciptakan sehingga sesungguhnya Dia bukanlah Allah), bisa dikalahkan. Karena Konsili Nicea, kita secara tegas saat ini menyatakan bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah "Anak Allah yang tunggal, yang lahir dari Sang Bapa pada kekekalan. Allah dari Allah, terang dari terang. Allah yang sejati dari Allah yang sejati, diperanakkan, bukan dibuat, sehakekat dengan Sang Bapa." Kata-kata [dalam Pengakuan Iman Nicea] ini, kaya dengan pandangan teologis dan pernyataan mulia tentang keberadaan kekal Yesus yang memunyai hakikat yang sama (bahasa Yunaninya: homoousios) dengan Allah, seharusnya tidak dibuang atau diabaikan oleh kaum injili modern walaupun istilah itu tidak terdapat dalam 66 kitab Alkitab kanonika. Konsili Nicea, dan konsili-konsili yang mengikutinya, menghentikan aliran-aliran sesat yang menyangkal Trinitas, ke-Allahan Roh Kudus, hakikat Kristus sebagai Allah yang sempurna dan manusia yang sempurna, dan kebangkitan badaniah Yesus. Ketika kita mengabaikan kredo-kredo yang dirumuskan konsili-konsili ini, maka kita sendiri yang akan menanggung risikonya. Sebagai contoh, perhatikanlah karya Douglas F. Ottati, guru besar Teologia pada Union Theological Seminary di Virginia. Ottati menyatakan bahwa Perjanjian Baru bukanlah sejarah, tetapi "tematisasi" yang bersifat naratif dan simbolik. Yesus Kristus, dalam konteks ini, merupakan "bentuk simbolik," seorang "perantara wahyu yang umum," suatu "gambaran karunia," atau seorang "manusia yang berbentuk Allah (God-shaped man)". Ottati berbicara melawan Kredo Khalsedon pada tahun 451, bahwa "Yesus Kristus sesungguhnya adalah Allah dan sesungguhnya adalah manusia" sebagai doktrin yang cacat. Ottati dan yang lainnya tampaknya merasa bebas menafsirkan ulang Kitab Suci untuk mencapai tujuan mereka. Pekerjaan mereka cukup meyakinkan sehingga mereka dapat mengubah kepercayaan banyak orang untuk mengikuti ajaran mereka. Tetapi mereka tidak dapat merumuskan kembali kredo-kredo kuno. Bagaimana Anda menafsirkan ulang pernyataan bahwa Yesus Kristus diperanakkan sang Bapa? Kelebihan dari kredo-kredo tersebut adalah sifatnya yang tegas dan lugas. Kredo-kredo tersebut harus diterima atau disangkal, dan Ottati telah menyangkalnya. Dengan penyangkalannya, dia menunjukkan bahwa dia telah berpisah dengan kekristenan ortodoksi, berpisah dengan kekristenan dari segala abad, berpisah dengan pewahyuan kebenaran dari Allah. Dengan mempelajari kredo-kredo tersebut kita juga diingatkan akan apa yang dituliskan oleh Pengkhotbah, "tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari." [18] Bidat Gnostisisme, Arianisme, Pelagianisme, dan Maniisme berada di tengah-tengah kita saat ini. Kita dapat menemukan mereka dalam karya-karya para penulis pengembangan diri dan karya-karya para teolog Liberal yang tetap menyebut diri mereka Kristen sementara terus menyembah dewa-dewa dari agama pemuja berhala, dan termasuk dalam ilah-ilah tersebut adalah diri mereka sendiri. Bapa- Bapa Gereja kita telah berjuang melawan aliran-aliran sesat yang sama. Dalam setiap generasi, sang ular tetaplah sama walaupun mungkin berganti kulit. Lagi-lagi, kita terhubung dengan kekristenan masa lampau, sama seperti kekristenan masa depan akan tersambung dengan kita dalam perjuangan keras melawan musuh kita bersama. Kredo-kredo tersebut mengingatkan bahwa perang ini bukanlah perang baru, dan pengakuan-pengakuan tersebut mendorong kita untuk tetap setia dan membawa senjata kita setiap waktu. Akhirnya, kita perlu mengingat bahwa pengakuan-pengakuan iman, seperti Pengakuan Iman Rasuli, pada bagian awalnya tertulis: "Kami percaya," bukan "Aku percaya." Menurut Dr. Wiliam Barclay, ketika mengucapkan pengakuan-pengakuan tersebut, kita mengidentifikasikan diri kita dengan iman dan pengalaman global dari gereja. [19] Hal ini telah lama menjadi sesuatu yang mengganggu kaum injili, karena mereka berpusat pada pengalaman iman pribadi dalam Kristus dan mengabaikan pengalaman iman di dalam komunitas orang beriman. Meskipun benar bahwa setiap individu perlu menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, penekanan yang berlebihan pada individualisme yang radikal membuat gerakan injili terbuka pada tuduhan gnostisisme. Kita perlu saling mengingatkan dan juga mengingatkan diri kita sendiri bahwa Penyataan Allah tentang diri-Nya "diturunkan kepada kita lewat komunitas yang dibentuk dalam perjanjian dengan Allah." [20] Tidak sia-sia orang Kristen diperintahkan untuk saling berkumpul untuk menyembah dan bekerja dalam komunitas. Penulis surat Ibrani, dengan gaya penulisan penulis Yahudi yang kental pada saat itu, memperingatkan tentang individualisme, tentang roh perpecahan. Orang-orang percaya diperintahkan untuk menyembah bersama-sama. Mereka yang tidak melakukannya akhirnya akan jatuh dan terhilang. [21] 4. Mempelajari Apologetika C.S. Lewis pertama-tama dituntun melalui proses pemikiran dan logika untuk percaya kepada Allah dan kemudian beriman kepada Kristus. Dia menghabiskan hidupnya mempertahankan imannya yang secara jelas dan tegas menyuarakan ketetapan hati yang logis dan kebenaran yang meyakinkan tentang imannya. Apologetikanya "kuat". Pembelaannya terhadap kekristenan sangat teguh, penuh kekuatan dan terang-terangan. Penjelasannya bebas dari istilah-istilah pietisme dan evangelisme yang tidak mencerahkan malah "menakutkan" para skeptik. Dengan menekankan dan menunjukkan bahwa kekristenan masuk akal, Lewis, semasa hidupnya maupun melalui buku-bukunya, mampu memenangkan ribuan orang bagi Kristus. Pelajaran apologetika Kristen -- pembelaan yang logis dari kepercayaan kekristenan -- tidak hanya dapat membantu kita menjangkau mereka yang belum diselamatkan, tetapi juga dapat menolong kita untuk mendukung pembelaan kita melawan gerakan pengembangan diri dan modernitas-modernitas dalam bentuk lain. Tetapi mengapa ada banyak orang Kristen modern, khususnya orang-orang injili, yang tampaknya salah sangka dengan apologetika dan takut berdiskusi tentang hal yang mempertanyakan kepercayaan kita? Apakah mereka menganggap bahwa kekristenan menentang logika dan akal, bahwa kekristenan tidak dapat dibuktikan dan harus diterima dengan iman saja? Apakah mereka mengira bahwa jika Anda mempertanyakan kekristenan, Anda tidak mungkin memercayainya? Apakah mereka melihat apologetika sebagai penyangkalan akan peranan iman dalam kepercayaan? Keengganan kita untuk terlibat dalam pembelaan yang logis dan rasional tentang kepercayaan kita adalah perkembangan yang cukup baru dalam sejarah kekristenan. Menurut teolog Colin Brown, yang telah menulis tentang kekristenan dan filsafat secara mendalam, pada masa awal kekristenan, baik orang Kristen maupun musuh-musuh orang Kristen menggunakan logika untuk membela cara pandang dunia mereka. [22] Akan tetapi, sejak munculnya karya teolog-teolog seperti Soren Kierkegaard dan Karl Barth, banyak orang kristen, baik kaum intelektual maupun awam, mulai menyatakan pendapat bahwa manusia tidak bisa berbuat apa-apa secara rasional untuk mencari Allah. Yang dapat dilakukan manusia untuk menyelamatkan dirinya sendiri adalah membuat loncatan iman yang irasional untuk mencapai apa yang Francis Schaeffer sebut "kisah yang teratas" dari kepercayaan nonrasional. Menurut pandangan ini, percaya kepada Allah tidak didasari oleh akal. Kita percaya, karena jika tidak percaya sama artinya dengan tidak berpengharapan; kita percaya bukan karena kepercayaan tersebut adalah kebenaran, bukan karena kepercayaan tersebut masuk akal, bukan pula karena kepercayaan tersebut memberikan penjelasan konsisten yang logis tentang sejarah manusia dan tentu saja, tentang kenyataan. Akan tetapi, iman bukanlah emosi yang tidak melibatkan pemikiran dan yang tidak menggunakan akal. Ketika penulis surat Ibrani mengatakan pada kita, "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat," [23] dia tidak mengatakan bahwa iman itu irasional. Dan jika kita memerhatikan hakikat iman dalam kehidupan kita sehari-hari, kita akan menyadari bahwa iman didasari oleh akal, pengetahuan, dan pengalaman -- bukan keinginan orang putus asa untuk memercayai yang tidak dapat dipercayai hanya untuk menyelamatkan diri dari alam raya yang nihilistik. Ketika saya pergi tidur pada malam hari, saya beriman bahwa matahari akan terbit esok pagi karena saya memunyai pengetahuan tentang cara kerja alam semesta. Saya beriman bahwa saya dapat menemukan jalan saya ke toko bahan-bahan makanan karena saya mengetahui geografi kota saya. Kepercayaan saya kepada tindakan-tindakan yang dilakukan teman-teman akrab saya berasal dari pengetahuan saya tentang mereka. Semakin saya mengenal seseorang dengan lebih baik, semakin saya akan memercayai orang itu. Seseorang yang selalu terbukti dapat dipercaya akan membuahkan kepercayaan saya, bahkan saat dia menceritakan kepada saya sesuatu yang kurang masuk akal. Hal serupa, semakin saya mengenal Allah, semakin saya beriman. Semakin banyak saya bertanya dan menemukan bahwa jawaban-jawaban Kristen benar, bukannya bertambah lemah, iman saya justru akan semakin bertambah kuat. Winfried Corduan, seorang apolog Kristen, menegaskan, "Kita jangan pernah takut menyelidiki kebenaran," [24] dia menekankan, "Jika kekristenan benar, maka kekristenan bisa melawan pertanyaan terberat yang kita ajukan kepadanya. Jika kekristenan tidak benar, kita perlu menolaknya." [25] Tentu saja, Corduan tidak takut untuk mempertanyakan apa yang ia percayai karena dia yakin akan kebenarannya. Saya merasa bahwa melakukan pendalaman apologetika Kristen akan membantu kita memikirkan mengapa kita percaya kepada Allah, mengapa kita percaya kepada Kristus, dan mengapa kita memilih berserah kepada otoritas Alkitab. Apologetika membantu kita menguatkan kepercayaan kita dan memberikan kita amunisi untuk melindungi diri kita sendiri dan gereja kita melawan serangan-serangan pemikiran pengembangan diri. 5. Belajar Untuk Menerima Paradoks Salah satu bahaya dari pengembangan diri adalah gerakan ini sedikit menyerupai kekristenan walaupun merupakan bentuk yang hanya tampak di permukaan -- luwes dan menghilangkan unsur-unsur berbahaya, gelap, misterius dan yang berbobot dari kekristenan yang sesungguhnya. Kekristenan pengembangan diri mengajarkan pengampunan diri, pengakuan diri, dan penghargaan diri. Sosok Kristus, kalaupun Dia masuk ke dalam agama pengembangan diri, berperan sebagai saudara atau teman yang mencintai dan mendukung kita. Pengembangan diri bukan saja agama penghiburan, perasaan baik, dan kenyamanan tetapi juga sebagai agama yang menyenangkan sisi kemalasan kita karena kita tidak memerlukan baik pemuridan yang harus membayar harga, maupun dorongan kekuatan intelektual. Kita tidak perlu berserah pada ke-Tuhanan Kristus; kita tidak perlu belajar untuk menunjukkan bahwa diri kita diakui atau tidak; kita hanya perlu percaya bahwa kita layak menerima semua kebaikan dan keilahian setiap saat. Akan tetapi, agama pengembangan diri tentu saja gagal untuk memuaskan manusia. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa pangsa pasar buku-buku baru tentang pengembangan diri hampir tidak ada batasnya. Orang-orang terus berdatangan untuk mencari buku-buku baru, karena buku-buku yang lama tidak dapat memenuhi impian mereka. Pengembangan diri, baik terang-terangan dalam bentuk sekuler maupun diam-diam dalam wujud "Kristen", tidak dapat memuaskan manusia, karena seperti yang dijelaskan C.S. Lewis, "Tidak ada kepercayaan gampangan yang dapat bertahan. Walaupun kita kacau dan bingung, tetapi kita secara samar- samar tetap tahu dalam hati kita bahwa tidak ada hal-hal yang selalu menyenangkan kita yang memunyai kenyataan secara obyektif. Hakikatnya, kebenaran perlu memunyai ujung-ujung yang tajam dan tepi-tepi yang kasar." [26] Selain itu, sebagaimana hal yang sangat menyenangkan, dijelaskan oleh Lewis, bahwa hal-hal yang benar-benar nyata adalah hal-hal yang aneh. Hal-hal yang nyata bukanlah seperti hal-hal yang ada dalam bayangan Anda. Kekristenan memunyai keanehan yang dimiliki oleh hal-hal yang nyata. Kekristenan tidaklah teratur. Kekristenan tidaklah sederhana. Kekristenan bukanlah sesuatu yang Anda akan harapkan. Kekristenan penuh dengan kegelapan, misteri dan paradoks. Orang-orang percaya zaman ini perlu menerima paradoks-paradoks kekristenan jika mereka ingin merasakan kepenuhan dalam kebenaran Allah dan jika mereka ingin sungguh-sungguh dipersenjatai untuk melawan penjelasan-penjelasan gampangan, jawaban-jawaban tidak berbobot, cara pandang dunia yang sederhana yang ditawarkan oleh gerakan pengembangan diri. Ketika pengembangan diri mengatakan kepada kita bahwa kita berhak untuk mendahulukan diri kita, kita perlu mengingat perkataan paradoks Kristus, "Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir." [27] Ketika pengembangan diri mengatakan kepada kita bahwa kitalah yang empunya diri kita, kita perlu mengingat: "Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya." [28] Kekristenan penuh dengan paradoks-paradoks seperti di atas. Kita memunyai Allah yang Satu, namun Tiga. Kita mengikuti Tuhan yang sepenuhnya manusia dan sepenuhnya Allah. Kita percaya bahwa untuk hidup sungguh-sungguh, kita perlu mati; untuk menerima, kita perlu memberi; untuk ditinggikan, kita perlu merendahkan diri. Mungkin yang paling meresahkan -- yang tentunya adalah batu sandungan besar bagi banyak pemikiran modern -- adalah kepercayaan pokok Kristen bahwa untuk dipulihkan, kita perlu dibalut oleh darah. Bukan dengan sembarang darah, namun dengan darah ketidakberdosaan, darah kesempurnaan, darah kurban yang mau untuk dikurbankan. Apakah yang ditawarkan pengembangan diri dibandingkan dengan misteri-misteri besar yang selama berabad-abad telah menganugerahkan hormat dan mencerahkan serta meninggikan pria dan wanita yang bersedia dipermalukan, disalah-artikan dan dianiaya demi para penulis misteri tersebut? 6. Mengevaluasi Buku-Buku Kehidupan Kristen Setiap toko buku Kristen yang saya kunjungi memunyai bagian khusus untuk buku-buku "cara hidup Kristen". Karena kategori buku tersebut banyak membahas topik-topik seperti pernikahan, pengasuhan anak, hidup bujang, perceraian, pemulihan, investasi, dan kesuksesan, buku-buku tersebut memunyai fungsi yang sama sekaligus menekankan kebutuhan manusia yang sama dengan buku pengembangan diri sekuler. Banyak dari buku-buku tersebut yang menawarkan pemahaman dan informasi-informasi yang berguna, sementara sisanya jatuh ke dalam jebakan yang sama, dan meneruskan separuh-kebenaran dan kebohongan buku-buku pengembangan diri. Akan tetapi buku yang terbaik pun, yang tidak bisa tidak berfokus pada diri sendiri, masih jauh dari contoh-contoh yang diberikan Alkitab dan perintah-perintah kepada orang Kristen untuk takluk, memberi diri sendiri, dan mengasihi. Jadi bagaimana kita melindungi diri kita dari pandangan penulis-penulis pengembangan diri Kristen yang memutarbalikkan fakta, seraya memperlengkapi diri kita dengan pandangan-padangan atau pikiran-pikiran yang dapat membantu kita menjadi hamba Kristus yang lebih baik? Berikut ini, saya mengajukan beberapa saran: a. Berhati-hatilah terhadap kebohongan-kebohongan dari gerakan pengembangan diri. Ketika Anda melihat-lihat buku, cobalah menyelidiki: - apakah penulisnya menganjurkan kebahagiaan, sukses, atau kebanggaan diri sebagai tujuan akhir? - Apakah penulis menggunakan Allah, kekristenan, dan Kitab Suci untuk pemenuhan kebutuhan manusia? - Apakah penulis mengakui keadaan manusia yang berdosa atau menggambarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik? - Apakah penulis mengakui tuntutan Allah atas hidup kita sejak dari semula atau apakah dia menganggap kita adalah pemilik diri kita sendiri? - Apakah akhir dari buku tersebut bertujuan untuk memuliakan Allah atau pengembangan diri? b. Bacalah ulasan-ulasan kritis oleh otoritas yang diakui. Jangan menganggap hanya karena suatu buku ditulis oleh penulis yang Anda kagumi atau diterbitkan oleh penerbit Kristen maka pengajaran-pengajaran buku-buku tersebut seutuhnya kristen sejati. Selidikilah apakah teolog-teolog atau pakar-pakar Alkitab terkenal pernah mengulas buku tersebut. Kemudian perhatikanlah apa yang mereka katakan tentang buku ini dari pandangan pengajaran Kristen konvensional dan pewahyuan firman Allah. c. Latihlah pemikiran kritis Anda. Jangan menganggap bahwa sebuah buku adalah buku Kristen hanya karena Anda menemukannya di toko buku Kristen. Toko-toko buku Kristen di kota saya menjual buku tentang komentar politik Rush Limbaugh, buku cara mencari uang karya Zig Ziglar, dan buku semi-rohani karya Scott Peck. Saya telah melihat buku yang isinya tidak lebih dari caci maki pribadi terhadap Hillary Clinton, cerita tentang pengalaman-pengalaman di ujung maut, dua belas langkah-dua belas langkah pemulihan, strategi-strategi berbicara positif kepada diri sendiri, dan caci-maki politis diletakkan tepat di samping pedoman-pedoman pendalaman Alkitab. Buku-buku ini tidak memiliki setitikpun nilai kekristenan sejati, walaupun dijual olah distributor-distributor buku Kristen dan dibaca oleh orang-orang yang mengaku sebagai Kristen. d. Berserahlah pada otoritas Alkitab. Ketika Anda menganalisa karya-karya seputar cara hidup Kristen, kembalilah kepada standar ukuran kita, yaitu firman Allah. Selain itu, jika Anda mempelajari Alkitab dengan cara dan dengan peralatan yang dibahas sebelumnya dalam artikel ini, Anda tidak akan mengalami kesulitan membedakan bidah atau aliran sesat, distorsi, dan kebohongan yang diperkenalkan dalam buku- buku pengembangan diri, baik yang rohani maupun yang bukan. 7. Ingatlah siapa musuh kita Penyair Perancis, Charles Baudelaire menulis bahwa siasat terpintar Iblis adalah meyakinkan kita bahwa dia tidak ada. Kita perlu sungguh-sungguh mengingat peringatan Baudelaire ini ketika mengevaluasi bahan-bahan pengembangan diri. Penekanan dari gerakan pengembangan diri bahwa masalah dan kebutuhan-kebutuhan kita disebabkan oleh masalah-masalah psikologi, sosiologi, atau genetik tidaklah lebih dari usaha Iblis untuk meyakinkan kita bahwa dia tidak ada; bahwa dosa dan kejahatan adalah konstruksi-konstruksi masa primitif dalam sejarah umat manusia. Akan tetapi, di balik pesan hangat dan menyejukkan yang disampaikan oleh pengembangan diri -- bahkan yang tampaknya berbau Kristen -- terdapat sosok yang Yesus gambarkan sebagai "pembunuh dan pembenci kebenaran." Tidak ada setitik kebenaran apapun terdapat padanya. Jika ia berdusta, hal itu wajar baginya; karena ia adalah bapa para pendusta." [29] Kebohongan Iblis dalam gerakan pengembangan diri bekerja saat ini untuk menumbangkan Gereja Kristus. Untuk menghentikan pesan-pesan penuh bujukan dari pengembangan diri, kita perlu menganggap mereka sebagai kebohongan-kebohongan dan mengingat dari mana mereka berasal dan siapa musuh kita. --end-- Catatan kaki: 18. Pengkhotbah 1:9. 19. William Barclay, The Apostles` Creed for Everyman (New York: Harper & Row, 1967), p.10. 20. The Book of Common Prayer (New York): The Seabury Press, 1977), p.846. 21. Ibrani 10:24-25. Lihat pula Craig S. Keener, The IVP Bible Background Commentary, New Testament (Downers Grove, I11inois: InterVarsity Press, 1993), pp.670-71. 22. Colin Brown, Christianity & Western Thought, Vol.1 (Downers Grove, I11inois: InterVarsity Press, 1990), p.99. 23. Ibrani 11:1. 24. Winfried Corduan, Reasonable Faith: Basic Christian Apologetics (Nashville, Tennessee: Broadman & Holman, 1993), p.21. 25. Ibid., p.22. 26. C.S. Lewis, Letters to Malcolm: Chiefly on Prayer (New York: Harcourt Brace & Co., 1992), p.76. 27. Matius 20:16. 28. Matius 10:39. 29. Yohanes 8:44. ---------- Diterjemahkan dari: Judul buku: Help Yourself; Today`s Obsession with Satan`s Oldest Lie Judul artikel: Melawan Kebohongan Gerakan Pengembangan Diri Penulis: Stephanie Forbes Penerbit: Crossway Book, Wheaton Illinois 1996 Halaman: 185 -- 192 Kontak Redaksi: < reformed(at)sabda.org > Redaksi: Yulia Oeniyati, Novita Yuniarti, Yonathan Sigit, dan Desi Rianto (c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/reformed > Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(at)hub.xc.org > Untuk berhenti: < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |