Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/118

e-Reformed edisi 118 (28-2-2010)

Percaya Kepada Allah dalam Segala Sesuatu -- (Bagian 2)

______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________

  Dear e-Reformed Netters,

  Berikut ini adalah bagian kedua dari artikel yang dikirimkan 
  sebelumnya. Harap kami supaya setelah Anda selesai membaca seluruh 
  artikel ini, Anda dapat mengambil kesimpulan bahwa hidup menurut 
  hikmat Allah bukan merupakan pilihan, tapi kepastian. Berpalinglah 
  dari hikmat duniawi yang pada akhirnya hanya menjanjikan kekosongan. 
  Kembalilah kepada Tuhan, karena hanya di dalam Dialah Anda akan 
  dapat menemukan arti kekayaan hidup yang sesungguhnya.

  Selamat membaca.

  In Christ,
  Yulia
  http://reformed.sabda.org
  http://fb.sabda.org/reformed

----------------------------------------------------------------------

              PERCAYA KEPADA ALLAH DI DALAM SEGALA SESUATU
                               (Bagian 2)

  Catatan-catatan Mental

  Saya yakin bahwa siapa pun yang bertindak dalam iman akan menemukan 
  bahwa Allah dapat dipercaya untuk keselamatannya. Tetapi, itu 
  hanyalah permulaan. Langkah berikutnya adalah percaya kepada Allah 
  dalam segala keputusan hidup sehari-hari. Melalui tulisan ini, saya 
  telah membandingkan dua jalan, pertama berdasarkan hikmat manusia, 
  yang lain berdasarkan hikmat Tuhan. Saya telah melakukan yang 
  terbaik untuk mengembangkan sebuah kasus menarik mengenai keunggulan 
  hikmat Allah.

  Saya telah mencoba meyakinkan Anda bahwa mengambil inisiatif adalah 
  lebih baik daripada bersikap pasif, malas, atau fatalistis; bahwa 
  berbuat baik mengalahkan tindakan memusatkan diri sendiri yang 
  mematirasakan jiwa kita; bahwa kedisiplinan diri, meskipun sulit 
  untuk dibangun, memberikan banyak keuntungan; bahwa mengatakan 
  kebenaran dengan kasih adalah lebih baik daripada berkelit dalam 
  kebohongan; bahwa memilih teman dengan bijaksana adalah kunci 
  penting untuk bertumbuh dalam hikmat; bahwa menikah dengan baik 
  adalah dasar dari sebuah pernikahan yang langgeng; bahwa tempaan 
  keluarga yang kuat adalah cara terbaik untuk memberikan warisan 
  positif dari satu generasi ke generasi berikut; bahwa menumbuhkan 
  kasih sayang adalah cara yang ampuh untuk mengubah dunia; dan bahwa 
  pengelolaan kemarahan secara konstruktif penting untuk kebahagiaan 
  pribadi dan keharmonisan hubungan.

  Kitab Amsal telah banyak mengajarkan kepada saya tentang bagaimana 
  menjalani hidup saya, dan saya berharap saya telah efektif dalam 
  menyampaikan apa yang telah saya pelajari. Tetapi masih tersisa 
  pertanyaan, akankah kita memilih jalan Tuhan di berbagai 
  persimpangan kehidupan sehari-hari? Akankah kita memercayai Allah 
  secara cukup untuk menyesuaikan kehendak kita dengan jalan-Nya?

  Sudah hampir tiga puluh tahun sejak saya memutuskan untuk mencoba 
  memercayakan seluruh hidup saya kepada Allah, dan sekarang saya 
  semakin yakin bahwa Allah dapat dipercaya lebih dari yang saya 
  pernah lakukan dalam hidup saya. Ketika saya melihat kembali ke 
  tahun-tahun lampau, saya tidak menyesali saat-saat ketika saya 
  mengikuti jalan Tuhan. Tidak satu pun. Kadang-kadang sulit, kadang-
  kadang membingungkan, tetapi selalu, pada akhirnya, saya berbahagia 
  telah memilih hikmat Allah.

  Pada sisi lain, saya bisa memenuhi berjilid-jilid catatan dengan 
  penyesalan yang saya bawa ketika saya sengaja memilih jalan lain. 
  Saya teringat satu catatan yang disebut "Catatan Saya yang Sangat 
  Bodoh", berisi kenangan segala sesuatu pada saat saya berada di 
  persimpangan kritis dalam hidup, dan saya memilih jalan yang bodoh. 
  Setiap kali, saya mengakhirinya dengan berkata, "Itu sangat bodoh. 
  Lihatlah akibatnya. Lihatlah orang yang telah saya sakiti. Lihatlah 
  rasa bersalah yang saya bawa. Lihatlah waktu saya yang telah 
  terhilang. Menolak mengikuti cara Allah itu bodoh sekali."

  Seperti yang saya katakan pada bab pertama buku ini, kita tidak 
  dilahirkan bijak; kita dilahirkan dengan kebodohan dalam hati dan 
  pikiran kita. Salah satu tugas hidup yang utama adalah keluar dari 
  kebodohan dan bertumbuh ke arah kebijaksanaan. Belajar dari 
  kesalahan merupakan bagian dari proses pertumbuhan. Oleh karena itu, 
  setiap kali saya mendapat pelajaran dari pilihan bodoh saya, yang 
  memungkinkan saya untuk membuat pilihan yang bijaksana kali 
  berikutnya, saya secara mental menyimpan pilihan-pilihan tersebut ke 
  dalam "Catatan Saya yang Sangat Cerdas". Membaca dan membandingkan 
  dua catatan tersebut merupakan salah satu cara paling efektif untuk 
  membangun kepercayaan di dalam Tuhan. Jelas sekali bahwa setiap saya 
  berjalan di jalan Allah, hidup saya menjadi lebih baik. Setiap saya 
  percaya kepada-Nya dengan menaati perintah-Nya, bertindak sesuai 
  kebijaksanaan-Nya, atau berserah pada bimbingan-Nya, Ia membuktikan 
  kelayakan-Nya untuk saya percayai: kebijaksanaan-Nya terbukti, 
  perintah-Nya adil, dan bimbingan-Nya membantu saya. Akhirnya, saya 
  bisa mengatakan tanpa ragu-ragu, "Saya percaya Allah dengan segenap 
  hatiku! Saya tidak sedang membual atau membuat pernyataan palsu. 
  Saya percaya kepada Tuhan karena Ia telah membuktikan diri-Nya dapat 
  dipercaya."

  Janganlah Bersandar pada Pengertianmu Sendiri

  Apa arti bagian kedua dari Amsal 3:5-6? Ketika Alkitab memerintahkan 
  kita "janganlah bersandar pada pengertian kita sendiri," apakah itu 
  berarti kita harus membuang jauh otak kita untuk tumbuh sebagai 
  orang Kristen? Apakah ini berarti kita harus mengabaikan kecerdasan 
  kita dan menganggap bahwa kita tidak memiliki pemahaman apa pun, 
  bahwa kita tidak belajar apa pun sepanjang hidup kita? Tentu saja 
  tidak. Tapi itu peringatan bagi kita untuk waspada terhadap reaksi 
  refleksif manusiawi kita terhadap situasi kehidupan yang kompleks. 
  Kita akui atau tidak, perspektif manusia selalu terbatas, dan 
  intuisi alamiah selalu sedikit meragukan. Sejujurnya, kita semua 
  akan mengacaukan hidup kita ke tingkat tertentu jika kita hanya 
  mengikuti pemahaman kita sendiri. Kita membutuhkan masukan dari 
  Allah dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari-
  hari.

  Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel berjudul ",178 Detik untuk 
  Hidup." Artikel ini bercerita tentang dua puluh orang pilot yang 
  cakap tetapi yang tidak pernah menerima pelatihan simulasi. Masing-
  masing dari kedua puluh pilot ini diikutsertakan dalam simulasi 
  penerbangan dan diperintahkan untuk melakukan apa saja yang bisa 
  mereka lakukan agar pesawat terbang tetap terkendali di dalam cuaca 
  berawan tebal, gelap, dan berbadai. Artikel tersebut menyatakan 
  bahwa kedua puluh pilot itu "jatuh dan membunuh diri mereka sendiri" 
  dalam waktu rata- rata 178 detik. Dibutuhkan waktu kurang dari 3 
  menit bagi para pilot yang memiliki intuisi yang terlatih ini untuk 
  menghancurkan diri mereka sendiri segera sesudah mereka kehilangan 
  titik acuan visual mereka.

  Beberapa waktu lalu, saya sedang menjadi kopilot sebuah pesawat 
  dalam perjalanan malam kembali ke Chicago dari Pesisir Timur AS. 
  Sementara pilot yang bertugas sedang sibuk memasukkan data ke dalam 
  komputer, saya melakukan lepas landas dan menambah ketinggian, 
  menjaga agar pesawat tetap lurus dan datar dan berada di jalurnya. 
  Semua berjalan lancar sampai kami memasuki lapisan awan yang sangat 
  tebal. Tanpa adanya titik acuan di luar pesawat, dengan tenang saya 
  fokus pada peralatan di panel kokpit dan membuat koreksi apa saja 
  yang diperintahkan. Tetapi, beberapa menit setelah memasuki awan 
  itu, peralatan-peralatan tersebut memerintahkan saya untuk membuat 
  koreksi atas semua kesalahan saya; peralatan-peralatan tersebut 
  menunjukkan bahwa kami perlahan-lahan berbelok ke kiri. Namun, saya 
  tahu bahwa saya tidak mengubah kendali sedikit pun, dan saya yakin 
  bahwa tidak ada pergeseran atau turbulensi angin apa pun. Jadi, saya 
  duduk dan berkata kepada diri sendiri, "Tidak ada keharusan kita 
  untuk berbelok ke kiri." Dan saya tidak melakukan koreksi yang 
  diperintahkan.

  Alasan saya sangat sederhana: Saya telah mengemudikan pesawat 
  terbang sejak saya berumur lima belas tahun -- pesawat biasa, 
  pesawat amfibi, pesawat bermesin satu, pesawat bermesin ganda, 
  pesawat berbaling- baling turbo, pesawat jet, bahkan helikopter --
  tanpa satu pun kecelakaan atau nyaris kecelakaan. Saya menganggap 
  bahwa karena saya telah melakukan begitu banyak penerbangan dan 
  mempertahankan catatan yang baik, saya jelas telah mengembangkan 
  intuisi yang andal menyangkut gerakan pesawat. Jadi, pada malam itu, 
  saya sengaja memilih percaya pada intuisi saya sendiri dan bukan 
  tanda-tanda yang tampak pada peralatan di panel kokpit. Saya 
  berkata, "Saya tahu lebih baik. Jika harus memilih salah satu di 
  antara percaya pada peralatan atau intuisi pribadi, saya akan 
  percaya pada intuisi saya."

  Pilihan yang buruk. Untung saja, pada waktu itu pilot melihat dari 
  petanya, memeriksa peralatan, meraih kendali, dan segera membuat 
  koreksi. Dia melirik seolah-olah bertanya, "Apa kamu gila?" Kemudian 
  dia tersenyum kecut kepada saya, menunjuk ke peralatan tersebut, dan 
  berkata, "Percayalah pada alat ini. Kita berdua akan hidup lebih 
  lama." Selama sisa penerbangan itu saya katakan kepada Anda bahwa 
  saya menatap lekat-lekat ke peralatan-peralatan tersebut, dan saya 
  membuat setiap koreksi kecil yang ditunjukkan oleh panel.

  Ketika penulis Kitab Amsal mengatakan kepada kita untuk tidak 
  bersandar pada pengertian kita sendiri, dia menunjukkan bahwa 
  secerdas atau sebanyak apa pun pengalaman hidup kita, kita masih 
  perlu menyadari bahwa penilaian manusia selalu terbatas dan kadang-
  kadang salah. Kadang-kadang gagasan terbaik kita tentang apa yang 
  seharusnya dikatakan atau dilakukan ternyata keliru, berbahaya, 
  bahkan merusak. Ketika sampai pada keputusan penting dalam hidup 
  kita, kita hampir selalu membutuhkan pemahaman yang lebih dalam dan 
  perspektif yang lebih luas dari sekadar yang ditawarkan oleh hikmat 
  manusia kepada kita.

  Apa yang kita sangat butuhkan adalah pikiran Tuhan mengenai hal-hal 
  serius dalam hidup ini. Ia menawarkannya kepada kita melalui ajaran 
  firman-Nya dan bimbingan Roh-Nya. Tugas kita bukanlah untuk 
  mempertanyakan atau menganggap bahwa kita sudah tahu lebih baik, 
  seperti pilot yang terlalu percaya diri yang menomorduakan petunjuk 
  dari peralatan-peralatannya, tetapi untuk percaya bahwa Allah 
  mengetahui lebih baik bagaimana mengisi hidup kita. Sebuah aturan 
  rohani yang barangkali berguna: "Jika ragu, selalu, selalu, dan 
  selalu percayalah pada hikmat Allah."

  Akuilah Dia dalam Segala Lakumu

  Mari kita langsung pada pokok frasa berikut ini. Dalam konteks 
  kutipan pendek ini, "mengakui Allah" berarti mengakui kebijaksanaan, 
  wawasan, dan pemahaman-Nya. Itulah yang dibahas dalam buku ini. "Di 
  dalam semua laku kita" berarti ... yah, di "semua" laku kita. Kita 
  dapat diyakinkan bahwa setiap bidang kehidupan yang kita putuskan 
  untuk kita kelola tanpa menggunakan hikmat, wawasan, dan pemahaman 
  dari Allah akan berakhir dalam masalah. Setiap bidang yang kita beri 
  tanda "Dilarang Masuk Tanpa Izin" dan mencoba mengabaikan Tuhan, 
  tampaknya akan menjadi bidang yang membahayakan kualitas hidup kita 
  dan mengancam orang-orang di sekitar kita. Untuk menenggelamkan 
  sebuah kapal tidak diperlukan banyak lubang, cukup satu saja. Dan 
  satu lubang itu pun tidak harus berukuran besar.

  Beberapa orang melihat ambisi karir mereka, yang lain memandang
  seksualitas, sebagian lagi pada uang, pilihan teman-teman, atau
  kegiatan pada waktu luang, dan mereka berkata, "Aku mengetahui semua
  tentang kebijaksanaan-Mu, Tuhan. Aku mengetahui apa yang Alkitab
  katakan tentang hal ini. Aku mengetahui bagaimana Roh-Mu mendorongku.
  Tetapi, jawabanku adalah tidak. Aku tidak menginginkan nasihat-Mu. Aku
  tidak menginginkan kebijaksanaan-Mu. Aku sendiri yang akan mengatur
  hal ini."

  Ingatlah bab tentang inisiatif? Ingatlah orang-orang yang menepuk 
  punggung sendiri tatkala mereka mengambil inisiatif di hampir setiap 
  bidang kehidupan, bahkan mungkin sembilan dari sepuluh orang, tetapi 
  mereka gagal menyadari kerusakan yang bisa dilakukan oleh satu 
  bidang kemalasan? Prinsip ini berulang. Sembilan dari sepuluh orang 
  tidaklah cukup, baik itu berarti mengambil inisiatif atau berbagai 
  bentuk lain untuk pembangunan karakter atau ketaatan. Satu saja 
  bidang kehidupan yang tidak diserahkan sudah berkonsekuensi negatif 
  dan meluas. Pada suatu waktu kelak, hal itu hampir pasti akan 
  berdampak buruk pada dimensi lain dalam kehidupan kita. Akhirnya, 
  ketika hidup tidak lagi berjalan dengan baik, kita mungkin akan 
  melihat ke belakang dan berkata, "Semuanya dimulai dengan satu 
  kendali pribadi yang kecil, bahwa saya merasa bisa mengelola diri 
  lebih baik daripada Allah ... dan sekarang beginilah jadinya."

  Banyak orang tampak bertekad untuk mempelajari segala sesuatu yang 
  sulit. Tetapi kita semua bisa menyelamatkan diri kita sendiri dan 
  beban masalah orang lain jika kita bisa mempelajari apa yang telah 
  dipelajari oleh jutaan orang sebelum kita: Berbagai bidang 
  kehidupan, yang tidak ditempatkan di bawah kepemimpinan dan 
  kebijaksanaan Tuhan, pada akhirnya akan menjadi sumber frustrasi, 
  sakit hati, dan nyeri yang hebat.

  Penulis Amsal sunguh-sungguh meminta agar kita tidak menjerumuskan 
  diri sendiri ke dalam risiko ini. Jika kita mengakui Allah dalam 
  semua hal, dalam setiap bidang kehidupan kita, kita dapat mengurangi 
  risiko permasalahan itu secara signifikan. Itu seperti menambal satu 
  lubang yang mengancam akan menenggelamkan kapal kita.

  Adakah kendali pribadi yang Anda belum serahkan kepada Allah? Jika 
  ya, mengapa Anda tidak menyerahkannya kepada Allah? Turunkanlah 
  tanda "Dilarang Masuk Tanpa Izin" dan persilakanlah Tuhan masuk. 
  Saya belum pernah bertemu orang yang menyesali keputusan ini. 
  Sekarang giliran Anda. Saya mendorong Anda.

  Maka Ia Akan Meluruskan Jalanmu

  Sebelum baris terakhir pada bagian ini menjauhkan siapa pun dari 
  topik utamanya, saya ingin menjelaskan apa yang bukan merupakan arti 
  dari kalimat tersebut. Kalimat tersebut tidak berarti bahwa Allah 
  akan membuat kita sehat, kaya, dan bahagia. Kalimat tersebut tidak 
  berarti bahwa Ia akan membuat kita nyaman, populer, dan langsing. 
  Kalimat tersebut tidak berarti bahwa Ia akan memenuhi semua 
  pengharapan sepele dan keinginan sesaat kita. "Ia akan meluruskan 
  jalanmu" berarti bahwa Ia akan memberikan arah, tujuan, fokus, dan 
  pemenuhan hidup kita. Ia akan membimbing kita melewati rawa-rawa dan 
  parit-parit sehingga kita bisa tetap di jalan yang benar. Ia akan 
  bekerja di dalam kita untuk mengubah hati dan jiwa kita. Ia akan 
  bekerja di kedalaman pribadi untuk mengubah hati dan jiwa kita. Ia 
  akan bekerja melalui diri kita supaya kita berdampak pada orang 
  lain. Dan ketika kita sudah tiada, Ia akan memimpin kita melewati 
  pintu gerbang surga. Ketika Anda merenungkan hal ini, apa lagi yang 
  kita bisa minta?

  Saya baru-baru ini menghadiri pemakaman ayah salah seorang teman 
  terdekat saya. Pemakaman itu diadakan di pekuburan gereja yang saya 
  kunjungi sepanjang masa kanak-kanak dan remaja saya. Semua tampak 
  persis seperti tiga puluh tahun sebelumnya. Pada saat saya duduk di 
  sana, teringatlah saya pada banyak kenangan.

  Saya sangat ingat pada seorang pria tua yang telah menantang saya 
  untuk memercayai Allah dengan segenap hati dan mengizinkan Dia 
  membimbing serta mengarahkan hidup saya. Ketika saya memikirkan 
  kembali arti peristiwa tersebut dalam hidup saya selama tiga puluh 
  tahun sebelumnya, saya nyaris tidak bisa menahan emosi. Saya 
  tersenyum ketika menyadari bahwa saya tidak dapat menghabiskan satu 
  malam dengan melempar dan berbalik ke tiga puluhan-tahun yang lalu 
  itu tanpa saya kehilangan arti, tujuan, atau petualangannya.

  Lalu saya kembali menahan air mata saat memikirkan semua yang 
  mungkin saya lewatkan seandainya saya memilih untuk mengatur sendiri 
  kehidupan saya: pekerjaan yang membuat saya bersemangat untuk bangun 
  pada pagi hari, teman-teman yang sudah seperti keluarga bagi saya, 
  pernikahan yang terus bertumbuh, dan anak-anak yang memberikan 
  kebahagiaan terbesar di dalam hidup saya.

  Dalam upacara pemakaman tersebut, saya meletakkan tangan saya di 
  atas lutut dengan telapak tangan tengadah, dan saya berkata, "Tuhan, 
  setengah hidupku mungkin telah berlalu, tetapi aku ingin membuat 
  kesepakatan yang sama mengenai apa pun dengan waktu yang tersisa, 
  yang saya akan buat sehubungan dengan masa lalu. Aku ingin percaya 
  kepada- Mu dengan sepenuh hati, dan tidak bersandar pada 
  pengertianku sendiri. Di seluruh jalanku, aku ingin mengakui-Mu, dan 
  aku ingin memercayai-Mu untuk meluruskan jalanku." Saya tidak bisa 
  menggambarkan rasa damai dan harapan yang membanjiri jiwa saya. Jika 
  masa depan adalah segala sesuatu seperti tiga puluh tahun yang lalu, 
  itu akan menjadi sebuah bola!

  Jangan lewatkan Petualangannya

  Saya menyukai Yeremia 29:11 ketika Tuhan berkata, "Sebab Aku ini 
  mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu 
  ... yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, 
  untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." Saya 
  senang merenungkan ayat ini. Saya senang merenung tentang Allah yang 
  merancang suatu rencana khusus untuk hidup saya. Saya ingin 
  kebenaran ini meresap ke dalam jiwa saya.

  Allah memiliki rencana, hari depan dan harapan untuk kita masing-
  masing, dengan nama kita sendiri di atasnya. Meskipun Allah tidak 
  menjanjikan suatu kehidupan yang bebas dari masalah atau sakit, Dia 
  menjanjikan suatu kehidupan yang terlalu baik untuk dilewatkan. 
  Tetapi, kita masih tidak akan pernah menemukan petualangan hidup itu 
  - - sampai kita memercayakan diri kita pada bimbingan dan pimpinan-
  Nya! Allah mengenal kita dengan lebih baik daripada diri kita 
  sendiri. Dia memahami kemampuan dan keterbatasan kita. Dia 
  mengetahui persis apa kesulitan yang kita harus hindari dan melihat 
  potensi kita sepenuhnya. Dia memiliki pandangan tinggi yang 
  ditetapkan untuk kita, dan Dia bersedia memberikan segala bentuk 
  bantuan yang kita butuhkan untuk menggenapi rancangan-Nya dengan 
  sempurna. Namun, kita harus sepenuhnya berpaling dan memercayai-Nya.

  Apa pun langkah iman yang Anda perlu ambil, saya berharap dan berdoa 
  agar Anda akan mengambilnya. Saya tidak mengetahui apa yang Allah 
  sediakan untuk hidup Anda, tetapi saya mengetahui pasti bahwa Anda 
  tidak ingin melewatkan petualangan ini!

  Sumber:
  Judul buku: Making Life Work
  Judul artikel: Trust God in Everything (Bab 12)
  Penulis: Bill Hybels
  Penerbit: InterVarsity Press
  Halaman: 192 - 206

______________________________e-Reformed______________________________
Pemimpin Redaksi: Yulia Oenijati

Kontak Redaksi: < reformed(at)sabda.org >
Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Untuk berhenti: < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Arsip e-Reformed: http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed
Situs SOTeRI: http://soteri.sabda.org
Situs YLSA: http://www.ylsa.org

Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) e-Reformed 2010 / YLSA -- http://www.ylsa.org
Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org