Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/116

e-Reformed edisi 116 (1-11-2009)

Tell The Truth -- Beritakan Kebenaran

______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________

Dear e-Reformed Netters,

Tulisan yang saya kirimkan di bawah ini sebenarnya hanyalah sebuah bab
pendahuluan dari sebuah buku yang berjudul "Tell The Truth --
Beritakan Kebenaran", yang ditulis oleh Will Metzger.

Saya ingin membagikan tulisan yang berisi pendahuluan ini karena saya
sangat terkesan dengan isinya. Kalau Anda teliti, hampir pada setiap
paragraf selalu terselip pertanyaan, bahkan ada paragraf yang isinya
hanya pertanyaan. Lah, apa menariknya membaca tulisan yang berisi
pertanyaan? Bukankah lebih berguna kalau membaca artikel yang berisi
banyak pengetahuan dan penjelasan daripada pertanyaan? Membaca tulisan
yang berisi informasi atau pengetahuan hanya akan membuat kita menjadi
"passive recipient" (penerima pasif). Tapi membaca tulisan yang berisi
banyak pertanyaan, kalau kita tertantang untuk menjawabnya, maka
tulisan itu akan membuat kita menjadi "active participant" (peserta
aktif). Hasilnya, kita dapat menggali lebih banyak dan belajar lebih
banyak. Pertanyaan yang bermutu akan menggelitik kita untuk berpikir
secara aktif dan mencari solusi masalah secara efektif.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis buku tersebut berkisar
pada masalah penginjilan. Percayakah Anda bahwa sebenarnya ada lebih
banyak pertanyaan tentang penginjilan daripada nasihat tentang
bagaimana melakukan penginjilan dengan baik. Itu sebabnya ada banyak
alasan orang tidak melakukan penginjilan. Jika pertanyaan-pertanyaan
itu Anda renungkan dengan baik, mungkin kita akan menemukan pemecahan
kesulitan dan ketidakberesan dari cara kita menginjili sehingga
menghasilkan cara dan motivasi penginjilan yang alkitabiah.

Perhatikan salah satu paragraf yang berisi bayak pertanyaan seperti
ini.

  "Banyak ketidakpastian yang mengusik pikiran saya. Mungkinkah
  seseorang termotivasi untuk bersaksi, tetapi akhirnya mempermalukan
  Tuhan dan salah menyampaikan berita-Nya karena ketidaktahuan atau
  manipulasi? Apakah saya termotivasi oleh rasa bersalah atau oleh
  harapan orang lain? Apakah saya berusaha mencari dalih atas
  minimnya semangat saya dan ketidaksuksesan saya? Mengapa saya
  hendak membatasi pekerjaan Tuhan melalui diri saya hanya sejauh
  kalangan "teman-teman" dan "undangan ke pertemuan"? Bagaimana dapat
  saya pungkiri bahwa oleh penentuan Allah saya dipertemukan dengan
  orang-orang tertentu, sekalipun hanya untuk beberapa menit?"

Bagaimana Anda akan menjawab pertanyaan -- atau lebih baik kalau saya
ganti dengan kata pergumulan -- yang penulis ajukan ini? Belum lagi
pertanyaan yang berkaitan dengan masalah teologi, ada banyak
penginjilan yang sukses tapi karena tidak mengutamakan pengajaran yang
benar maka akhirnya justru membuat kekristenan menjadi lemah (tidak
ada mutunya) dan menghasilkan petobat-petobat "palsu". Jadi, ternyata
menginjili tidak sesederhana yang kita pikirkan, bukan? Itu sebabnya
hanya sedikit orang yang mau menginjili, padahal panggilan Allah untuk
orang yang sudah percaya dan menerima Kristus hanya satu, "pergilah
dan beritakanlah Injil."

Melalui bab pendahuluan ini, pembaca bisa memiliki gambaran besar isi
bukunya. Dengan membaca bab pendahuluan ini, saya berharap Anda akan
terdorong untuk memiliki kerinduan menjadi penginjil yang memberitakan
kebenaran. Sekarang Anda pasti menjadi semakin penasaran untuk
mengetahui keseluruhan isi buku tersebut, bukan? Karena itu, Anda
harus membeli buku ini. Silakan menghubungi toko buku Kristen terdekat
untuk mendapatkan keseluruhan buku. Saya jamin Anda tidak akan rugi.

Selamat merenungkan.

In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >
< http://soteri.sabda.org/>
< http://fb.sabda.org/reformed >

======================================================================

                        P E N D A H U L U A N

PERNAHKAH ANDA MENEMUI JALAN BUNTU dalam penginjilan? Apakah Anda
merasa terjepit di antara dua alternatif yang keduanya tidak mungkin
dilaksanakan dan tidak dapat menemukan jalan keluar? Di satu sisi Anda
melihat orang-orang Kristen yang sanggup bergaul akrab dengan banyak
orang tetapi tidak banyak menceritakan tentang Yesus Kristus. Di sisi
lain ada orang-orang yang senantiasa "memberitakan Injil" tetapi
tampaknya tidak mengerti apa-apa tentang persahabatan yang sejati.
Kedua ekstrem di kalangan Kristen ini benar-benar menimbulkan
frustrasi.

Buku ini bertujuan menolong Anda dalam "memperlihatkan dan
menyampaikan" Injil dalam cara yang mempermuliakan Allah, bermanfaat
bagi orang lain, dan melegakan bagi Anda sendiri. Ini bukan rencana
untuk memaksa orang, juga bukan anjuran untuk sekadar menjadi orang
baik dan menunggu orang lain datang kepada Anda seandainya mereka
ingin berbicara tentang perkara-perkara rohani. Namun, tujuannya
adalah membantu Anda menemukan kembali inti teologis dari Injil sebab
hanya bila persepsi Anda tentang anugerah Allah yang aktif dalam
keselamatan berubah, barulah Anda akan sanggup menemukan keyakinan,
sukacita, dan rasa syukur untuk mendukung gaya hidup Injili yang baru.

Seperti Apakah Model yang Alkitabiah?

Saya termasuk kelompok orang Kristen yang percaya pada penginjilan
berdasarkan persahabatan, tetapi saya mendapati bahwa ternyata yang
terwujud hanya persahabatan dan sedikit sekali penginjilan. Motivasi
bukan masalah bagi saya. Saya telah mengalami pertobatan dan hidup
baru dalam Kristus semasa saya masih duduk di bangku sekolah menengah
atas, dan Yesus Kristus sungguh nyata bagi saya. Saya memiliki
kerinduan yang kuat untuk menceritakan pada orang lain mengenai Dia,
tetapi kebanyakan sosok panutan yang saya ikuti cenderung berada pada
salah satu dari kedua ekstrem yang saya singgung di atas. Juga banyak
kendala lain: pengetahuan Alkitab saya kurang, kepribadian saya kurang
dewasa, karena saya masih cenderung menganggap Tuhan ada hanya untuk
menguntungkan diri saya sendiri dan merasa takut ditolak. Dengan
segala kekurangan ini, saya memulai perjalanan rohani pribadi untuk
berusaha menjadi saksi Kristus.

Awalnya, bersaksi tampaknya begitu sederhana. Saya tahu beritanya dan
tahu siapa yang membutuhkan. Apa yang membingungkan atau menyulitkan
di sini? Tak lama kemudian saya mengetahuinya. Saya tidak memunyai
konsep yang jelas mengenai isi Injil. Karena itu, kehidupan Kristen
saya tetap kerdil dan kemampuan saya untuk membawa orang-orang yang
belum percaya kepada Kristus terhambat.

Kemudian saya dihujani serentetan nasihat. Ada yang memberi tahu bahwa
saya harus bersaksi dengan menyenangkan orang lain, mengajak teman-
teman sekolah saya untuk berkumpul dan bersenang-senang di gereja atau
di lingkungan yang netral seperti rumah. Lalu malamnya akan diakhiri
dengan pembicaraan yang menggugah hati. Kedengarannya mudah. Orang
lain akan menyampaikan Injil bagi saya.

Di perguruan tinggi, saya berjumpa dengan orang-orang Kristen yang
menganjurkan pendekatan yang lebih langsung: saya harus mengundang
semua orang untuk menghadiri suatu kelompok kecil pemahaman Alkitab
atau suatu pertemuan di lingkungan yang "netral" dengan pembicaranya
seorang awam. Orang-orang yang belum percaya harus dikonfrontasi
secara langsung dengan Kitab Suci. Ah, demikian pikir saya, ini
kedengarannya masuk akal. Mungkin pendekatan ini yang harus saya
ambil. Namun rasanya cara ini tidak bersahabat dan mengandung unsur
manipulasi. Saya mendambakan metode penginjilan yang efektif. Ada
banyak sekali seminar-seminar pelatihan dan buku-buku panduan mengenai
hal ini.

Setelah ini, saya semakin bingung karena berjumpa dengan orang-orang
Kristen lain yang menyarankan untuk menginjili menurut pola apostolik:
yakni dengan mengajak teman-teman saya mendengarkan pembicara-
pembicara yang berbakat di gereja atau di pertemuan khusus. Namun
dengan cara demikian, saya tetap mengandalkan orang lain untuk
bersaksi.

Kemudian saya seakan-akan tersentak bangun. Saya menyadari bahwa saya
yang harus bersaksi, bukan sekadar membawa orang-orang kepada orang
lain yang akan bersaksi bagi saya. Saya yakin akan kewajiban saya,
tetapi karena merasa takut, maka saya mencari pertolongan. Lagi-lagi
saya bertemu orang-orang Kristen yang sangat bersemangat dan
memaparkan pada saya serangkaian gagasan dan teknik baru untuk
penginjilan pribadi. Saya terdorong oleh rasa tanggung jawab yang
besar dan rasa bersalah yang semakin kuat karena saya diyakinkan bahwa
saya tidak rohani -- atau setidaknya, tidak setia -- jika saya tidak
pernah "membawa seseorang pada Kristus". Maka saya dengan serta-merta
mempraktikkan beragam cara bersaksi itu. Pendekatan ini memang membuat
saya menyampaikan kebenaran pada orang lain. Namun kriteria suksesnya
bagaikan permainan bilangan: menghitung jumlah orang yang berdoa, yang
mengangkat tangan, atau yang mengisi formulir.

Saya merasa gagal. Saya telah mengawali dengan keragu-raguan perihal
teknik-teknik licin yang dianjurkan oleh beberapa penginjil yang
"sukses". Pada akhirnya, saya tetap ragu-ragu apakah cara-cara ini
sesuai dengan Kitab Suci. Keprihatinan ini membawa saya pada beberapa
pertanyaan mendasar tentang teologi.

Banyak ketidakpastian yang mengusik pikiran saya. Mungkinkah seseorang
termotivasi untuk bersaksi, tetapi akhirnya mempermalukan Tuhan dan
salah menyampaikan berita-Nya karena ketidaktahuan atau manipulasi?
Apakah saya termotivasi oleh rasa bersalah atau oleh harapan orang
lain? Apakah saya berusaha mencari dalih atas minimnya semangat saya
dan ketidaksuksesan saya? Mengapa saya hendak membatasi pekerjaan
Tuhan melalui diri saya hanya sejauh kalangan "teman-teman" dan
"undangan ke pertemuan"? Bagaimana dapat saya pungkiri bahwa oleh
penentuan Allah saya dipertemukan dengan orang-orang tertentu,
sekalipun hanya untuk beberapa menit?

Saya merasa seolah-olah terjebak dalam pintu putar. Berbagai
pertanyaan berkecamuk dalam benak saya dan membuat saya terus-menerus
berputar di tempat yang sama. Bagaimana caranya untuk berbicara dengan
kasih pada orang-orang (bahkan termasuk juga mereka yang tidak saya
kenal) yang oleh Tuhan dipertemukan dengan saya? Mengapa petobat-
petobat dari berbagai kelompok Kristen yang berbeda-beda sering kali
dapat dibedakan satu sama lain oleh ciri kepribadian tertentu? Apakah
saya menginjili hanya bilamana saya melihat ada pertobatan? Apa unsur-
unsur terpenting dari berita yang kita sampaikan? Apakah saya
bergabung dengan orang lain dalam penginjilan karena kebutuhan yang
besar dari orang banyak untuk mendengarkan Injil atau karena kami
menganut doktrin Injil yang sama? Mengapa dasar alkitabiah dalam
metode-metode penginjilan tidak pernah dibahas (khususnya yang
dipraktikkan oleh gereja kita)?

Mengapa ada begitu banyak perbedaan pendapat, kebingungan, dan
kekaburan di antara orang-orang yang bersaksi, juga mengenai unsur-
unsur yang paling pokok dari Injil? Contohnya, apakah kita
memperkenalkan Kristus sebagai Juru Selamat atau juga sebagai Tuhan
kepada orang yang tidak percaya? Apakah pertobatan dan pengajaran akan
Hukum Taurat Allah merupakan bagian dari Injil? Mengapa perlu lahir
baru? Apa yang sebenarnya terjadi pada saat kelahiran baru? Apa bagian
kita dalam keselamatan, dan apa bagian Tuhan? Bagaimana seseorang bisa
mengetahui bahwa ia sudah dilahirkan kembali? Apakah Injil berupa
sekumpulan doktrin atau mengenai satu Pribadi? Jika Tuhan telah
melakukan apa yang dapat dilakukan dan sekarang menyerahkan pada
kemauan kita sendiri untuk menerima keselamatan, bagaimana orang-orang
yang mati rohani dapat menanggapi?

Saya tak habis mengerti mengapa setelah orang Kristen memahami konsep
umum bahwa setiap orang membutuhkan Kristus untuk keselamatan, lalu
timbul kebingungan dan bahkan pertentangan pendapat berkaitan dengan
apa yang mencetuskan kelahiran baru -- iman dan pertobatan kita atau
Roh Allah yang memampukan kita? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan
penting dan fundamental yang terus merongrong pikiran kita. Mengapa
kebanyakan kelompok Injili tidak menyadari perlunya menyelidiki
seperti apakah Injil yang alkitabiah itu? Saya melihat ada banyak
metode yang keliru, dan saya sempat merasa putus asa untuk dapat
menemukan cara bersaksi yang terbentuk dari kebenaran, bukan dari
pertimbangan praktis atau kekuatan kehendak kita dalam keselamatan.
Semua pertanyaan saya di atas dapat dirangkum dalam satu pertanyaan
ini: Seperti apakah cara bersaksi berdasarkan persepsi kita akan Allah
Pencipta sekaligus Penebus yang bukan sekadar menyediakan keselamatan
tetapi juga memampukan seseorang untuk menanggapi dengan jalan
bertobat dan menerimanya?

Kendati saran-saran yang awalnya diberikan pada saya perihal
penginjilan pribadi tidak banyak membantu, saya harus mengakui bahwa
bangkitnya kembali minat dalam topik ini di kalangan Injili adalah
sesuatu yang baik. Siapa yang dapat memungkiri kenyataan bahwa
partisipasi dalam penginjilan sekarang meningkat? Siapa yang dapat
menyalahkan keprihatinan yang timbul dalam diri banyak orang Kristen
berkaitan dengan penginjilan? Mereka telah mengorbankan banyak uang,
waktu, dan tenaga. Mereka memanfaatkan media modern dengan kreatif.
Saya sungguh bersyukur untuk hal ini. Namun ada sesuatu yang
mengganjal di hati saya -- dan saya rasa hati nurani orang-orang lain
juga terusik. Mungkinkah ada aspek-aspek penginjilan masa kini yang
kurang dalam hal integritas alkitabiah?

Metodologi Timbul dari Teologi

Sebelum kita dapat menemukan jawaban atas pertanyaan penting ini, kita
perlu mengevaluasi praktik-praktik penginjilan dewasa ini. Izinkan
saya mengulas maklumat yang disampaikan Francis Schaeffer pada Kongres
Penginjilan Sedunia di Berlin (1966): Justru karena kita memiliki
komitmen pada penginjilan, maka kita terkadang harus membahas
antitesisnya. Jika kita tidak mengindikasikan dengan jelas melalui
perkataan dan perbuatan mengenai posisi kita terhadap kebenaran dan
terhadap doktrin sesat, kita seolah-olah membangun tembok pemisah di
antara generasi penerus dan berita Injil. Kesatuan dari kaum Injili
haruslah berdasarkan pada kebenaran dan bukannya berdasarkan pada
penginjilan itu sendiri. Bila tidak demikian, "kesuksesan" dalam
penginjilan dapat berakibat pada melemahnya kekristenan. Pembahasan
tentang metode adalah hal yang sekunder setelah prinsip utama ini.
Kendati kita harus mengevaluasi doktrin dan metode, namun kita tidak
boleh menghakimi motivasi orang.

Di bagian pertama buku ini, saya akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang relevan berkaitan dengan teologi yang mendasari metode-metode
penginjilan modern. Saya tidak berniat memaparkan teologi penginjilan
dengan panjang lebar. Saya berbicara sebagai seorang anggota keluarga
kepada anggota-anggota lain dalam keluarga Allah. Marilah kita
memandang ke dalam hati kita dan meneliti Alkitab untuk mencari cara
menjadi penginjil yang lebih baik. Saya harap analisis saya dapat
mengantarkan kita semua kepada pembahasan dan modifikasi yang
konstruktif. Adakah suatu tradisi, teknik, atau pun pribadi yang
berada di luar jangkauan evaluasi kita yang mengacu pada standar
Alkitab? Saya rasa tidak.

Jikalau benar bahwa ada perbedaan pendapat yang serius di kalangan
Injili berkaitan dengan berita dan metode penginjilan, maka kita patut
mempertanyakan sampai sejauh mana perbedaan ini dapat dibenarkan? Bila
perbedaan ini sekadar karena hendak menjangkau kelompok pendengar yang
berbeda atau karena keanekaragaman karunia yang Tuhan berikan pada
kita, maka ini tidak jelek. Akan tetapi, jikalau dalam penginjilan
kita hanya setia mengikuti tradisi kita, membentuk kebenaran supaya
sesuai dengan kepribadian kita, mengurangi kekuatan Injil, atau
memanipulasi orang, maka kita salah. Jikalau kita yakin bahwa ada
dasar teologis untuk metode kita, kita dapat dibenarkan bila
menginjili sesuai dengan itu. Dalam hal ini, perbedaan kita hanya soal
hati nurani kita yang dipengaruhi oleh persepsi kita tentang ajaran
Kitab Suci. Doktrin yang alkitabiah mengenai penginjilan harus menjadi
unsur pengendali dalam setiap praktik penginjilan.

Namun, meskipun kita dapat mengemukakan dasar teologis dari
penginjilan kita, tanggung jawab kita tidak berhenti sampai di sini
saja. Kita perlu membandingkan pemahaman doktrinal kita dengan orang
lain dan dengan rendah hati bersedia merenungkan kembali apa yang
difirmankan oleh Roh Kudus pada kita dalam Kitab Suci. Jika tidak
demikian, kita tidak dapat belajar dari orang-orang lain. Hal ini sama
saja dengan menolak terbitnya terang yang baru atas pemahaman kita
akan Kitab Suci. Ini berarti membatasi Roh Kudus dalam berkomunikasi
pada kita melalui orang Kristen lain. Berarti, penginjilan kita
berdasarkan pada pola tradisi dan tidak berdasarkan pada keyakinan.

Singkatnya, keengganan untuk mengevaluasi penginjilan kita dalam
terang Alkitab sama saja dengan menganggap Kitab Suci tidak serius.
Akibatnya, kita tidak jujur terhadap satu sama lain, orang-orang yang
belum percaya akan mendapat bimbingan yang keliru, dan menimbulkan
frustrasi pada mereka yang ingin belajar bersaksi. Sebagai imbasnya,
kita dapat membawa anak-anak kita dan gereja kita pada berbagai macam
masalah. Kita akan mempermalukan Allah dari Injil itu sendiri. Kita
wajib meneliti dengan cermat praktik-praktik penginjilan dewasa ini
untuk melihat apakah kita yang bersaksi bagi Kristus memiliki Injil
yang utuh dan seimbang.

Kemudian, dalam bagian kedua, saya menguraikan dampak keseluruhan dari
Injil itu atas kehidupan kita dan kehidupan orang-orang yang kita
jangkau. Sekali lagi, perlu evaluasi untuk menentukan mengapa ada
begitu banyak pertobatan "palsu". Komitmen pada Kristus bukan sekadar
suatu doa lalu selesai. Namun ini merupakan pertobatan yang berarti
seluruh hidup kita diubahkan. Paulus mengatakan bahwa kita menjadi
ciptaan baru. Saya membahas bagaimana perubahan ini harus mencakup
seluruh keberadaan kita -- akal budi kita, kemauan kita, dan perasaan
kita -- pribadi seutuhnya.

Bagian ketiga menggali kedalaman bagaimana kasih karunia Allah
berkarya dalam keselamatan. Kasih karunia mencabut tiga perkara ibarat
perisai, menghalangi orang terhadap dampak penuh dari Injil -- yakni
hak-hak saya yang mutlak, kebaikan manusiawi saya, dan kehendak bebas
saya. Perisai-perisai ini hanya dapat ditembus oleh kasih karunia.
Hanya Injil yang berfokuskan pada anugerah yang sanggup membawa pada
keselamatan dan membuat orang sanggup menanggapinya, yang merupakan
solusi bagi masalah utama orang yang belum percaya. Ini menghasilkan
penyembahan yang bergairah, yang merupakan tujuan dari penginjilan --
bukan sekadar menghasilkan keputusan ikut Kristus, melainkan
menghasilkan murid-murid Kristus yang bersungguh-sungguh.

Namun tanggung jawab kita belum selesai setelah tercapai pengertian
yang benar tentang kelahiran baru. Kita harus menerapkan Injil itu
dalam perbuatan. Kita harus taat pada panggilan untuk memberitakan
kebenaran kepada orang lain. Maka, bagian keempat membahas praktik
bersaksi, disertai beberapa gagasan praktis tentang bagaimana
memulainya. Kita harus menjadi pribadi-pribadi yang utuh (lengkap dan
riil). Akhirnya, bagian terakhir memuat beberapa lembar kerja yang
dapat diperbanyak untuk melatih diri Anda sendiri maupun orang lain,
sebuah diagram Injil yang berfokuskan pada Allah, dan suatu ulasan
tentang kontroversi yang sehat.

Penginjilan: Dimenangkan oleh Satu Pribadi

Saya sengaja membatasi pembahasan saya hanya di seputar penginjilan
pribadi. Bukan karena bentuk penginjilan lain tidak bermanfaat,
melainkan karena sebagaimana dikemukakan oleh penginjil dan negarawan
Carl Henry, pendekatan dari pribadi ke pribadi yang diprakarsai oleh
setiap orang percaya menciptakan peluang paling baik untuk
memberitakan Injil ke seluruh bumi dalam abad ini. Ahli sejarah dari
Universitas Yale yang ternama, Kenneth S. Latourette, menekankan
konsep ini dalam perkataannya bahwa "orang-orang yang berhasil dalam
memperluas kekristenan tampaknya bukan mereka yang berprofesi sebagai
penginjil ... melainkan laki-laki maupun wanita yang memunyai
pekerjaan atau mata pencaharian yang murni sekuler dan berbicara
mengenai iman mereka kepada orang-orang yang dijumpainya sehari-hari".

Ada orang yang meragukan anjuran yang menekankan penginjilan pribadi
ke pribadi. Mungkin keraguan mereka timbul karena begitu banyak
penyalahgunaan dalam pendekatan ini. Namun keraguan yang beralasan pun
jangan sampai membuat Anda mengabaikan perintah Kitab Suci untuk
bersaksi kepada orang lain. Reaksi yang berlebihan terhadap sisi
ekstrem dari individualisme telah mendorong beberapa orang untuk
membatasi sifat umum dari kesaksian Kristen. "Supaya mereka sempurna
menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku
dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku"
(Yoh. 17:23). Orang-orang percaya yang bersatu, walaupun berasal dari
berbagai latar belakang ekonomi dan etnis, sambil tetap mempertahankan
kepribadian dan minat individualnya, seharusnya ibarat lampu neon yang
bercahaya terang bagi dunia. Kesatuan yang mengagumkan dari
keanekaragaman dalam tubuh Kristus harus mampu meyakinkan orang yang
belum percaya bahwa Yesus Kristus diutus oleh Allah. Kelompok yang
dinamis dari orang-orang Kristen yang penuh semangat merupakan dasar
dari penginjilan, namun jika tiap pribadi dalam kelompok itu tidak
memberitakan Injil, akhirnya akan menghasilkan pengijilan yang lemah.
Kendati tidak diakui secara terbuka, alasan meremehkan inisiatif
pribadi dalam bersaksi mungkin adalah kesombongan, roh yang kritis,
rasa takut menyinggung perasaan orang, atau bahkan pandangan bahwa
"mempermuliakan Tuhan dalam pekerjaanku" sudah cukup.

Dalam Kitab Suci, kita menjumpai banyak contoh di mana Injil
disebarkan dari pribadi ke pribadi. Yesus sendiri selalu bersaksi
kepada orang-orang yang ditakdirkan untuk bertemu dengan-Nya. Ia
membawa firman kehidupan kepada mereka di tengah kehidupan sehari-hari
mereka. Kristus menjanjikan kepada murid-murid-Nya bahwa mereka akan
menjadi penjala manusia, dan kemudian, dua kali Ia mengutus para
pengikut-Nya pergi berdua-dua untuk memberitakan kabar baik itu (Mrk.
6:7-13; 
Luk. 10:1-24). Di gereja mula-mula, setiap orang Kristen
memberitakan Injil (Kis. 8:1, 4). Seorang pemimpin gereja, Filipus,
oleh Tuhan diperintahkan untuk meninggalkan pelayanannya yang berhasil
untuk berbicara pada satu pribadi yang sedang mencari (Kis. 8:26-40).
Paulus menekankan tanggung jawab semua orang percaya sebagai utusan-
utusan Kristus dan berkata bahwa pelayanan pendamaian telah
dipercayakan kepada mereka (2 Kor. 5:17-20). Allah mengaruniakan
kemampuan yang lebih besar dalam menginjil kepada orang-orang tertentu
bukan supaya mereka saja yang melakukan semuanya, melainkan untuk
memperlengkapi setiap orang percaya dalam tubuh Kristus untuk
mengerjakan pelayanan ini (Ef. 4:11-12).

Di dunia kita, mungkin 99,9 persen dari semua orang Kristen tidak
berkecimpung dalam pelayanan. Sebelum setiap orang terlibat dalam
penginjilan -- berdoa, berinisiatif, dan memberitakan Injil dengan
berapi-api -- tak banyak yang dapat terjadi. Kelahiran baru ke dalam
Kerajaan Allah biasanya melibatkan orang-orang yang bertindak sebagai
bidan-bidan rohani. Seperti anak-anak kecil, kita "memperlihatkan dan
menyampaikan" Injil. Dalam setiap pendekatan untuk penginjilan (berupa
kelompok kecil pemahaman Alkitab, khotbah, pemanfaatan berbagai media,
dll.) terkandung unsur perjumpaan pribadi. Acap kali, orang harus
berbicara dengan orang-orang non-Kristen untuk menjelaskan dan
mendorong mereka untuk percaya. Bukankah Anda menjadi orang percaya
juga karena ada seseorang yang secara pribadi menjangkau Anda? Semua
orang Kristen merupakan utusan-utusan Kristus; merekalah yang
ditugaskan oleh Allah untuk memberitakan Injil. Bukalah mulut Anda.
Allah akan mengisinya dengan firman-Nya.

Sebagai penutup, saya tambahkan sepatah kata pembangkit semangat bagi
mereka yang berjuang untuk tetap setia dalam penginjilan. Tidak ada
potensi yang lebih besar untuk menimbulkan rasa bersalah dalam diri
orang Kristen selain satu topik ini (kecuali bila membahas tentang
seks!). Saya tahu reaksi yang akan saya lihat jika saya berbicara
tentang topik ini: mata memandang ke lantai, menggerak-gerakkan kaki
dan tangan dengan gelisah. Biasanya, ada tawa untuk mengendurkan
ketegangan. Namun semua reaksi itu tidak perlu. Anda dapat menemukan
pengharapan, dorongan, dan kelegaan bila penginjilan didasarkan pada
Injil yang berfokuskan Allah. Pintu masuk menuju kesaksian yang penuh
harapan dan sukacita akan ditemukan bila kita memusatkan pandangan
pada Allah sebagai Pencipta dan Penebus.

Dalam buku ini, saya akan meletakkan dasar teologis: Injil yang utuh
... sepenuhnya oleh anugerah. Tempat di mana kita dapat membangun
kehidupan penginjilan adalah dalam kedaulatan Tuhan. Kita akan melihat
jalinan yang terampil dari setiap pribadi Trinitas yang berkarya
dengan harmonis dalam keselamatan. Bapa telah merencanakan
keselamatan. Kristus telah mengerjakannya. Roh niscaya akan
menerapkannya. Jadi, tak akan ada tempat duduk yang kosong di meja
perjamuan dalam Kerajaan Allah. Semua tempat duduk telah dipesan,
dengan setiap kartu nama di tempatnya, sebab mereka telah mendengar
panggilan batin dari kasih yang menawan itu dan datang ke perjamuan.
Tuhan selalu berjalan di depan kita sementara kita bersaksi. Sambil
belajar dan memberitakan kebenaran, kiranya kita mendapati teologi
kita berubah menjadi puji-pujian (doksologi)!

======================================================================

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Tell The Truth -- Beritakan Kebenaran
Penulis: Will Metzger
Penerjemah:
Penerbit: Momentum, Surabaya 2005
Hal: 1 -- 10

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org