Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/115 |
|
e-Reformed edisi 115 (30-10-2009)
|
|
______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________ Dear e-Reformed Netters, Pertama, maaf seribu maaf, akhir-akhir ini saya sangat sibuk sehingga pengiriman e-Reformed jadi terlambat. Semoga pengiriman artikel di bawah ini bisa menjadi pengganti pengiriman yang terlambat. Minggu lalu adalah minggu perayaan Hari Reformasi Gereja. Saya ingin bertanya, masih adakah gereja yang merayakannya? Sepertinya, Hari Reformasi ini semakin lama menjadi semakin tidak dikenal. Mau melakukan sedikit eksperimen? Silakan Anda bertanya kepada jemaat biasa, apakah mereka tahu tentang Hari Reformasi Gereja? Saya tidak heran kalau mereka menggelengkan kepala, tanda tidak tahu. Atau kalau pun tahu, maka hanya terbatas di kalangan gereja-gereja beraliran teologi reformed saja. Itu pun karena nama gereja mereka adalah Reformed, sehingga mereka tahu kalau gereja mereka pasti ada sangkut pautnya dengan reformasi. Tapi, ini hanya pandangan saya saja yang cenderung skeptik. Mengapa artikel di bawah ini saya pilih untuk mengingatkan kita semua pada Hari Reformasi Gereja? Artikel yang ditulis oleh Pdt. D.S. Hananiel yang berjudul PENTINGNYA PENDIDIKAN FIRMAN TUHAN DALAM HIDUP BERJEMAAT ini merupakan isu utama mengapa banyak gereja sekarang ini tidak lagi memiliki kuasa. Saya sangat setuju dengan pengamatan beliau. Gereja Tuhan yang benar dibangun di atas pengajaran para nabi (Perjanjian Lama) dan rasul (Perjanjian Baru) dalam Alkitab. Kalau gereja tidak lagi memberitakan firman Tuhan dan firman Tuhan tidak lagi diajarkan pada jemaat, maka gereja itu pada dasarnya sudah tidak lagi memiliki dasar untuk berdiri. Nah, semangat untuk kembali kepada pengajaran firman Tuhan dan menekankan pentingnya firman Tuhan ditegakkan adalah semangat reformasi. Apakah berlebihan kalau saya sekarang ini mengajak kita semua mereformasi gereja kita masing- masing? In Christ, Yulia <yulia(at)in-christ.net> <http://reformed.sabda.org/> <http://fb.sabda.org/reformed/> ====================================================================== PENTINGNYA PENDIDIKAN FIRMAN TUHAN DALAM HIDUP BERJEMAAT Sejarah bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa keberhasilan penjajahan dalam kurun waktu 3,5 abad lamanya adalah karena si penjajah TIDAK menyediakan PENDIDIKAN bagi rakyat. Alhasil, rakyat tidak dapat berpolitik, mudah dikelabui, bahkan tidak mampu mengambil alih pemerintahan. Demikian pula saya berkeyakinan, bahwa manusia tidak akan dapat menikmati kepenuhan kemerdekaan yang disediakan oleh Tuhan Yesus bila orang-orang Kristen TIDAK DIDIDIK dalam KEBENARAN ALLAH. Bahkan firman Tuhan mengatakan, merajalelanya ajaran-ajaran palsu yang berkedok "kekristenan" dan "Roh Kudus", dapat mengakibatkan orang Kristen kembali "dijajah" oleh kuasa kegelapan. Sungguh menakutkan kalau kita membayangkan hal ini. Saya pribadi merasa ngeri, bila kekuatiran Paulus yang diutarakan pada jemaat di Korintus sungguh akan menjadi kenyataan, yakni "orang-orang Kristen menyia-nyiakan kasih karunia Allah" (2 Kor. 6:1). Kalau kita memerhatikan keadaan gereja-gereja, anak-anak Tuhan pada dewasa ini, sungguhlah harus menimbulkan beban untuk benar-benar memikirkan bagaimana MENDIDIK anak-anak Tuhan, gereja-gereja Tuhan, pengerja-pengerja Tuhan dengan kebenaran Tuhan yang "ada sejak semula" (meminjam istilah para rasul). Menurut observasi kami, dewasa ini terdapat beberapa gejala sebagai berikut. a. Anak-anak Tuhan yang begitu besar hasratnya untuk mengetahui kebenaran telah berhasil dipikat untuk mendengar serta mempelajari "kebenaran-kebenaran" yang sudah banyak dibubuhi dengan "bumbu- bumbu masak" supaya "asyik", "enak rasanya", dan "sedap kedengarannya". Apakah sudah tiba saatnya apa yang dinubuatkan Rasul Paulus menjadi kenyataan, bahwa orang-orang mengumpulkan "guru" menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya?! Menurut hemat saya, belum! Tetapi kita selaku hamba-hamba Tuhan telah gagal dalam menggembalakan domba-domba Allah. Kita lebih tertarik pada "yang di luar"; undangan- undangan yang begitu memikat untuk khotbah/memimpin di luar, undangan- undangan untuk membawakan berbagai seminar, bahkan undangan dan tawaran studi. Tak heran kalau Tuhan, Gembala yang Agung berkeluh kesah: "Celakalah gembala-gembala Israel yang menggembalakan dirinya sendiri! Domba- domba-Ku berserak dan tersesat di semua gunung dan di semua bukit yang tinggi." Maka dalam kelaparannya, domba-domba Tuhan makan apa saja yang dapat dimakannya! b. Gereja yang seharusnya menjadi tiang kebenaran kini mengikuti mode- mode persekutuan, mode tepuk tangan, mode "oikumene", dll.. Gereja kini sudah kehilangan identitasnya -- merah tidak, putih pun tidak tetapi samar-samar. Hamba-hamba Tuhan takut mengajarkan doktrin- doktrin tegas, jelas, dan nyata. Gereja kita menjadi "banci". Maklum, tanpa penyesuaian diri kita akan kehilangan jemaat! Gereja dewasa ini merupakan gereja massa, gereja manusia dan bukannya gereja Kristus yang JELAS IDENTITASNYA. Adanya perbedaan paham doktrinal tidak perlu menjadikan kita eksklusif! Bukankah gereja Tuhan adalah satu? c. Dikhawatirkan bahwa dewasa ini (kaum saya) para hamba Tuhan sudah kehilangan wibawa untuk berkata: "Demikianlah SABDA Tuhan serta sekalian alam!" Apakah hamba Tuhan merupakan suatu profesi atau suatu panggilan Allah? Maklum dengan kemajuan zaman, ada banyak tuntutan- tuntutan -- tuntutan kebutuhan pribadi, tuntutan kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Kasihan manusia-manusia yang "ditakdirkan" tinggal di desa dan kota kecil yang "kering". Mereka "terpaksa" harus belajar untuk berdikari. Gedung-gedung mewah yang penuh sesak sudah menanti. Di situlah dibutuhkan "hsamba Tuhan". Tidak mengherankan kalau ada orang yang bertanya: "Masih perlukah ada gereja? Masih perlukah hamba- hamba Tuhan?" Sebaliknya, "Perlukah saya menjadi seorang hamba Tuhan pada zaman modern ini, yang hanya menjadi `sasaran` frustrasi manusia, menjadi `budak- budak` tuan-tuan dalam gereja? Bukankah perbuatan yang bodoh untuk menjadi `seperti Gembala Agung yang tidak membuka mulut- Nya ketika diguntingi bulu-Nya?`" Jeritan panggilan Tuhan Yesus tetap belum tercoret dari Kitab Suci yang demikian bunyinya: "Siapakah yang dapat: Kusuruhkan?" Lihatlah semuanya sudah menguning! Penuai begitu jarang! Maklum mentalitas penuai modern: Berapa gajinya? Bagaimana jaminan sosialnya? Apa haknya? Apa kerjanya? Kaumku, para hamba Tuhan, "gelap" sudah hampir tiba! Pekerjaan masih jauh dari sempurna. Penuai tetap (bahkan berkurang). Sudahkah kita lupa pengorbanan Kristus yang begitu besar, berharga, dan sungguh tidak terbayarkan! Tekanan yang terdapat dalam Kitab Suci, kesibukan utama Tuhan Yesus sewaktu Ia masih ada di dunia, yang diikuti oleh kegiatan para rasul, kemudian adalah PENDIDIKAN, PENGAJARAN! Maka marilah kita MENDIDIK, MENGAJAR, MENGGEMBALAKAN domba-domba yang sudah ditebus-Nya dan yang dipercayakan kepada kita untuk dipeliharakan. 1. Jangan kita singkirkan dan tolak undangan-undangan luar. Maklum di satu pihak, gereja Tuhan bukanlah gereja yang kita asuh saja. Gereja Tuhan itu universal. Setiap hamba Tuhan menanggung kewajiban untuk melayani semua domba Tuhan, SEJAUH MANA yang DIPERKENAN oleh Tuhan. Pada lain segi, katak dalam tempurung. Hamba Tuhan dalam gereja sendiri saja akan merugikan jemaat juga. Maka perlu disusun suatu daftar prioritas berdasarkan: a. Di manakah kita dipanggil untuk bekerja? b. Di manakah kini kita ditempatkan Tuhan yang Empunya kebun anggur? 2. Hamba Tuhan berbeda dengan guru pengajar yang tinggal mengajar berdasarkan kurikulum. Hamba Tuhan menyampaikan BERITA Allah, KEHENDAK Allah, dan PENGETAHUAN Allah. Dan semua itu, selain membutuhkan persiapan yang saksama dan bertanggung jawab, juga komunikasi intensif dengan Dia. Hal ini tidak saja membutuhkan waktu banyak, tapi juga konsentrasi dan ketaatan yang meminta pengorbanan! Kalau guru pengajar sudah memiliki pedoman buku pelajaran yang ditetapkan oleh atasan, tidaklah demikian dengan hamba Tuhan yang perlu menggali sampai dalam, melalui pengalaman- pengalaman hamba Tuhan lainnya, para penulis buku- buku yang tetap memegang kebenaran "yang dari semula", juga pengalaman hidup kita sendiri dengan Tuhan, karena bukankah kita seharusnya menyampaikan apa yang telah "kita dengar dan alami sendiri dari Tuhan"? Melalui pengalaman ini, yang kita peroleh kalau kita bersedia untuk menerima pahit getir hidup, dengan menelan garam untuk diperbudak dan diperalatnya kita oleh tuan-tuan gereja, barulah kita "berguna" bagi anak-anak Tuhan. Dan meminjam istilah Rasul Paulus, seorang hamba Tuhan perlu mengalami pengalaman "ditindas, habis akal, dianiaya, ditinggalkan sendirian, dihempaskan". Ya, kita perlu senantiasa mengalami "kematian Yesus dalam tubuh kita" (2 Kor. 4). Dunia sudah muak dengan filsafat, politik, dan "ajaran yang tinggi". Manusia/domba-domba Allah/anak-anak Tuhan membutuhkan makanan yang dapat dimakan, yang bergizi, menyehatkan, enak, dan praktis untuk diterapkan. 3. Pencobaan Rasul Paulus sebagai seorang ahli filsafat untuk mengajar secara "hebat" sangat besar, tetapi ia memilih bahasa yang dianggap "kebodohan" oleh dunia tetapi yang memiliki kuasa, karena firman Allah saja yang diberitakannya. Memang dunia dewasa ini minta "bahasa hikmat", tetapi panggilan hamba Tuhan adalah: bukan menggunakan kata- kata hikmat tetapi kata-kata yang memiliki kekuatan Roh (1 Kor. 2) Untuk itu, perlu ada kesetian pada firman Allah saja! Kewajiban hamba Tuhan bukanlah memberikan impresi, melainkan REVELASI dan REGENERASI. Di samping itu, perlu juga MAKANAN DAGING YANG KERAS, yaitu doktrin- doktrin yang mendalam, yang tegas, yang berani kita ajarkan, agar sebagaimana tulang belulang memberi bentuk kepada tubuh seseorang, demikianlah kita dapat memberi bentuk kepada gereja dan anak-anak Tuhan. 4. Kedudukan yang tinggi yang tidak dapat digantikan orang lain, memang menjamin keberadaan kita, "dibutuhkannya" kita dalam gereja. Tetapi Tuhan Yesus "membutuhkan" dua belas murid. Musa membutuhkan wakil-wakilnya, para penatua. Para Rasul membutuhkan juga penatua- penatua. Memang aristokrasi gereja tidaklah sesuai dengan pola Tuhan Yesus dalam pendirian gereja-Nya. Hal ini ditekankan melalui gambaran fungsi seluruh anggota tubuh yang bergantung satu pada yang lain untuk kemudian bekerja sama-sama. Oleh sebab itu, sesuai panggilan-Nya (Ef. 4:11-12), kita wajib MELENGKAPI, MENDIDIK, MEMBEKALI, serta MELIBATKAN sebanyak mungkin anak-anak Tuhan dalam pelayanan, pemerintahan. Bahaya senantiasa mengancam hamba-hamba Tuhan, yang pada suatu saat ingin menguasai segala sesuatu, tetapi pada lain saat "melepaskan" semua kepada anak-anak Tuhan tanpa pengarahan, pembekalan, dan pendidikan. Akibatnya anak-anak Tuhan/para pengerja gereja, masing-masing berbuat apa yang benar di matanya sendiri, ini adalah merupakan pengulangan gejala pada zaman Hakim-Hakim. 5. Masih dalam rangka pendidikan, Rasul Paulus suka menasihati jemaatnya, agar mereka mengikuti teladan hidupnya. Menurut pengamatan saya, salah satu kegagalan pendidikan hamba Tuhan dewasa ini adalah: kita tidak dapat memberikan teladan hidup kepada jemaat kita. Sebagai contoh: Persoalan "hari Sabat". Kita selaku hamba Tuhan dengan keras dan tegas menuntut jemaat kita memegang teguh hari Sabat tersebut misalnya dengan menutup toko, berhenti bekerja. Tetapi bagaimana dengan pekerjaan kita sendiri selaku hamba Tuhan? Apakah peraturan Sabat tidak berlaku bagi seorang hamba Tuhan? Benarkah kalau hari Sabat, yaitu sehari berhenti setelah bekerja 6 hari, dilaksanakan sebentar pada hari ini, sebentar pada hari lain oleh seorang hamba Tuhan? Apakah salah kalau jemaat meniru teladan hamba Tuhan tadi? Harus diakui bahwa kegagalan banyak hamba Tuhan untuk melaksanakan hari Sabat adalah tidak diperolehnya izin dari majelis/pengurus gereja. Tetapi apakah kegagalan mendapat izin ini tidak terletak pada diri kita sendiri yang gagal mendidik, gagal bekerja sungguh-sungguh selama 6 hari?! Teladan lain adalah berbaktinya keluarga hamba Tuhan terutama kalau anak-anak masih kecil -- belum sekolah -- apakah perlu ke kebaktian anak-anak? Dan kalau sudah bertumbuh, perlukah mereka semua terlibat dalam pelayanan juga? Salahkah suami istri untuk bertugas bersama-sama keluar kota memenuhi undangan pelayanan? Salahkah kalau seminggu sekali seluruh keluarga -- hamba Tuhan, istri dan anak-anak -- pergi bersama-sama untuk rileks? Sampai di manakah di dalam pendidikan jemaat kita, kita membenarkan suami, karena kesibukannya, tidak perlu mendampingi keluarganya pergi? Pernah seorang penulis buku yang alkitabiah mengemukakan bahwa panggilan hamba Tuhan adalah: a. melayani Tuhan pertama-tama, b. melayani keluarganya sebagai yang kedua, dan c. melayani jemaat/gereja sebagai yang ketiga. Sebagai penutup, perkenankan kami untuk mohon maaf, seandainya melalui artikel ini, saya mungkin telah menyinggung teman-teman sejawat saya, karena melalui artikel ini, saya tidak ingin menggurui, sebaliknya ingin sharing observasi, sharing beban, sharing pandangan untuk mendapatkan pandangan, pendapat, nasihat, serta bimbingan dari teman- teman sejawat, karena bukankah kita sama-sama pelayan-Nya yang ditugaskan untuk membangun gereja-Nya, memelihara domba-domba-Nya. Kita wajib melaksanakan kewajiban/panggilan kita tadi dengan sebaik- baiknya. Catatan: Pdt. D.S. Hananiel lahir di Surabaya. Pada tahun 1934 hijrah dan menetap di kota Malang. Karena mengalami berbagai zaman, maka pendidikan beliau sangat bervariasi: pendidikan Belanda, Tionghoa, Jepang, Indonesia, dan Inggris. Selama 24 tahun terdidik dan mengabdi kepada Khong Hu Cu, Kwan Im, dan Kong Co di Kelenteng Malang. Oleh sebab itu, beliau pada dasarnya adalah anti-Kristus. Pertobatan beliau dimulai dari penyelidikan Kitab Suci yang tujuan semulanya adalah untuk mencari kelemahan dan kesalahan kekristenan. Setelah menjadi anak Tuhan, beliau menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan. Dan pada tahun 1960, beliau melayani sebagai penginjil, kemudian pada tahun 1969 ditahbiskan menjadi pendeta. Saat ini melayani Gereja Eleos Malang, juga selaku dosen dan penanggung jawab kerohanian (Kristen) di kampus Universitas Brawijaya Malang. ====================================================================== Diambil dari: Nama majalah: Pelita Zaman (edisi no. 2 tahun 1987) Penulis: Pdt. D.S. Hananiel Penerbit: Pelita Zaman, Surabaya 1987 Halaman: 45 -- 48
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |