Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/111

e-Reformed edisi 111 (27-5-2009)

Arsitek Teologi Reformasi: John Calvin

 
Dear e-Reformed Netters,

 Untuk kesekian kalinya kita akan membahas tentang Bapak Reformator 
 yang sudah sangat kita kenal, yaitu Yohanes Calvin. Ia, bersama-sama 
 dengan Zwingli, Farel, dan Bucer yang mendahuluinya, memberi jasa 
 yang besar bagi perkembangan kekristenan di Indonesia. Anda mungkin 
 bertanya: "Kok bisa?"

 Jika kita membaca sejarah gerakan Reformasi, maka kita akan melihat 
 bahwa selain di Swiss, salah satu pusat gerakannya adalah di Belanda. 
 Semenjak abad ke-17, para misionaris Belanda, termasuk yang dikirim 
 ke Indonesia, telah memperkenalkan Protestanisme. Diperkirakan ada 65 
 hingga 200 ribu jiwa yang menjadi percaya pada 1815 di bawah gereja 
 Reformasi yang diakui pemerintah Belanda saat itu, yaitu Gereja 
 Protestan Hindia Timur. Pada 1914, ada kira-kira setengah juta orang 
 yang telah dibaptis di wilayah jajahan Hindia Belanda. Gerakan misi-
 misi Kristen ini memasuki wilayah-wilayah Indonesia yang terpencil 
 dan mereka melayani melalui sekolah-sekolah dan balai-balai 
 pengobatan. Mereka juga terlibat dalam memperkenalkan bahasa-bahasa 
 daerah yang belum pernah mengenal sistem tulisan sebelumnya dengan 
 menerbitkan bahasa cetak mereka yang pertama dalam buku-buku, 
 terutama Alkitab dan buku-buku Kristen. Secara tidak langsung, hal-
 hal yang disebutkan di atas ini menjadi hasil dari buah karya gerakan 
 Reformasi Calvin bagi gereja dan masyarakat Kristen Indonesia secara 
 luas.

 Kembali ke Eropa, hingga saat ini, kita masih bisa melihat dampak 
 teologi Reformasi dengan melihat kota Jenewa pada khususnya dan 
 negara Swiss pada umumnya. Negara ini terkenal sebagai wilayah yang 
 paling rendah tingkat kriminalitasnya dan paling tinggi taraf hidup 
 masyarakatnya. Mengapa dampak teologi Reformasi ini bisa sedemikian 
 luas dan kuat? Silakan membaca artikel di bawah ini dan Anda akan 
 memahami jawabannya.

 In Christ, 
 Redaksi Tamu e-Reformed, 
 Kusuma Negara 
 http://reformed.sabda.org/

----------------------------------------------------------------------

                ARSITEK TEOLOGI REFORMASI: JOHN CALVIN

 Apabila Luther adalah prajurit yang meluncurkan tembakan pembukaan 
 Reformasi, maka Calvin adalah pakar utama yang mengonsolidasikan 
 hasil-hasil kemajuan Protestan. Ia berusaha mereformasi bukan hanya 
 doktrin dan organisasi gereja, seperti yang dilakukan oleh Luther, 
 tetapi juga tatanan sosial-politik sesuai dengan firman Allah. Lahir 
 di Noyon, Perancis, pada tahun 1509, 8 tahun sebelum Luther memakukan 
 95 tesisnya di pintu gereja di Wittenberg, Calvin adalah tokoh 
 Reformasi generasi kedua. Ia belajar di beberapa sekolah untuk 
 mendapat pendidikan humanisme.

 Setelah ayahnya meninggal, ia meninggalkan studi hukumnya dan beralih 
 ke teologi. Seperti Luther, ia mengalami pertobatan yang dramatis, 
 namun ia tidak digerakkan oleh rasa bersalah dan rasa takut yang 
 mencekam seperti rekan Jermannya itu. Ketika penganiayaan hebat pecah 
 menimpa para tokoh Reformasi Protestan, Calvin berpindah-pindah untuk 
 seketika lamanya di Perancis dengan beberapa nama samaran, dan 
 kemudian menetap di Basel, Swiss, di mana ia mulai menulis bukunya, 
 Institutes of the Christian Religion.

 Di antara banyak kontribusi yang diberikan oleh Calvin bagi 
 Reformasi, buku ini yang paling bertahan. Menjelang penerbitan edisi 
 terakhirnya tahun 1559, buku ini telah bertumbuh dari eksposisi 
 ringan doktrin Kristen (enam bab) menjadi karya teologi Reformasi 
 yang paling signifikan. Mula-mula buku ini adalah suatu diskusi 
 tentang Sepuluh Perintah Allah, Pengakuan Iman Rasuli, dan Doa Bapa 
 Kami. Dalam bentuk finalnya yang terdiri dari delapan puluh bab, buku 
 ini diorganisasi menjadi empat buku yang terdiri dari pokok bahasan 
 tentang Allah, Kristus, Roh Kudus, dan gereja.

 Pada tahun 1536, Calvin dengan enggan menyetujui untuk membantu 
 William Farel, yang mengancam dia dengan hukuman ilahi apabila ia 
 tidak mau bergabung dengan usaha Reformasi di Jenewa. Calvin dan 
 Farel mencoba untuk menjadikan kota itu sebagai satu model komunitas 
 Kristen dengan menegakkan hukum moralitas yang tinggi.

 Tetapi orang-orang Jenewa yang liberal menghalangi usaha-usaha 
 reformasi itu. Setelah diusir oleh kota itu, Calvin kemudian pergi ke 
 Strassbourg di mana ia menggembalakan sebuah gereja dari para 
 pengungsi Protestan Perancis selama 3 tahun. Itu adalah tahun-tahun 
 kehidupannya yang paling bahagia. Ia mendapatkan seorang istri, 
 menulis sebuah liturgi Protestan untuk menggantikan aturan ibadah 
 Katolik, bekerja bersama para tokoh Reformasi Jerman untuk 
 mempersatukan kembali gereja, dan mulai menulis tafsiran-tafsirannya, 
 yang akhirnya meliputi 49 kitab Alkitab.

 Kemudian Jenewa memanggilnya kembali. Melalui aklamasi publik, Calvin 
 kembali pada tahun 1541 karena para penerusnya gagal dalam 
 kepemimpinan mereka. Di bawah bimbingan Calvin, Jenewa menjadi sentra 
 internasional gerakan Reformasi. Pandangan-pandangan teologis, 
 sosial, dan politiknya dikagumi di banyak negara ketika para 
 pengungsi Protestan dari seluruh Eropa berkumpul di Jenewa di mana 
 mereka mendirikan gereja-gereja lokal mereka sendiri. Calvin menjadi 
 satu- satunya tokoh Reformasi internasional melalui korespondensi 
 yang luas dengan para pengungsi ini ketika mereka kembali ke negeri 
 mereka masing-masing sebagai misionaris-misionaris bagi 
 Protestanisme.

                   Teologi Calvin: Kedaulatan Allah

 Ide-ide Calvin, seperti juga ide-ide Luther, pada dasarnya 
 menghidupkan kembali Augustinianisme. Prinsip fundamental yang 
 mengisi setiap bab Institutes-nya adalah pandangannya tentang Allah 
 sebagai Raja yang berdaulat atas segala ciptaan. Kedaulatan Allah 
 bukanlah suatu ide yang abstrak dan spekulatif, tetapi merupakan 
 suatu prinsip yang dinamis, suatu realitas yang menginformasikan 
 kehidupan yang konkret, yang membentuk diskusi Calvin tentang setiap 
 doktrin. Calvin berkeinginan bahwa pengenalan orang-orang percaya 
 akan Allah "lebih berisi pengalaman hidup daripada spekulasi yang 
 melayang tinggi dan sia-sia" (Institutes 1. 10. 2).

 Dari semua atribut Allah, yang paling penting untuk dialami secara 
 pribadi adalah providensi-Nya karena atribut ini paling konkret 
 menunjukkan kedaulatan-Nya. Providensi Allah tak dapat dipisahkan 
 dari karya-Nya sebagai Pencipta. Tetapi jika Allah hanya sekadar 
 Pencipta, Ia tidak akan berhubungan dengan ciptaan itu, sama seperti 
 seorang pembuat jam yang tidak lagi terlibat dengan beroperasinya 
 sebuah jam setelah ia membuatnya. Sebab itu, Calvin memandang 
 providensi pemeliharaan Allah meliputi seluruh tatanan ciptaan. "Ia 
 menopang, memberi makan, dan memerhatikan segala sesuatu yang telah 
 dijadikan- Nya, bahkan burung pipit yang tak berarti sekalipun" 
 (Institutes 1. 16. 1). Rencana rahasia Allah mengatur segala 
 eksistensi, dari benda- benda yang tak berjiwa sampai kehidupan 
 binatang dan juga manusia. Kehendak Allah yang tak terselidiki akan 
 mengarahkan segala sesuatu. Implikasi-implikasi pandangan tentang 
 Allah ini jelas sangat luas. Calvin bersikeras bahwa pandangannya 
 tidak memimpin ke dalam fatalisme atau menolak tanggung jawab 
 manusia. Berulang-ulang, ia menegaskan bahwa perhatian utamanya 
 adalah menerangkan apa yang diajarkan oleh Alkitab tentang pokok yang 
 sukar ini. Allah tidak berlaku seperti tuan tanah yang tidak ada di 
 tempat. Ia secara akrab melibatkan diri dengan ciptaan. Calvin 
 mengutip beberapa nas dari Perjanjian Lama maupun Baru untuk 
 mendukung kendali Allah yang menyeluruh atas apa yang telah 
 dijadikan-Nya. Sementara menegaskan providensi Allah, ia menolak 
 gagasan tentang nasib, kebetulan, dan keberuntungan serta 
 menganggapnya sebagai "temuan-temuan kafir".

 Sebab itu, sejak awal Calvin membicarakan doktrin tentang Allah 
 sebagai Pencipta dan Pemelihara, bukan sebagai Penyebab pertama atau 
 Penggerak yang tidak digerakkan, yang abstrak dan impersonal. 
 Termasuk dalam gagasan tentang Allah sebagai Pencipta adalah bahwa 
 Allah berpribadi dan bahwa Ia berkehendak dan mengatur apa yang telah 
 dijadikan-Nya. Tidak seperti pandangan Aquinas, ide Calvin tentang 
 Allah yang berpribadi tidak ditambahkan setelah ia terlebih dahulu 
 membuktikan eksistensi-Nya (seperti yang dilakukan oleh Aquinas 
 ketika mengadaptasi bukti-bukti rasional Aristoteles tentang suatu 
 Penggerak yang tidak digerakkan atau Penyebab pertama). Calvin 
 menolak dan menganggap tidak alkitabiah segala ide tentang Allah 
 sebagai sekadar Penggerak pertama yang mengawali "suatu gerakan 
 universal tertentu, menggerakkan seluruh mesin dunia dan masing-
 masing bagiannya" (Institutes 1. 16. 1). Allah itu berpribadi dan 
 secara aktif berpartisipasi dalam ciptaan.

 Dengan demikian, Calvin membicarakan providensi Allah tidak sekadar 
 untuk isi intelektual dari providensi tersebut, tetapi untuk nilai 
 religius praktis yang luar biasa besarnya bagi orang beriman. 
 Kepercayaan pada providensi Allah memberi penghiburan besar kepada 
 orang beriman bahwa segala kehidupan berada di bawah kendali Bapa 
 surgawi yang penuh kasih. Pada saat yang sama, kepercayaan ini 
 memberi suatu rasa takjub dan takut yang sepantasnya terhadap Allah, 
 karena dalam rencana-Nya, Allah juga menyatakan kepada orang-orang 
 Kristen tanggung jawab mereka untuk menemukan dan menggenapi 
 kehendak-Nya. Berusaha mempertemukan kedaulatan Allah dengan tanggung 
 jawab manusia, Calvin menegaskan penundukkan pada kehendak Allah dan 
 mengakui serta menerima bagaimana Allah memakai keadaan-keadaan 
 sekitar untuk mengajar kita taat pada firman-Nya.

 Hati orang Kristen, karena ia telah diyakinkan bahwa segala sesuatu 
 terjadi oleh rencana Allah, dan bahwa tidak ada suatu apa pun yang 
 terjadi secara kebetulan, akan selalu melihat kepada-Nya sebagai 
 Penyebab utama dari segala hal, tetapi juga akan memberi perhatian 
 pada penyebab-penyebab kedua di tempat mereka yang sepantasnya .... 
 Sejauh menyangkut manusia, apakah ia baik atau jahat, hati orang 
 Kristen akan mengetahui bahwa segala rencana, kehendak, usaha, dan 
 kemampuan manusia berada dalam tangan Allah; bahwa itu berada dalam 
 pilihan-Nya untuk mengarahkannya sesuai dengan kehendak-Nya atau 
 mengekangnya kapan pun Ia menghendakinya (Institutes 1. 17. 6).

 Orang-orang Kristen tidak hanya mengerti dan mengalami providensi 
 Allah melalui iman, tetapi juga menyerahkan kehendak mereka pada 
 kedaulatan Allah untuk menaati perintah-perintah-Nya. Kaum Calvinis 
 dilegakan dari kecemasan yang menulahi orang-orang tak percaya yang 
 tidak menyadari maksud dan rencana Allah yang sedang dikerjakan dalam 
 kehidupan sehari-hari. Meskipun menjalankan tanggung jawab mereka 
 sendiri untuk mengatur kehidupan mereka sehari-hari menurut prinsip-
 prinsip alkitabiah, kaum Calvinis mengakui dan menerima dengan iman 
 yang sederhana bahwa apa pun yang terjadi berada di bawah 
 pemeliharaan providensia Allah.

        Antropologi Calvin: Penciptaan, Kejatuhan, Penebusan

 Karena Allah adalah Raja yang berdaulat yang memerintah atas ciptaan-
 Nya, maka segala sesuatu yang diciptakan-Nya, termasuk manusia, harus 
 melayani dan memuliakan Dia. Moto Calvin menjelaskan tugas kita: 
 "Hatiku kupersembahkan kepada-Mu, O Tuhan, siap dan tulus."

 Karena manusia telah berdosa, mereka tidak hidup sesuai maksud asali 
 mereka. Seperti Luther, Augustinus, dan Paulus, Calvin dengan tajam 
 mempertentangkan kemuliaan dan ketulusan asali manusia sebagai gambar 
 Allah dengan kerusakan dan kefasikannya setelah kejatuhan.

 Alkitab melukiskan manusia yang telah jatuh sebagai manusia yang 
 tidak memunyai kebaikan dan kekuatan. Tidak ada perbuatan manusia 
 yang tak ternodai oleh kerusakan yang diakibatkan oleh kejatuhan itu. 
 Meskipun gambar ilahi tidak sama sekali rusak, tetapi gambar ini 
 telah mengalami distorsi yang luar biasa. Dihukum karena dosanya 
 dengan diambil hikmat dan kebenarannya, Adam menunjukkan kebodohan, 
 kesia- siaan, dan kefasikan. Adam yang telah jatuh ini menurunkan 
 pembawaan- pembawaan ini kepada keturunannya dalam kesalahan dan 
 kerusakan yang disebut sebagai "dosa asal". Dosa asal bukan hanya 
 kerusakan yang diwariskan, tetapi juga, menurut Calvin, merupakan 
 kesalahan yang diimputasikan, suatu putusan hukum yang dikenakan oleh 
 Allah seperti dalam sidang pengadilan. Mengulangi pengajaran Paulus 
 dalam Roma 5, Calvin mengajarkan bahwa Adam berdosa bukan sekadar 
 bagi dirinya, tetapi sebagai seorang wakil federal bagi seluruh umat 
 manusia, sama seperti Kristus, "Adam Kedua", yang mati sebagai wakil 
 bagi dosa manusia.

 Kerusakan yang kita warisi berarti bahwa setiap kehendak individual 
 diperbudak oleh dosa, dan kita sama sekali tidak dapat melakukan yang 
 baik. Manusia yang jatuh tidak memunyai kehendak bebas moral. Karena 
 kehendak manusia dalam keadaan naturalnya, belum ditebus, adalah 
 hamba dosa, hanya orang-orang yang telah dibebaskan oleh anugerah 
 Allah-lah yang adalah agen-agen moral yang bebas. Tidak setuju dengan 
 banyak filsuf, Calvin bersikeras bahwa kehendak dan rasio manusia 
 begitu dilumpuhkan oleh dosa sehingga ia tidak dapat berfungsi 
 seperti yang dimaksudkan sejak asalnya, manusia tidak dapat berbuat 
 baik dan menyembah Allah. Calvin berpendapat bahwa, di antara semua 
 Bapa Gereja, hanya Augustinus yang mengenali cakupan sepenuhnya dari 
 kerusakan manusia. Dosa begitu merusakkan natur manusia sehingga 
 manusia dalam keberadaan totalnya (akal, kehendak, afeksi, dsb.) 
 dapat melakukan yang baik yang diwajibkan Allah baginya hanya melalui 
 anugerah Allah saja.

 Pandangan Calvin tentang keselamatan adalah bahwa dalam kasih dan 
 ketaatan dan sebagai pengganti, Kristus telah membayar hukuman bagi 
 dosa di Kalvari untuk menyelamatkan orang-orang yang telah dipilih 
 Allah untuk diselamatkan. Dalam penebusan, anugerah Allah 
 diimputasikan kepada (dianggap sebagai milik) orang-orang percaya, 
 bukan diinfusikan (dicurahkan) ke dalam diri orang-orang percaya. 
 Calvin menerangkan doktrin keselamatan dalam pembicaraannya tentang 
 karya Roh Kudus, yang menerapkan karya Kristus kepada orang percaya. 
 Roh menciptakan pertobatan dan iman dalam hati serta memperbarui 
 gambar Allah dalam orang-orang yang telah dipilih untuk ditebus itu. 
 Mengikuti Paulus dalam Efesus 2:8-9, Calvin menyatakan bahwa iman 
 adalah sarana yang melaluinya orang-orang percaya dipersatukan dengan 
 Allah, tetapi iman itu sendiri adalah suatu pemberian dari Allah. 
 Perbuatan baik mengikuti iman, tetapi tidak dapat menjadi dasar bagi 
 keselamatan. Dalam keselamatan, seperti dalam penciptaan dan penataan 
 dunia, tema Calvin yang berulang adalah kebergantungan manusia pada 
 kedaulatan Allah.

 Calvin memakai istilah pemilihan untuk menerangkan bagaimana 
 kedaulatan Allah beroperasi dalam keselamatan. Hanya setelah memahami 
 kondisi keberdosaan manusia, kita dapat memahami keniscayaan adanya 
 pilihan. Orang-orang yang tidak menegaskan pemilihan oleh Allah, 
 menurut pendapat Calvin, cenderung kepada berbagai bentuk 
 Pelagianisme, yang mengajarkan bahwa manusia dapat mengusahakan 
 keselamatan mereka sendiri tanpa anugerah Allah atau memerlukan 
 anugerah untuk membantu mereka dalam usaha menyelamatkan diri 
 sendiri. Doktrin Calvin tentang pilihan atau predestinasi menentang 
 pandangan Renaisans tentang "homo mensura" (manusia adalah ukurannya) 
 dan gagasan abad pertengahan tentang anugerah kooperatif, yang 
 keduanya mendukung otonomi manusia.

 Dalam menerangkan tentang doktrin pilihan, Calvin menegaskan hanya 
 ide-ide yang secara jelas diajarkan dalam Alkitab. Ia mencela setiap 
 teologi yang melampaui pengajaran eksplisit Alkitab sebagai pemikiran 
 spekulatif. Sebab itu, argumen pertamanya adalah bahwa Alkitab secara 
 gamblang mengajarkan tentang pemilihan melalui istilah-istilah 
 seperti memilih, mempredestinasi, dan lain-lain. Misalnya, dalam 
 Perjanjian Lama, Allah memilih Israel untuk menerima penyataan 
 khususnya dalam kovenan dengan Musa. Allah memilih Israel bukan 
 karena ada jasa atau ada kualitas tertentu yang dimiliki oleh orang-
 orang Yahudi, tetapi hanya karena Ia berkehendak menunjukkan 
 anugerah-Nya dengan menebus mereka sebagai satu umat (lih. Ul. 7:7-
 8). Bahkan di dalam Israel, tidak semua orang dipilih, tetapi hanya 
 satu "sisa" (Kej. 45:7; Yes. 10:21). Calvin mengutip kedaulatan Allah 
 dalam "memilih Yakub dan menolak Esau" sebagai contoh pemilihan (Rm. 
 9:13). 
 Dengan demikian, pemilihan bersifat kolektif dan juga 
 individual dalam Alkitab. Dari Abraham sampai para nabi, Allah 
 memanggil satu bangsa untuk menjadi milik-Nya.

 Calvin mencatat banyak nas dalam Perjanjian Baru yang 
 mengilustrasikan kedaulatan Allah dalam pemilihan dan predestinasi. 
 Misalnya, pernyataan Yesus: "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi 
 Akulah yang memilih kamu" (Yoh. 15:16) (*1), dan perkataan Paulus, 
 "Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan 
 .... Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk 
 menjadi anak- anak-Nya" (Ef. 1:4-5) (*2), meneguhkan kedaulatan Allah 
 dalam pilihan. Calvin menyimpulkan bahwa Alkitab dengan jelas 
 mengajarkan predestinasi. Kedaulatan anugerah Allah dalam pemilihan 
 adalah keniscayaan karena manusia mati dalam dosa, tanpa kebebasan 
 kehendak yang sejati, manusia tidak dapat memilih Allah bagi dirinya 
 sendiri. Tanpa predestinasi, Allah tidak berdaulat, umat manusia akan 
 terhilang dalam dosa secara kekal. Dalam rencana penebusan-Nya, Allah 
 memilih untuk menebus sebagian manusia untuk memuliakan nama-Nya yang 
 kudus. Alasan mengapa Ia memilih metode keselamatan seperti itu 
 berada dalam kehendak-Nya sendiri yang berdaulat.

 Akhirnya, Calvin menjawab keberatan-keberatan yang diajukan terhadap 
 doktrin pemilihan. Tanggapan-tanggapan mengambil beberapa bentuk:

 (1) Sebelumnya ia telah menyatakan bahwa kehendak bebas adalah suatu 
 ciptaan filsafat yang keliru. Jika manusia "mati dalam dosa" (Ef. 
 2:1), 
 maka hanya anugerah Allah saja yang dapat menyelamatkannya. 
 Pengajaran alkitabiah tentang dosa asal menjawab banyak keberatan 
 terhadap doktrin pilihan, karena kerusakan manusia adalah suatu 
 presuposisi penting tentang keniscayaan predestinasi Allah yang 
 berdaulat.

 (2) Sebagian keberatan adalah karena menganggap pemilihan itu tidak 
 adil, membuat rasa tanggung jawab kita menjadi tidak ada artinya. 
 Calvin menjawab bahwa dalam Alkitab, Allah sendiri adalah prinsip 
 keadilan yang tertinggi. Seperti yang terlihat jelas dalam contoh 
 Perjanjian Lama tentang Ayub, manusia tidak boleh memegahkan diri dan 
 menuduh Allah tidak adil jika Ia memilih sebagian dan menolak 
 sebagian lainnya. Mempertanyakan tindakan Allah menyiratkan bahwa 
 kita dapat meminta pertanggungjawaban dari Allah, yang berarti 
 menempatkan diri kita atau klaim-klaim kita di atas Dia. Itu adalah 
 puncak arogansi manusia. Keadilan Allah jauh lebih tinggi melampaui 
 segala konsepsi manusia tentang keadilan.

 Bertentangan dengan pendapat umum, kata Calvin, kedaulatan Allah 
 tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Meskipun kedua hal ini 
 tampaknya tidak dapat diperdamaikan, Alkitab meneguhkan kedua fakta 
 ini, yaitu bahwa anugerah yang berdaulat adalah satu-satunya sarana 
 yang melaluinya kita dapat diselamatkan dan bahwa kita masih harus 
 mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita. Meskipun penalaran 
 manusia yang terbatas tidak dapat menyelesaikan dua fakta yang 
 kelihatan bertentangan ini, kita harus meneguhkan keduanya sebagai 
 kebenaran. Kedaulatan Allah dan akuntabilitas manusia, keduanya 
 diajarkan dalam Alkitab, dan hubungan di antara keduanya sesungguhnya 
 adalah suatu misteri besar. Kedaulatan Allah sendiri mengesahkan 
 tanggung jawab manusia. Pandangan-pandangan yang mengajarkan kehendak 
 bebas sebagai dasar satu-satunya bagi tanggung jawab moral memberikan 
 otonomi kepada pilihan manusia, otonomi yang justru diajarkan oleh 
 Alkitab sebagai milik Allah sendiri saja. Pandangan Calvin lebih 
 seimbang daripada yang sering diakui oleh orang-orang yang 
 meremehkannya. Orang-orang Kristen harus menegaskan kedaulatan Allah 
 atas seluruh tatanan ciptaan, sehingga segala sesuatu ditentukan oleh 
 kehendak Allah yang tak terselidiki, dan tanggung jawab moral dan 
 spiritual kita. Dengan cara yang misterius, di luar pemahaman 
 manusia, Allah menuntut tanggung jawab manusia atas segala 
 tindakannya.

 Suatu nas klasik Perjanjian Baru yang mengajarkan tentang 
 predestinasi sekaligus tanggung jawab manusia adalah Kisah Para Rasul 
 2:23. 
 Dalam khotbah Pentakostanya, Petrus menyatakan bahwa Allah 
 telah mempredestinasikan kematian Yesus di atas salib sebagai bagian 
 dari rencana keselamatan ilahi. Tetapi Petrus juga menyatakan bahwa 
 orang- orang yang menyalibkan Yesus bertanggung jawab atas kematian 
 Sang Anak Allah. Baik predestinasi Allah maupun tanggung jawab 
 manusia tidak dikompromikan, karena keduanya dinyatakan dengan tegas. 
 Tanpa sepenuhnya memahami bagaimana keduanya adalah benar, orang-
 orang Kristen diserukan untuk menekankan keduanya secara seimbang 
 karena keduanya diajarkan dalam Alkitab.

 (3) Dalam mempertahankan doktrin pilihan, Calvin juga merujuk kepada 
 pengalaman eksistensial kita bahwa kita tidak mampu untuk melakukan 
 apa yang diwajibkan oleh Allah dalam firman-Nya. Ia mengutip 
 Pernyataan Paulus dalam Roma 7:15-20 bahwa meskipun kita mengetahui 
 dan ingin melakukan yang baik, kita masih melakukan yang jahat. Kita 
 mendapati dalam firman Allah bahwa anugerah adalah keniscayaan dan 
 dijanjikan kepada kita dan diteguhkan dalam pengalaman kita sendiri. 
 Di samping itu, doktrin pilihan ilahi tidak dimaksudkan untuk membuat 
 orang-orang percaya cemas tentang apakah mereka dipilih atau tidak, 
 tetapi justru mengantisipasi kecemasan seperti itu dengan memberikan 
 keyakinan keselamatan dan penghiburan. Jauh dari sekadar suatu ide 
 spekulatif tentang bagaimana Allah berhubungan dengan ciptaan-Nya, 
 kedaulatan Allah dalam predestinasi, ketika dipahami secara benar, 
 akan memberi nilai praktis yang besar dalam kehidupan sehari-hari. 
 Pengajaran ini memberi kita keyakinan bahwa Allah menjalankan 
 pemeliharan pribadi atas segala peristiwa. Kepercayaan bahwa Allah 
 adalah Tuhan dan Juru Selamat kehidupan pribadi kita menangkal 
 keputusasaan.

 Pada akhir abad keenam belas dan permulaan abad ketujuh belas, Jacob 
 Arminius, seorang teolog Belanda, mengajukan suatu alternatif bagi 
 pandangan tentang predestinasi yang dipegang oleh Augustinus, Luther, 
 dan Calvin. Arminius percaya bahwa prapengetahuan Allah mendahului 
 predestinasi-Nya, sebab itu, pilihan Allah tidak absolut, tetapi 
 bersyarat. Allah memilih orang-orang berdasarkan prapengetahuan-Nya 
 tentang apakah mereka akan menerima atau menolak Kristus dan karya 
 keselamatan-Nya. Arminius berusaha mencari dasar pijak antara 
 kepercayaan Calvin pada predestinasi absolut Allah dan pengajaran 
 Pelagius tentang otonomi manusia. Tidak seperti Pelagius, Arminius 
 percaya bahwa dosa asal tidak hanya melumpuhkan kehendak manusia, 
 tetapi juga menjadikannya sama sekali tidak mampu melakukan apa yang 
 baik terlepas dari anugerah Allah. Tanpa anugerah Allah yang 
 mempersiapkannya, manusia mati dalam dosa. Arminius juga percaya 
 bahwa Kristus tidak membayar hukuman bagi dosa setiap orang, tetapi 
 bahwa penderitaan Kristus tersedia hanya bagi orang-orang yang 
 memilih untuk menerima Dia. Allah mengampuni dosa orang yang bertobat 
 dan percaya. Keselamatan, dengan demikian, adalah suatu usaha kerja 
 sama antara manusia dan Allah, sama seperti yang diajarkan Thomas 
 Aquinas dalam sintesis Abad Pertengahannya.

 Teologi Arminius dengan kuat memengaruhi pemikiran Protestan, 
 khususnya evangelikalisme, di kedua sisi benua Atlantik. John Wesley 
 memopulerkan ide-ide Arminian dalam Kebangunan Rohani Injili Inggris 
 pada abad kedelapan belas dan menjadikannya inti teologi Metodis. 
 Banyak denominasi Amerika, seperti Baptis, kaum independen, dan 
 kelompok-kelompok kekudusan, berkomitmen pada pandangan-pandangan 
 Arminian.

                         Ringkasan Reformasi

 Teologi dan antropologi para tokoh Reformasi melukiskan bagaimana 
 telitinya mereka merevisi doktrin dan kehidupan gereja Kristen (*3). 
 Pandangan yang mereka rumuskan dengan sukses menantang mentalitas 
 sintesis yang telah mendominasi gereja selama berabad-abad. Dan 
 mereka tidak menciptakan suatu bentuk baru dari kekristenan, suatu 
 perspektif yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam gereja. Tidak 
 dimotivasi oleh suatu semangat untuk mencari yang baru, para tokoh 
 Reformasi mengembangkan ide-ide alkitabiah yang di atasnya gereja 
 secara asali didirikan. Mereka berusaha untuk melenyapkan segala 
 sistem filsafat asing dari pemikiran Kristen dan kembali kepada 
 pengajaran-pengajaran Paulus dan Augustinus untuk membentuk ulang 
 setiap area doktrin dan praktik.

 Karena asumsi-asumsi para tokoh Reformasi berbeda begitu tajam dengan 
 asumsi-asumsi para pendahulu mereka, perubahan-perubahan radikal 
 terjadi. Otoritas-otoritas lama yang mencampur Alkitab dengan 
 filsafat, sejarah, dan tradisi ditolak dan digantikan dengan mereka 
 yang secara sadar menerima Alkitab sendiri sebagai dasar bagi iman 
 dan kehidupan. Luther menentang otoritas Paus dan juga Kaisar. Calvin 
 membawa misi Reformasi lebih jauh untuk memikirkan kembali 
 keseluruhan doktrin Kristen. Pekerjaan mereka memecah gereja Barat 
 menjadi dua bagian, suatu perpecahan yang telah berlangsung sampai 
 masa kita sekarang. Orang-orang Katolik memulai Kontra-Reformasi 
 untuk menjawab tuduhan-tuduhan kaum Protestan dan juga untuk 
 mereformasi berbagai penyalahgunaan yang menghalangi pelayanan mereka 
 sendiri. Hal yang sentral bagi Kontra Reformasi adalah Konsili Trent 
 (1545 -- 1563), yang menegaskan kembali kebanyakan doktrin Abad 
 Pertengahan, termasuk sintesis Thomas Aquinas tentang ide-ide 
 Aristotelian dan alkitabiah.

 Para tokoh Reformasi bukannya sudah sempurna. Sebagian pengikut 
 Luther dan Calvin telah memodifikasi pandangan-pandangan mereka. 
 Tetapi dua pilar Reformasi ini dengan kuat menegaskan kedaulatan 
 Allah dan mendesak orang-orang untuk mengakui bahwa satu-satunya 
 alternatif bagi kedaulatan Allah adalah kecenderungan, kuat atau 
 lemah, pada otonomi manusia, yang menjadi kata favorit dalam era 
 modern.

 (*1) Bdk. Yoh. 6:39, Yoh. 44-45; Yoh. 13:18; Yoh. 17:9 
 (*2) Bdk. Rm. 8:29; Rm. 9:10-13 
 (*3) Untuk sederhananya, kami membatasi studi kita tentang 
 Protestanisme sebagai satu wawasan dunia pada ide-ide Luther dan 
 Calvin saja. Dengan demikian, kami meniadakan berbagai kelompok yang 
 disebut para tokoh Reformasi radikal dan kaum Anabaptis dan sekte-
 sekte Reformasi lainnya. Karena kami percaya ide-ide mereka memunyai 
 signifikansi yang lebih besar bagi implikasi-implikasi sosial wawasan 
 dunia, kami menyimpan diskusi tentang ide-ide mereka ini untuk 
 pembahasan kita tentang masyarakat dalam jilid 2.

                      Untuk Bacaan Lebih Lanjut

Althaus, P. The Theology of Martin Luther. Philadelphia: Fortress,
  1966.

Bainton, Roland H. Here I Stand: A Life of Martin Luther. New York:
  Abingdon Cokesbury, 1950.

Bangs, C. D. Arminius. A Study in the Dutch Reformation. Nashville:
  Abingdon, 1971.

______. The Reformation of the Sixteenth Century. Boston: Beacon,
  1952.

Chadwick, Owen. The Reformation. Baltimore: Penguin, 1968.

Dickens, A. G. The Counter Reformation. New York: Harcourt Brace
  Jovanovich, 1963.

Duffield, John, ed. John Calvin. Grand Rapids: Eerdmans, 1966.

Leith, John. An Introduction to the Reformed Tradition. Atlanta: John
  Knox Press, 1977.

McNeill, John T. The History and Character of Calvinism. New York:
  Oxford University Press, 1954.

McNeill, John T. dan Ford Lewis Battles, ed. John Calvin: Institutes
  of the Christian Religion. Philadelphia: Westminster Press, 1960.

Niesel, W. The Theology of Calvin. London, 1956.

Ozment, Steven. The Age of Reform: An Intellectual and Religious
  History of Late Medieval and Reformation Europe. New Haven: Yale
  University Press, 1980.

Parker, T. H. L. John Calvin: A Biography. Philadelphia: Westminster
  Press, 1975.

Pelikan, J. dan H. T. Lehmann, ed. Luther`s Works. 55 vol. St. Louis:
  Concordia, 1955-76.

Schwiebert, E. G. Luther and His Times. St. Louis: Concordia, 1950.

Wendel, Francois. Calvin: The Origin and Development of His Religious
  Thought. New York: Oxford, 1954.

----------------------------------------------------------------------

 Diambil dan disunting seperlunya dari:
 Judul buku: Membangun Wawasan Dunia Kristen, Volume 1: Allah, Manusia,
            dan Pengetahuan
 Judul asli buku: Building Christian Worldview, Vol 1: God, Man, and
                 Knowledge
 Penulis: W. Andrew Hoffecker
 Penerjemah: Peter Suwandi Wong
 Penerbit: Penerbit Momentum, Surabaya 2006
 Halaman: 138 -- 148

----------------------------------------------------------------------

       SEPUTAR REFORMASI, TEOLOGI REFORMED, DAN TOKOH REFORMASI

BACAAN PILIHAN

1. Sekilas Hidup Reformator John Calvin di Jenewa dan di Strasburg
http://reformed.sabda.org/sekilas_hidup_reformator_john_calvin_di_jenewa_dan_di_strasburg

2. John Calvin Mencari Istri Yang Tepat, Idelette
http://reformed.sabda.org/john_calvin_mencari_istri_yang_tepat_idelette

3. Sejarah dan Pentingnya Alkitab Geneva
http://reformed.sabda.org/sejarah_dan_pentingnya_alkitab_geneva

TOKOH REFORMASI

1.  Martin Luther (1483 -- 1546)
http://biokristi.sabda.org/martin_luther_1483_1546

2. Johanes Calvin: Pelopor Gerakan Reformasi Gereja
http://biokristi.sabda.org/johanes_calvin

3. Biografi Singkat Abraham Kuyper
http://biokristi.sabda.org/biografi_singkat_abraham_kuyper

----------------------------------------------------------------------

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org