Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/108

e-Reformed edisi 108 (26-2-2009)

Tanggung Jawab Seorang Intelektual Kristen

 
 Dear e-Reformed Netters,
 
 Selamat bertemu kembali di publikasi e-Reformed. Kami berharap Anda 
 semua senantiasa bersyukur karena hidup dalam pemeliharaan Tuhan.
 
 Kiriman artikel e-Reformed kali ini berjudul "Tanggung Jawab Seorang 
 Intelektual Kristen". Tapi kalau saya kutip seluruh bab akan terlalu 
 panjang, karena itu saya hanya ambil inti utamanya saja. Selebihnya, 
 silakan beli bukunya .... :)
 
 Harapan saya, artikel ini akan memicu kita untuk semakin melihat 
 kepentingan intelektual yang Tuhan berikan kepada kita, sebagai manusia 
 yang diciptakan-Nya. Alangkah indahnya jika alat yang kecil dalam otak 
 kita ini kita gunakan untuk memikirkan tentang Kebenaran (yang mutlak) 
 dan bagaimana Kebenaran ini kita bagikan kepada manusia lain yang juga 
 sedang mencari kebenaran. Dengan demikian, kita akan ditantang untuk 
 hidup sungguh-sungguh dalam integritas yang utuh, apa adanya, dan penuh 
 tanggung jawab.
 
 Selamat merenungkan.
 
 Pimpinan Redaksi e-Reformed,
 Yulia Oeniyati
 < yulia(at)in-christ.net >
 < http://reformed.sabda.org/ > 
 
======================================================================
 
              Tanggung Jawab Seorang Intelektual Kristen
 
 Mempelajari Kebenaran
 
 ---------------------------------------------------------------------
 Ada banyak orang yang mencari pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri: 
 itu adalah keingintahuan. Ada orang lainnya yang mencari pengetahuan 
 dengan tujuan agar mereka bisa dikenal: itu adalah keangkuhan. Orang 
 lainnya lagi mencari pengetahuan dengan tujuan menjualnya: itu tidak 
 terhormat. Tetapi ada lagi yang mencari pengetahuan agar bisa meneguhkan 
 orang lain: itulah kasih (caritas).
                       
                       ST. BERNARD OF CLAIRVAUX
 ----------------------------------------------------------------------
 
 Paruh pertama dari hidup di dalam kebenaran adalah mempelajari kebenaran. 
 Mempelajari kebenaran pada dasarnya adalah masalah menerima sesuatu 
 yang diberikan kepada kita. Kebenaran tidak direbut dari realitas, dan 
 seakan-akan kita berada dalam sebuah misi penyerangan. Ini adalah 
 gambaran khas dari Francis Bacon dan Rene` Descartes, tetapi bukan dari 
 Alkitab atau bahkan filsafat sebelum abad ketujuh belas. Sebaliknya, 
 filsafat, pencarian akan kebenaran tentang setiap hal, dimulai dengan 
 rasa ingin tahu. Kita dihadapkan dengan perikeberadaan dari keberadaan 
 (beingness of being). Kita menerima pengetahuan sebagai sebuah karunia 
 dari Allah melalui dunia alam atau dunia yang diciptakan ini, atau dari
 dunia buku-buku, khususnya Alkitab. Pieper menyatakan hal ini dengan baik:
 
    Bukan hanya pemikir-pemikir Yunani secara umum -- Aristoteles yang 
    tidak kalah dari Plato -- tetapi para pemikir besar di abad 
    pertengahan juga, semuanya berpendapat bahwa terdapat satu unsur 
    "penglihatan" yang secara murni reseptif, bukan hanya di dalam 
    indra persepsi, tetapi juga di dalam hal mengetahui secara 
    intelektual atau, seperti dikatakan Heraclitus, "Mendengarkan ke 
    dalam keberadaan perihal-perihal."
 
 Para pemikir abad pertengahan membedakan antara intelek sebagai ratio 
 dan intelek sebagai intellectus. Ratio merupakan kemampuan pemikiran 
 diskursif, dari pencarian dan pencarian ulang, mengabstraksi, memurnikan, 
 dan menyimpulkan (bdk. Latin discurrere, "berlari mondar-mandir"), 
 sedangkan intellectus mengacu kepada kemampuan dari "sekadar melihat" 
 (simplex intuitus), yang kepadanya kebenaran menyatakan dirinya seperti 
 sebuah pemandangan menyatakan dirinya kepada mata. Kemampuan untuk 
 mengetahui yang rohani yang dimiliki akal budi manusia, sebagaimana 
 dipahami para pemikir kuno, sebenarnya adalah dua hal yang menjadi 
 satu: ratio dan intellectus: semua hal mengetahui meliputi keduanya. 
 Alur penalaran yang diskursif disertai dan dipenetrasi oleh visi 
 intellectus yang tak pernah berhenti, yang bukan bersifat aktif tetapi 
 pasif, atau lebih tepat lagi bersifat reseptif -- suatu kemampuan 
 intelek yang beroperasi secara reseptif.
 
 Maka, pengejaran yang aktif akan kebenaran melibatkan resepsi yang 
 pasif atas apa yang diberikan kepada kita dan kerja aktif akal budi 
 kita, apa yang disebut John Henry Newman sebagai "kekuatan rasio yang 
 elastis."
 
 Memberitakan Kebenaran
 
 Paruh kedua dari hidup dalam kebenaran melibatkan memberitakan kebenaran.
 
 Tukang sayur di dalam esai Havel mengambil cara yang sederhana untuk 
 hidup dalam kebenaran. Dia sekadar menolak untuk terus hidup di dalam 
 kebohongan. Dia berhenti memajang slogan-slogan ideologis. Setiap orang 
 Kristen -- intelektual atau bukan -- bisa melakukan hal yang serupa. 
 Publikasi bukan hal yang perlu untuk hidup di dalam kebenaran. Ketika 
 sebuah keluarga Kristen memutuskan untuk tidak memiliki TV di rumah 
 atau membatasi penggunaan TV secara ketat, keluarga itu mulai hidup di 
 dalam kebenaran. Tidak perlu waktu lama bagi anak-anak tetangganya 
 untuk mengetahui bahwa tidak ada TV di dalam keluarga itu (atau bahwa 
 tidak seorang pun yang diperkenankan untuk menggunakan TV itu untuk 
 program-program yang mengandung unsur yang destruktif secara eksplisit 
 atau implisit); mereka akan bertanya mengapa, dan pewartaan kebenaran 
 akan dimulai. Siapa pun dapat menambahkan contoh-contoh lain.
 
 ---------------------------------------------------------------------
 Yesus akan merasa sepenuhnya nyaman di dalam konteks profesional di 
 mana kebaikan sedang dilakukan hari ini. Tetapi Dia sudah pasti akan 
 terus mengecam semua bentuk pengembangan diri yang angkuh dan perlakuan 
 yang tidak benar terhadap sesama yang terus terjadi di dalam lingkungan-
 lingkungan profesional. Di dalam hal ini dan yang lainnya, profesi-
 profesi kita sangat merindukan kehadiran-Nya.
 
                           DALLAS WILLARD
                        "Jesus The Logician"
 ---------------------------------------------------------------------
 
 Tetapi cukup kiranya contoh di atas bagi orang Kristen. Apa maksudnya 
 seorang intelektual Kristen memberitakan kebenaran? Setidaknya ini 
 berarti seorang intelektual Kristen melakukan komunikasi sehari-harinya 
 dengan integritas yang tinggi, tidak perlu menutup-nutupi apa pun yang 
 relevan terhadap situasi yang ada terhadap siapa pun. Itu dinyatakan 
 dengan sangat umum. Yang dimaksudkannya dalam praktik memiliki perbedaan 
 yang sangat beragam dengan peran yang dimainkan orang tersebut dalam 
 masyarakat. Apa yang biasanya dituliskan oleh orang tersebut? Surat 
 bisnis, laporan hukum, laporan ilmiah, analisis finansial? Dengan siapa 
 dia biasanya berbincang-bincang? Para klien, siswa, majikan, karyawan, 
 tetangga, sesama penumpang di dalam sebuah pesawat? Itu adalah konteks 
 untuk memberitakan kebenaran.
 
 Mari kita ambil satu contoh dari sebuah bidang di mana saya telah 
 menghabiskan sebagian besar kehidupan saya: riset dan mengajar di 
 universitas. Para intelektual sekuler di univesitas-universitas jelas 
 tidak pernah bosan untuk memberitahukan kita apa yang telah mereka 
 yakini sebagai hal yang benar atau apa yang baru-baru ini sedang mereka 
 konstruksikan untuk ditampilkan sebagai kebenaran. Para intelektual 
 Kristen juga tidak kalah aktif. Tetapi banyak pihak yang berada di dalam 
 maupun di luar dunia Kristen yang tidak mengetahui hal ini, atau 
 setidaknya berpura-pura tidak tahu.
 
 Sebagai contoh, konferensi-konferensi akademis diadakan, tetapi 
 melampaui studi-studi filsafat, agama, dan alkitabiah. Keberadaan 
 koran-koran Kristen dengan isi yang khas Kristen begitu sedikit. Saya 
 curiga bahwa ada jauh lebih banyak akademisi Kristen daripada mereka 
 yang makalah-makalah akademisnya merefleksikan wawasan dunia Kristen. 
 Ini mungkin tidak terlalu bermasalah di bidang matematika dan ilmu-ilmu 
 pengetahuan alam, seperti kimia, fisika, dan sebagian besar biologi. 
 Tetapi di dalam studi tentang asal usul biologi, dan yang pasti di dalam 
 psikologi, sosiologi, dan antropologi, seperti juga di dalam sejarah, 
 sastra, dan seni, sejumlah kebenaran yang dinyatakan tentang wawasan 
 dunia Kristen juga begitu relevan sehingga jika kita tidak membawa 
 kebenaran-kebenaran ini ke dalam gambaran kehidupan, kita hidup dalam 
 kebohongan.
 
 ---------------------------------------------------------------------
 Di dalam kasus para intelektual, satu-satunya perkara spesifik yang 
 menjadi tanggung jawab mereka secara profesional adalah penggunaan kata 
 yang baik -- yaitu penggunaan yang benar dan paling tidak, tidak 
 menyesatkan. Hal ini lebih merupakan perkara semangat kebenaran daripada 
 perkara kebenaran, karena tidak seorang pun yang bisa menjanjikan bahwa 
 dia tidak akan pernah membuat kekeliruan; tetapi adalah mungkin untuk 
 memelihara semangat kebenaran, yang berarti tidak pernah meninggalkan 
 kecurigaan dan selalu waspada terhadap perkataan dan identifikasinya 
 sendiri, mengetahui bagaimana menarik kembali kesalahannya sendiri, 
 dan mampu mengoreksi diri sendiri. Hal itu mungkin secara manusiawi, 
 dan orang mengharapkan hal demikian ada pada diri-diri para intelektual 
 karena, untuk alasan yang jelas, kualitas-kualitas manusia yang lazim 
 berupa keangkuhan dan ketamakan akan kuasa di antara para intelektual 
 mungkin memiliki akibat-akibat tertentu yang sangat merusak dan 
 membahayakan.
 
                            LESZEK KOLAKOWSKI
                       "Modernity on Endless Trial"
 ---------------------------------------------------------------------
 
 Bukankah fakta yang paling penting tentang diri kita adalah bahwa kita 
 dijadikan menurut gambar Allah? Akan tetapi, buku teks mana, atau 
 publikasi akademis mana, atau program riset di dalam teori psikologi, 
 sosiologi, dan antropologi, sejarah, serta sastra mana yang pernah 
 menyebut ide tersebut? Ide tersebut jika bukan serta-merta dianggap 
 salah, maka akan dianggap sama sekali tidak relevan dengan bidang yang 
 bersangkutan. Makalah-makalah mana yang dipublikasikan jurnal-jurnal 
 akademis yang terhormat atau buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit-
 penerbit akademis yang bisa kita tunjukkan sebagai contoh kesarjanaan 
 Kristen dalam bidang-bidang tersebut? Ada beberapa. Saya bisa 
 menunjukkan dua: "The Political Meaning of Christianity" oleh Glenn 
 Tinder, seorang guru besar bidang ilmu politik di University of 
 Massachusetts di Boston; dan "The American Hour: A Time of Reckoning 
 and the Once and Future Role of Faith" oleh Os Guinness, seorang 
 sosiolog dan rekanan senior di Trinity Forum. Guinness mungkin paling 
 tepat dideskripsikan sebagai seorang Kristen dan seorang intelektual 
 publik yang independen.
 
 Atau dalam ilmu-ilmu alam, bukankah fakta yang paling penting mengenai 
 apa yang disebut tatanan alam, di dalam satu maknanya yang terpenting, 
 sama sekali bukan "alamiah"? Tantangan John Henry Newman sangat tepat:
 
    Akuilah seorang Allah maka Anda memasukkan di antara bidang-bidang 
    pengetahuan Anda sebuah fakta yang meliputi, yang membatasi, 
    menyerap setiap fakta lain yang bisa dipikirkan. Bagaimana kita 
    bisa menginvestigasi suatu bagian dari suatu tatanan pengetahuan, 
    tetapi tidak menginvestigasi fakta yang menyeruak ke dalam setiap 
    tatanan itu? Semua prinsip yang benar berlimpah dengannya, semua 
    fenomena mengarah kepadanya.
 
 Di manakah di dalam literatur ilmiah, suatu bagian yang lumayan besar 
 yang dituliskan oleh orang-orang Kristen di dalam bidang ilmu 
 pengetahuan, terdapat suatu pengakuan akan fakta tentang penciptaan 
 dan imanensi Allah?
 
 Para sarjana Kristen di universitas-universitas sekuler, dan tragisnya 
 banyak pula yang di universitas-universitas Kristen, telah terjebak 
 oleh ideologi naturalisme. Seperti penjual sayur di dalam esai Havel, 
 banyak guru, secara sadar atau tidak, telah memajang berbagai plakat 
 naturalis yang cocok dengan disiplin akademis mereka, mengubah plakat-
 plakat ini seiring perubahan ideologi yang spesifik dalam disiplin 
 mereka:
 
 # "Semua sejarah ditulis oleh para pemenang."
 # "Sejarah paling baik dituturkan dari bawah ke atas."
 # "Pandangan-pandangan yang terpolarisasi -- ini benar, itu salah -- 
   tidak terlalu serius memikirkan pertanyaan-pertanyaan sejarah.
 # "Di dalam ilmu pengetahuan, hanya faktor-faktor materi yang masuk ke 
   dalam penjelasan-penjelasan kita; kita tidak bisa berbicara tentang 
   rancangan."
 # "Literatur adalah sebuah ideologi."
 # "Tidak ada teks yang memiliki penulis."
 # "Amati fungsi dari gambar-gambar Kristus di dalam kisah ini; jangan 
   bertanya tentang Kristus itu sendiri."
 # "Theologi sistematika adalah studi tentang apa yang telah dituliskan 
   dan dipercayai oleh para teolog sistematika; ini bukan mengenai objek 
   kepercayaan."
 # "Efek-efek kebenaran dihasilkan di dalam wacana-wacana yang pada 
   dirinya sendiri tidak benar dan juga tidak salah."
 # "Umat manusia mengonstruksi natur mereka sendiri."
 
 Pada dasar semua plakat ini mungkin terdapat prinsip yang paling 
 dekaden dari semuanya (hal ini kebetulan terdengar di sebuah konferensi 
 akademis tentang agama): "Tidak satu pun dari kita yang memercayai hal 
 apa pun yang tengah kita bahas, tetapi dengan cara inilah kita 
 mendapatkan penghasilan." Di dalam sebuah arena akademis seperti itu, 
 tidak mudah untuk memajang sebuah plakat iman Kristen yang gamblang.
 
 Ahli ilmu politik, John C. Green, menuliskan:
 
    "Jika seorang guru besar berbicara mengenai mempelajari sesuatu 
    dari sebuah sudut pandang Marxis, pihak lain mungkin tidak setuju, 
    tetapi tidak akan mengesampingkan ide tersebut. Tetapi jika 
    seorang guru besar berbicara tentang mempelajari sesuatu dari 
    sudut pandang Katolik atau Protestan, dia akan diperlakukan 
    seakan-akan dia mengatakan untuk mempelajari sesuatu dari sudut 
    pandang makhluk dari planet Mars."
 
 Pastilah sangat mengejutkan ketika mendengar Charles Habib Malik 
 menyampaikan Pascal Lectures mengenai "Kekristenan dan Universitas" 
 di University of Waterloo, Ontario, Kanada. Kredibilitas akademis 
 Malik meliputi posisi sebagai guru besar di Harvard, Dartmouth, dan 
 Catholic University of America; kredibilitas politisnya meliputi 
 kedudukan sebagai presiden dari General Assembly of the United Nations 
 dan Security Council. Sekarang, bayangkan dia berbicara kepada 
 pendengar yang akademis di sebuah universitas sekuler. Siapakah 
 kritikus final atas universitas? Dia bertanya:
 
    "Kritikus itu, dalam analisis terakhirnya, adalah Yesus Kristus 
    sendiri. Kami tidak sedang menawarkan opini kami; kami sedang 
    mencari penghakiman-Nya atas universitas .... Yesus Kristus eksis 
    di dalam diri-Nya sendiri dan menopang seluruh dunia, termasuk 
    universitas, di telapak tangan-Nya. Kami sedang memohon, mencari, 
    mengetuk untuk menemukan apa tepatnya pendapat Yesus Kristus 
    tentang universitas."
 
 Ceramah Malik adalah satu kekuatan yang mengejutkan karena retorikanya 
 memberikan kekuatan bagi analisisnya yang tajam atas sains dan 
 kemanusiaan. Pada saat itu, suaranya mungkin adalah satu-satunya suara 
 yang terdengar.
 
 Tentu saja sudah ada beberapa orang Kristen yang berani untuk mengakui 
 iman Kristen mereka di tengah-tengah arena akademis sekuler. Pertama-
 tama, orang akan terpikir kepada C. S. Lewis. Kemudian orang harus 
 bergumul untuk memikirkan siapa lagi yang juga berani mengakui iman 
 mereka. Pada kenyataannya, baru pada tahun-tahun terakhir inilah para 
 sarjana Kristen telah berpikir secara serius tentang peran publik mereka, 
 relevansi terbuka dari iman Kristen mereka kepada disiplin-disiplin 
 akademis mereka. Di antara sosok yang paling menonjol adalah trio 
 akademisi yang berakar di Calvin College: Nicholas Wolterstorff, Alvin 
 Plantinga, dan George Marsden. Ketiganya menjabat posisi pengajar 
 tingkat doktoral di institusi-institusi utama. Dua nama pertama adalah 
 filsuf dan telah berada di garis depan dari terbentuknya kehadiran 
 nyata orang Krissten dalam kesarjanaan di bidang filsafat. Nama terakhir 
 adalah seorang sejarawan, dengan dua bukunya, "The Soul of the American 
 University" dan "The Outrageous Idea of Christian Scholarship", 
 diterbitkan oleh Oxford University Press. Marsden bahkan dihormati 
 dengan foto sampul di The Chronicle of Higher Education, dengan latar
 mural Yesus yang terlihat di TV oleh banyak orang di setiap Sabtu 
 petang di musim gugur, yaitu di atas stadion sepak bola Notre Dame. 
 Akan sangat luar biasa jika semua akademisi Kristen berpikir dan 
 bertindak seakan-akan Yesus benar-benar tengah mengawasi gerak-gerik 
 mereka. (Dan Yesus memang melakukannya, Anda tahu itu.)
 
 ---------------------------------------------------------------------
 (Siswa-siswa Harvard di tahun 1880-an:) Ini merupakan eksistensi yang 
 malas, tak berarah, dan humoris, tanpa imajinasi yang halus, tanpa 
 suatu isi kesarjanaan yang umum, tanpa agama yang nyata: kepekaan 
 inteligensi dalam kekaburan, terbang menuju permainan yang remeh, 
 dengan tujuan kembali, segera setelah masa kuliah berakhir, kepada 
 kegiatan-kegiatan yang membosankan.
 
                           GEORGE SANTAYANA
               "Character and Opinion in the United States"
 ---------------------------------------------------------------------
 
 Akan tetapi, secara umum para intelektual Kristen telah menjadi sorotan 
 karena ketidakhadiran mereka dalam koridor pendidikan dan kuasa politis.
 Mereka sering mengetahui kebenaran tetapi mungkin tidak memiliki 
 platform politis untuk menyatakannya, atau mereka menyia-nyiakan 
 peluang mereka karena takut akan semakin dipinggirkan.
 
 "Tetapi tunggu dulu," mungkin Anda mendengar teman-teman Anda berkata, 
 "Apakah Anda melupakan ratusan buku yang ditulis orang-orang Kristen 
 yang justru persis melakukan apa yang Anda bicarakan? Apakah Anda sebagai 
 editor InterVarsity Press tidak mendorong dan menerbitkan banyak buku 
 seperti itu? Bukankah Zondervan dan penerbit-penerbit lainnya juga 
 telah mengikuti penerbit Anda? Perhatikan saja daftar panjang di bagian 
 daftar pustaka buku Anda sendiri, `Discipleship of the mind`."
 
 Poin yang disampaikan memang sangat baik. Ya, semuanya itu benar. 
 Tetapi sebenarnya ini membuktikan poin saya. Buku-buku ini -- adalah 
 buku-buku yang sangat baik -- diterbitkan oleh penerbit-penerbit Kristen 
 yang Injili. Eerdmans, dan IVP setelahnya, baru muncul sebagai penerbit-
 penerbit buku yang layak dibaca oleh pembaca yang akademis di luar 
 batasan-batasan sempit dunia Kristen Injili. Selain itu, sebagian besar 
 penerbitan mereka mengenai topik-topik yang khusus bersifat religius. 
 Masih tetap begitu sedikit buku-buku bermutu yang didasarkan kepada 
 premis-premis yang khas Kristen dalam disiplin-disiplin psikologi, 
 sosiologi, antropologi, ekonomi atau humanitas, dan seni.
 
 Jelas inilah saatnya untuk menaati slogan kampanye di mana saudara ipar 
 saya yang adalah seorang politisi mendukung seorang kandidat yang 
 melawan koleganya, yaitu gubernur negara bagian: "Katakan kebenaran, 
 Terry!" Dengan menyesal saya harus melaporkan bahwa kampanye itu tidak 
 berhasil. Terry dipilih kembali. Tetapi keberhasilan dalam memberitahukan 
 kebenaran, seperti yang saya katakan sebelumnya, tidak diukur oleh hasil-
 hasilnya. Siswa tingkat pascasarjana yang memberitahukan kebenaran mungkin 
 membahayakan kesempatannya untuk menerima gelar Doktor. Asisten guru 
 besar mungkin mengurangi kesempatan untuk menerima jabatan penuh. Sarjana 
 Kristen mungkin tidak mendapati makalahnya dimuat di dalam jurnal-jurnal 
 ternama dalam bidangnya.
 
 ---------------------------------------------------------------------
 Poin dari kesarjanaan Kristen bukan pengakuan oleh standar-standar yang 
 mapan di dalam kultur yang lebih luas. Poinnya adalah memuji Allah 
 dengan akal budi. Upaya-upaya seperti itu akan membawa pada sejenis 
 integritas intelektual yang kadang menerima pengakuan, tetapi bagi 
 orang Kristen tersebut pengakuan ini hanya produk sampingan yang tidak 
 terlalu penting. Poin yang sebenarnya adalah menghargai apa yang telah 
 Allah jadikan, memercayai bahwa pcnciptaan adalah se"baik" yang 
 dikatakan-Nya, dan mengeksplorasi dimensi-dimensi terpenuh dari maksud 
 Anak Allah untuk "menjadi daging dan diam di antara kita". Dan yang 
 terutama, karya intelektual jenis ini adalah imhalan bagi dirinya 
 sendiri, karena ia terfokus hanya kepada Dia yang pengakuan-Nya penting, 
 Dia yang di hadapan-Nya semua hati terbuka.
 
                               MARK NOLL
                 "The Scandal ofthe Evangelical Mind"
 ---------------------------------------------------------------------
 
 Tetapi Noll benar: "Karya intelektual jenis ini adalah imbalan bagi 
 dirinya sendiri, karena terfokus hanya pada Dia yang pengakuan-Nya 
 terpenting, Dia yang di hadapan-Nya semua hati terbuka."
 
 Sayangnya Camus juga benar -- secara figuratif dan harfiah: "Ide-ide 
 yang keliru selalu berakhir dengan sebuah pertumpahan darah, tetapi di 
 dalam setiap kasusnya itu adalah darah orang lain. Darah yang ditumpahkan 
 oleh ide-ide yang keliru yang dicetuskan orang lain -- seperti mereka 
 yang ingin mencegah tersebarnya kesarjanaan Kristen, misalnya -- mungkin 
 adalah darah para sarjana Kristen sendiri. Memberitahukan kebenaran 
 mungkin benar-benar berbahaya bagi kesehatan profesional seseorang. 
 Tetapi ingatlah bahwa keberanian merupakan salah satu kebajikan dari 
 intelek. Kebajikan ini niscaya secara mutlak bagi orang Kristen yang 
 ada di dunia akademis sekarang ini.
 
 Tanggung Jawab Kepada Allah
 
 Meskipun kita bertanggung jawab untuk hidup di dalam kebenaran -- 
 mempelajari kebenaran dan memberitahukan kebenaran, kepada Allah-lah 
 kita bertanggung jawab. Melampaui tanggung jawab kita kepada keluarga 
 kita, komunitas iman kita, tetangga kita, negara kita, dunia di sekitar 
 kita, kita secara utama bertanggung jawab kepada Pencipta kita, Tuhan 
 kita, Juru Selamat kita -- Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
 
 Tanggung jawab umum untuk memuliakan Allah mendahului semua tanggung 
 jawab spesifik lain yang kita miliki sebagai intelektual atau calon 
 intelektual, karena memuliakan Allah merupakan tugas penuh waktu yang 
 melibatkan keseluruhan keberadaan kita. Doa ini mungkin akan sangat 
 baik dinaikkan untuk memulai dan menutup setiap hari Anda:
 
 "Biarlah aku menggunakan segala hal hanya untuk satu alasan saja: 
 untuk menemukan sukacitaku di dalam memberikan kepada-Mu kemuliaan 
 yang besar."
 
======================================================================
 
 Diambil dan disesuaikan dari:
 Judul buku: Kebiasaan Akal Budi
 Judul asli buku: Habits of The Mind
 Penulis: James W. Sire
 Penerjemah: Irwan Tjulianto
 Penerbit: Momentum, Surabaya 2007
 Halaman: 273 -- 297

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org