Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/106

e-Reformed edisi 106 (24-12-2008)

Perjanjian Baru: Kovenan Penebusan dalam Yesus Kristus

 
  Dear e-Reformed Netters,
 
  Selamat Natal 2008 dan Tahun Baru 2009, saya ucapkan kepada para
  Anggota e-Reformed. Di tengah kemeriahan Natal serta hiruk pikuk
  keadaan ekonomi dan politik ini, semoga kita disadarkan akan satu
  -satunya berita Natal yang penting, Kristus telah datang ke dunia
  dengan suatu misi yang sangat jelas, yaitu untuk lahir, mati, dan
  bangkit demi menggenapi rencana penebusan Allah atas umat pilihan
  -Nya.
 
  Bagi Anda yang masih ingin merayakan Natal tanpa Kristus, yaitu
  dengan berpesta pora dan bermewah-mewahan, maka, maaf sebelumnya,
  saya hanya ingin mengingatkan bahwa Anda tak ubahnya seperti orang
  -orang duniawi yang sedang menghibur diri karena tahu bahwa
  kenikmatan seperti itu tidak mungkin bisa Anda nikmati lagi ketika
  sedang dalam penghakiman-Nya.
 
  Artikel yang saya hadirkan di bawah ini memberikan gambaran yang
  sangat jelas akan misi Kristus datang ke dunia. Biarlah menjadi
  perenungan bagi kita selama memperingati perayaan Natal tahun ini.
 
  Buku berjudul "Membangun Wawasan Dunia Kristen", sumber di mana
  artikel di bawah ini diambil, terdiri dari dua volume dan
  diterbitkan oleh Penerbit Momentum. Saya merekomendasikan buku ini
  untuk Anda miliki karena buku ini berisi dasar-dasar pengertian iman
  Kristen yang kokoh.
 
  Edisi e-Reformed bulan ini adalah edisi terakhir pada tahun 2008.
  Kita akan bertemu lagi pada tahun 2009, mudah-mudahan dengan lebih
  bersemangat lagi untuk hidup bagi Kristus, yang telah lahir di hati
  kita dan telah menjadi teladan bagi hidup kita. Amin!
 
  Redaksi e-Reformed, 
  Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net > 
  < http://reformed.sabda.org >
 
======================================================================
 
       PERJANJIAN BARU: KOVENAN PENEBUSAN DALAM YESUS KRISTUS
 
  Latar Belakang Kovenantal Perjanjian Lama
 
  Seluruh Alkitab adalah tentang suatu kovenan yang akan menebus
  manusia dari dosa, dan Perjanjian Baru menceritakan bagaimana
  kedatangan Kristus menggenapi penebusan yang telah dijanjikan itu.
  Frasa "Old Testament" (Wasiat Lama) sesungguhnya berarti "Kovenan
  Lama" dan "New Testament" (Wasiat Baru) secara literal berarti
  "Kovenan Baru". Nama-nama ini menunjukkan bahwa ada suatu
  kontinuitas kovenantal yang esensial antara dua bagian dasar Alkitab
  itu.
 
  Seperti yang disebutkan dalam Perjanjian Lama, Allah menetapkan
  "kovenan penciptaan" dengan manusia di Taman Eden ketika Ia
  menciptakan Adam menurut gambar-Nya sebagai wakil-Nya yang
  memerintah di atas bumi. Tuhan menjanjikan kepada Adam persekutuan
  yang intim dengan diri-Nya selama Adam dengan setia melaksanakan
  tanggung jawab pelayanannya. Tetapi ketidaktaatan Adam menghancurkan
  hubungan yang sempurna antara Allah dan dirinya, dan berakhirlah
  kovenan penciptaan. Karena Allah mengasihi manusia, Ia menetapkan
  satu kovenan yang baru, yaitu "kovenan penebusan", yang melaluinya
  manusia dapat dipulihkan ke dalam hubungan yang benar dengan Allah.
  *(1)
 
  Kovenan penebusan ini tidak hanya memberikan sarana untuk penebusan
  manusia, tetapi juga dengan jelas menyatakan natur Allah, khususnya
  atribut-atribut-Nya yang tidak berubah, seperti anugerah, kasih, dan
  keadilan di dalam sejarah ruang dan waktu. Melalui hubungan
  kovenantal ini, Allah bertindak dalam dunia (yaitu bahwa Ia adalah
  Allah yang imanen), tidak seperti bentuk-bentuk impersonal dari
  Plato dan "penggerak yang tak bergerak" yang pasif dari Aristoteles.
 
  Kedatangan Yesus Kristus ke bumi mengukuhkan Perjanjian Baru. Dengan
  mati di atas salib, Ia mengesahkan kovenan penebusan yang telah
  dijanjikan dan yang telah lama dinantikan (lihat Ibr. 7:21-22; Ibr. 9:24-26). 
  Misi Kristus yang terutama adalah untuk mengungkapkan natur
  Allah Bapa-Nya kepada dunia dan, yang kedua, untuk menyediakan
  sarana keselamatan bagi manusia yang telah terjatuh ke dalam dosa.
 
  Teologi Perjanjian Baru: Pribadi dan Karya Kristus
 
  Namun, setelah kita mengemukakan hal di atas, kita harus mengangkat
  pertanyaan tentang siapakah Yesus dan apa yang sesungguhnya telah
  dilakukan-Nya. Kita akan menemukan bahwa gelar-gelar Kristus,
  pengajaran, dan berbagai mukjizat-Nya, di samping juga kematian dan
  kebangkitan-Nya, semuanya secara integral berkaitan dengan karya-Nya
  melaksanakan kovenan penebusan, dan semua ini bersaksi tentang
  keilahian dan kemanusiaan-Nya yang sejati.
 
  Gelar-Gelar Yesus
 
  "Mesias"
 
  Perjanjian Lama sering berbicara tentang datangnya suatu zaman
  mesianis di mana Allah akan membebaskan Israel dari para penjajahnya
  dan menegakkannya sebagai kerajaan yang dominan di atas bumi. *(2)
  Kata Mesias, "Yang Diurapi", atau Kristus (Yun.: Christos), dipakai
  dua kali dalam Perjanjian Lama untuk menyatakan tentang pembebas
  yang akan datang (Mzm. 2:2; Daniel 9:25). Dalam Israel kuno, para
  raja, imam, dan nabi, yang dipilih oleh Allah untuk maksud-maksud
  khusus, diurapi dengan minyak sebagai simbol penunjukan ilahi.
 
  Selama berabad-abad, sesaat sebelum kelahiran Kristus, kebanyakan
  orang Yahudi dengan berapi-api percaya bahwa Mesias yang akan datang
  tersebut akan mengalahkan para musuh secara militer dan menegakkan
  kembali bangsa itu sebagai suatu kerajaan yang kuat di bumi. *(3)
  Meskipun Sang Mesias itu terutama dipandang sebagai seorang pemimpin
  politik, Ia juga diharapkan memunyai keyakinan-keyakinan religius
  yang kuat. Perjanjian Baru memberi bukti lebih lanjut bahwa tradisi
  Yahudi memahami Mesias yang dijanjikan itu, terutama dalam
  pengertian jabatan raja Perjanjian Lama (Mrk. 15:26; Luk. 23:2).
  Misalnya, ketika orang banyak mulai menangkap mukjizat-mukjizat
  Yesus sebagai suatu tanda kemesiasan-Nya, mereka "hendak membawa Dia
  dengan paksa untuk menjadikan Dia raja (di bumi)". Namun, ini adalah
  suatu pengharapan yang salah karena Yesus datang sebagai Mesias yang
  tujuan terutamanya adalah maksud-maksud rohani dan penebusan. Sebab
  itu, Ia menyingkir dari kerumunan orang banyak dan tidak membiarkan
  mereka memenuhi keinginan mereka yang salah (Yoh. 6:6-15).
 
  Agak mengherankan juga bahwa dalam Kitab-Kitab Injil, Yesus jarang
  merujuk tentang diri-Nya sebagai "Mesias." Markus 8:29-30 khususnya
  sulit dimengerti. Dalam nas ini, Petrus mengaku bahwa Yesus
  sesungguhnya adalah Mesias itu, tetapi Yesus memerintahkan para
  murid-Nya agar tidak mengungkapkan jati diri-Nya kepada orang-orang
  Yahudi. Mengapa Yesus berusaha menyembunyikan fakta ini dari orang
  banyak? Sejumlah pakar menjawab bahwa Ia tidak melakukannya. Mereka
  membuat teori bahwa gereja Kristen di kemudian hari yang menambahkan
  perkataan ini untuk menerangkan mengapa Yesus begitu jarang
  berbicara tentang misi mesianis dan mengapa Dia tidak secara terbuka
  dikenal sebagai Mesias. Namun, teori itu tampaknya tidak masuk akal.
  Jika Yesus tidak pernah mengklaim diri sebagai Mesias, bagaimana
  kita menjelaskan bahwa gereja abad pertama itu begitu yakin bahwa Ia
  memang adalah Mesias? Tidak mungkin gereja mula-mula mengarang
  sendiri ide ini, karena menyatakan orang yang disalibkan sebagai
  orang yang diberkati adalah penghujatan, apalagi menyebut orang
  seperti itu sebagai seorang Mesias! (bandingkan Ul. 21:23; Gal.
  3:13-14).
 
  Sebaliknya, Kitab-Kitab Injil menyatakan bahwa Yesus sesungguhnya
  memandang diri-Nya sendiri sebagai Mesias, tetapi penafsiran-Nya
  atas peran tersebut sangat berbeda dari penafsiran mayoritas orang
  Yahudi. Karena kebanyakan orang Yahudi mengharapkan Mesias sebagai
  seorang pemimpin politik, Yesus tidak menghendaki kemesiasan-Nya
  diketahui publik sampai mereka dengan jelas memahami bahwa Ia tidak
  datang untuk mendirikan suatu pemerintahan di bumi. Pemahaman Yesus
  sendiri dinyatakan dalam Markus 8:31. Ia menerangkan kepada para
  murid-Nya bahwa kemesiasan-Nya harus dipahami menurut terang dari
  fakta bahwa Ia "harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak ...
  lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari" (bandingkan Mrk. 9:12-13). 
  Ia datang untuk mengukuhkan suatu kerajaan rohani dengan mati
  di atas salib. Hanya sesudah kebangkitan-Nya, barulah orang-orang -
  - termasuk para murid -- dapat memahami misi mesianis yang ironis
  ini. Setelah kebangkitan-Nya, Yesus dengan bebas menyatakan
  kemesiasan-Nya karena pada waktu itu sudah jelas bagi semua orang
  bahwa Ia bukan seorang pemimpin politik (Luk. 24:26).
 
  Matius 16:16 dan Lukas 9:20 dengan jelas menyatakan kesadaran
  mesianis Yesus ketika Ia menerangkan natur spiritual dari misi-Nya.
  Yesus percaya bahwa Ia sedang menggenapi nubuat-nubuat Perjanjian
  Lama tentang Sang Mesias yang akan datang terutama untuk
  menyelamatkan manusia dari dosa-dosa mereka untuk menggenapi janji
  -janji dari kovenan penebusan.
 
  Selama proses pengadilan-Nya, Yesus ditanya oleh Kayafas secara
  langsung, "Apakah Engkau Mesias?" (Mat. 26:63-68; Mrk. 14:61-65).
  Tuduhan Kayafas bahwa jawaban Yesus adalah penghujatan, dan tuduhan
  -tuduhan berikutnya oleh para pendakwa-Nya bahwa Ia menyebut diri
  -Nya Mesias, menunjukkan bahwa Yesus mengiyakan pertanyaan Kayafas
  (Mat. 26:68; Mat. 27:17, Mat. 22; Mrk. 15:32). Dengan pengakuan-Nya sebagai
  Mesias, Yesus mengakui bahwa Ia memegang jabatan-jabatan Perjanjian
  Lama sebagai Nabi, Imam, dan Raja. Sesungguhnya tanggapan bahwa
  klaim Yesus adalah penghujatan menyiratkan bahwa klaim-Nya itu
  berkonotasi ilahi.
 
  "Anak Allah"
 
  Dua ide utama diasosiasikan dengan gelar ini. Dalam suatu upacara
  penobatan raja di Timur Dekat kuno, seorang raja sering dirujuk
  sebagai "anak" karena ia mewarisi jabatan raja dari ayahnya, raja
  sebelumnya. Sebutan formal "Anak", bersama dengan metafora-metafora
  kelahiran, melambangkan transfer otoritas secara resmi dan
  dimulainya pemerintahan sang putra yang telah lama dinantikan, yang
  untuknya ia dilahirkan. Latar belakang ini menolong menjelaskan
  nubuat dalam Mazmur 2:6-8, yang terutama bercerita tentang
  penerimaan jabatan raja oleh Yesus dalam Kitab-Kitab Injil: "Akulah
  yang telah melantik raja-Ku .... Anak-Ku engkau! Engkau telah
  Kuperanakkan pada hari ini. Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa
  akan Kuberikan kepadamu sebagai milik pusakamu ...." Para penulis
  Injil merujuk pada mazmur ini ketika mereka menarasikan perkataan
  Allah kepada Yesus pada waktu Ia dibaptiskan pada permulaan
  pelayanan-Nya. "Ini adalah Anak yang Kukasihi ...." (misal Mat.
  3:17; Mrk. 1:11). 
  Setelah kebangkitan-Nya, frasa yang sama ini
  diterapkan pada Yesus lagi untuk menunjukkan permulaan pemerintahan
  surgawi-Nya dan pewarisan kerajaan Bapa-Nya sebagai warisan atau
  milik pusaka-Nya (misal Kis. 13:33; Ibr. 1:2-5).
 
  Ide kedua yang berkaitan dengan "Anak Allah" adalah hubungan kasih
  sayang Sang Anak yang unik kepada Bapa-Nya, yang secara langsung
  menunjukkan bahwa Kristus memunyai natur ilahi yang sama seperti
  Bapa-Nya (Yoh. 10:30-38). Yesus merujuk Allah sebagai Bapa-Nya lebih
  dari seratus lima puluh kali di keempat Kitab Injil. Matius 11:27
  (bandingkan Luk. 10:22) menyatakan posisi Yesus yang unik sebagai
  Anak. Ayat ini menyatakan bahwa hanya Yesus yang dapat mengungkapkan
  Sang Bapa kepada umat manusia, menunjukkan bahwa Ia memunyai
  hubungan yang eksklusif dengan Allah, hubungan yang tidak dimiliki
  oleh manusia lainnya. Di samping itu, pengetahuan Sang Anak di sini
  tampaknya setara dengan pengetahuan Sang Bapa, yang jelas
  menunjukkan keilahian Sang Anak.
 
  Injil Yohanes menekankan posisi Yesus yang unik sebagai Anak lebih
  dari Injil-injil Sinoptik. Empat kali Yesus disebut "Anak Tunggal"
  (Yoh. 1:14, Yoh. 1:18; Yoh. 3:16, Yoh. 3:18). Penyataan-penyataan tentang keilahian
  Yesus yang esensial sebagai Anak Allah secara langsung mengajarkan
  keunikan-Nya. Misalnya, setelah Yesus menyembuhkan seorang lumpuh
  pada hari Sabat, orang-orang Yahudi menuduh Dia melanggar Taurat
  Allah yang mengharuskan orang beristirahat pada hari Sabat. Yesus
  membela tindakan-Nya dengan menyatakan bahwa karena Bapa-Nya bekerja
  pada hari Sabat, Ia juga harus bekerja, dengan demikian Ia
  "menyamakan diri-Nya dengan Allah" (Yoh. 5:18). Dalam Yohanes 10,
  Yesus berkata, "Aku dan Bapa adalah satu (dalam esensi)." Sebagai
  tanggapan atas pernyataan ini, orang-orang Yahudi mengambil batu
  hendak membunuh Yesus karena mereka menyadari bahwa Ia menyamakan
  diri-Nya dengan Allah (lihat Yoh. 10:33). Yang menarik adalah, Yesus
  tidak menyangkali pemahaman mereka terhadap klaim-Nya, tetapi justru
  menegur mereka karena kurangnya iman mereka! Sesungguhnya, salah
  satu tujuan utama dari misi Yesus adalah untuk menerangkan tentang
  Bapa kepada dunia (Yoh. 1:18) melalui penyataan natur ilahi-Nya
  sendiri, natur yang juga dimiliki oleh Bapa surgawi-Nya 
  (Yoh. 1:1,14).
 
  Beberapa ciri lainnya juga menunjukkan keunikan Yesus sebagai Anak
  Allah yang ilahi. Pernyataan-pernyataan Yesus yang berulang-ulang
  bahwa Ia "telah diutus oleh Bapa" memberi kesaksian tentang
  praeksistensi-Nya yang ilahi (Yoh. 3:34-35; Yoh. 5:36, Yoh. 5:38). Dalam Yohanes
  8, 
  Yesus menyatakan bahwa "sebelum Abraham jadi, Aku telah ada".
  Abraham hidup kira-kira 1800 tahun sebelum Kristus. Ketika
  mengatakan hal ini, Yesus mengidentifikasi diri-Nya dengan Sang "AKU
  ADALAH AKU" yang agung itu, yaitu TUHAN (Yahweh), Allah Perjanjian
  Lama (bandingkan Kel. 3:14; Yoh. 8:58). Juga hanya Sang Anak yang
  dapat menyatakan Bapa dan mengatakan firman-Nya (misal Yoh. 6:46, 8:26). Kemudian, fungsi-fungsi sang Putra diidentifikasikan dengan
  fungsi-fungsi Allah, seperti menghakimi dan memberi hidup yang kekal
  (misal Yoh. 5:19-30).
 
  Dengan penekanan yang begitu kuat pada keilahian Anak Allah dalam
  Injil Yohanes, orang bisa menyangka bahwa Yohanes menyangkal
  kemanusiaan Yesus yang sejati. Tidak ada yang lebih salah dari
  pernyataan itu. Sesungguhnya, dalam Yohanes 1:14 kita menemukan
  salah satu penegasan yang paling eksplisit tentang kemanusiaan
  Yesus: "Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita
  ...."
 
  Sejumlah pernyataan Yesus memang menunjukkan bahwa Sang Anak
  memunyai keterbatasan-keterbatasan yang tidak dipunyai oleh Bapa
  (misal Mat. 24:36; Mrk. 13:32; Yoh. 5:19). Pernyataan-pernyataan
  Yesus harus dimengerti bahwa Ia sedang membandingkan kondisi surgawi
  yang tak terbatas dari Allah (Bapa) dengan kondisi-Nya sendiri yang
  terbatas sebagai Allah yang berinkarnasi di bumi. Sementara di atas
  bumi, Yesus secara sukarela menyerahkan bukan keilahian-Nya, tetapi
  kebebasan untuk menggunakan sebagian atribut-atribut ilahi-Nya
  sampai sesudah Ia dibangkitkan (bandingkan Flp. 2:5-11).
 
  "Anak Manusia"
 
  Gelar Yesus lainnya yang penting tetapi misterius adalah "Anak
  Manusia". Sebelum kelahiran Kristus, gelar ini dipakai hanya dalam
  Perjanjian Lama. Karena Yesus mengambil gelar tersebut dari sumber
  ini, maka harus dipahami bagaimana frasa ini dipakai dalam
  Perjanjian Lama.
 
  Frasa "Anak Manusia" terdapat dalam Mazmur 8:5-7, Mazmur 80:18-20,
  di seluruh Yehezkiel, dan dalam Daniel 7:13. Daniel 7:13 khususnya
  memunyai pengaruh yang besar atas pemakaian gelar ini oleh Yesus.
  Dalam pasal 7, Daniel menceritakan tentang penglihatan di mana ia
  melihat bahwa pada akhir zaman, Allah akan menghakimi kerajaan
  -kerajaan dunia yang jahat dan penguasa ultimatnya, yaitu Iblis,
  dengan menjatuhkan kerajaan mereka (Daniel 7:1-12, Daniel 7:17, 
  Daniel 7:19-22b, Daniel 7:23-26). Daniel melihat bahwa:
 
  "tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak
  manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia
  dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan
  kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja .... Kekuasaannya ialah
  kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya
  ialah kerajaan yang tidak akan musnah." (Daniel 7:13-14)
 
  Allah menyatakan kepada Daniel bahwa Anak Manusia diberi kekuasaan
  atas dunia, yang telah diambil dari para raja yang jahat itu. Dan
  orang-orang kudus akan menerima kerajaan kekal yang sama dan
  memerintah bersama dengan Anak Manusia, tetapi hanya setelah mereka
  menderita terlebih dulu (Daniel 7:18, Daniel 7:21-22, Daniel 7:24-25, Daniel 7:27).
 
  Walaupun sejumlah pakar berpendapat bahwa Kristus tidak secara
  aktual mengucapkan banyak perkataan tentang Anak Manusia, fakta
  bahwa para penulis surat-surat Perjanjian Baru memakai gelar ini
  bagi Yesus hanya sebanyak tiga kali menunjuk kepada arah yang
  berlainan. Gelar ini otentik dengan Kristus sendiri yang sering
  memakainya karena gelar ini meringkaskan dengan baik jenis pelayanan
  yang Ia lakukan sebelum penyaliban. Setelah kematian-Nya, frasa ini
  jarang dipakai karena gelar-gelar lainnya menjelaskan dengan lebih
  baik natur pelayanan pascakebangkitan-Nya.
 
  Dengan latar belakang Perjanjian Lama ini dalam pikiran, kita
  menemukan bahwa Yesus memakai frasa "Anak Manusia" dalam dua cara
  utama. Pertama, gelar ini merujuk pada masa tiga tahun pelayanan
  publik-Nya, di mana Ia menjalani kehidupan yang menderita sebagai
  hamba yang hina. Apa yang tampak dalam penglihatan Daniel seperti
  seorang Anak Manusia yang datang dalam kemuliaan ke hadapan takhta
  surgawi Allah untuk menerima jabatan Raja Surgawi, dimulai
  penggenapannya di atas bumi secara paradoksal dalam tiga tahun
  pelayanan Yesus yang tidak ada semaraknya. Tetapi misi Yesus memang
  berpuncak pada penobatan-Nya sebagai Raja di hadapan takhta ilahi
  pada peristiwa kenaikan-Nya. Kemudian, Yesus juga memakai "Anak
  Manusia" untuk merujuk pada pemuliaan-Nya sebagai Raja atas
  segalanya di masa depan.
 
  Arti penting yang sentral dalam penggunaan sebutan ini adalah tujuan
  Sang Anak Manusia untuk menyerahkan nyawa-Nya sebagai pembayaran
  hukuman bagi dosa manusia (misal Mrk. 8:31; Mrk.9:12; Mrk.10:45). Barangkali
  nas yang paling signifikan dalam kategori ini adalah Markus 10:45
  (Mat. 20:28): "Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani,
  melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi
  tebusan bagi banyak orang." Di samping itu, ada indikasi-indikasi
  yang jelas bahwa Yesus yang mulia itu akan kembali pada akhir
  sejarah untuk menghakimi yang jahat dan membebaskan orang-orang
  kudus-Nya (misal Mrk. 13:24-27; Mrk. 14:62).
 
  "Hamba yang Menderita"
 
  Penekanan Yesus pada penderitaan dan korban kematian-Nya membuat
  kita berpikir tentang konsep "hamba yang menderita". Meskipun frasa
  ini bukan gelar yang formal bagi Yesus, Ia memang menerapkan konsep
  penting dalam Perjanjian Lama ini pada diri-Nya sendiri. Nas utama
  yang darinya Yesus mengambil konsep tentang "hamba yang menderita"
  itu adalah Yesaya 52:13-53:12 (bandingkan Yes. 42:1-9; Yes. 43:10;
  Yes. 49:16). Yesaya 53 menyatakan beberapa ciri yang menubuatkan misi
  Yesus. Hamba itu akan ditolak, dihina, dan ditinggalkan oleh bangsa
  -Nya sendiri (53:1-3). Ia akan menderita hukuman siksaan yang sangat
  kejam dan tidak selayaknya demi dosa-dosa bangsa ini, meskipun Ia
  sendiri tidak berdosa (53:4-12). Penderitaan-Nya akan menjadi
  pengganti. Melalui penderitaan ini, orang-orang yang berdosa akan
  dibebaskan dari hukuman yang memang pantas bagi mereka (53:5, 10
  -12). Meskipun Ia akan dikuburkan bersama dengan orang-orang jahat,
  Ia akan dikuburkan dalam kuburan seorang kaya (53:9, RSV). Melalui
  kematian-Nya, Hamba itu akan menang atas kematian dan menerima suatu
  pahala juga (53:10-12).
 
  Dengan demikian, Yesaya 53 adalah penjelasan yang paling jelas
  tentang penderitaan substitusioner seorang Hamba yang ilahi. Karena
  Yesus akan segera menggenapi peran ini, secara wajar Ia menerapkan
  nas ini pada misi-Nya (misal Mrk. 9:12; Luk. 22:37; Yoh. 12:38).
  Markus 10:45 adalah yang paling jelas mengilustrasikan nas-nas
  tentang Hamba yang menderita di mana Yesus menerapkan kepada diri
  -Nya sendiri ide-ide yang khas Hamba yang menderita seperti dalam
  Yesaya 52:13 - Yesaya 53:12. Ia "melayani" dalam ketaatan kepada Allah dan
  untuk kepentingan orang-orang lain. Ia "memberi nyawa-Nya" sebagai
  "tebusan" -- sebagai persembahan korban pengganti bagi hukuman atau
  kesalahan. Korban karena kesalahan ini adalah untuk "banyak orang"
  (53:11-12). Seluruh ayat ini merupakan suatu ringkasan yang baik
  dari tema-tema besar Yesaya 53. Kita harus memerhatikan bahwa unsur
  -unsur Yesaya 53 menunjuk pada seorang hamba yang sungguh-sungguh
  manusia. Para penulis Injil dengan jelas bersaksi tentang keilahian
  dan kemanusiaan Yesus. Sementara Ia terus memiliki natur dan
  atribut-atribut yang sama dengan Bapa-Nya, tetapi Ia juga sedih,
  lapar, dan menjadi lelah -- semua ini adalah ciri-ciri manusia.
 
  Pengkajian kita tentang empat dari tujuh puluh gelar yang diterapkan
  pada Yesus dalam Perjanjian Baru memberi kita pemahaman tentang
  siapa Dia dan apa yang Dia lakukan. Hal yang paling menonjol adalah
  bahwa tidak ada seorang pun sebelum Yesus yang menerapkan empat
  gelar itu pada satu orang. Secara khusus, tak seorang pun yang
  pernah menerangkan bahwa gelar-gelar "Mesias," "Anak Allah," dan
  "Anak Manusia" dapat dipahami melalui konsep Hamba yang menderita
  dalam Yesaya 53. Misi mesianis yang secara tradisional diasosiasikan
  dengan tiga gelar pertama itu kini ditafsirkan dalam terang Yesaya
  53, 
  yang secara radikal merupakan suatu penyimpangan yang kreatif
  dan baru dari pandangan tradisional Yahudi. Markus 8:27-37 adalah
  suatu nas yang signifikan dalam hal ini, karena tiga gelar ini
  diterapkan pada Yesus dalam suatu percakapan yang singkat, dan gelar
  keempat, yaitu gelar "Anak Allah" disiratkan dalam gelar "Mesias"
  (bandingkan Mrk. 1:1; Mat. 16:16; Mat. 26:63).
 
  *(1): Kovenan ini sesungguhnya adalah suatu janji keselamatan, yang
  diisyaratkan dalam Kejadian 3:15, di mana dinubuatkan bahwa salah
  seorang keturunan Hawa di masa depan akan secara fatal membinasakan
  si ular yang mewakili Iblis, dan dalam Kejadian 2:21, di mana Allah
  mencurahkan darah binatang dan menutupi Adam dan Hawa dengan
  kulitnya, suatu antisipasi simbolik tentang pencurahan darah Anak
  Domba di atas salib untuk menutup dosa manusia. Janji Allah
  dinyatakan lebih lanjut dalam Kejadian 12:1-3, 13:15, dan 15:18, dan
  berkembang terus dalam sisa Perjanjian Lama. 
  
  *(2): Yesaya 26-29; Yehezkiel 38, dst.; Daniel 2, 7, 12; 
  Zakharia 14, dsb.. 
  
  *(3): Bandingkan Kebijaksanaan Salomo 17-18, 4 Ezra 12-13.
 
======================================================================
  
  Diambil dan disunting seperlunya dari: 
  Judul buku: Membangun Wawasan Dunia Kristen, Vol. 1: Allah, Manusia 
              dan Pengetahuan 
  Judul asli buku: Building Christian Worldview, Vol 1: God, Man, and
                   Knowledge 
  Penulis: G. K. Beale dan James Bibza 
  Penerjemah: Peter Suwandi Wong 
  Penerbit: Momentum, Surabaya 2006
  Halaman: 53 -- 61

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org