Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/102

e-Reformed edisi 102 (14-8-2008)

Gereja Beraliran Teologi Reformed

 
  Dear e-Reformed Netters,

  Saya membeli sebuah buku kecil dengan judul yang sangat menarik, 
  "The Readable TULIP". Buku tersebut ditulis oleh seorang Pendeta 
  Gereja Covenant Evangelical Reformed di Singapura yang bernama Cheah 
  Fook Meng. Belum pernah terbayang dalam benak saya ada buku yang 
  membahas TULIP (Lima Inti Calvinisme), sekecil dan setipis itu. 
  Tentu menyenangkan sekali menemukan kenyataan bahwa itu bukan mimpi 
  lagi.

  Saya kira kata "Readable" yang dipakai di sini bukan dimaksudkan 
  sebagai sindiran (kalau untuk sindiran, kata-katanya mungkin akan 
  seperti ini: "TULIP for the Dumies"), tapi sebagai pembelaan, bahwa 
  walaupun kebenaran iman Reformed memang tidak mudah (harus 
  berpikir), namun bukan berarti tidak bisa dijelaskan dengan 
  sederhana, khususnya bagi orang Reformed baru. Yang menjadi masalah 
  adalah, yang memersulitnya justru orang Reformed itu sendiri. Selain 
  bahasanya yang sederhana, cara penyampaian gagasan dalam buku ini 
  kelihatan bersahaja. Memang ada kesan tegas, solid, dan bertahan 
  pada pendirian, namun tidak sombong. Memang ada kesan elite, tapi 
  tidak eksklusif. 

  Bagian pertama buku ini menjelaskan tentang TULIP. Namun, saya 
  sengaja tidak mengambil bagian ini untuk saya bagikan kepada Anda 
  karena saya berasumsi bahwa kebanyakan dari Anda sudah tahu. Saya 
  justru mengambil dua artikel pendek lain sesudahnya karena bagi 
  saya, bagian ini lebih menarik. Dua bab yang saya ambil adalah:

  - Why We are Reformed?
  - What if We Reject the Reformed Faith?

  Silakan menyimak. Jika Anda ingin memberi komentar, silakan 
  berkunjung (tapi harus mendaftar menjadi anggota dulu) ke situs 
  Soteri di:

  ==> http://www.soteri.sabda.org/

  In Christ,
  Yulia Oeniyati
  < yulia(at)in-christ.net >

----------------------------------------------------------------------

                  GEREJA BERALIRAN TEOLOGI REFORMED

  MENGAPA KAMI MENJADI JEMAAT REFORMED?

  Gereja dan teologi Reformed tidak populer untuk banyak orang. Kalau 
  mau jujur, kalau saya bercita-cita ingin membangun gereja yang 
  nantinya akan dipenuhi dengan pengunjung, maka saya tidak akan 
  membangun gereja Reformed. Gereja-gereja kontemporer dengan musik 
  pop dan nada musik yang keras serta panggung/mimbar yang ditata 
  dengan apik, lebih populer. Gereja-gereja yang sangat menekankan 
  pemuridan (red: sel group), sedang digemari pada era milenium ini. 
  Gereja-gereja yang memfokuskan diri pada kebutuhan manusia juga 
  memiliki banyak jemaat. Namun, posisi gereja Reformed tidak terlalu 
  baik dalam popularitas kekristenan.

  Citra umum gereja Reformed adalah bahwa gereja ini membosankan dan 
  banyak batasannya. Gaya penyembahannya yang kuno tidak relevan 
  dengan budaya modern berteknologi tinggi. Jemaatnya berpenampilan 
  terlalu tenang karena penekanannya pada kerusakan moral; hidup 
  mereka nampak pasif karena ajaran predestinasi. Dan lagi, usaha 
  penginjilannya tidak menarik untuk zaman sekarang. Namun meski 
  kurang populer, kami tetap ingin menjadi jemaat Reformed. Mengapa?

  Pertama, menjadi jemaat Reformed bukanlah pilihan, namun pendirian. 
  Menjadi jemaat Reformed berarti menjadi alkitabiah. Semua doktrin 
  iman Reformed -- predestinasi, kerusakan moral total, penebusan dosa 
  yang absolut, anugerah yang luar biasa, dan ketekunan orang percaya 
  --merupakan kebenaran yang ada dalam Injil. Meskipun istilah-istilah 
  yang kami gunakan untuk menyimpulkan iman Reformed, tercipta dari 
  panasnya debat teologi, namun kebenarannya berakar dalam pada 
  pengajaran Alkitab. Seperti yang dikatakan sang pengkhotbah, Charles 
  Spurgeon, "menjadi Calvinis berarti menjadi alkitabiah".

  Kedua, menjadi Reformed berarti menjadi apostolik. Kami tidak 
  percaya pada rangkaian apostolik seperti agama Katolik Roma 
  memercayainya. Mereka percaya pada rangkaian jasa para santo. Namun, 
  kami percaya pada rangkaian doktrin orang kudus. Iman Reformed 
  bukanlah suatu ajaran baru. Iman Reformed muncul pada era Reformasi 
  abad ke-16. Meskipun namanya diambil dari kata Reformasi, doktrin 
  iman Reformed diajarkan oleh Agustinus bahkan sebelum Martin Luther 
  melontarkan 95 tesisnya. Iman Reformed dan penekanannya pada 
  kedaulatan anugerah Allah, bersumber pada wahyu Injil.

  Ketiga, iman Reformed memuliakan Allah. Gereja superbesar 
  (megachurch) pada zaman sekarang menyembah Allah dengan musik 
  kontemporer dan aksi panggung yang terus berkembang. Gereja Reformed 
  memuliakan Allah dengan pengagungannya yang dalam pada kedaulatan 
  dan kekudusan Allah. Allah berdaulat atas karya penciptaan dan 
  pemeliharaan. Kedaulatan Allah adalah sebuah kebenaran yang sangat 
  diakui oleh iman Reformed. Namun iman Reformed mengatakan lebih dari 
  itu. Karena saat kami mengakui bahwa Allah berdaulat atas karya 
  penebusan, kami mengatakan bahwa keselamatan adalah murni karena 
  anugerah. Kami tidak mulai bertobat dengan sendirinya. Allah 
  mengubahkan kami oleh anugerah-Nya. Dengan kuasa-Nya, Ia membuat 
  kami berkehendak untuk berubah. Respons iman adalah sebuah anugerah 
  yang Allah kerjakan dalam hati orang-orang pilihan-Nya. Hal ini 
  bertentangan dengan teologi populer. Dalam banyak presentasi Injil, 
  karya keselamatan dinyatakan sebagai sebuah kerja sama. Allah 
  mengerjakan 50% dalam anugerah-Nya dan menunggu tak berdaya untuk 
  manusia mengerjakan 50% sisanya dalam kehendak bebasnya. Charles 
  Spurgeon pernah mengatakan bahwa jika ada satu persen kehendak 
  manusia dalam selubung kebenaran-Nya, ia akan selamanya tersesat.

  Keempat, iman Reformed memberikan jaminan sejati bagi gereja dan 
  jemaatnya dalam masa pencobaan dan krisis. Iman Reformed bukanlah 
  sebuah doktrin teoritis alternatif. Iman Reformed merupakan teologi 
  dengan kebenaran yang secara praktis sangat berkuasa. Saat seorang 
  anak Allah mengalami pencobaan hebat, ia memandang pada kasih 
  pemeliharaan Allah dan mengakui bahwa Allah berkuasa atas segalanya. 
  Ia mengakui bahwa Allah berkuasa memberikan kelepasan. Lebih 
  daripada mengharapkan datangnya kelepasan, orang itu akan berpegang 
  pada imannya yang percaya bahwa Allah sanggup membawa kebaikan 
  bahkan, dalam situasi yang paling buruk sekalipun.

  Orang Reformed tidak pernah putus asa. Bandingkan iman sederhana ini 
  dengan pengakuan arogan beberapa pendoa kesembuhan. Mereka 
  mengatakan kepada kita bahwa Allah ingin menyembuhkan penyakit kita. 
  Dan saat  kesembuhan tidak terjadi, kesalahan ditimpakan kepada 
  orang percaya dengan alasan bahwa ia tidak cukup beriman untuk dapat 
  sembuh. Namun, orang Kristen Reformed lebih dewasa dalam 
  pandangannya. Pertama-tama, ia menginginkan kesembuhan jiwa. Saat ia 
  memohon kesembuhan fisik, ia tahu bahwa Allah mungkin akan 
  mengabulkannya, tapi mungkin juga tidak, sesuai dengan kedaulatan 
  tujuan-Nya. Dan saat kesembuhan tidak juga datang, itu bukan karena 
  ia kurang beriman, namun karena Allah ingin ia percaya bahwa Ia 
  sanggup memberikan kebaikan, bahkan dalam hal buruk sekalipun. Orang 
  Kristen Reformed mensyukuri kekayaan dan kebahagiaan, tapi juga 
  dalam penderitaan. Ia tahu bahwa Allah berkuasa atas dua hal ekstrim 
  yang ada dalam kehidupan itu.

  Kelima, iman Reformed selalu memperbaiki. Iman Reformed tidak pernah 
  mandek (stagnan). Meski mengakui iman yang sudah kuno, namun iman 
  ini selalu bekerja keras memahami lebih banyak kebenara-Nya dari 
  firman Tuhan. Kita tidak akan pernah dapat memahami segalanya 
  tentang Allah. Meski Allah dapat dikenali, Ia juga tidak terpahami. 
  Pengetahuan kita akan Allah akan semakin dalam, khususnya pada 
  
  saat-saat Ia mencobai kita dengan kesulitan-kesulitan. Dari 
  pencobaan-pencobaan itulah kami biasanya melihat lebih banyak 
  keindahan dan kemuliaan-Nya. Iman Reformed tidak berkembang dari 
  perenungan di tempat tinggi dengan suasana yang tenang. Kebenaran 
  iman Reformed diformulasi saat ada pertumpahan darah, ancaman, dan 
  kontroversi. Kebenaran-kebenaran itu dikembangkan untuk memenuhi 
  perjuangan umat Allah sehari-hari. Katekisme Heidelberg, yang jelas 
  merupakan iman Reformed paling disukai, diawali dengan pertanyaan 
  yang benar-benar praktis dalam instruksinya, "Apa yang menjadi 
  satu-satunya penghiburan bagi Anda dalam kehidupan dan kematian?"

  Yang terakhir namun tak kalah pentingnya, iman Reformed selalu 
  konsisten. Dispensasionalisme memiliki banyak variasi. Karismatisme 
  memiliki banyak jemaat. Arminianisme mengubah Allah dan membuatnya 
  makin terbuka dan mudah dikecam. Namun, iman Reformed konsisten 
  dalam pengakuannya atas anugerah kedaulatan Allah. Apa yang diakui 
  iman Reformed kini sama dengan yang diakui pada generasi yang akan 
  datang. Setiap generasi mungkin memerluasnya. Namun presuposisi dan 
  prinsip dasarnya tetap sama -- Allahlah yang berkuasa. Dan karena 
  kekonsistenannya ini, hanya iman Reformedlah yang dapat membawa 
  gereja melalui masa depan yang terus berubah. Kebenaran-Nya tidak 
  pernah berubah. Allah berkuasa kemarin. Ia berkuasa sekarang ini. 
  Dan Ia berkuasa selamanya.

  BAGAIMANA JADINYA JIKA KITA MENOLAK IMAN REFORMED?

  Menyepelekan Allah adalah Konsekuensi dari Menolak Iman Reformed
  ----------------------------------------------------------------

  "Aku percaya padamu". Siapa yang mengucapkannya? Itulah yang pertama 
  kali terlintas di benak saya saat melewati sebuah gereja yang 
  memasang spanduk bertuliskan kalimat itu. Filsuf, psikologis, 
  humanis, atau ahli manajemen mana yang telah mengatakan sesuatu yang 
  sangat berpusat pada manusia itu? "Apakah filsuf besar Yunani, 
  Socrates, yang mengatakannya?" tanyaku. Ia adalah orang yang 
  bersikeras bahwa Anda harus "mengenal diri Anda sendiri". Apakah 
  Narcissus, seorang pemikir sombong yang jatuh cinta dengan citra 
  dirinya sendiri dan memuji kebajikannya sebagai manusia dan 
  keterlibatan pribadinya?

  Saat saya melihat di bagian bawah tulisan yang dicetak tebal itu 
  untuk mencari sumbernya, saya benar-benar kaget. Allah yang 
  mengatakannya. Allah? Saya segera membaca cepat seluruh Perjanjian 
  Lama dan Baru untuk mencari firman Allah yang mengatakan, "Aku 
  percaya padamu." Saya tidak bisa menemukannya. Kalimat itu tidak ada 
  dalam Alkitab.

  "Sejak kapan Allah menempatkan manusia sebagai objek 
  kepercayaan-Nya," pikirku. Kalimat itu mungkin terlihat keren bagi 
  generasi modern, namun tidak sesuai dengan teologi yang saya tahu di 
  Alkitab.

  Alkitab menjelaskan kejatuhan manusia sebagai "maut dalam 
  pelanggaran dan dosa". Alkitab mengatakan kepada kita bahwa 
  "keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah". Alkitab 
  mengatakan bahwa setiap manusia telah berdosa dan kehilangan 
  kemuliaan Allah. Dan bahkan Alkitab dengan berani mengatakan bahwa 
  kita "diperanakkan dalam kesalahan dan dikandung ibu kita dalam 
  dosa.

  Dengan pernyataan-pernyataan tegas tentang keadaan manusia yang 
  tersesat seperti itu, hal baik apa yang membuat manusia yang sudah 
  berdosa dan rusak itu menjadi objek kepercayaan-Nya?

  Pernyataan itu memang tegas. Seperti kebanyakan tipu muslihat iklan, 
  pernyataan itu ditujukan untuk menarik perhatian masyarakat modern. 
  Dan dalam usahanya menarik massa, bahkan ada juga yang cukup berani 
  menulis ulang pokok-pokok iman Kristen.

  Mereka menulis ulang apa yang Injil katakan tentang manusia, dan 
  membuatnya menjadi seseorang dengan bawaan lahir ilahi yang 
  disenangi Allah. Namun, Injil menegaskan bahwa manusia jasmani tidak 
  dapat menyenangkan Allah (Roma 8:6-8). Mengatakan Allah percaya pada 
  manusia berarti menyatakan secara tak langsung bahwa manusia 
  memiliki kebaikan dan keterampilan spiritual yang terhadapnya Allah 
  berkenan. Hal baik apa yang ada dalam manusia berdosa yang dapat 
  membuat Allah mengatakan padanya, "Aku percaya padamu?"

  Mungkin Allah terkesan dengan intelegensi kita. Lagipula, kita 
  adalah manusia yang berpendidikan tinggi dan inovatif. Kita telah 
  menghasilkan sarjana-sarjana dan menciptakan sistem yang memiliki 
  kontribusi besar dalam membentuk masyarakat global. 

  Mungkin Allah terkesan dengan budaya populer kita. Pada 1960-an, 
  kita memiliki Beatles dan kemudian, Bee Gees, dan kini kita punya 
  Westlife dan Britney Spears. Mungkin Allah senang dengan bagaimana 
  kita memakai musik untuk menghilangkan stres dan membuat jiwa kita 
  menari.

  Mungkin Allah terkesan dengan bagaimana kita saling mencintai satu 
  sama lain sebagai manusia. Karena kasih adalah hal yang terpenting, 
  mungkin Allah tergerak oleh bagaimana kita mengasihi tanpa 
  penilaian, pernikahan, etika, dan tanggung jawab. Mungkin Ia 
  terkesan dengan bagaimana kita dapat dengan mudah terlibat dan 
  melakukan pernikahan sesama jenis.

  Mungkin Allah terkesan dengan bagaimana kita dapat lebih maju dalam 
  memandang kehidupan. Ada yang bilang kita berasal dari kera. Yang 
  lain berkata bahwa materialisme dan kesenangan hidup adalah yang 
  terpenting. Namun, yang lain lagi berkata bahwa kita harus 
  memutuskan etika kita berdasarkan perasaan kita -- jika dirasa baik, 
  lakukan. Dan mungkin Allah terkesan dengan bagaimana pandangan-
  pandangan ini mampu bertahan dalam pasar publik tanpa persaingan.

  Atau mungkin terkesan dengan bagaimana kita percaya terhadap diri 
  kita sendiri. Manusia adalah tolok ukur segala sesuatu. Ia adalah 
  kapten dari takdirnya sendiri. Ia memiliki kemampuan untuk membentuk 
  dunia tanpa Allah. Dan karena semua yang dapat dilakukan manusia 
  itu, Allah percaya padanya.

  "Aku percaya padamu?" Sebaliknya, saya menemukan di Alkitab kalimat 
  yang jauh lebih menenangkan. Allah mengatakan kepada setiap orang 
  yang memusatkan diri pada manusia bahwa jika Anda hidup dalam 
  daging, Anda akan mati (Roma 8:13). 

  Pernyataan itu mengubah apa yang sudah dituliskan Allah, karena 
  merendahkan kedaulatan Allah dan menjadikan Allah sekadar sebagai 
  penonton, motivator, "Aku percaya padamu, kamu pasti bisa!"

  Allah, dalam kepercayaan Protestan tradisional, disembah sebagai 
  Pencipta dan Penebus. Ia memutuskan hidup semua manusia. Ia 
  menentukan bagaimana segala sesuatu akan terjadi. Ia melakukan 
  segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Tidak seorang pun dapat 
  menggagalkan rencana-Nya. Tak seorang pun mampu menentang perkataan-
  Nya. Dan tak seorang pun yang menyarankan-Nya bahwa rencana B jauh 
  lebih baik. Salah satu pernyataan paling indah tentang Allah ada di 
  Yesaya 46.

    "... Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak 
    ada yang seperti Aku, yang memberitahukan dari mulanya hal yang 
    kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang 
    berkata: Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan 
    Kulaksanakan." (Yesaya 46:9-10)

  Allah tidak perlu percaya kepada siapa pun. Ia sendiri adalah Yang 
  Mahakuasa. Tak ada yang seperti-Nya. Tak seorang pun memiliki kuasa 
  membentuk masa depan. Tak seorang pun dapat menebus kejatuhan 
  manusia. Tak seorang pun dapat melakukan sesuatu tanpa Allah. Tanpa 
  Allah, manusia dan segala ciptaan bahkan tidak dapat hidup barang 
  sesaat. Mengapa Allah mengatakan kepada manusia, "Aku percaya 
  padamu?"

  "Aku percaya padamu" hanyalah satu dari banyak peryataan yang dapat 
  Anda temukan di www.lovesingapore.org.sg. Pernyataan lain di 
  antaranya: "Aku berpikir akan membuat dunia hitam dan putih. Lalu 
  Aku berpikir ... naaaah." "Aku benci aturan. Itulah sebabnya mengapa 
  aku hanya membuat sepuluh aturan." Dan semua pernyataan itu 
  dipertautkan dengan Allah. 

  "Golden rules" seperti itu dimaksudkan untuk menempatkan Allah di 
  jantung kota, untuk membuat-Nya nampak keren, jenaka, tak 
  ketinggalan zaman, dan dapat diterima. Namun sungguh, hal ini 
  merupakan sesuatu yang menjelaskan bagaimana gereja modern sudah 
  melangkah terlalu jauh. Gereja masa kini telah kalah oleh budaya 
  populer. Jika sesuatu tidak modern, maka sesuatu itu tidak relevan. 
  Karena itu gereja yang memakai metode iklan baru ini memutuskan 
  untuk membuat Allah lebih modern.

  Namun dengan membuat Allah menjadi lebih relevan, mereka tidak 
  menghormati Allah. Kini, Allah menjadi seperti produk konsumen. Ia 
  harus didikte untuk berkata sesuatu yang tampak keren di budaya 
  populer kita. Jadi, perkataan-Nya harus dinyatakan ulang, status-Nya 
  diposisikan ulang, dan kedaulatan-Nya direndahkan dalam rangka 
  membuat-Nya lebih relevan dengan keadaan masa kini. Allah harus 
  mengatakan apa yang para pembuat iklan inginkan untuk Dia katakan. 
  Dan orang-orang yang mendanainya sepertinya tidak merasa bahwa 
  menggunakan nama Allah dengan begitu sembarangan dan tidak 
  menghormati adalah pelanggaran perintah yang ketiga, "Jangan 
  menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan." Nama Allah, yang 
  adalah kemuliaan-Nya, kini direduksikan menjadi label komersial, 
  untuk mempromosikan produk baru Injil masa kini.

  Penyepelean Allah ini adalah sesuatu yang serius. Perhatikan 
  komentar Warren Wiersbe, seorang pengkhotbah Kristen yang terkenal, 
  "Kita tidak perlu mengutuk atau bersumpah untuk menyebut nama Allah 
  dengan sembarangan. Kita hanya perlu menggunakan nama-Nya dalam hal-
  hal sepele, maka kita pun sudah menghina nama Allah. Tak semestinya 
  familiaritas dapat merendahkan nama ilahi layaknya penghinaan nama 
  Allah yang jelas-jelas diucapkan. Mengucapkan hal-hal spiritual yang 
  berharga dengan cara seadanya dan terkesan menyepelekan merupakan 
  sebuah dosa dan sekaligus menyangkal kebenaran-Nya.

  Menyepelekan Allah sama dengan menyingkirkan Allah dari kekristenan 
  historis. Pernyataan "Aku percaya padamu" bukanlah pernyataan yang 
  netral dan tak berbahaya. Pernyataan itu adalah perusakan teisme dan 
  humanisme. Pernyataan itu merupakan sebuah paduan yang jelas 
  antialkitabiah. Pernyataan itu lebih buruk daripada Arminianisme 
  yang membawa masalah bagi gereja pada era Reformasi. Arminianisme 
  bersifat sinergis. Paham ini mengatakan bahwa Allah membutuhkan 
  kerja sama manusia. Namun pernyataan "Aku percaya padamu" nampak 
  seperti sinkretisme, yang membawa suara humanistis yang halus namun 
  tegas. Manusia memiliki masa depan yang dapat ia atur sendiri. 
  Manusia dapat melakukan apapun menurut kehendaknya untuk 
  menyenangkan Allah. Dan saat manusia itu berhasil, Allah bertepuk 
  tangan untuknya dan berkata, "Benar, kan, kamu pasti bisa 
  melakukannya. Aku selalu percaya padamu." Pernyataan ini menempatkan 
  Allah dan manusia pada derajat yang sama.

  Allah yang dipromosikan dalam iklan-iklan itu bukanlah Allah yang 
  ada di dalam Injil. Saya yakin gereja-gereja yang mendukung slogan 
  ini tidak bermaksud untuk merendahkan dan menyingkirkan Allah dari 
  kekristenan historis. Namun pernyataan itu jelas membuktikannya. Hal 
  ini membawa saya kepada pertanyaan yang perlu diselidiki: "Sudahkah 
  kita menjadi sedemikian acuh secara teologis sampai-sampai kita 
  tidak lagi mampu membedakan dasar kekristenan dari humanisme dan 
  ketidakpercayaan?"

  Memasang tulisan-tulisan seperti itu di dalam dan di luar gereja 
  tidak akan membuat kekristenan menjadi keren dan relevan. Pernyataan 
  itu hanya menunjukkan seberapa jauh komunitas Kristen secara 
  teologis sudah sangat tersesat. Fakta banyaknya gereja terkemuka 
  memasang spanduk seperti itu telah mencerminkan tidak adanya 
  kepemimpinan teologis dalam komunitas Kristen lokal. Warisan 
  Protestan di Singapura telah kalah oleh roh zaman ini. Allah 
  alkitabiah tidak ada lagi dalam spanduk-spanduknya. Segera, Ia akan 
  hilang dari aula suci kita ... kecuali kita kembali kepada kesehatan 
  rohani alkitabiah dan mulai menghormati Allah serta menyadari 
  kemuliaan-Nya. (t/Dian)

  Diterjemahkan dari:
  Judul buku: The Readable TULIP
  Judul asli artikel: 1. Why We are Reformed?
                      2. What if We Reject Reformed Faith?
  Penulis: Cheah Fook Meng
  Penerbit: Genesis Books, Singapura 2003
  Halaman: 62 -- 71   

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org