Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/101

e-Reformed edisi 101 (19-7-2008)

Panggilan -- Apakah Pelayanan Itu Suatu Karier

Dear e-Reformed Netters,

Benar, bahwa semua pelayanan yang kita lakukan untuk Tuhan itu baik, 
tak peduli jabatan atau peran yang kita emban dalam melayani. Namun, 
kita harus selalu waspada karena tidak semua pelayanan yang kita 
lakukan menyenangkan hati Tuhan, meskipun apa yang kita lakukan itu 
baik. Salah satu hal yang membedakan pelayanan yang menyenangkan-Nya 
dan yang tidak adalah bagaimana cara kita memandang dan melakukan 
pelayanan yang saat ini sedang kita lakukan -- apakah sebagai 
panggilan atau sebagai karier?

Saat ini banyak orang yang menganggap bahwa pelayanan yang mereka 
lakukan adalah sebuah panggilan, padahal bukan. Mereka sebenarnya 
menghidupi pelayanan mereka sebagaimana layaknya dalam berkarier. 
Pelayanan semacam itu jelas dapat merusak hubungan kita dengan Allah 
karena pada dasarnya hal inilah merupakan esensi dari sebuah panggilan 
untuk melayani.

Melalui sajian di bawah ini, bersama-sama kita akan dibawa dalam suatu 
pemahaman mengenai apa artinya panggilan dan apa bedanya dengan 
pelayanan yang hanya merupakan karier. Tentu saja kami berharap agar 
kita semua memiliki jiwa pelayanan yang benar dan menghidupi pelayanan 
kita sebagai sebuah panggilan -- sebuah pelayanan yang Dia inginkan 
dan yang pasti berkenan di hati-Nya.

Selamat menyimak.

Redaksi Tamu e-Reformed,
Dian Pradana

----------------------------------------------------------------------
            PANGGILAN -- APAKAH PELAYANAN ITU SUATU KARIER

 Cara kita memandang tugas dapat mengubah apa yang ada dalam dunia --
                           dan juga gereja.


Saya sering dipusingkan dengan hal yang kita sebut sebagai 
"panggilan". Apa itu panggilan? Bagaimana cara Saudara mengetahui 
datangnya panggilan itu?

Banyak yang tidak saya ketahui. Namun, satu hal yang benar-benar bisa 
saya jelaskan ialah bahwa panggilan bukanlah karier. Ada perbedaan 
mendasar di antara kedua hal ini. Penting bagi kita untuk mengerti apa 
itu panggilan Allah, khususnya pada saat ini.

Kata "karier" itu sendiri sudah mengacu kepada pembedaan tersebut. 
Kata bahasa Inggris, "career", berasal dari bahasa Perancis, 
"carriere", yang berarti suatu jalan atau suatu "highway". Gambaran 
ini menyiratkan adanya satu tujuan dan peta jalan yang ada dalam 
genggaman, tujuan di depan mata, tempat-tempat berhenti untuk makan, 
penginapan, dan tempat pengisian bahan bakar.

Dari gambaran sebelumnya, kita bisa menyebutkan bahwa karier seseorang 
ibarat sebuah jalan yang telah dia ambil. Semakin sering 
membicarakannya, semakin kita melihat jalur ke depan yang diambil dan 
direncanakan untuk kita lalui secara profesional. Ibarat suatu jalan 
yang peta dan rencananya telah dibuat, mencapai tujuan menjadi hal 
yang terutama. Jalannya telah ditandai dengan baik. Selanjutnya 
terserah kepada orang yang akan melakukan perjalanan tersebut.

Tidak seperti karier, panggilan sama sekali tidak dipetakan. Tidak 
satu jalur pun yang akan diikuti. Tidak ada tujuan yang dapat dilihat. 
Panggilan lebih bersandar kepada mendengarkan "suara". Organ iman 
untuk panggilan adalah telinga, bukan mata. Yang pertama dan terakhir, 
itulah sesuatu yang perlu didengarkan oleh seseorang. Segala sesuatu 
hanya bersandar pada hubungan yang ada antara pendengar dan Dia yang 
memanggilnya.

Bila karier berarti membuat sebuah formula dan cetak biru (blue 
print), suatu panggilan hanya bertujuan untuk membina hubungan. Suatu 
karier bisa didapat hanya dengan memenuhi persyaratan-persyaratan 
tertentu, sedangkan panggilan tidak.

Ketika Musa mendengar Allah memanggilnya untuk membebaskan para budak 
di Mesir, tanggapan pertamanya adalah seolah-olah ia muncul dengan 
keputusan yang bersifat karier. Apakah dia memenuhi syarat? Apakah dia 
memunyai pengalaman cukup dan kemampuan khusus yang diperlukan untuk 
tugas semacam itu? Dia berbicara dengan Allah yang sepertinya sedang 
mengadakan wawancara untuk suatu pekerjaan. Siapakah saya yang 
melakukan pekerjaan semacam ini? Bagaimana jadinya kalau rakyat tidak 
mau menurut? Dan apakah Allah tidak tahu kalau Musa bukanlah orang 
yang pintar berbicara di muka umum?

Semua hal tersebut tidak relevan bagi Allah. Selanjutnya, yang terjadi 
adalah Musa yakin bahwa Allah dapat dipercayai sehingga ia pun 
berkata, "Aku akan mengikuti-Mu."

Pendeknya, yang menjadi perhatian adalah panggilan tersebut -- dan 
Musa pun mengikatkan dirinya pada Dia yang menyerukan panggilan itu.

BAHAYA SEORANG PROFESIONAL

Jika kita memandang panggilan kita sebagai suatu karier, kita 
merendahkan pelayan-pelayan Yesus sebagai seorang makhluk hambar yang 
disebut "kaum profesional". Berpakaian baik, berbicara dengan baik, 
dilengkapi dengan kepandaian, mengerti kepemimpinan, pintar dalam 
manajemen, dan belajar mengenai seluk-beluk pemasaran -- tentu saja 
semua itu baik kalau dipergunakan bagi sebuah pekerjaan. Kita ingin 
membuat tanda pada dunia, sedikit memberi respek pada para 
profesional, dan untuk selamanya memancarkan citra seperti Pendeta 
Rodley Dangerfield.

Dengan perasaan yang realistis, kaum profesional berharap agar gereja 
memperlakukan mereka sebagai seorang profesional sehingga untuk 
berhubungan, diadakan perundingan tentang gaji dan keuntungan-
keuntungan yang akan didapat.

Sungguh suatu hal yang mengerikan ketika kita mendapati seorang 
rohaniwan yang akan memakai kepandaian dan kecanggihannya, berdagang 
misalnya, guna meningkatkan pendapatan secara luar biasa. Gereja-
gereja mungkin akan bertumbuh -- dan rohaniwan melakukannya tanpa 
bersandar pada sesuatu pun.

"Allah memerdekakan kita dari mereka yang memakai sikap profesional," 
kata Pendeta John Piper dari Minneapolis. Dengan mengikuti gema suara 
Paulus, dia bertanya, "Apakah Allah membuat hamba-hamba Tuhan menjadi 
yang terakhir dalam keseluruhan ciptaan dunia-Nya ini? Demi Kristus 
kita adalah orang-orang bodoh yang lemah. Menjadi seorang profesional 
memang bijaksana. Mereka yang profesional memang diangkat dengan 
kehormatan .... Namun, profesionalisme tidak ada hubungannya dengan 
inti dan hati pelayanan Kristen karena tidak ada seorang profesional 
yang seperti anak kecil. Tidak ada seorang profesional yang lemah 
lembut. Tidak ada seorang profesional yang mencari pertolongan kepada 
Allah." Bagaimana cara Saudara membawa salib secara profesional? 
Apakah arti beriman secara profesional itu?

Karierisme telah mendorong adanya pemisahan antara Allah yang 
memanggil dan individu yang menjawab-Nya. Hal itu mengarahkan kita 
untuk percaya bahwa penampilan lebih penting daripada diri kita 
sehingga apa yang kita lakukan dalam lingkungan gereja tak ubahnya 
dengan pertemuan antara pembeli dan penjual (tempat seperti itu 
disebut pasar), di mana suasana lebih penting dibandingkan posisi kita 
di hadapan Allah.

Karierisme akan memberikan rasa percaya diri pada kita. Padahal dalam 
melakukan panggilan, kita perlu gemetar dan berseru untuk pengampunan. 
Hal seperti itu tidak ada dalam silabus para profesional, padahal 
Paulus sendiri datang ke Kota Korintus dalam kelemahan dan kebodohan. 
Demikian pula Yeremia yang menelan firman Allah dan dari situ dia 
hanya mengecap rasa yang tidak enak. Atau pada Yesus yang mengakhiri 
hidupnya di depan umum di atas kayu salib.

PANGGILAN ADALAH SESUATU YANG KITA DENGAR

Sebenarnya dalam cerita rakyat tentang seorang ayah dan anak laki-
lakinya, digambarkan hal yang penting mengenai panggilan. Mereka 
melakukan perjalanan ke suatu kota yang jauh, sedangkan mereka tidak 
memunyai peta. Perjalanan itu sangatlah panjang, tidak mulus, dan 
penuh dengan bahaya. Mereka menempuh banyak jalan yang tidak bisa 
mereka kenali dan sudah tidak berupa jalan lagi.

Di tengah perjalanan, anak laki-lakinya bertanya-tanya. Dia ingin 
mengetahui apa gerangan yang ada di balik hutan, jauh di seberang 
tepian? Bisakah dia melintasi dan melihatnya? Ayahnya pun 
mengizinkannya.

"Tetapi, Ayah, bagaimanakah caranya supaya saya tahu kalau-kalau saya 
telah berjalan terlalu jauh dari engkau? Bagaimanakah caranya supaya 
saya jangan sampai tersesat?"

"Setiap menit," kata sang ayah, "saya akan memanggil namamu dan 
menunggu jawabanmu. Dengarkanlah suaraku, anakku. Di saat engkau tidak 
bisa lagi mendengar suara ayah, engkau akan tahu bahwa engkau telah 
pergi terlalu jauh."

Pelayanan bukanlah suatu kedudukan, melainkan suatu panggilan. Bukan 
ijazah profesional yang diperlukan, melainkan kemampuan mendengar dan 
memerhatikan panggilan Allah. Cara yang sederhana ialah dengan cukup 
menyempatkan diri untuk mendekat dan mendengar suara-Nya. Keteguhan 
dalam melaksanakan tugas-tugas kita yang tidak terpikul hanya bisa 
diperoleh karena uluran tangan-Nya yang tidak pernah berakhir.

PANGGILAN AKAN TETAP KUAT

Bersatu dalam panggilan Allah merupakan sesuatu yang kejam yang tidak 
bisa dibantah. Dia memanggil, tetapi Dia tidak bisa dipanggil. Hanya 
Dialah yang melakukan panggilan itu, sedangkan kitalah yang 
menjawabnya.

"Engkau tidak memilih-Ku; Akulah yang memilih kamu," kata Yesus kepada 
murid-murid-Nya. Panggilan Allah ini selalu mengandung paksaan. Bahkan 
sering terkesan kejam.

Setelah pukulan yang membutakan di jalanan menuju Damaskus, akhirnya 
Paulus berkata dengan jelas, "Celakalah aku ini jika tidak 
mengkhotbahkan Injil!" Yeremia meratap bahwa Allah telah memaksakan 
panggilan yang dia terima dan tidak pernah membiarkannya untuk ingkar, 
tidak peduli seberapa parah luka yang terjadi, "Jika aku bisa berkata, 
`Aku tidak akan menyebutkan-Nya atau berbicara lagi dalam nama-Nya,` 
kata-kata-Nya seperti api dalam hatiku, api yang berada dalam tulang-
tulangku. Aku lelah membawa-Nya; sesungguhnya aku tidak mampu."

Spurgeon melihat penawaran secara ilahi ini sebagai tanda yang jelas 
dari suatu panggilan sehingga dia menasihati orang muda untuk 
memertimbangkan hal ini dan tidak mengambil jalur pelayanan jika 
mereka merasa bisa melakukan hal yang lain.

Berkali-kali kami berusaha untuk menyederhanakan panggilan itu dengan 
menyamakannya dengan sebuah posisi staf gereja atau dalam organisasi 
keagamaan. Tetapi panggilan itu selalu mengalahkan segala sesuatu yang 
kami lakukan dengan terpaksa untuk mendapatkan uang. Bahkan jika 
perlu, kami juga melakukan itu di dalam gereja. Kami meminta pembedaan 
yang sama untuk dicatat dalam permohonan yang dimintakan pada kami. 
Panggilan kami di dalam Kristus adalah satu hal, sedangkan apa yang 
kami lakukan dalam kedudukan adalah hal yang lain.

Panggilan kami adalah panggilan untuk melayani Kristus. Sementara itu, 
kami juga memiliki kedudukan untuk melakukan pekerjaan dalam dunia 
ini. Kami juga memiliki panggilan untuk memaksakan kedudukan pelayanan 
agar bisa masuk ke dalam panggilan kami. Berbahagialah laki-laki atau 
perempuan yang panggilan dan kedudukannya saling berdekatan. Tetapi 
tidak akan ada bencana jika mereka tidak melakukannya.

Jika esok pagi saya dipecat dari pekerjaan saya sebagai hamba Tuhan di 
New Providence Presbyterian Church, dan saya terpaksa mencari 
pekerjaan di Stasiun Sunoco, panggilan saya akan tetap melekat. Saya 
akan tetap terpanggil untuk berkhotbah. Tidak ada yang dapat mengubah 
panggilan tersebut dengan nyata, kecuali ada situasi yang bisa 
melarutkan saya. Sebagaimana ditunjukkan oleh Ralph Turnbull, saya 
bisa berkhotbah seperti hamba Tuhan yang dibayar oleh gereja, tetapi 
saya tidak dibayar untuk berkhotbah. Saya diberi izin, oleh karena itu 
saya bisa lebih bebas berkhotbah.

Berkali-kali kami mencoba menyederhanakan panggilan itu dengan 
menjadikannya sebagai seorang rohaniwan. Pendidikan seminari (teologi) 
tidaklah membuat seseorang memenuhi syarat untuk ditahbiskan menjadi 
pendeta, tidak juga dengan bertambahnya penguatan oleh tes-tes 
psikologis dan pengalaman kerja. Tentu saja hal-hal itu bisa berharga, 
bahkan perlu bagi pelayanan. Tetapi tidak satu pun dari persyaratan 
itu, baik secara terpisah atau pun seluruhnya, bisa memenuhi syarat.

Tidak ada kantor atau posisi yang bisa disamakan dengan panggilan. 
Tidak pula ijazah, pendidikan, atau juga tes yang bisa memermudahnya. 
Pelatihan, pengalaman, atau pun sukses dalam hal kegerejaan tidak akan 
bisa mengambil alih sebuah panggilan.

"Patterson, coba pikirkanlah apa yang sedang Anda lakukan saat ini?" 
Jawaban saya adalah mencoba untuk mengikuti panggilan tersebut.

Hanya panggilan yang bisa memberi kepuasan. Yang lain hanya sekadar 
catatan kaki dan komentar.

Catatan:
--------
Ben Patterson adalah pendeta New Providence (New Jersey) Presbyterian 
Church.


Kesaksian
---------

        MENEMUKAN PANGGILAN HIDUP PADA MOBILITAS YANG MENURUN

Dulu saya menyenangkan hati ayah dan ibu sebaik mungkin dengan 
belajar, lalu mengajar dan menjadi terkenal. Dengan pergi ke Notre 
Dame, Yale, dan Harvard, saya menyenangkan hati banyak orang dan hal 
itu juga menggembirakan saya sendiri.

Tetapi saya bertanya-tanya, apakah masih ada panggilan lain dalam 
hidup saya. Saya mulai memerhatikan hal ini pada saat menemukan diri 
saya sedang berbicara kepada ribuan orang mengenai kemanusiaan dan 
pada saat yang bersamaan saya bertanya apakah yang mereka pikirkan 
tentang hidup saya.

Sesungguhnya saya tidak merasakan damai sejahtera, saya kesepian. Saya 
tidak tahu menjadi bagian dari siapa. Di mimbar, saya bisa berbicara 
dengan baik sekali, tetapi hati saya tidaklah selalu demikian. Timbul 
keragu-raguan, apakah karier saya ini tidak sesuai dengan panggilan 
saya yang sesungguhnya.

Maka saya mulai berdoa, "Tuhan Yesus, biarlah saya mengetahui ke mana 
Engkau mengutus saya untuk pergi dan saya akan mengikuti-Mu. Tetapi 
buatlah agar terlihat jelas. Jangan berupa pesan-pesan yang 
membingungkan saja!" Saya mendoakan hal ini terus-menerus.

Pada saat itu saya tinggal di Yale. Pada pagi hari pukul 09.00, 
seseorang menekan bel apartemen saya. Ketika membuka pintu, saya 
berhadapan dengan seorang perempuan muda.

"Apakah Anda Henri Nouwen?"

"Ya."

"Saya datang membawa salam dari Jean Vanier," katanya.
 Pada saat itu nama Jean Vanier tidaklah berkesan di hati saya. Saya 
 hanya mendengar bahwa dia adalah pendiri L`Arche Communities (L`Arche 
 artinya Bahtera Nuh) dan ia bekerja untuk orang-orang yang menderita 
 cacat mental. Hanya itu saja yang saya ketahui.

Saya berkata, "Oh, menyenangkan. Terima kasih. Apa yang bisa saya 
lakukan buat Anda?"

"Tidak, tidak," jawabnya. "Saya datang untuk menyampaikan salam Jean 
Vanier."

Saya berkata lagi, "Terima kasih. Tapi apakah ia menginginkan agar 
saya berbicara di suatu tempat atau menulis sesuatu atau memberikan 
kuliah?"

"Tidak, tidak," dia tetap bertahan, "saya hanya datang untuk 
memberitahukan bahwa Jean Vanier mengirimkan salam buat Anda."

Ketika wanita itu sudah pergi, saya duduk di kursi dan berpikir, ini 
sesuatu yang khusus. Bisa jadi Allah sedang menjawab doa saya, membawa 
suatu pesan dan memanggil saya untuk sesuatu yang baru. Saya tidak 
diminta untuk mendapatkan pekerjaan baru atau mengerjakan proyek yang 
lain. Saya tidak diminta agar berguna bagi orang lain. Tetapi cuma 
diundang untuk mengetahui bahwa ada manusia lain yang pernah mendengar 
tentang saya.

Hal itu terjadi kira-kira tiga tahun sebelum saya benar-benar bertemu 
dengan Jean. Kami bertemu dalam suasana yang tenang pada suatu retret 
di mana tidak satu patah kata pun yang terucap. Dan pada akhirnya Jean 
berkata, "Henri, mungkin kami -- masyarakat orang cacat -- dapat 
menawarkan rumah, tempat di mana Anda dapat merasa aman, di mana Anda 
dapat bertemu dengan Allah dengan cara yang benar-benar baru."

Dia tidak meminta saya agar lebih berguna; dia tidak menyuruh saya 
agar bekerja untuk orang-orang cacat; dia tidak mengatakan bahwa dia 
membutuhkan hamba Tuhan yang lain. Dia hanya mengatakan, "Mungkin kami 
dapat menawari Anda sebuah rumah."

Sedikit demi sedikit, saya mulai menyadari kalau saya menjawab 
panggilan itu secara serius. Saya tinggalkan universitas dan pergi ke 
L`Arche Community di Trosly Brevil, Perancis. Setelah setahun tinggal 
dengan para penderita cacat mental dan para perawat yang hidup dengan 
semangat "beatitudes", saya pun menjawab panggilan untuk menjadi hamba 
Tuhan di Daybreak, di L`Arche Community dekat Toronto, sebuah 
komunitas yang beranggotakan sekitar seratus orang dengan lima puluh 
orang cacat dan lima puluh orang asisten perawatnya.

Tugas pertama yang dipercayakan kepada saya adalah bekerja melayani 
Adam. (Dari semua nama yang ada, Adam yang diberikan kepada saya! 
Kedengarannya seperti bekerja untuk kemanusiaan itu sendiri.) Adam, 
pria berusia 24 tahun yang tidak bisa berbicara. Dia tidak bisa 
berjalan. Dia tidak dapat mengenakan atau pun menanggalkan pakaiannya 
sendiri. Anda tidak yakin apakah dia mengenali Anda atau tidak. 
Tubuhnya cacat, punggungnya rusak, dan dia menderita karena sering 
terserang epilepsi.

Pada mulanya saya takut terhadap Adam. "Jangan kuatir," demikian 
mereka meyakinkan saya.

Saya seorang profesor dari suatu universitas. Saya belum pernah 
menyentuh seseorang begitu dekat. Dan kini Adam, saya memeluk dia.

Pada jam tujuh pagi, saya pergi ke kamarnya. Saya menanggalkan 
pakaiannya, menolong dia berdiri, dan memapahnya dengan hati-hati ke 
kamar mandi. Saya takut karena berpikir bahwa dia bisa terserang 
epilepsi secara mendadak. Saya berjuang memeras tenaga untuk 
mengangkatnya ke dalam bak rendam (bathtub) karena berat badannya sama 
dengan berat badan saya. Saya mulai menyiram air pada tubuhnya dan 
mengangkatnya keluar dari bak rendam untuk menyikat giginya, menyisir 
rambutnya, dan mengembalikan dia ke tempat tidurnya. Setelah itu, saya 
mengenakan bajunya dengan pakaian yang dapat saya temukan dan 
membawanya ke dapur.

Saya dudukkan dia di depan meja dan mulai memberinya sarapan. Satu-
satunya pekerjaan yang dapat dilakukannya adalah mengangkat sendok ke 
mulutnya. Saya duduk dan melihat dia makan. Memakan waktu satu jam. 
Saya belum pernah bersama dengan seseorang selama satu jam penuh hanya 
untuk melihat apakah dia bisa makan.

Kemudian ada suatu kemajuan. Setelah dua minggu, saya tidak terlalu 
takut lagi. Setelah tiga atau empat minggu, barulah saya menyadari 
bahwa saya banyak berpikir tentang Adam dan berharap untuk hidup 
dengan dia. Saya menyadari bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi di 
antara kami -- sesuatu yang akrab dan indah dari Allah. Bahkan saya 
tidak tahu bagaimanakah caranya agar bisa menjelaskannya dengan baik.

Orang yang kurang berarti ini menjadi sarana Allah untuk berbicara 
kepada saya dengan cara-Nya yang baru. Sedikit demi sedikit, saya 
menemukan kasih dalam diri saya dan percaya bahwa Adam dan saya saling 
memiliki. Secara sederhana, Adam mengajar saya tentang kasih Allah 
secara nyata.

Pertama, dia mengajari saya bahwa hidup adalah lebih penting daripada 
melakukan sesuatu karena Allah ingin agar saya bersama-Nya dan tidak 
melakukan segala macam pekerjaan yang tujuannya untuk membuktikan 
bahwa saya berarti. Hidup saya dulu adalah kerja, kerja, dan kerja.

Saya adalah seorang yang penuh semangat, ingin melakukan ribuan 
perkara sehingga saya dapat memamerkannya -- seperti itulah hingga 
akhirnya saya rasa saya berarti.

Orang biasa berkata begini, "Henri, Anda baik-baik saja." Tetapi saat 
sekarang, di sini dengan Adam, saya mendengar, "Saya tidak peduli 
dengan apa yang Anda lakukan, asal Anda tetap bersamaku." Tidaklah 
mudah tinggal dengan Adam. Tidaklah mudah untuk hidup dengan seseorang 
yang tidak bisa melakukan banyak hal.

Adam mengajari saya sesuatu yang lain. Hati itu lebih penting daripada 
pikiran. Kalau Anda lulusan suatu universitas, akan terasa sukar untuk 
memahaminya. Berpikir logis, berargumentasi, berdiskusi, menulis, 
bekerja -- itulah manusia. Tidakkah Thomas Aquinas mengatakan bahwa 
manusia adalah hewan yang berpikir?

Memang, Adam tidak berpikir. Tetapi Adam memiliki hati, sungguh-
sungguh hati manusia.

Berkenaan dengan itu, saya melihat bahwa apa yang membuat seorang 
manusia menjadi manusia adalah hati. Hati membuat manusia bisa memberi 
atau menerima rasa kasih. Adam sedang memberikan kasih Allah yang 
begitu besar dan saya sedang memberikan kasih saya buat Adam. Ada 
suatu keakraban yang jauh melampaui perkataan maupun tindakan.

Saya juga menyadari kalau Adam bukan sekadar orang yang tidak bisa 
mengurus dirinya sendiri, manusia yang tidak utuh, seperti saya atau 
pun orang lain. Adam itu sepenuhnya manusia, begitu penuh sehingga dia 
dipilih Allah untuk menjadi alat bagi kasih-Nya. Adam begitu rapuh, 
lemah, dan begitu polos sehingga dia menjadi hati saya sendiri -- hati 
di mana Allah ingin bertakhta, di mana Ia ingin berbicara kepada 
mereka yang datang dengan hati yang rapuh. Adam adalah manusia yang 
utuh, bukan setengah manusia atau manusia yang tidak lengkap. Saya 
menemukan Adam sebagai manusia seutuhnya.

Saya pun menjadi mengerti apa yang sudah saya dengar di Amerika Latin, 
mengapa pilihan khusus Allah diberikan kepada orang miskin. Sungguh, 
Allah mengasihi mereka yang miskin dan khususnya Ia sangat mengasihi 
Adam. Dia ingin berdiam dalam diri Adam yang cacat itu sehingga Dia 
dapat berbicara dari ketidakmampuan ke dalam dunia yang kuat dan 
memanggil orang-orang untuk menjadi tidak mampu.

Akhirnya, Adam mengajarkan sesuatu yang nyata kepada saya. Melakukan 
pekerjaan-pekerjaan secara gotong royong itu lebih penting daripada 
melakukannya sendiri-sendiri. Saya datang dari dunia yang biasa 
bertindak secara mandiri, tetapi di sini ada Adam yang begitu lemah 
dan tidak mampu. Saya tidak bisa sendirian menolong Adam. Kami 
membutuhkan segala macam orang dari Brasil, Amerika Serikat, Kanada 
dan Belanda -- tua muda, hidup bersama di sekitar Adam dan para 
penderita cacat lainnya di satu rumah.

Saya mengerti bahwa Adam, paling lemah di antara kami, telah membuat 
lingkungan yang begitu bersifat persaudaraan. Dialah yang 
mempersatukan kami; kebutuhan-kebutuhannya dan ketidakmampuannya 
membuat kami ada dalam masyarakat persaudaraan yang murni. Dengan 
seluruh perbedaan kami, kami tidak dapat bertahan sebagai suatu 
lingkungan masyarakat yang kompak apabila tidak ada Adam di situ. 
Kelemahannya menjadi kekuatan kami. Kelemahannya membuat kami ada 
dalam suatu lingkungan masyarakat yang penuh kasih. Kelemahannya 
mengundang kami memaafkan satu terhadap yang lain, menyabarkan 
perbantahan kami, agar bersama dengannya.

Itulah yang saya pelajari. Saya baru ada di Daybreak tiga tahun dan 
itu tidaklah mudah. Dalam banyak hal, Notre Dame, Yale, dan Harvard 
lebih mudah. Tetapi inilah panggilan hidup saya. Saya ingin tetap 
setia.

-- Henri Nouwen, Daybreak, Richmond Hill, Ontario

----------------------------------------------------------------------
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul jurnal: Kepemimpinan, Volume 18/Tahun V
Penulis: Ben Patterson dan Henri Nouwen
Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta 1990
Halaman: 46 -- 50 dan 57 -- 60

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org