Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/100

e-Reformed edisi 100 (19-6-2008)

Tak Ada Kebangunan Rohani Tanpa Reformasi


Dear e-Reformed Netters,

Sering kali kita kelihatan memiliki konsep dan pola pikir yang rohani, 
namun ternyata tidak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Seperti isu 
tentang "kebangunan rohani" yang dikemukakan oleh A.W. Tozer dalam 
bukunya yang berjudul "Keys to the Deeper Life" di bawah ini. 
Kecenderungannya, kebaktian "kebangunan rohani" diadakan untuk 
membangkitkan kembali iman orang Kristen agar hidup sesuai dengan 
firman Tuhan. Padahal, yang benar adalah jika kita hidup sesuai dengan 
kebenaran firman Tuhan, maka Dia yang akan memberikan kebangunan 
rohani tersebut. Kebangunan rohani bukanlah sebab, tetapi akibat.

Janganlah mengulangi kesalahan yang telah dilakukan oleh gereja dan 
orang Kristen pada masa lalu. "Kita harus kembali pada kekristenan 
Perjanjian Baru, bukan hanya dalam hal doktrin, melainkan seluruh tata 
cara hidup," demikian ajakan A.W. Tozer beberapa puluh tahun yang 
lalu. Biarlah kita mendengarkan ajakannya tersebut sehingga 
pembaharuan dalam kehidupan gereja masa kini dapat terjadi. Kebangunan 
rohani tidak lagi sekadar kegiatan kebaktian, namun menjadi kesaksian 
yang nyata dalam kehidupan setiap orang Kristen. Amin!

In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >

======================================================================

              TAK ADA KEBANGUNAN ROHANI TANPA REFORMASI
              =========================================

Pada saat orang-orang Kristen membicarakan hal-hal rohani, bisa 
dipastikan akan muncul sebuah frasa yang akan diucapkan berulang kali, 
yaitu "kebangunan rohani".

Melalui khotbah, pujian, dan doa, kita seakan-akan mengingatkan Tuhan 
dan orang lain bahwa yang harus kita lakukan untuk memecahkan semua 
masalah kerohanian kita adalah dengan mengadakan "kebangunan rohani 
yang dahsyat". Media-media rohani pun secara luas mengatakan bahwa 
kebangunan rohani besar adalah sebuah kebutuhan terbesar saat ini. 
Sementara itu, para penulis Kristen yang menuliskan apa pun tentang 
kebangunan rohani bisa dipastikan akan dengan mudah mendapatkan editor 
yang dengan senang hati mau menerbitkan tulisan mereka.

Akibat gencarnya isu kebangunan rohani ini, hampir tidak ada orang 
yang berani mengungkapkan pendapat yang berseberangan dengan masalah 
ini, meski bisa saja kebenaran justru terletak di arah yang 
berseberangan itu. Kini, popularitas agama telah menyamai filsafat, 
politik, dan mode pakaian wanita. Sepanjang sejarah, agama-agama besar 
di dunia telah mengalami masa-masa kemunduran dan juga kebangkitan 
kembali, yang secara sembrono disebut oleh para pengamat sebagai 
kebangunan rohani.

Kita tidak bisa mengesampingkan fakta bahwa beberapa wilayah non-
Kristen sekarang ini juga sedang menikmati kebangunan rohani. Laporan 
terakhir dari Jepang memberitakan kejayaan kembali agama Shinto 
setelah sempat mengalami kemunduran akibat Perang Dunia II. Di Amerika 
sendiri, agama Katholik Roma, sebagaimana aliran Protestan Liberal, 
telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Akhirnya, keseluruhan 
fenomena ini mungkin bisa disebut sebagai kebangunan rohani mendunia, 
meskipun hal ini dikatakan tanpa melihat apakah ada peningkatan 
standar moral dari para pengikutnya.

Agama apa pun, termasuk Kristen, dapat mengalami ledakan rohani yang 
besar tanpa campur tangan Roh Kudus. Namun, jumlah generasi yang 
menjauhi gereja ternyata juga lebih meningkat dibanding sebelum 
ledakan tersebut. Saya percaya bahwa kebutuhan yang paling mendesak 
saat ini bukan sekadar kebangunan rohani. Harus ada perubahan radikal 
pada akar moralitas dan penyakit-penyakit rohani lainnya; harus lebih 
diarahkan untuk mencari penyebabnya daripada konsekuensinya; pada 
penyakit itu sendiri daripada hanya sekadar gejala-gejalanya.

Saat ini, saya malah berpendapat bahwa kita sebenarnya tidak 
menginginkan kebangunan rohani sama sekali. Barangkali, kebangunan 
rohani Kristen yang terjadi secara meluas sekarang ini malah akan 
membuktikan telah terjadinya tragedi moral yang tidak akan dapat 
diperbaiki dalam seratus tahun ke depan.

Saya akan memaparkan sejumlah alasan mengenai hal ini. Satu generasi 
yang lalu, sebagai reaksi atas "kritik tinggi" (higher criticism) dan 
penerusnya, yakni modernisme, muncul gerakan yang kuat untuk 
memertahankan iman Kristen yang sesuai dengan sejarah dari kelompok 
Protestan. Untuk alasan yang jelas, gerakan ini lalu dikenal sebagai 
"fundamentalisme". Gerakan ini kurang lebih muncul secara spontan 
tanpa organisasi yang rapi, namun di mana pun gerakan ini muncul, 
tujuannya sama, yaitu menahan "bertambahnya gelombang penyangkalan" 
terhadap teologi Kristen sekaligus menyatakan kembali dan 
memertahankan doktrin-doktrin dasar kekristenan Perjanjian Baru. 
Sejauh ini, semua itu hanya tinggal sejarah.

KORBAN YANG JATUH DARI KEBIJAKAN ITU

Fundamentalisme, sebagaimana tersebar di berbagai denominasi dan non-
denominasi, telah menjatuhkan banyak korban sebagai akibat 
kebijakannya sendiri. Firman itu akhirnya mati di tangan sahabatnya 
sendiri. Inspirasi Alkitab secara lisan (doktrin yang selalu dan 
selamanya saya pegang) misalnya, akan menjadi kaku. Suara para nabi 
dibungkam dan para penafsir Alkitab akan menguasai pikiran iman kita. 
Dalam lingkup yang lebih besar, imajinasi rohani akan memudar. 
Kekuasaan tak resmi yang akan memutuskan apa yang harus dipercayai 
umat Kristen; bukan Alkitab, melainkan tafsiran Alkitablah yang akan 
menjadi sumber pengajaran. Kampus-kampus Kristen, seminari-seminari, 
sekolah-sekolah Alkitab, pertemuan-pertemuan Alkitab, dan para 
pengamat Alkitab populer, semuanya bergabung untuk mempromosikan 
budaya tekstual, penemuan sebuah sistem yang secara ekstrim memberikan 
dispensasi dengan membebaskan orang Kristen dari keharusan bertobat, 
taat, dan kewajiban memikul salib, lebih dari hal-hal formal lainnya. 
Keseluruhan bagian Perjanjian Baru diambil dari gereja dan diatur 
sedemikian rupa melalui sebuah sistem yang kaku dalam "pemisahan 
firman kebenaran".

Semuanya ini telah mengakibatkan mentalitas rohani yang membahayakan 
kebenaran Kristus yang sejati. Ada sejenis awan dingin yang menaungi 
fundamentalisme. Wilayah di bawahnya sudah cukup dikenal, yaitu 
Perjanjian Baru. Doktrin dasar kekristenan memang ada di situ, hanya 
saja iklimnya tidak mendukung munculnya buah Roh yang manis.

Situasi yang berbeda dialami oleh gereja mula-mula yang mengalami 
penderitaan. Saat itu, mereka tetap bernyanyi dan menyembah Tuhan. 
Meskipun doktrin-doktrinnya terdengar hebat, pengajaran yang benar 
tidak pernah diizinkan untuk bertumbuh. Suara sang merpati jarang 
terdengar di wilayah itu; hanya seekor kakaktua yang terlihat 
menghinggapi pijakan imitasi dan mengulangi apa yang diajarkan 
padanya, sedangkan suaranya sangat parau dan tanpa perasaan. Iman --
doktrin yang paling penting dan berkuasa di mulut para rasul -- telah 
kehilangan kuasanya ketika para penafsir Alkitab menyampaikannya. 
Ketika kata-kata dan teks diagung-agungkan, Roh akan pergi dan 
tekstualisme menjadi raja. Inilah masa di mana orang-orang percaya 
terperangkap dalam zaman Kerajaan Babel.

Saya hanya menyampaikan kondisi yang umumnya terjadi. Tentunya ada 
beberapa orang yang merindukan teolog yang lebih baik dari para 
pengajar mereka saat ini. Kerinduan ini akhirnya akan mengarah pada 
sebuah kekuatan besar yang tak dapat dimengerti oleh yang lain. Namun, 
akibat jumlah yang tak banyak, perbedaan-perbedaan itu akan terlalu 
besar; mereka tidak dapat menghalau awan yang menaungi wilayah itu.

Kesalahan tekstualisme bukan terletak pada doktrinnya. Kesalahannya 
jauh lebih halus dan lebih sulit ditemukan. Namun, dampaknya sama-sama 
fatal. Bukan kepercayaan teologis mereka yang salah, melainkan 
penafsirannya.

Wujud penafsiran mereka misalnya seperti ini, jika kita memiliki 
firman tentang sesuatu, sesuatu itu adalah milik kita. Jika suatu hal 
itu ada di dalam Alkitab, hal itu ada di dalam kita. Jika memiliki 
doktrinnya, kita juga memunyai pengalamannya. Jadi, sesuatu yang benar 
tentang Paulus adalah kebenaran kita juga karena kita telah menerima 
surat-surat Paulus sebagai inspirasi ilahi kita. Alkitab berbicara 
mengenai bagaimana kita bisa diselamatkan, namun tekstualisme lebih 
lanjut mengatakan bahwa kita telah diselamatkan, suatu hal yang tidak 
dapat terjadi secara alamiah. Dengan demikian, kepastian akan 
keselamatan pribadi tidak lebih dari sekadar kesimpulan logika pikiran 
yang didapat dari premis-premis doktrin tersebut, dan kesimpulan 
pengalamannya hanya bersifat rasio.

MEMBERONTAK DARI KEDIKTATORAN PIKIRAN

Kemudian pemberontakan pun muncul. Pikiran manusia hanya dapat 
bertahan dengan tekstualisme sejauh belum ditemukannya sebuah jalan 
keluar. Secara perlahan dan tanpa disadari, para pendukung 
fundamentalisme pun bereaksi; bukan berdasarkan pengajaran alkitabiah, 
melainkan atas kediktatoran pikiran para penafsir Alkitab. Atas 
kecerobohan dalam membenamkan orang-orang ini, mereka memerjuangkan 
hak untuk bernapas dan menyerang secara membabi buta demi kebebasan 
yang lebih besar dan tuntutan alamiah atas kepuasan emosional mereka 
yang selama ini diabaikan oleh para guru mereka.

Akibat dari apa yang telah terjadi selama dua puluh tahun belakangan 
ini adalah kerusakan moral rohani yang susah dicari bandingannya sejak 
bangsa Israel menyembah anak lembu emas. Tentang kita, Alkitab mungkin 
secara jujur telah mengatakan bahwa kita "duduk, makan, minum, dan 
tumbuh untuk bermain". Garis pemisah antara gereja dan dunia telah 
dihapuskan.

Terpisah dari beberapa dosa besar, dosa-dosa dunia yang belum 
diubahkan ini sekarang malah disetujui oleh mereka yang mengaku diri 
sebagai orang Kristen "lahir baru" dengan jumlah yang mengejutkan dan 
diikuti yang lainnya secara terang-terangan. Para anak muda Kristen 
menyanjung dan menjadikan nilai-nilai duniawi sebagai patokan mereka, 
serta sebisa mungkin meniru mereka. Para pemimpin rohani telah 
menerapkan cara-cara ahli periklanan. Tindakan seperti menyombongkan 
diri, mengejek, dan suka membesar-besarkan sesuatu tanpa malu-malu, 
sekarang telah dipandang sebagai suatu cara yang biasa dalam pelayanan 
gereja. Ukuran moral bukan lagi didapat dari Perjanjian Baru, 
melainkan dari Hollywood atau Broadway.

Kebanyakan penginjil tidak lagi suka berinisiatif. Mereka hanya suka 
meniru dunia ini. Iman suci atas Bapa kita di berbagai tempat telah 
dipakai sebagai sarana hiburan. Namun, kenyataan yang lebih mengerikan 
adalah bahwa semua ini telah dikonsumsi oleh masyarakat atas prakarsa 
mereka yang ada di atas.

Surat protes, yang dimulai dengan Perjanjian Baru yang selalu 
terdengar paling keras pada masa gereja menjadi paling berkuasa, 
berhasil dibungkam. Unsur keradikalan dalam bersaksi dan dalam 
kehidupan yang dulu pernah membuat orang Kristen dibenci oleh dunia, 
telah menghilang dari penginjilan masa kini. Orang Kristen yang pernah 
menjadi begitu revolusioner -- dalam hal moral, bukan politik -- kini 
telah kehilangan sifat tersebut. Kini, menjadi orang Kristen bukan 
lagi suatu hal yang berbahaya dan perlu pengorbanan. Kini, anugerah 
telah menjadi hal yang murahan. Saat ini, kita sudah terlampau sibuk 
untuk membuktikan kepada dunia bahwa kita dapat memeroleh keuntungan 
Injil tanpa harus mengalami ketidaknyamanan hidup. Ini semuanya adalah 
Kerajaan Allah juga.

Meski tidak terjadi di seluruh dunia, penggambaran orang Kristen 
modern ini memang terjadi pada mayoritas kekristenan pada masa kini. 
Karena alasan ini, sejumlah orang percaya beranggapan bahwa tidak ada 
gunanya memohon kepada Tuhan selama berjam-jam untuk mengirimkan 
kebangunan rohani; kecuali kita juga hendak mengubah kebiasaan kita 
sehingga tidak perlu berdoa. Kebangunan rohani sejati tidak akan ada 
kecuali para pendoa telah memiliki kemampuan dan iman untuk mengubah 
cara hidup mereka sesuai dengan patokan Perjanjian Baru.

KETIKA BERDOA ITU SALAH

Terkadang berdoa bukan hanya tidak berguna, melainkan salah. Kita 
dapat melihat Israel sebagai contohnya. Saat Israel dikalahkan di Ai, 
Yosua mengoyakkan pakaiannya lalu menelungkupkan wajahnya ke tanah di 
depan tabut Tuhan sampai matahari terbenam; dia dan para tua-tua 
Israel menaburkan abu di atas kepala mereka.

Mengenai kebangunan rohani, filsafat modern kita beranggapan bahwa 
itulah yang harus dilakukan. Jika dilakukan cukup lama, mungkin hal 
itu akan menggerakkan hati Tuhan sehingga Ia menurunkan berkat-Nya. 
Namun, Tuhan berkata kepada Yosua:

  "Bangkitlah engkau; mengapa engkau menelungkupkan wajahmu ke tanah?
  Israel telah berdosa dan mereka telah melanggar perintah-Ku.
  Bangunlah, kuduskanlah bangsa itu dan katakan: Kuduskanlah dirimu
  untuk esok hari, sebab, demikianlah firman TUHAN, Allah Israel: Hai,
  orang Israel ada barang-barang yang dikhususkan di tengah-tengahmu;
  kamu tidak akan dapat bertahan menghadapi musuhmu sebelum
  barang-barang yang dikhususkan itu kamu jauhkan dari tengah-tengah
  kamu."

Gereja harus melakukan perubahan. Tindakan memohon berkat oleh mereka 
yang masih menjalankan kehidupan lama serta gereja yang tidak setia, 
hanya menjadi usaha yang membuang-buang waktu. Gelombang ketertarikan 
orang akan agama pun hanya akan menambah jumlah gereja yang tidak 
berpusat pada Yesus sebagai Tuhan dan melaksanakan perintah-Nya dengan 
taat. Tuhan tidak tertarik akan bertambahnya jumlah pengunjung gereja, 
kecuali mereka memperbaharui cara hidup mereka dan memulai cara hidup 
yang kudus.

Berkaitan dengan hal tersebut, Tuhan pernah menyampaikan firman 
berikut ini melalui Nabi Yesaya.

   "Untuk apa korban-korbanmu itu? firman TUHAN; Aku sudah jemu akan
   korban-korban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak
   lembu yang gemuk; darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing
   jantan tidak Kusukai. Apabila kamu datang untuk menghadap di
   hadirat-Ku, siapakah yang menuntut itu dari padamu, bahwa kamu
   menginjak-injak pelataran Bait Suci-Ku? Jangan lagi membawa
   persembahanmu yang tidak sepenuh hati, sebab baunya adalah
   kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan sabat
   atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya,
   karena perayaanmu itu penuh kejahatan .... Basuhlah, bersihkanlah
   dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan
   mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik;
   usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak
   anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! ... Jika kamu
   menurut dan mau mendengar, maka kamu akan memakan hasil yang baik
   dari negeri itu."

Doa bagi kebangunan rohani akan berhasil jika didahului oleh perubahan 
hidup yang radikal, bukan sebaliknya. Acara doa semalam suntuk yang 
tidak dilakukan oleh mereka yang benar-benar telah bertobat, bisa jadi 
malah akan membuat Tuhan tak berkenan. "Ketaatan lebih baik daripada 
persembahan".

Kita harus kembali pada kekristenan Perjanjian Baru, bukan hanya dalam 
hal doktrin, melainkan seluruh tata cara hidup. Ketidakserupaan dengan 
dunia, ketaatan, kerendahan hati, kesederhanaan, perhatian, penguasaan 
diri, kesopanan, memikul salib, semuanya harus diperlakukan sebagai 
bagian kehidupan dari konsep kekristenan yang sejati dan dijalankan 
dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus membersihkan Bait Allah dari 
para pedagang dan penukar uang dan kembali kepada kepemimpinan Tuhan 
kita yang telah bangkit. Dan ini juga berlaku bagi saya sendiri 
sebagai penulis sebagaimana untuk semua orang yang ada dalam nama 
Yesus. Setelah itu, kita pun akan dapat berdoa dengan yakin dan 
mengharapkan datangnya kebangunan rohani yang sejati. (t/Ary)

======================================================================

Diterjemahkan dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Keys to the Deeper Life
Judul asli artikel: Leaning into the Wind
Penulis: A.W. Tozer
Penerbit: Zondervan Publishing House, Michigan 1988
Halaman: 17 -- 25

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org