Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/1 |
|
e-Reformed edisi 1 (30-10-1999)
|
|
(Johannes Geerhardus Vos dari "Blue Banner Faith and Life") ECCLESIA REFORMATA REFORMANDA EST - Gereja yang telah mengalami reformasi tetap perlu direformasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari fakta bahwa Alkitab adalah standar yang sempurna dan absolut, sedangkan gereja pada setiap titik dalam sejarahnya di dunia, masih tidak sempurna dan terlibat dalam kesalahan. Menurut Alkitab, reformasi gereja adalah suatu proses yang kontinyu dan berkesinambungan. Proses reformasi ini harus berlangsung terus sampai kesudahan dunia. Tidak ada satu titikpun di mana gereja boleh berhenti dan berkata, "Aku sudah sampai. Sampai di sini saja dan tidak dilanjutkan lagi!" Hanya gereja yang sudah menang di sorga yang boleh berkata begitu. ...reformasi gereja adalah suatu proses yang kontinyu dan berkesinambungan. Dalam proses reformasi ini ada tahap-tahap historis tertentu dan tanda-tanda luar biasa yang menunjukkan kemajuan yang telah dicapai. Pengakuan Iman Westminster, sebagai contoh, menandai kemajuan yang benar dalam reformasi gereja sampai pada saat pengakuan itu diformulasikan. Kita tidak boleh menganggap bahwa proses ini telah lengkap dalam jaman kita, atau pada titik manapun dalam sejarah gereja di dunia. Kita harus selalu melupakan perkara-perkara yang di belakang dan mengarahkan pandangan ke depan; kita harus selalu bergumul untuk menangkap hal-hal yang untuknya kita ditangkap dalam Kristus. Semua segi kehidupan gereja perlu direformasi sesuai Alkitab: doktrin, kebaktian, pemerintahan, disiplin, kegiatan misi, yayasan pendidikan, publikasi, dan kehidupan secara praktis. Reformasi selalu merupakan proses selangkah demi selangkah, dan memang perlu begitu. Kaum Zelot berusaha untuk mencapai segala sesuatu dalam satu lompatan, tetapi mereka hanya membenturkan kepala pada dinding batu. Allah bekerja melalui proses sejarah - proses yang bertahap, landai, berlangsung terus menerus dan kita harus menyesuaikan diri dengan cara Allah bekerja. Semua segi kehidupan gereja perlu direformasi sesuai Alkitab: doktrin, kebaktian, pemerintahan, disiplin, kegiatan misi, yayasan pendidikan, publikasi, dan kehidupan secara praktis. Reformasi gereja yang sesuai dengan Alkitab membutuhkan suatu sikap periksa diri dan kritik diri pada pihak gereja. Yang diperlukan bukan hanya studi Alkitab secara mendalam, melebihi pencapaian-pencapaian masa lampau, tetapi dibutuhkan usaha periksa diri dan kritik diri pada gereja. Standar-standar gereja harus selalu tunduk pada pemeriksaan dan pemeriksaan-ulang dalam terang Alkitab. Hal ini tersirat dalam pengakuan kita bahwa hanya Alkitab yang tidak dapat salah, maka segala sesuatu yang lain harus terus menerus diuji dan diuji-ulang oleh Alkitab. Bukan hanya standar-standar resmi dari gereja, tetapi kehidupannya, program-programnya, kegiatan-kegiatannya, harus tunduk pada kritik diri dan periksa diri berdasarkan Alkitab. Hal-hal ini harus selalu diuji dan diuji-ulang dalam terang firman Allah. Kritik diri pada pihak gereja seperti ini merupakan panggilan bagi kehidupan persekutuan, dan merupakan pasangan dari panggilan yang Allah berikan dalam Firman-Nya terhadap setiap individu untuk melakukan pemeriksaan diri. ...hanya Alkitab yang tidak dapat salah, maka segala sesuatu yang lain harus terus menerus diuji dan diuji-ulang oleh Alkitab. Kritik diri pada pihak gereja seperti ini memang sulit. Perlu usaha, intelegensia, studi, pengorbanan, kerendahan hati dan penyangkalan diri yang sangat kuat, serta kejujuran absolut. Perlu kesetiaan pada Alkitab, ketaatan yang siap berjalan sejauh manapun agar menjadi sesuai dengan Firman Allah, suatu heroisme sejati dan kesetiaan absolut pada Alkitab. Kritik diri yang sedemikian itu pada pihak gereja dapat terasa memalukan dan bahkan sakit. Hal itu dapat berarti bahwa gereja, seperti orang Kristen dalam buku John Bunyan "Perjalanan Seorang Musafir", mendapati dirinya berada dalam jalan setapak di padang rumput, dan harus melangkah mundur dengan rendah hati dan dengan rasa sakit sampai kembali pada Jalan Besar milik Raja. Kritis diri yang sedemikian pada pihak gereja dapat berakibat hancurnya kepentingan-kepentingan khusus atau proyek-proyek khusus dari pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu dalam gereja. Tindakan itu dapat menyingkapkan adanya hal-hal tertentu dalam standar, kehidupan dan program gereja. Tindakan itu dapat menyingkapkan adanya hal-hal tertentu dalam standar, kehidupan dan program gereja, yang tidak sungguh-sungguh sesuai dengan Firman Allah, karena itu perlu dipertimbangkan kembali dan diharmoniskan dengan Firman Allah. Karena hal-hal yang di atas atau oleh sebab-sebab yang mirip dengan di atas tadi maka kritik diri pada gereja seringkali diabaikan, bahkan ditentang dengan keras. Mereka yang menyerukan diadakannya reformasi itu atau yang mengusahakannya, akan cenderung dianggap sebagai ekstrimis, fanatik, kaum antusias, pemimpi, pembuat onar dan sejenisnya. Tetapi dengan kritik diri yang seperti itulah maka reformasi-reformasi pada masa lampau telah terjadi. Orang-orang seperti Luther, Knox, Melvile, Cameron, dan Renwick hanya gentar pada penghakiman Allah dalam Firman-Nya. Mereka tidak gentar pada penghakiman dan sikap bermusuhan dari manusia. Apabila gereja sunguh-sungguh telah berani untuk melihat dirinya sendiri dalam cermin Firman Allah, dalam ketulusan mutlak, maka gereja itu sedang berada pada puncak kekuatannya, dan sedang memancarkan pengaruhnya dalam dunia ini. Gereja itu sedang melangkah maju dalam hidup baru dan kekuatan baru. Pada pihak lain, jika gereja merasa segan atau menolak untuk melihat dirinya sendiri dengan penuh perhatian dalam cermin Firman Allah, maka gereja itu telah menjadi lemah, mandeg, dekaden, tidak efektif dan tidak memiliki pengaruh. Kritik diri yang dilakukan secara terus menerus oleh suatu denominasi berdasarkan Alkitab merupakan suatu tugas yang tersirat dan diakui dalam pengajaran kita. Tetapi apakah hal ini sungguh-sungguh dipegang dengan serius? Adakah semangat yang berkobar-kobar, seberapa jauh keprihatinan kita...; saya bahkan mengatakan, seberapa jauh toleransi untuk hal itu pada masa ini? ...jika gereja merasa segan atau menolak untuk melihat dirinya sendiri dengan penuh perhatian dalam cermin Firman Allah, maka gereja itu telah menjadi lemah, mandeg, dekaden, tidak efektif dan tidak memiliki pengaruh, Pada setiap gereja selalu terdapat tendensi untuk menganggap bahwa kehidupan dan kegiatan-kegiatan yang ada pada saat ini sebagai yang normal dan benar. Maka hal-hal yang sebenarnya hanya merupakan kebiasaan saja, dalam kenyataan dapat memilki kekuatan dan pengaruh sebagai sesuatu yang prinsip; sedangkan hal-hal yang prinsip malah diperlakukan seolah-olah hanya sekedar kebiasaan atau konsensus manusia, yang mempunyai otoritas hanya sebatas penggunaannya atau persetujuan orang banyak. Pengesahan dari kegunaan saat ini dianggap sebagai cukup untuk menetapkan sesuatu. Sebaliknya, tidak adanya penggunaan pada aat ini dianggap cukup untuk membuktikan bahwa sesuatu itu salah atau tidak tepat. Stagnasi seperti ini, sikap yang menganggap "status quo" sebagai yang normal, berarti menutup pintu rapat-rapat terhadap kemajuan yang benar dalam reformasi gereja. Karena "status quo" selalu merupakan dosa. Selalu kurang dari tuntutan Firam Allah. Selalu merupakan sesuatu yang kurang dari apa yang Allah sungguh-rungguh inginkan dari gereja. Karena "status quoa" itu dosa, maka mungkin hal ini tidak diterima dengan kepuasan yang penuh, bahkan jauh dari penerimaan sebagai ideal dari gereja itu. Mengabsolutkan "status quo" adalah suatu dosa. "Status quo" selalu perlu dipertobatkan. memandang "status quo" dengan rasa puas diri merupakan dosa terbesar dari gereja pada jaman kita ini - suatu dosa yang pasti mendukakan Roh Kudus, dan suatu dosa yang pasti menghalangi gereja dalam membuat kemajuan yang benar dan baik, dalam reformasi sesuai dengan Alkitab. Suatu gereja yang dikuasai oleh pandangan seperti itu tidak dapat sungguh-sungguh bergerak maju ke depan. Bahkan mungkin tergelincir mundur dalam ketidaksetiaan dan kemurtadan. Paling tidak gereja itu hanya bergerak dalam lingkaran yang tetap, selalu kembali lagi ke tempat semula. Gereja-gereja di Amerika pada umumnya telah bergerak dalam suatu lingkaran yang tetap melalui sejarahnya pada masa lampau. Kita dapat juga mengatakan, mereka telah bergerak dalam lingkaran setan. Polanya adalah adanya kemerosotan diikuti oleh kebangunan rohani diikuti oleh kemerosotan dan seterusnya. Kemajuan yang sejati tidak dilakukan. Tampaknya, yang terbaik yang dapat dilakukan adalah, berhasil keluar dari satu sumur kemudian sumur berikutnya demikian seterusnya. Tidak ada hal yang lebih umum dalam gereja dari pada stagnasi yang seperti ini. Tidak ada hal yang lebih sulit daripada pemeriksaan yang sungguh-sungguh terhadap wajah gereja, struktur atau kegiatannya, dan direformasi dalam terang Firman Allah. Kemajuan yang benar berarti berdiri di atas landasan-landasan yang telah diletakkan pada masa yang lampau. Tetapi kemajuan yang benar itu tidak berarti terikat dan dikendalikan oleh tangan mati dari kesalahan-kesalahan dan cacat-catat masa lampau. Hanya ada satu kendali yang benar bagi kemajuan yang sejati, dan itu adalah kendali dari Alkitab sendiri. Reformasi yang benar dari gereja adalah reformasi di atas dasar Alkitab, reformasi di dalam batas-batas Alkitab, bukan reformasi di luar batas Alkitab. Apakah pejabat-pejabat resmi gereja, publikasi-publikasinya, yayasan-yayasannya, sungguh-sungguh merefleksikan pandangan yang ada di gereja itu? Ataukah mereka harus mengambil posisinya pada standar resmi dari gereja dan mempertahankan garis itu dalam berkonfrontasi dengan orang banyak? Ataukah mereka berani menjadi pioner dalam melakukan kritik diri dari denominasi itu berdasarkan Kitab Suci? Apakah mereka merintis jalan baru, maju ke depan masuk ke dalam daerah baru dalam terang Firman Allah? Itu tadi merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan serius. Tendensinya adalah mengambil jalan pintas dan mengabaikannya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu jarang dihadapi. Kita lebih cenderung untuk menganggap bahwa "status quo" itu sebagai normal. Atau jika bukan "status quo" sekarang, maka pencapaian-pencapaian pada masa lampau dianggap sebagai normal. Jika kita dapat kembali kepada cara-cara melakukan segala sesuatu seperti "hari-hari baik pada masa lampau" dan mempertahankan standard itu, maka segala sesuatu akan lancar dan beres, demikian katanya. Tetapi apakah benar akan terjadi seperti itu? Sudah dimanakah kita sekarang? Sekarang ini tahun 1991. Apakah bisa dimaafkan kalau kita gagal untuk maju ke depan melampaui pendahulu-pendahulu kita dalam pemahaman Firman? Bagaimanakah kita bisa mengatakan bahwa reformasi gereja telah komplit dalam tahun 1560, dalam tahun 1638, atau bahkan dalam tahun 1950? Apa saja yang kita lakukan sejak itu? Apakah talenta kita sudah dikuburkan dalam kantong uang? Tidaklah sulit untuk mengakui adanya keburukan-keburukan dalam gereja yang membutuhkan koreksi. Tetapi tendensinya adalah untuk berpendapat bahwa kita dapat kembali pada dasar yang baik dari satu atau dua generasi yang lampau, maka segala sesuatu akan menjadi seperti yang seharusnya. Apa lagi yang dapat diharapkan? Kita hanya dapat mempertahankan garis itu untuk waktu-waktu yang akan datang. Tetapi itu berarti kita tidak melaksanakan tugas yang Allah berikan. Pendahulu-pendahulu kita melakukan reformasi gereja pada jamannya, Allah memanggil kita untuk melakukan reformasi pada jaman kita ini. Kita tidak boleh puas dengan kemenangan yang diperoleh itu, kita sendiri harus menghantam, dengan iman, berdasarkan pada Firman Allah. Kita hidup dalam jaman pragmatis, suatu jaman yang tidak sabar pada kebenaran, dan umumnya hanya memperhatikan hasil praktis. Jaman kita menginginkan hasil dan dengan senang hati mau mempercayai bahwa buah ara dihasilkan oleh semak duri, jika mereka kira mereka melihat buah-buah ara itu (pohon ara merupakan pohon besar yang tidak berduri-red). Reformasi yang benar mencari kemuliaan Allah dan kebenaran-Nya lebih dari segala pertimbangan yang lain. Allah memanggil kita untuk melakukan reformasi pada jaman kita ini Saya mendengar adanya keberatan, ketika seseorang berusaha membawa beberapa hal dari gereja ke bawah pemeriksaan Alkitab, yaitu bahwa waktunya tidak tepat. "Mungkin engkau benar", demikian dikatakan oleh yang keberatan, "tetapi apakah sekarang ini merupakan waktu yang tepat untuk memunculkan permasalahan seperti itu?" Kita harus menyadari bahwa bagi kebenaran, waktu selalu tepat, kebenaran selalu tepat, kebenaran selalu pantas layak serta patut, dan jika menunggu waktu yang tepat untuk memunculkan kebenaran, maka waktu yang tepat itu mungkin tidak akan pernah datang. Waktu yang lebih baik itu mungkin tidak pernah datang. Selalu saja ada alasan-alasan yang bisa dikemukakan untuk tidak melaksanakan reformasi gereja sesuai dengan Firman Allah. Kita harus menyadari bahwa bagi kebenaran, waktu selalu tepat, kebenaran selalu tepat, kebenaran selalu pantas layak serta patut, dan jika menunggu waktu yang tepat untuk memunculkan kebenaran, maka waktu yang tepat itu mungkin tidak akan pernah datang. Allah adalah Allah kebenaran. Dia adalah Terang, dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan. Kristus adalah Raja dari Kerajaan kebenaran. Bagi tujuan inilah Dia dilahirkan, yaitu agar Dia dapat memberi kesaksian tentang kebenaran. Mereka yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Nya. Sikap yang siap untuk menerima "status quo" sebagai kenormalan, merupakan salah satu penghalang besar pada jalan reformasi sejati dan kemajuan dalam gereja sekarang Sikap ini merupakan dosa karena buta terhadap dosa yang sebenarnya dari "status quo". Sikap ini gagal untuk menyadari bahwa "status quo" selalu perlu untuk ditobatkan, selalu perlu untuk diampuni dalam anugerah ilahi, dan selalu perlu untuk direformasi oleh gereja di atas bumi. Sikap ini gagal untuk menyadari kebenaran dari pernyataan Agustinus, yaitu bahwa setiap kebaikan yang kurang dari kebaikan tertinggi selalu mengandung unsur dosa; menerima "status quo" adalah dosa. Pada dasarnya, penerimaan dengan sikap puas atas "status quo" sebagai sesuatu yang normal merupakan akibat dari suatu konsep yang salah tentang Allah, suatu konsep yang gagal untuk memperhitungkan kekudusan-Nya dan kemurnian-Nya; dan juga dari konsep yang salah tentang Alkitab, suatu konsep yang gagal untuk menyadari sifat absolut dari Alkitab sebagai standar gereja. Meletakkan kebenaran dan kehormatan Allah pada tempat yang tertinggi, di atas semua pertimbangan yang lain, apapun itu, memerlukan pengabdian moral yang besar. Hal ini benar bagi gereja seperti juga bagi individu, dan barangsiapa yang kehilangan nyawanya bagi Kristus akan mendapatkannya. Sumber: Ditulis oleh Johannes Geerhardus Vos. Majalah Momentum No. 13 Oktober 1991, terbitan Lembaga Reformed Injili Indonesia.
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |