Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/203

e-Penulis edisi 203 (5-7-2018)

Berekspresi pada Era Digital (I)

e-Penulis -- Edisi 203, 5 Juli 2018
 
Berekspresi pada Era Digital (I)
e-Penulis -- Edisi 203, 5 Juli 2018
 
e-Penulis

DARI REDAKSI Kesempatan Menulis pada Era Digital

Banyak perubahan terjadi di sekitar kita, termasuk perubahan zaman. Saat ini, kita hidup dalam era digital, yang segala sesuatunya tersentuh dan berbasis teknologi. Dalam dunia penulisan, era digital memberi kesempatan emas bagi para penulis untuk mengekspresikan ide-ide mereka. Namun, di balik peluang yang baik ini, penulis harus peka terhadap segala sesuatu yang menjadi kelebihan dan kelemahan era digital. Kepekaan ini akan menjadi modal baik dalam menghasilkan karya-karya yang sarat dengan pesan-pesan penting untuk membangun kehidupan masyarakat dalam berbagai sisi. Pelajarilah topik ini lebih mendalam melalui artikel yang kami sajikan.

Perluas pula wawasan Sahabat tentang bahasa, yang kali ini menguak kesalahan penggunaan kata "dirgahayu". Kemungkinan besar, Sahabat e-Penulis juga ikut terjebak dalam salah kaprah penggunaan kata ini. Pada akhir edisi, kami merekomendasikan buku Buku Jawaban bagi Orang Tua dari Anak-Anak Remaja, khusus bagi Sahabat yang sedang mengalami kesulitan dalam menghadapi remaja dan segala sifatnya. Selamat membaca. Tuhan Yesus memberkati.

Santi T.

Pemimpin Redaksi e-Penulis,
Santi T.

 

ARTIKEL Membangun Kesadaran Menulis pada Era Digital

Kejayaan era digital ditandai dengan kekuatan media daring profesional dan media sosial yang memiliki kapasitas data besar, mobilitas, dan jangkauan informasi secara luas. Kekuatan teknologi informasi ini dimanfaatkan oleh para penulis untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang mencerahkan masyarakat digital.

Hal ini beralasan karena menulis pada era digital merupakan kegiatan intelektual yang bertujuan untuk mendidik masyarakat luas. Salah satu tugas penulis dalam konteks ini adalah melahirkan gagasan-gagasan edukatif yang dalam penyebarannya di media digital bisa menembus batas-batas ruang dan waktu sehingga memberikan kesadaran transformatif bagi semua kalangan.

Gambar: Writing in Era Digital

Secara etimologis, kata "transformatif" berarti perubahan sikap atau karakter seseorang secara signifikan. Kesadaran transformatif adalah istilah lain untuk kesadaran total melalui perubahan kinerja, sistem kerja, dan tatanan kehidupan yang terkait langsung dengan sikap mental, kondisi, dan struktur sosial kemasyarakatan.

Kesadaran transformatif dalam dunia menulis memiliki empat aspek utama, yakni wilayah personel, institusional, kolektif, dan global. Semua aspek ini terus mendorong penulis pada era digital untuk berkarya, dan dengan bantuan media profesional ikut menyebarluaskan gagasan-gagasan secara masif, terbuka, dan daring.

Secara personel, menulis adalah upaya sadar dan terencana untuk menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, dan keadilan di tengah dunia yang selalu haus akan sajian informasi aktual, edukatif, dan yang menginspirasi. Oleh karena itu, gagasan-gagasan yang dipublikasikan tidak hanya mewakili integritas personel penulis, tetapi juga mencerahkan masyarakat digital dalam meningkatkan kesadaran membangun hidup yang lebih berkualitas.

Pada tataran ini, seorang penulis dituntut untuk menjadi corong pembaruan dan diskusi terbuka, tetapi kritis sebagai efek logis dari karya-karya yang dipublikasikan. Semakin berkualitas karya yang dihasilkan, semakin luas pula jangkauan keterbacaannya. Seorang penulis bisa memiliki ribuan, bahkan jutaan pembaca yang menyebar di berbagai penjuru dunia digital.

Belum lagi kalau berbicara tentang aspek sitasi karya. Bisa dibayangkan bahwa semakin tinggi indeks sitasi karya, semakin besar pula kontribusi penulis terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, informasi digital, dan peradaban dunia.

Tanpa disadari, menulis sebagai produk kegiatan personel dan intelektual telah menjelma menjadi elemen penting revolusi mental bangsa. Seorang penulis memberikan ruang bagi "pendidikan berbasis digital" yang bisa membentuk karakter, pola pikir, tingkah laku, dan gaya hidup para pembaca digital.

Dalam arti luas, pendidikan karakter senantiasa sejalan dengan seruan revolusi mental karena sasaran yang ingin dicapai sama -- menyuarakan transformasi bagi para pembaca daring alias masyarakat digital. Kalau itu yang terjadi, suara penulis adalah suara transformatif yang menggemakan perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama aspek politik, ekonomi, pendidikan, toleransi, multikulturalisme, dan sosiokultural bangsa.

Suara penulis pada era digital adalah suara pendidikan karakter yang menekankan tiga komponen karakter, yakni pengetahuan moral, perasaan moral, dan aksi moral (Lickona, 2014). Pesan moral dari setiap tulisan merupakan bagian integral dari pendidikan berbasis digital yang mendorong terbentuknya komunitas atau kelompok pembaca dan memperkuat soliditas gerakan-gerakan moral yang membawa perubahan konstruktif bagi bangsa dan negara.

Menulis sebagai Aksi Moral, Pedagogi Kritis, dan Media Pendidikan

Aksi para tokoh lintas agama yang menyampaikan pesan antiterorisme baru-baru ini adalah contoh nyata perasaan dan aksi moral yang membias dalam bentuk pengetahuan moral bahwa kejahatan terorisme tidak dibenarkan, melawan nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran-ajaran agama sehingga harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Pada saat yang bersamaan, secara langsung maupun tidak langsung, aksi ini menampilkan wajah pendidikan karakter untuk generasi muda bangsa yang diartikulasi kembali melalui publikasi media profesional, baik cetak maupun elektronik.

Sejalan dengan gaung pendidikan karakter, menulis dalam konteks institusi tidak hanya mengusung nilai-nilai kemanusiaan yang diwakili oleh penulis, tetapi juga menunjukkan taring kekuasaan dan identitas kelembagaan.

Menulis bukan lagi media refleksi atau ekspresi diri semata, melainkan dalam banyak disiplin ilmu seperti filsafat, sosiologi, psikologi, humaniora, pendidikan, ilmu sosial, dan ilmu alam, suara penulis telah mewakili otoritas institusi. Bahkan, menulis telah menjadi kesadaran dan gerakan kelembagaan melalui dukungan pendanaan, insentif atau bonus, studium generale, pelatihan, dan penelitian karena menjadi promosi lembaga yang efektif dan mengedepankan pedagogi kritis a’la Paulo Freire -- gerakan sosial pendidikan yang mengembangkan pemikiran-pemikiran kritis dalam ranah kajian tradisi-tradisi kultural.

Alasan ini rupanya memperkuat landasan pemikiran bahwa budaya-budaya lokal harus diangkat dalam berbagai karya tulis. Ulasan-ulasan yang ditampilkan tidak hanya menohok penderitaan dan kemiskinan masyarakat pemilik budaya-budaya lokal, tetapi lebih berfokus pada keunikan-keunikan yang digali dari kebijakan-kebijakan lokal, dan sudah saatnya ditonjolkan ke dunia global.

Peran pendidikan sangatlah vital dalam memberikan ruang bagi pelestarian budaya-budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai kebajikan. Penguatan terhadap nilai-nilai ini dapat mempertebal identitas kebangsaan bahwa jati diri bangsa yang unggul sangat erat kaitannya dengan roh kebudayaan dalam bentuk sikap, keyakinan, pemikiran, dan gaya hidup masyarakat.

Representasi literasi budaya juga bisa ditemukan dalam praktik-praktik sosio-kultural kehidupan bangsa yang tidak jauh dari budaya-budaya lokal. Ruang gerak dan aktivitas kemasyarakatan berakar pada nilai-nilai keutamaan, yakni toleransi, saling menghargai, gotong royong, dan multikulturalisme.

Jelas bahwa gerakan kolektif bangsa harus dibangun dari tradisi menulis yang kuat sebagai bentuk aktualisasi diri, pola pikir bertumbuh, dan eksplorasi nilai-nilai. Gerakan kolektif menjadi tumpuan perjuangan para penulis tanpa batas atau para penulis yang memperjuangkan nilai-nilai universal, nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan gender melalui tulisan-tulisan yang berusia ratusan tahun, tetapi masih relevan di setiap zaman dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.

Cowan (2014) mencatat bahwa prinsip-prinsip dalam teks-teks yang sudah ditulis dan diterima secara luas selama tiga puluh tahun merupakan roh pendidikan dan skema pengembangan profesional yang melibatkan para penulis kelas dunia. Hasil karya mereka menjadi rujukan para pengambil kebijakan strategis dan menembus ruang publik komunitas pembaca yang gemar mendiskusikan isu-isu pada era digital seperti inovasi teknologi informasi, cybercrime, nanoteknologi, transformasi digital, dan lain sebagainya.

Di ranah global, menulis menitikberatkan pada pengaruh keluasan konektivitas atau jaringan media yang karena kedalaman ulasan dan jangkauannya berhasil menginspirasi dunia dan mengubah cara pandang generasi di berbagai belahan dunia.

Pesan Kebaikan dalam Setiap Karya

Terlepas dari konektivitas dan kekuatan jaringan media digital, sihir Harry Potter pada tahun 2000-an mengusung pesan bahwa kebaikan berhasil mengalahkan kejahatan. J.K. Rowling mengembuskan harapan dan optimisme ke dalam setiap karyanya bahwa manusia tidak boleh tunduk pada kejahatan dalam bentuk dan motif apa pun. Sebaliknya, kebaikan adalah bumbu kehidupan, motor penggerak keharmonisan, kebahagiaan, persatuan dan kesatuan demi tercapainya mimpi-mimpi.

Gambar: Power of Writing

Demikian pula, karya-karya Pramoedya Ananta Toer telah mewakili jagat kesusastraan Indonesia di kancah global. Meskipun tidak sampai memenangkan anugerah Nobel kategori kesusastraan, karya-karya beliau yang telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa di dunia selalu bernapaskan pertentangan terhadap "penjajahan", pengikisan sekat-sekat golongan dan perbudakan serta meletakkan landasan identitas keindonesiaan sejak zaman revolusi dengan cara menumbuhkan benih-benih nasionalisme dan kebangsaan.

Kekuatan sebuah karya terletak pada kehebatan penulis dalam mengemas pesan yang hendak disampaikan. Dalam tatanan karya global, tujuan menulis adalah mengedepankan inspirasi dan sikap kritis di tengah tumpukan fenomena dan fakta sosial. Dalam setiap penulisan karya, ideologi kebangsaan ikut diseret jauh ke dalam perspektif sejarah, pendidikan, kemanusiaan, keadilan, dan kehidupan yang berbeda dari biasanya.

Dengan demikian, menulis adalah proses pendewasaan pola pikir dan kecermatan menganalisis situasi. Dalam konteks karya-karya J.K. Rowling dan Pramoedya Ananta Toer, gagasan-gagasan cemerlang mereka lahir di tengah upaya ekstra keras, belajar mandiri, krisis kehidupan, dan masa-masa sulit yang dihiasi dengan kebingungan, kesedihan, dan penderitaan.

Dari perspektif ini, jelas bahwa tidak ada karya-karya besar yang lahir di tengah kondisi nyaman tanpa kesulitan-kesulitan sosial kehidupan. Tidak ada karya-karya besar yang lahir tanpa budaya membaca yang militan. Tidak ada karya-karya besar yang lahir tanpa budaya literasi, pelestarian kebudayaan lokal, tradisi, dan keunikan kesusastraan dalam suatu bangsa.

Jadi, karya-karya besar pada era digital adalah miniatur kehidupan yang kaya akan pesan-pesan kebajikan dan nilai-nilai kemanusiaan. Mari kita mewujudkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

*)Penulis adalah Dosen Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta dan Associate Editor Jurnal Indonesia Language Education and Literature.

Menulis pada Era Digital

Diambil dari:
Nama situs : FloresPost
Alamat situs : https://www.florespost.co/2018/05/27/opini-membangun-kesadaran-menulis-di-era-digital/
Judul artikel : Opini: Membangun Kesadaran Menulis di Era Digital
Penulis artikel : Anselmus Sudirman
Tanggal akses : 30 Mei 2018
 

Pojok Bahasa Salah Kaprah Pemakaian Kata "Dirgahayu"

Salah kaprah berarti sesuatu yang tidak benar, tetapi dilakukan oleh banyak orang sehingga tampak seolah-olah benar dan biasa. Salah kaprah sering terjadi dalam bahasa komunikasi yang lebih mengutamakan pemahaman komunikatif daripada tata bahasa baku. Pesan memang telah sampai kepada komunikan, meskipun tata bahasa dan makna sebenarnya kacau. Salah satu di antara salah kaprah dalam berbahasa adalah pemakaian kata "dirgahayu" dalam setiap momentum peringatan hari ulang tahun kelahiran sesuatu, selain manusia (anniversary bukan birthday).

Gambar: Dirgahayu

Kata ini tampaknya diasumsikan oleh sebagian besar masyarakat bermakna "selamat ulang tahun" sehingga kita sering mendapati slogan yang salah makna, yaitu "Dirgahayu Indonesia ke-68". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa makna "dirgahayu" adalah a (adjektiva): berumur panjang, bersifat panjang umur (biasanya ditujukan kepada negara atau organisasi yang sedang merayakan/memperingati hari jadinya). Kata "dirgahayu" memang biasanya diucapkan dalam peringatan resmi Hari Ulang Tahun suatu lembaga atau instansi, tetapi sekali lagi bukan bermakna "selamat ulang tahun". Slogan "Dirgahayu Indonesia" mengandung pengertian tersirat semoga Indonesia selalu berjaya dan berumur panjang kapan pun dan di mana pun serta tidak terikat bilangan waktu tertentu. Dengan demikian, jika kata "dirgahayu" diikuti dengan "ke-68", tentu maknanya menjadi tidak tepat. Sayangnya, hal ini tidak banyak disadari oleh khalayak sehingga kesalahan ini menjadi kaprah, bahkan biasa karena dipakai oleh banyak orang secara ikut-ikutan. Mengapa demikian? Semakin mudah dan cepatnya masyarakat mengakses informasi, ternyata tidak diiringi dengan peningkatan sikap kritis.

Mereka tidak lagi memahami substansi pemilihan kata, selama telah dipakai oleh banyak orang. Akhirnya, meniru saja pilihan kata standar itu sehingga tampak tidak kreatif. Bagi mereka, yang penting adalah eksis di media sosial, status jejaring sosial, spanduk-spanduk, dan berbagai media lainnya. Bila kata "dirgahayu" ini digunakan sebagai slogan untuk memperingati momentum kemerdekaan RI, seharusnya kata tersebut tidak diikuti dengan urutan angka penunjuk tingkatan. Slogan "Dirgahayu Indonesia" lebih tepat dan pas digunakan daripada "Dirgahayu Indonesia ke-68". Akan tetapi, jika kita ingin menyatakan maksud Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang kesekian, yang paling tepat adalah slogan Selamat Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-68 atau disingkat Selamat HUT RI ke-68 saja.

Meskipun demikian, penggunaan slogan "Dirgahayu Indonesia" sebenarnya masih kurang tepat karena ternyata "dirgahayu" adalah adjektiva, yakni kata yang menerangkan sifat suatu benda. Sesuai dengan kaidah DM (diterangkan-menerangkan), maka kata keterangan atau kata sifat (sebagai kata yang menerangkan) seharusnya terletak di belakang kata benda (sebagai kata yang diterangkan). Dalam hal ini, kata "dirgahayu" sebagai kata sifat bertugas menerangkan kata benda yang berkedudukan sebagai subjek atau objek. Dalam hal ini, tentunya kata "Indonesia" sebagai subjek atau objeknya. Oleh karena itu kata "dirgahayu" seharusnya terletak di belakang kata "Indonesia" sehingga yang paling tepat adalah "Indonesia Dirgahayu". Mari kita berbenah. Jika tidak, salah kaprah akhirnya akan menjadi "kebenaran".

Diambil dari:
Nama situs : Kompasiana
Alamat situs : https://www.kompasiana.com/abacaraka/salah-kaprah-pemakaian-kata-dirgahayu_552a3f576ea8345d60552d22
Judul artikel : Nine Adien Maulana
Tanggal akses : 28 April 2018
 

RESENSI BUKU Buku Jawaban bagi Orang Tua dari Anak-Anak Remaja

Kathleen Yap
Judul buku
:
Buku Jawaban bagi Orang Tua dari Anak-Anak Remaja
Judul asli
:
The Answer Book for Parents of Teenagers
Penulis/​Penyusun
:
Kathleen Yapp
Penerjemah
:
Claudia Kristanti
Penyunting
:
--
Editor
:
Milhan K.Santoso
Penerbit
:
Adonai, Jakarta Barat
Ukuran buku
:
13,5 x 20 cm
Tebal
:
337 halaman
ISBN
:
979-9342-56-2
Buku online
:
--
Download
:
--

Buku Jawaban bagi Orang Tua dari Anak-Anak Remaja karya Kathleen mengulas pengalaman-pengalaman orang tua Kristen yang telah melalui gangguan-gangguan kecil dan krisis-krisis besar yang bisa melemahkan mereka. Beberapa bagian yang mengulas gangguan-gangguan kecil menyoroti kehendak yang saling bertentangan, tanggung jawab, penghargaan diri, uang, kamar berantakan, dan beberapa hal lainnya yang terkadang masih dilihat sebagai hal yang mengusik ketenangan orang tua. Sementara krisis-krisis besar yang dihadapi para orang tua adalah ketika anak-anak remaja mereka sudah mulai mengenal dunia luar, percintaan, bahkan seks.

Buku ini sudah dikelompokkan berdasarkan topik-topiknya sehingga memudahkan pembaca dalam membaca. Banyak tip, trik, dan teknik yang diulas untuk membantu setiap orang tua melalui tantangan-tantangan terberat dalam kehidupan berkeluarga dan relasi dengan anak. Banyak topik yang Anda bisa temukan seperti: Alkohol, Narkoba dan Rokok, Gereja dan Iman Dalam Perbuatan, Disiplin, Teman-Teman, Keluarga Baru, dan Persaingan dengan Saudara Kandung.

Buku Jawaban bagi Orang Tua dari Anak-Anak Remaja hadir untuk memberikan solusi bagi orang tua Kristen dalam menghadapi remaja dan sifat-sifat mereka. Jika Anda kesulitan atau masih bingung bagaimana menangani sifat anak-anak Anda, buku ini sangat disarankan untuk Anda baca. Selain bahasanya yang ringan, buku ini juga mengulas hal-hal yang terjadi antara orang tua dan remaja dalam kehidupan nyata.

Peresensi: Lidya Putnarubun

 
Anda terdaftar dengan alamat: $subst('Recip.EmailAddr').
Anda menerima publikasi ini karena Anda berlangganan publikasi e-Penulis.
penulis@sabda.org
e-Penulis
@sabdapenulis
Redaksi: Santi T., N. Risanti, dan Odysius
Berlangganan | Berhenti | Arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
©, 2018 -- Yayasan Lembaga SABDA
 

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org