Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/101

e-Penulis edisi 101 (5-1-2012)

Manfaat Menulis sebagai Terapi Psikologis (I)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                        Edisi 101/Januari 2012
            Tema: Manfaat Menulis sebagai Terapi Psikologis (I)

DAFTAR ISI
DARI REDAKSI: TAHUN BARU, PARADIGMA BARU!
ARTIKEL: TERAPI MENULIS HILANGKAN STRES
POJOK BAHASA: KESESATAN BAHASA

               DARI REDAKSI: TAHUN BARU, PARADIGMA BARU!

Menulis bukan sekadar merangkai huruf demi huruf menjadi sebuah kata
maupun kalimat. Menulis merupakan seni untuk mengekspresikan diri dan
membagikan pengalaman maupun pemikiran melalui setiap rangkaian
kalimat. Menulis juga merupakan salah satu cara yang bisa dipakai
untuk pemulihan kesehatan fisik maupun emosi, salah satunya
menghilangkan stres. Benarkah?

Hal itulah yang akan dibahas dalam e-Penulis edisi perdana tahun 2012
ini. Mari kita membuka paradigma untuk memahami salah satu manfaat
menulis melalui artikel "Terapi Menulis Hilangkan Stres". Dapatkan
pula wawasan mengenai "Kesesatan Bahasa" yang bisa Sahabat temukan
dalam kolom Pojok Bahasa. Selamat membaca dan dapatkan berkatnya.

Selamat Tahun Baru 2012!

Pemimpin Redaksi e-Penulis,
Santi Titik Lestari
< santi(at)in-christ.net >
< http://pelitaku.sabda.org >

               ARTIKEL: TERAPI MENULIS HILANGKAN STRES

Masih ingatkah Anda kisah-kisah sedih yang dulu sering Anda bagi
dengan catatan harian Anda? Mungkin Anda masih bisa merasakan
kenyamanan setelah menuangkan pikiran dan isi hati. Apakah Anda sudah
berhenti menulis catatan harian karena merasa tidak cocok lagi dengan
usia Anda? Hal ini tidak benar, tidak ada batasan usia untuk menulis.
Menurut Karen Baikie, seorang clinical psychologist dari University of
New South Wales, menuliskan peristiwa-peristiwa traumatik, penuh
tekanan serta peristiwa yang penuh emosi bisa memperbaiki kesehatan
fisik dan mental.

Dalam studinya, Baikie meminta partisipan menulis 3 -- 5 peristiwa
yang penuh tekanan selama 15 -- 20 menit. Hasil studi menunjukkan,
mereka yang menuliskan hal tersebut mengalami perbaikan kesehatan
fisik dan mental secara signifikan dibandingkan dengan mereka yang
menulis topik-topik yang netral. Menurut Baikie, terapi menulis
ekpresif ini akan meningkatkan kadar stres, suasana hati yang negatif,
gejala-gejala fisik, serta penurunan suasana hati yang positif di
tahap awal. Akan tetapi, dalam jangka panjang, banyak studi yang telah
menemukan bukti mengenai manfaat terapi menulis bagi kesehatan. Para
partisipan melaporkan merasa lebih baik, secara fisik maupun mental.

Dalam jangka panjang, terapi menulis bisa mengurangi kadar stres,
meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, mengurangi tekanan darah,
memperbaiki fungsi paru-paru, fungsi lever, mempersingkat waktu
perawatan di rumah sakit, meningkatkan mood, membuat penulis merasa
jauh lebih baik, serta mengurangi gejala-gejala trauma. Terapi ini,
bisa bermanfaat bagi orang yang memunyai berbagai masalah kesehatan.
"Partisipan yang menderita asma dan rematik arthritis menunjukkan
adanya perbaikan fungsi paru-paru setelah melakukan tes laboratorium,"
kata Baikie.

Menulis, menurut peneliti dari Universitas Texas, James Pennebaker,
bisa memperkuat sel-sel kekebalan tubuh yang dikenal dengan
T-lymphocytes. Pennebaker meyakini, menuliskan peristiwa-peristiwa
yang penuh tekanan akan membantu Anda memahaminya. Dengan begitu, akan
mengurangi dampak penyebab stres terhadap kesehatan fisik Anda.

Dengan menulis, Anda mengasah otak kiri yang berkaitan dengan analisis
dan rasional. Saat Anda melatih otak kiri, otak kanan Anda akan bebas
untuk mencipta, mengintuisi, dan merasakan. Singkatnya, menulis bisa
menyingkirkan hambatan mental Anda dan memungkinkan Anda menggunakan
semua daya otak untuk memahami diri Anda, orang lain, serta dunia
sekitar Anda dengan lebih baik.

Apalagi yang Anda tunggu? Mulailah menulis dan rasakan manfaat-manfaat
berikut ini.

1. Menjernihkan pikiran dan perasaan.

Apakah Anda pernah merasa terpuruk, tidak yakin dengan apa yang Anda
rasakan? Luangkan beberapa menit waktu Anda dan mulailah menuliskan
pikiran-pikiran dan emosi Anda. Tidak perlu diedit. Anda akan semakin
memahami dunia internal Anda dan merasa lebih baik.

2. Mengenali diri Anda lebih baik.

Dengan menulis secara teratur, Anda akan lebih memahami apa yang
membuat Anda gembira dan percaya diri. Anda juga akan semakin memahami
situasi dan orang-orang yang bisa meracuni Anda. Informasi ini akan
sangat penting bagi kesehatan emosional Anda.

3. Mengurangi stres.

Menulis mengenai kemarahan, kesedihan, serta emosi menyakitkan lainnya
bisa membantu meredakan intensitas perasaan negatif itu sendiri.
Dengan begitu, Anda akan merasa lebih tenang dan tetap menjalani hidup
dengan lebih baik.

4. Memecahkan masalah dengan lebih efektif.

Biasanya kita memecahkan masalah dengan menggunakan otak kiri,
perspektif analitis. Tapi, kadang-kadang kita bisa menemukan jawaban
dengan melibatkan kreativitas dan intuisi otak kanan. Menulis akan
membuka kemampuan-kemampuan lainnya dan memungkinkan hadirnya solusi
baru yang bisa memecahkan masalah.

5. Mengatasi kesalahpahaman dengan orang lain.

Ketidaksepahaman yang tidak bisa dipecahkan dengan kata-kata ucapan
bisa diselesaikan melalui tulisan. Dengan menulis, Anda akan lebih
bisa memahami poin masing-masing. Dengan begitu, Anda bisa menemukan
resolusi yang lebih tepat.

Cara memulai:

1. Anda tidak harus datang ke terapis. Lakukan sendiri dengan menulis
   secara rutin setiap hari selama 20 menit.
2. Mulailah dengan menulis apa saja, di mana saja, dan lupakan tanda
   baca atau ejaan kata yang benar.
3. Carilah tempat yang tepat. Privasi merupakan kunci utama jika Anda
   menulis tanpa disensor.
4. Menulislah dengan cepat, seolah-olah kegiatan ini membebaskan otak
   Anda dari segala keharusan dan hambatan-hambatan.

Melalui tulisan, Anda bisa menemukan teman yang selalu menerima tanpa
menghakimi. Terapi ini juga mudah dilakukan kapan saja dan di mana
saja.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama Situs: Media Indonesia
Alamat URL: http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/
            read/2009/05/14/1168/13/Terapi-Menulis-Hilangkan-Stres
Judul artikel: Terapi Menulis Hilangkan Stres
Penulis: Ikarowina Tarigan
Tanggal akses: 20 September 2011

                    POJOK BAHASA: KESESATAN BAHASA

Sebetulnya, kata-kata dalam bahasa dapat memiliki arti yang
berbeda-beda, dan setiap kata dalam sebuah kalimat memunyai arti yang
sesuai dengan arti kalimat yang bersangkutan. Maka, meskipun kata yang
dipakai sama dalam kalimat yang berbeda, kata dapat bervariasi
artinya.

Sebuah kalimat dengan struktur tertentu, dapat memunyai arti lebih
dari satu dan arti kalimat juga tergantung dari konteksnya, sehingga
arti kalimat yang sama dapat bervariasi dalam kalimat yang berbeda.

Ketidakcermatan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat dapat
menimbulkan "kesesatan penalaran" (Soekadijo (1994:12)). Kesesatan
karena bahasa menurut Soekadijo, biasanya hilang atau berubah kalau
penalaran dari satu bahasa disalin ke dalam bahasa yang lain. Kalau
penalaran itu diberi bentuk lambang, kesesatan itu akan hilang sama
sekali. Justru, lambang-lambang dalam logika diciptakan untuk
menghindari adanya ketidakpastian arti dalam bahasa.

Berikut ini beberapa kesesatan karena bahasa (Soekadijo 1994:12-13):

1. Kesesatan karena aksen atau tekanan.

Dalam ucapan, tiap-tiap kata ada suku kata yang diberi tekanan.
Perubahan tekanan dapat membawa perubahan arti. Maka kurang perhatian
terhadap tekanan ucapan dapat mengakibatkan perbedaan arti dan
kesesatan penalaran. Contoh:

Tiap pagi pasukan mengadakan apel.
Apel itu buah.
Jadi: Tiap pagi pasukan mengadakan buah.

2. Kesesatan karena term ekuivok.

Term ekuivok itu term yang memunyai lebih dari satu arti. Kalau dalam
satu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah term yang sama,
terjadilah kesesatan penalaran. Contoh:

Sifat abadi adalah sifat Ilahi.
Adam adalah mahasiswa abadi.
Jadi: Adam adalah mahasiswa yang bersifat Ilahi.

3. Kesesatan karena anti kiasan (metafora).

Ada analogi antara arti kiasan dan arti sebenarnya, artinya ada
persamaan dan ada perbedaannya. Kalau dalam suatu penalaran sebuah
arti kiasan disamakan dengan arti sebenarnya atau sebaliknya,
terjadilah kesesatan karena arti kiasan.

Rupanya agak luar biasa apabila orang mencampuradukkan arti sebenarnya
dan arti kiasan dari suatu kata atau ungkapan. Kesesatan itu sering
disengaja dalam lawak.

4. Kesesatan karena amfiboli (amphibolia).

Amfiboli terjadi kalau konstruksi sebuah kalimat itu demikian rupa,
sehingga artinya menjadi bercabang. Misalnya, "Mahasiswa yang duduk di
atas meja yang paling depan..."

Apa yang paling depan, mahasiswanya atau mejanya? Kalau dalam sebuah
penalaran kalimat amfibol itu di dalam premis digunakan dalam arti
yang satu, sedang di dalam konklusi artinya berbeda, maka terjadilah
kesesatan karena amfiboli itu.

Berkenaan dengan soal kesesatan karena term ekuivok, kesalahpahaman
sering terjadi karena orang berasumsi bahwa kata, ungkapan, atau
bahkan kalimat, tidak ekuivokal (unequivocal), artinya hanya memiliki
sebuah makna. Hayakawa (1978, dalam Tubbs & Moss, 1994:85), menyebut
hal ini sebagai "the `one word, one meaning` fallacy" (kesalahan satu
kata, satu makna). Sesungguhnya, kata Tubbs & Moss, kebanyakan bahasa
yang kita pergunakan adalah ekuivokal, yaitu memiliki dua atau lebih
interpretasi (two or more possible interpretations).

William Safire, seorang kolumnis surat kabar, seperti dikisahkan Tubbs
& Moss, pernah menerima undangan untuk menghadiri opera. "Jam,
tanggal, dan tempatnya dicantumkan dengan baik. Lalu di sudutnya
tertulis instruksi misterius tentang baju: `Bukan Dasi Hitam`. Apakah
arti instruksi ini?"

Apakah "bukan dasi hitam" berarti pakaian resmi, seperti yang ditulis
dalam undangan resepsi dasi Kedutaan Besar Turki? Lebih jauh lagi,
apakah ini berarti bahwa Seragam Bangsa Amerika saat ini (blaser biru,
celana cokelat susu) sudah usang? Apakah bukan dasi hitam berarti
"tidak boleh mengenakan dasi yang sudah lusuh" atau "sama sekali tidak
pakai dasi" (Tubbs & Moss, 1994:85).

Tampaknya ada dua sumber kekacauan mengenai kata dan ungkapan.
Pertama, orang berasumsi bahwa karena mereka menggunakan kata yang
sama, maka berarti mereka sepakat, padahal kenyataannya setiap orang
menafsirkan kata itu secara berbeda. Kedua, terjadi bila orang mengira
berbeda pendapat karena menggunakan kata-kata yang berlainan. Padahal
sebenarnya, mereka sepakat pada konsep atau maksud yang dikandung oleh
kata-kata tersebut. Mereka menggunakan istilah yang berbeda yang
memiliki referen yang sama.

Contoh kalimat: Pinjaman $ 200 juta Diberikan Indonesia

Apa sebetulnya yang salah di dalam kepala berita itu?

Orang yang dapat memahami susunan bahasa Indonesia yang baik sudah
pasti akan segera mengambil kesimpulan bahwa yang dinyatakan oleh
kepala berita di atas ialah "pinjaman sebesar dua ratus juta dolar
telah diberikan oleh Pemerintah Indonesia". Kepada siapa diberikan
atau siapa yang menerima pinjaman itu belum diketahui karena tidak
tercakup dalam kepala berita yang singkat itu. Tetapi setelah kita
membaca berita sebenarnya yang tertulis di bawah kepala berita itu,
kita mungkin akan kecewa karena ternyata yang tertulis itu justru
sebaliknya dari yang dinyatakan di dalam kepala berita itu. Bukan
Indonesia yang memberikan pinjaman, melainkan Indonesialah yang
beroleh pinjaman dari luar negeri.

Rupanya, redaksi telah menghilangkan sepatah kata penting yang
semestinya tidak boleh dihilangkan, yaitu kata depan "kepada" antara
kata "diberikan" dan "Indonesia". Sepatah kata yang di dalam kalimat
tidak dapat dihilangkan karena akan mengganggu makna. Menurut Badudu,
yang dapat dihilangkan hanyalah kata depan oleh yang terletak di
belakang kata kerja berawalan di sekaligus di depan keterangan pelaku.

Namun terlepas dari persoalan di atas, dalam teks sastra, terkadang
unsur fiksionalitas membutuhkan kesesatan, atau lebih tepatnya
penyimpangan (Segers, 2000:92). Pemakaian bahasa yang menyimpang (atau
penyimpangan konstruksi bahasa) merupakan salah satu di antara
faktor-faktor yang menghasilkan kerenggangan pada perangkat signifie
(petanda), seperti ditunjukkan oleh Sklovskij di awal tahun 1916.
Penekanan pada konotasi dalam teks sastra -- dalam kontradiksinya
dengan teks-teks ilmiah dan "bahasa biasa" -- dapat pula dipandang
sebagai satu bentuk deviasi. Menurut Segers, kesimpulan tampaknya
menjamin bahwa norma-norma fiksionalitas dan penyimpangan bahasa
sering merupakan dua sisi sebuah uang logam: penyimpangan bahasa
sering berperan sebagai indikator fiksionalitas, dan fiksionalitas
mungkin membutuhkan penyimpangan.

Penyimpangan bahasa dan pelanggaran norma-norma mungkin mengarahkan
pada struktur yang rumit yang memungkinkan keanekaragaman
interpretasi. Kendati norma-norma seperti penyimpangan pemakaian
bahasa, pelanggaran norma, dan kompleksitas itu ada, tuntutan yang
harus dipertahankan ialah bahwa teks sastra seharusnya memiliki
koherensi atau kesatuan struktural. Nilai sebuah teks meningkat sesuai
dengan kesatuan elemen-elemennya yang spesifik secara struktural
(Misalnya, sejauh mungkin novel dikaitkan dengan wacana narator dan
karakter, sudut pandang, fabula, materi tematik, dan latar).

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Semiotika Komunikasi
Judul artikel: Kesesatan Bahasa
Penulis: Drs. Alex Sobur, M.Si
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya, Bandung 2003
Halaman: 311 -- 314

Kontak: < penulis(at)sabda.org >
Redaksi: Santi Titik Lestari, Sri Setyawati
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org/ >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/penulis >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
Berhenti berlangganan: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org