Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/73

e-Penulis edisi 73 (3-11-2010)

HUT e-Penulis

______________________________________________________________________
                  e-Penulis (Menulis untuk Melayani)
                      Edisi: 073/November/2010
                            HUT e-Penulis
______________________________________________________________________
DAFTAR ISI

  Editorial: Budaya Menulis
  Artikel: Hidup Untuk Menulis Dan Menulis Untuk Hidup
  Karya Sahabat: Tersesat dalam Kata-kata
  Puisi Sahabat: Hidupmu di Ujung Penamu
                   Di dalam tulisan
                   Coretan yang Bermakna
  Kata Sahabat
  Humor Bahasa: Pelajaran Bahasa Inggris
______________________________________________________________________
EDITORIAL

                             BUDAYA MENULIS

  Di tengah banjirnya informasi di seantero dunia, banyak cendekiawan,
  mahasiswa, pelajar, bahkan redaktur Indonesia masih mengeluhkan
  sulitnya menulis. Kebanyakan menganggap diri tidak berbakat sehingga
  mundurlah niat menuangkan ide dan informasi ke dalam tulisan.
  Padahal seorang penulis tidak lahir dengan sendirinya, penulis
  adalah manusia biasa yang berjuang untuk menulis dari hari ke hari.
  Lantas setelah menempuh proses belajar dan berlatih barulah dia
  menjadi penulis yang tangguh dan berbakat.

  Enam tahun yang lalu, edisi perdana e-Penulis terbit untuk menjadi
  pegangan para Sahabat yang rindu belajar dan berlatih menulis.
  Setiap bulannya hingga hari ini e-Penulis mengajak Sahabat Penulis
  menyimak artikel-artikel seputar literatur Kristen dan keterampilan
  tulis-menulis. Tidak hanya itu, e-Penulis juga hadir dengan tip-tip,
  artikel kebahasaan, biografi tokoh penulis, dan ulasan situs
  kepenulisan. Publikasi e-Penulis rindu mendorong Sahabat untuk
  berbudaya menulis: berkarya untuk memberkati lewat tulisan.

  Di edisi khusus Ulang Tahun ini, e-Penulis hadir menyajikan artikel
  menarik mengenai "Hidup untuk Menulis dan Menulis untuk Hidup". Kami
  juga mengajak Sahabat Penulis membaca sajian spesial berupa
  karya-karya Sahabat Penulis yang mengekspresikan kecintaannya
  terhadap seni tulisan melalui puisi dan cerpen. Tidak ketinggalan
  juga beberapa ucapan selamat ulang tahun dari pelanggan setia
  e-Penulis.

  Selamat membaca. Selamat menulis.

  Pimpinan Redaksi e-Penulis,
  Truly Almendo Pasaribu
  < uly(at)in-christ.net >
  http://pelitaku.sabda.org
  http://fb.sabda.org/penulis
______________________________________________________________________

    Alasan utama untuk menulis ialah adanya kepuasan menyatakan diri.
                             (Sloan Wilson)
______________________________________________________________________
ARTIKEL

             Hidup untuk Menulis dan Menulis untuk Hidup

  Dua kalimat di atas seolah hanya permainan kata. Selintas keduanya
  bermakna sama dan mengarah pada satu kata yang oleh sebagian insan
  akademik sangat ditakuti: menulis! Di negeri ini, menulis memang
  masih menjadi momok. Beratus ribu, bahkan berjuta mahasiswa gagal
  menjadi sarjana hanya karena tidak bisa menulis. Deretan doktor dan
  profesor yang tidak terlalu signifikan antara jumlah dan perannya
  dalam membangun negeri ini, juga karena tidak bisa menulis. Tapi
  ironisnya, justru karena ketidakberdayaan orang-orang tersebut, biro
  skripsi-tesis-disertasi mendapat makan karena "menulis" untuk
  mereka.

  Menulis yang sudah terlanjur ditakuti oleh masyarakat awam -- bahkan
  sebagian insan akademik. Menulis dianggap hanya bersendikan bakat
  dan menepikan latihan. Menulis menjadi bagian yang dianggap sebagian
  orang saja yang mampu, karena merupakan bawaan, padahal menulis
  hanyalah perkakas; ia bisa tajam dan bisa pula tumpul. "Mengasah"
  memiliki makna lain "berlatih". Artinya, keterampilan menulis bisa
  semakin memesona karena senantiasa dilatih dan digeluti dalam
  proses. Sebaliknya, ia bisa menjadi buruk kualitasnya -- bahkan sama
  sekali tak bermakna -- karena tidak pernah dicoba apalagi dilatih.

  Hidup untuk Menulis

  Apabila konsekuensi menulis adalah pelatihan, kalimat "hidup untuk
  menulis" bermakna proses. Bagi seseorang yang memiliki motivasi
  "hidup untuk menulis", kalimat ini dapat dimaknai bahwa segenap
  potensi dan sarana-prasarana yang dimiliki diarahkan bagi
  pengoptimalan keterampilan menulisnya. Bukan hanya pada saat
  berpikir, bahkan ketika berjalan, duduk, dan tertidur pun pikirannya
  diarahkan pada menulis. Ia mengolah hari, jam, menit, dan detik yang
  dimiliki untuk kepentingannya itu. Ia menabung dan membelanjakan
  keuangannya untuk sesuatu yang sangat penting bagi hidupnya:
  menulis.

  Singkatnya, kesadaran akan proses akan melahirkan kesadaran akan
  pengelolaan; melahirkan pemahaman akan hukum prasyarat dan sebab
  akibat. Sama seperti seorang atlet lompat jauh membutuhkan
  ancang-ancang cukup jauh untuk melompat sesuai target. Sama seperti
  petinju yang menginginkan menyelesaikan pertandingan dua batas ronde
  membutuhkan latihan beratus, bahkan beribu ronde. Demikianlah halnya
  dengan menulis, penulisnya akan ditolak berkali-kali sebelum
  diterima di sebuah harian atau majalah ternama, justru karena itu
  adalah proses latihan. Ia juga menghadapi kekeh tawa mengejek atau
  senyum sinis, sebelum pada akhirnya semua terkesima dan memuja karya
  adiluhungnya.

  Kita pun mendengar dari penulis-penulis ternama bahwa seluruh
  waktunya telah habis digunakan untuk membaca, sehingga tidak heran
  kita sering terperangah mendengar atau membaca pikiran-pikirannya.
  Itulah sebabnya, tidak jarang kita mendengar penulis-penulis besar
  yang baru diterima karyanya setelah menulis yang keseratus kalinya.
  Bahkan, ada pula penulis yang tulisannya baru dipuja justru setelah
  ia meninggal dunia. Di bagian lain, kita juga mendapat cerita dari
  penulis kondang betapa bangganya ia yang menimbun buku hingga
  berkamar-kamar, bahkan bergedung-gedung, karena menyadari bahwa buku
  menjadi penopangnya dalam menulis. Lalu, dikatakannya buku-buku itu
  dibeli dari hasil menabung, atau hasil dari menyisihkan kebutuhan
  yang lain. Buku-buku itu begitu dihargai karena telah memberinya
  inspirasi dalam menulis.

  Masalahnya sekarang, masyarakat terlanjur menempatkan menulis
  menjadi sebatas mengarang. Hanya pengaranglah yang bisa menulis,
  karena tidak semua orang berbakat di bidang itu. Akhirnya,
  masyarakat cenderung menempatkan menulis sebatas beralaskan bakat
  sehingga menyebabkan sebagian orang menghindari proses menulis.
  Jarang ada keinginan untuk memulai bergelut dengan bacaan sebagai
  kesadaran bahwa membaca adalah tahap awal dalam menulis. Membaca
  berarti tahap awal menulis; membaca adalah tahap awal untuk meniru
  teknik penulisan seseorang: sang pengarang. Membaca juga memberi
  inspirasi gaya orisinal kepenulisan yang sedang dirintis.

  Sayangnya, yang terjadi pada kebanyakan pembaca justru sebaliknya.
  Seolah ada jarak kekaguman yang melenakan. Ada penyekat yang
  mustahil dapat "diteladani" oleh penerus atau pengikutnya yang kini
  baru bisa membaca yang lambat laun akan menjadi penuilis. Lalu,
  pembaca akhirnya terlena oleh cerita orang per orang yang
  melambungkan karya itu ke langit tinggi yang meninggalkan pembaca
  yang hanya mampu menatap dari jauh dalam kekaguman.

  Apabila di kalangan pecinta membaca saja ada sekat penghalang menuju
  proses menulis, apalagi jarak sebagian masyarakat yang "alergi
  membaca". Di hadapan mereka terpampang jurang yang menganga apabila
  dihadapkan pada keharusan menulis. Mereka dipojokkan kondisi kalah
  sebelum bertanding. Bagi mereka, menulis menjadi nun jauh di sana,
  tempat dengan kondisi gelap dan berkabut.

  Lalu bagaimana andai kelompok "alergi membaca" ini dihadapkan pada
  keharusan menulis? Biasanya mereka menepikan titian latihan untuk
  mendapatkan kemampuan menulis, sebab titian itu menakutkan,
  mengkhawatirkan, dan membuat terengah-engah. Mereka lebih memilih
  mendapatkan pertolongan dari langit, dari "orang-orang baik" yang
  memberi pil instan. Orang-orang baik yang memberikan barang jadi dan
  pemesannya tinggal menyematkan namanya sendiri pada karya itu.

  Menggeser paradigma dari menulis sebatas bakat menjadi menulis
  berdasarkan latihan mempersyaratkan pembiasaan, penghargaan, dan
  kesadaran sistem. Kurikulum yang lebih mengedepankan kompetensi
  memungkinkan langkah-langkah konkret tersebut. Hidup untuk menulis
  adalah kesadaran mengelola waktu dan kesempatan untuk melatih
  menggunakan potensi berpikir secara runtut dan sistematis, serta
  kesadaran akan kesempatan bagi pengembangan potensi berpikir dan
  berekspresi melalui menulis.

  Menulis untuk Hidup

  Tidak ada kata lain bagi insan yang berani berfalsafah "menulis
  untuk hidup" selain penghargaan yang setinggi-tingginya. Komunitas
  yang berada pada strata ini adalah sejumlah orang yang telah
  melampaui "hidup untuk menulis". Orang yang berani memilih falsafah
  hidup seperti ini telah menguasai perkakas yang mantap ditambah rasa
  percaya diri yang tinggi. Dalam perjalanan, perkakas itu
  harus ditambah pula dengan mental baja dan kesabaran yang tak
  mengenal ujung. Singkatnya, para penulis dengan semboyan hidup
  seperti ini adalah sejumlah orang yang bukan hanya cerdas secara
  intelektual (pintar), tetapi juga cerdas secara emosional (sabar),
  dan cerdas secara mental (ketahanmalangan).

  Betapa tidak, di negeri yang rentan terhadap hukum ini banyak
  terjadi aral melintang demi memberi penghargaan atas karya
  intelektual. Peristiwa duplikasi tanpa seizin penulis dan demi
  keuntungan sepihak merupakan peristiwa biasa dan jarang tertangani
  hukum secara tuntas.

  Bisa jadi ada sikap sinis bahwa falsafah menulis untuk hidup
  cenderung menyeret penulis pada situasi melacurkan diri pada
  karya-karya murahan atau karya-karya yang mengabdi pada selera
  pasar. Andai hal itu ada benarnya, biarlah ia tumbuh dan terseleksi
  secara alami. Masyarakat pada akhirnya akan tahu mana yang baik bagi
  dirinya dan mana yang sebaliknya. Pada tahap awal memang sering
  terjadi tumpah ruah dukungan atas sebuah karya yang mengarah pada
  eksploitasi seks, sadisme, atau hal lain yang secara etika maupun
  agama terasa berseberangan. Tetapi lambat laun dukungan masyarakat
  itu menyusut dan meninggalkan karya ternyata telah membuatnya bosan.
  Ungkapan "tak lekang oleh zaman" memang menjadi salah satu kriteria
  sebuah karya yang patut mendapat penghormatan.

  Menulis untuk hidup adalah sebuah idaman. Sulit diceritakan
  kebahagiaan apa yang dirasakan seorang penulis ketika sejumlah besar
  orang mendapatkan manfaat dari tulisan yang kita buat. Orang
  terinspirasi untuk berbuat baik, berbuat lebih baik, dan berbuat
  yang terbaik.

  Menulis untuk hidup bisa jadi sebuah ketidaksengajaan atau sesuatu
  yang terencana. Seorang guru, dosen, atau penulis biasanya memulai
  dari tahap hidup untuk menulis. Tetapi, kesungguh-sungguhan yang
  bersanding dengan keberuntungan telah mengantarkan mereka pada
  kondisi menulis untuk hidup. Mereka bisa menghidupi dan mendapatkan
  yang diinginkan dengan menulis.

  Jadi. siapa yang ingin membeli apa pun dengan hasil menulis,
  hidupkan dulu "menulis" Anda.

  Diambil dan disunting dari:
  Judul artikel: Hidup Untuk Menulis Dan Menulis Untuk Hidup
  Judul majalah: Matabaca Juni 2005
  Penulis artikel: Ukim Komarudin
  Halaman: 17 -- 19
______________________________________________________________________
KARYA SAHABAT

                        TERSESAT DALAM KATA-KATA

  Tepat jam 5 sore dia menuntaskan ritualnya. Matanya memerah dan
  sedikit berair saat keluar kamar. Bagiku itu wajar-wajar saja. Dia
  memang selalu memasang berbagai macam wajah sebagai penutup
  ritualnya itu. Terkadang dengan senyum yang mengambang lebar,
  terkadang dengan air mata yang mengalir deras. Kali ini, cukup
  dengan bibir yang melengkung mengikuti gaya gravitasi bumi.

  "Kenapa wajahmu cemberut begitu, Sayang?"

  "Masa aku harus membunuhnya, Mas?" tanyanya.

  Aku membalasnya dengan sebuah tatapan. Dia menarik nafas
  dalam-dalam, baru kembali membalasku. Tatapan yang sedari dulu
  membuat jantungku berdegup penuh makna. Tapi, lain halnya jika
  tatapan itu diiringi dengan perkara khayalnya lagi, perkara yang
  hanya membuatku sedih berpadu kesal.

  "Jangan paksakan dirimu, Sayang. Hentikan saja ritual menulismu itu.
  Kita pergi liburan saja ya?"

  "Ah, benar Mas! Kalau kita liburan, mungkin aku bisa dapat
  pencerahan untuk tulisanku, juga nasib karakternya."

  Dia tersenyum senang. Aku tersenyum kecut.

  "Bukan itu maksudku! Hanya aku dan kamu di Bunaken sebulan penuh.
  Tanpa alat tulis, tanpa laptop atau apa pun. Kenapa pula harus
  menghabiskan waktu dengan barang-barang itu?"

  Lelaki mana yang tahan jika istrinya ini gemar selingkuh dengan
  dunianya sendiri? Laptop itu, maksudku, laptop jelek itu memunyai
  daya sihir untuk mengajaknya kencan selama tiga jam, setiap hari!
  Belum termasuk segala lamunan dan diskusi tentangnya. Apa mungkin
  dia terkena penyakit para penulis, schizophrenia? Gawat, aku harus
  segera menyelamatkannya. Dengan rayuan Bunaken ini, ada harapan
  menang!

  "Kata Rumi, `Malaikat hanya mampu bersinar jika ia disiplin.`
  Benar kan, Mas?" tanyanya.

  "Lho, kalau disiplin itu bagus. Tapi, tergantung bidangnya, Sayang.
  Kalau untuk hobi menulis yang hanya membuang-buang waktu, lebih baik
  jadi wirausahawan seperti aku. Tidur saja kaya." gurauku sinis.

  "Eits, hasil menulisku cukup banyak Mas!"

  Bagus, sedikit emosi, batinku.

  Dia diam sejenak. Lalu melanjutkan, "Yang terpenting aku menulis
  karena bagiku menulis adalah ekstasi. Ada dorongan kuat untuk
  mengekspresikan segala imajinasiku Mas. Ayolah, waktu menulisku
  hanya tiga jam. Sehabis itu, kita bisa bersenang-senang seharian
  menyelam dan menyaksikan karya Allah yang indah di Bunaken."

  "Tidak bisa. Tidak usah pergi saja kalau begitu!" emosi berhasil
  mencengkeramku.

  "Ya sudah, terserah kamulah. Aku lelah! Aku mau tidur di kamar dulu.
  Nanti kita bicara lagi." cetusnya ketus.

  "Ah, wanita memang membingungkan!"

  Bagaimana tidak sesak dadaku? Dia selalu begitu saat aku mengajaknya
  adu mulut. Aku ingin melampiaskan kekesalan ini dengan berdebat
  hingga tuntas, tetapi dia selalu saja mendadak melankolis di
  tengah-tengah percakapan seperti ini. Ah, jangan harap aku akan
  ikut-ikutan diam kali ini! Kugeledah rak buku itu, kuincar
  karya-karyanya. Yakinlah mereka bisa menjadi pelampiasanku.

  "Kertas Waktu dan Ruang Sepanjang Masa"

  Jadi ini judul konyol itu. Aku mulai membaca halaman pertama
  antologi karya istriku itu. Tidak masuk akal! Terlalu aneh! Terlalu
  bodoh, hinaku. Ada kenikmatan tersendiri menghakimi halaman demi
  halaman buku ini sampai-sampai aku nyaris tidak menyadari ada orang
  yang mengetuk pintu.

  "Ya," sembari membuka pintu.

  Aku tidak percaya pada mataku yang tertuju pada badut kerdil di
  depanku! Dia meraih tanganku dan menarikku untuk segera bersembunyi
  di balik sebuah batu besar. Dari mana datangnya batu itu? Sebelum
  sempat memikirkan jawabannya, aku menyaksikan kegaduhan perang yang
  langsung menggentarkan lututku di depan kami. Kata si Kerdil, selain
  ambisi politik Gajah Mada, cinta Hayam Wuruk kepada Dyah Pitalokalah
  yang menyebabkan Perang Bubat ini. Kemudian dia menarikku lagi,
  "Lekas pergi!" tegasnya. Kurasa aku dibawa terbang jauh ke Roma dan
  menjadi saksi hidup cinta Kaisar Justinianus terhadap Theodora. Aku
  tercengang melihat sosok Theodora, seorang pelacur yang bangkit dari
  wilayah paling suram kota Roma itu menunjukkan dirinya sebagai
  wanita penakluk yang dahsyat. Dan ketika keadaan di kekaisaran Roma
  menggenting akibat hubungan kontroversial mereka, aku sekejap dibawa
  untuk menyangsikan sendiri cinta Rama kepada Shinta karena
  semata-mata mementingkan keperawanannya. Saat sedang asyik
  mendengarkan pertengkaran heboh antara dua kekasih itu, lagi-lagi
  ada yang mengusikku.

  "Mas Rama, sayang, SAAAYAAANG!" Kali terakhir, istriku muncul
  tepat di depanku. Semua tokoh itu lenyap, hanya tinggal aku, buku
  dan dia.

  "Asyik sekali bacanya."

  Aku tertangkap basah memegang bukunya! Dia tersenyum kecil. Aku
  tersipu malu. Apa yang terjadi? Halaman demi halaman buku itu bukan
  lagi sekadar kata-kata. Tulisan itu mengajakku terbang bebas
  menjelajahi sudut-sudut waktu dan dunia, menembus batas-batas
  ras-suku-bangsa-ideologi, melangkahi tembok-tembok tradisi dan tabu.

  "Mas mau melanjutkan pembicaraan Bunaken tadi?" tanyanya.

  "Ya, ya, ya. Tentu saja kita jadi pergi, Sayang."

  Istriku melihatku heran.

  Sebelum dia sempat berkata-kata, aku berucap, "Tapi kali ini kita
  wajib bawa dua laptop, untukmu dan untukku."

  Dia mengangkat alisnya, tersenyum lebar, "Pria memang
  membingungkan."

  "Apalagi jika dia ingin jadi penulis."

  -- Tr.A.P --
______________________________________________________________________

                       HIDUPMU DI UJUNG PENAMU

  Sekadar memberimu inspirasi
  Aku sempat melukis bianglala sehabis hujan
  dan menyentuh beberapa awan yang sebelumnya hanya aku bayangkan
  Kau pernah menjadi tawanan? Aku pernah
  Dibuang dan diasingkan, hidup dalam ruang yang terbatas...
  sungguh menyakitkan

  Menjadi subjek yang diacuhkan
  Menjadi seorang pahlawan yang dielu-elukan...
  aku pernah mengalaminya

  Memang, aku orang biasa
  Tapi tulisan, seringkali mengajakku berpetualang hingga di padang
  belantara yang luas, keramaian metropolitan yang hingar bingar,
  bahkan sudut ruangan yang penuh debu dan gelap....

  Aku mengenali banyak orang...
  Aku bisa menjadi sahabat baik mereka
  Bisa juga menjadi orang berkuasa yang tak menganggap mereka ada

  Oh, sangat menyenangkan berkawan dengan rentetan kata yang terus
  memaksaku untuk berkata fakta atau imajinasi belaka

  Sekadar memberimu inspirasi,
  "Dunia tidaklah selebar daun kelor"
  jika kau mulai menggerakkan penamu
  dan pastikan,
  bahwa jari-jemarimu tak akan pernah berhenti
  sebelum kau menemukan dunia yang baru....

  -- santi_tileSTian --
  240910
______________________________________________________________________

  Di dalam tulisan, tersimpan kenangan...
  membawa kembali rasa yang telah sirna...
  menuliskan segalanya, agar kenangan tetap terjaga dan terkenang
  sepanjang masa...
  merangkai kata saat tak dapat lagi berkata-kata,
  dan menuliskan segalanya menjadi sebuah karya....
  dan saat kata tak lagi cukup untuk mengungkapkan, maka,
  menulislah....

  -- Yanne Takaendengan --
______________________________________________________________________

                        CORETAN YANG BERMAKNA

  Kugoreskan tinta hitamku di atas selembar kertas
  Mencoba mengungkapkan sesuatu yang bergejolak di dalam hatiku
  Perih, pedih, suka, duka, semua yang berkecamuk di dalam dada
  Kubiarkan penaku terus menari..

  Tak kan kuhentikan langkahku
  Tak peduli rintangan yang menghadang
  Tak peduli mulut-mulut yang menggores luka
  Tak peduli mata yang memandang hina..

  Biarlah kurajut cerita
  Membangun emosi jiwa yang telah lama tersiksa
  Membebaskan pikiran yang terpenjara
  Melahirkan sebuah karya yang bermakna..

  -- Theresia Setyawati --
______________________________________________________________________
KATA SAHABAT

  "Selamat ulang tahun e-Penulis, semoga bisa menginspirasi setiap
  kita untuk menulis sesuatu yang memberkati banyak orang." (Novi)

  "Selamat Ulang Tahun e-Penulis, kiranya tulisan-tulisan yang selalu
  terbit dapat menjadi berkat bagi pelanggan dan pengunjung situs
  pelitaku. Semoga e-Penulis dapat dipakai Tuhan lebih lagi menjadi
  sarana pekabaran injil." (Tatik Wahyuningsih)

  Tepatnya hari ini e-penulis telah genap menginjak usia yang ke-6,
  artinya telah menginjak usia yang cukup matang. Tentunya dalam
  menapaki perjalanan waktu yang panjang itu e-penulis telah banyak
  menjadi berkat memperlengkapi dan mewarnai dunia dengan torehan
  pesan-pesan kasih Kristus. Untuk itu saya secara pribadi
  mengucapkan selamat ulang tahun buat e-penulis, tetaplah mewarnai
  dunia sebagai prasarana untuk menjadi wadah bagi setiap penulis
  untuk saling berbagi dalam hal seputar penulisan. Teruslah untuk
  mewarnai dan menginspirasi dunia khususnya bagi generasi muda untuk
  berkarya mewartakan kabar sukacita-Nya melalui setiap goresan pena
  untuk memberkati banyak orang. (Ryan)
______________________________________________________________________
HUMOR BAHASA

                        PELAJARAN BAHASA INGGRIS

  Dalam sebuah pelajaran bahasa Inggris, seorang guru menguji
  kemampuan bahasa Inggris muridnya.

  Guru : Billy, buatlah kalimat bahasa Inggris yang diawali dengan "I".
  Billy: "I is..." (belum selesai kalimatnya sudah disela)
  Guru : Bukan Billy. Kalau "I" itu tidak diikuti "is", tapi diikuti 
         "am". "I am" titik-titik.
  Billy: Baik, Guru. "I am the ninth letter of the alphabet".
  Guru : ...

  "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi." (Matius 7:1)
  Sumber: http://humor.sabda.ylsa/pelajaran_bahasa_inggris_2
______________________________________________________________________
Pimpinan Redaksi: Truly A. Pasaribu
Staf Redaksi: Davida Welni Dana dan Sri Setyawati
Kontak redaksi/kirim bahan: penulis(at)sabda.org
Berlangganan via email: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
Berhenti berlangganan < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org>
Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis
Situs PELITAKU: http://pelitaku.sabda.org
Facebook: http://fb.sabda.org/penulis
Twitter: http://twitter.com/sabdapenulis
Forum Penulis: http://pelitaku.sabda.org/forum

Kunjungi Blog SABDA di http://blog.sabda.org
______________________________________________________________________
Melayani sejak 3 November 2004
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
Copyright (c) 2010 e-Penulis / YLSA -- http://www.ylsa.org
Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org