Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/99

e-Penulis edisi 99 (1-12-2011)

Menulis Renungan (I)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                         Edisi 099/Desember 2011
                        Tema: Menulis Renungan (I)

DAFTAR ISI
DARI REDAKSI: RENUNGAN YANG ALKITABIAH
ARTIKEL: PROSES KREATIF MENULIS RENUNGAN HARIAN
POJOK BAHASA: LISAN DAN TULISAN
STOP PRESS: VIDEO BERITA NATAL DARI YAYASAN LEMBAGA SABDA

                  DARI REDAKSI: RENUNGAN YANG ALKITABIAH

Menulis renungan, menurut beberapa penulis Kristen, memiliki tingkat
kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan kategori tulisan lainnya.
Mengapa? Untuk menulis sebuah renungan dibutuhkan keahlian tertentu.
Bukan hanya segi penyajian yang menarik, namun isi tulisan harus
berbobot dan mengandung makna yang membangun. Bukan itu saja, untuk
menghasilkan sebuah renungan yang baik, maka renungan itu harus setia
dengan teks Alkitab dan tidak menyimpang dari arti sebenarnya. Jadi,
renungan bukanlah tulisan yang sekadar berisi nasihat, penguatan,
ataupun bersifat informatif. Renungan merupakan tulisan yang
menyampaikan pesan firman Tuhan dan bagaimana pembacanya membuka hati
untuk melaksanakan firman Tuhan tersebut dalam hidupnya.

Dalam edisi kali ini, e-Penulis memuat sebuah artikel tentang
bagaimana caranya menulis sebuah renungan dengan langkah-langkah dan
ide-ide kreatif yang dibagikan dalam format yang sederhana. Juga
tersedia kolom Pojok Bahasa yang berisi tentang perbandingan antara
sebuah tulisan dan lisan.

Redaksi Tamu e-Penulis,
Yonathan Sigit
< http://pelitaku.sabda.org >

"Karena itu tuliskanlah apa yang telah kaulihat, baik yang terjadi
sekarang maupun yang akan terjadi sesudah ini." (Wahyu 1:19)
< http://alkitab.sabda.org/?Wahyu+1:19 >

        ARTIKEL: PROSES KREATIF MENULIS RENUNGAN HARIAN

Dalam pengantar untuk buku "Menjadi Penulis", Andar Ismail menegaskan
pentingnya isi tulisan. Ia mengatakan, "Menulis bukanlah sekadar
merangkaikan kata, melainkan menuliskan hikmat yang mencerahkan dan
menumbuhkan pembaca. Sepandai-pandainya kita menuangkan, yang lebih
menentukan adalah apa yang dituangkan. Apa gunanya menuang sebuah
botol, bila isinya adalah air keruh? Atau apa yang mau dituang dari
sebuah botol, bila botol itu masih kosong."

Pengakuan pemazmur menunjukkan proses serupa. Mazmur-mazmurnya
tertuang dari perkara-perkara yang memenuhi hatinya. Frasa "kata-kata
indah" (Mazmur 45:2), menurut konkordansi Strong, mengacu pada
perkara-perkara yang baik, mulia, luhur, dan benar. Ketika hal Itu
meluap-luap memenuhi hatinya, ia pun tergerak untuk menggubah sajak.
Ia menulis tentang sosok yang sungguh-sungguh luhur dan mulia:
Nubuatan tentang Raja yang akan datang, Tuhan Yesus Kristus, dan
jemaat-Nya yang berkemenangan.

Dalam artikel "Gereja yang Membaca dan Menulis", Andar Ismail
menyoroti pentingnya ketepatan dalam menulis khotbah. Ia menulis,
"Berkhotbah adalah memberitakan kebenaran firman Allah secara cermat
dan tepat. Syarat menulis khotbah adalah kecermatan dan ketepatan."
Rasul Timotius dipesan, "Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan
Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus
terang memberitakan perkataan kebenaran itu." (2 Timotius 2:15) Dalam
Alkitab bahasa aslinya, yang ditekankan bukanlah berterus terang,
melainkan cermat dan tepat. Istilah bahasa aslinya adalah
"orthotomounta", artinya membelah secara tepat. Kata itu merupakan
metafora tentang tukang batu yang membelah batu sedemikian rupa,
sehingga belahan itu bisa dipasang pada celah bangunan secara pas.
Menulis khotbah bukan hanya merangkai kata, melainkan menalarkan
konsep secara cermat dan tepat. Untuk itu, dibutuhkan kemauan membaca
dan kemauan menulis. Meskipun konteks kutipan ini adalah penulisan
khotbah, namun prinsipnya dapat kita terapkan pada aktivitas menulis
renungan.

Penulisan renungan idealnya seperti itu. Berangkat dari perjumpaan
dengan Tuhan dan firman-Nya. Memadukan perenungan pribadi dan
pengamatan atas kondisi seputar. Membagikan kebaikan, kebenaran,
keadilan, dan hikmat Tuhan untuk menggugah pembaca. Mengajak pembaca
mengembangkan hubungan yang lebih akrab dengan Tuhan. Mengundang
pembaca untuk bersama-sama menjadi pelaku firman.

Selebihnya, proses penulisan renungan tidak banyak berbeda dengan
penulisan karya tulis kreatif lainnya. Persoalan menangkap dan memilah
ide, kemudian menuangkannya ke dalam format renungan melalui pemilihan
kata dan frasa yang tepat, kalimat yang efektif, dan rangkaian alinea
yang mengalir.

Tantangan Menulis Renungan

Dalam menulis renungan, tantangan saya ialah mendapatkan ide dan
menuangkannya menjadi tulisan pendek. Ada kalanya ide itu berupa kisah
inspirasi yang agak panjang, dan tinggal saya bubuhi dua-tiga kalimat
perenungan di ujungnya, tanpa betul-betul membahas perikop dan ayat
emas yang saya cantumkan. Asalkan bisa saya ringkas menjadi tulisan
sepanjang 1.500-an karakter termasuk spasi, jadilah. Seingat saya,
naskah-naskah yang saya kirimkan ke media -- dua media, selalu dimuat,
tanpa ada revisi signifikan dari redaksi.

Ketika mendapatkan ide, saya bukan hanya harus menuangkannya menjadi
tulisan pendek, tetapi harus menata dan mempertimbangkan ide itu dalam
format ilustrasi, pembahasan, dan penerapan.

Idealnya, penulisan renungan berangkat dari perenungan firman Tuhan
yang dituangkan dalam pembahasan dan penerapan. Kemudian dicarikan
ilustrasi yang relevan sebagai pelengkap. Yang kerap terjadi, saya
menempuh proses yang terbalik. Biasanya saya mendapatkan suatu
ilustrasi yang menarik dan kemudian memikirkan ide utama yang
ditawarkan ilustrasi itu, misalnya mengasihi musuh. Lalu, dengan
bantuan konkordansi atau daftar topik Alkitab, saya mencari bacaan
Alkitab yang meneguhkan ilustrasi itu. Pada saat lain, ketika membaca
suatu perikop firman Tuhan, saya diingatkan pada ilustrasi relevan
yang pernah saya baca.

Proses di atas mengisyaratkan beberapa hal. Penulis renungan mau tidak
mau menguasai dasar-dasar penelaahan Alkitab. Ia juga cukup akrab
dengan topik-topik yang terkandung di dalam Alkitab. Jika ia hendak
membahas soal aborsi, misalnya, ia bisa menemukan perikop atau ayat
yang menyoroti isu tersebut. Selain itu, ia perlu memiliki gudang
ilustrasi atau tahu bagaimana mencarinya bila memerlukan.

Menulis renungan juga memaksa kita membatasi diri dengan berfokus pada
satu ide dalam satu tulisan. Misalnya, perikop tentang orang Majus.
Banyak aspek yang bisa diangkat: Keputusan mereka untuk segera
mengunjungi bayi raja yang baru lahir; kepercayaan mereka bahwa bayi
yang di rumah itu, bukan di istana, adalah bayi raja yang mereka cari;
persembahan mereka; ketaatan mereka pada perintah dalam mimpi, yang
berarti melawan pesan Herodes; dan sebagainya. Nah, kita harus memilih
menulis satu aspek saja dalam satu renungan, agar renungan kita
terfokus.

Ini sebenarnya suatu kesempatan yang baik untuk menggali firman Tuhan
dari berbagai sisi. Sebuah renungan bisa berangkat dari kata kunci
tertentu ("tinggal"); tokoh yang jarang dibicarakan dalam suatu
perikop (Ishak dalam kisah pengorbanan Abraham); atau benda yang
mungkin diabaikan (kain lampin), namun memiliki makna istimewa.

Salah satu hal yang berusaha saya hindari ialah membaca renungan orang
lain. Alasannya sederhana saja: sedapat mungkin menghindari
plagiarisme. Saya lebih suka "berbelanja bahan mentah": membaca buku
tafsir Alkitab dan buku pendalaman Alkitab. Adapun ilustrasi, bisa
saya dapatkan dari berita, film, novel, dan sebagainya. Saya
menyiapkan folder "Aneka Ide" untuk menampung bahan-bahan mentah itu,
yang pada waktunya dapat saya olah, saya padu padankan menjadi
renungan.

Tantangan lain dalam menulis renungan ialah menghindarkan nada
menggurui. Bagaimana kita bisa menggugah pembaca tanpa berlagak lebih
tahu, lebih hebat, dan menyuruh-nyuruh. Salah satu kiatnya ialah
dengan menggunakan kata ganti "kita", bukan "Anda", dalam bagian
penerapan.

Dengan segala tantangan dan keunikannya, saya merasakan penulisan
renungan sebagai proses yang relatif berat di antara penulisan jenis
lain. Kesulitan utamanya terletak pada perlunya menyelaraskan
ilustrasi, pembahasan, dan perenungan, dalam ruang yang sependek itu.
Selama ini, saya pernah selama tiga-empat bulan berturut-turut tidak
menghasilkan renungan, tetapi pernah juga dalam sebulan mengirimkan 30
renungan.

Yang sangat menolong, redaksi memberikan tanggapan secara konsisten.
Setiap naskah yang kita kirimkan akan dipilah dalam empat kategori:
layak muat, revisi kecil, revisi besar, dan dikembalikan. Revisi kecil
biasanya berkaitan dengan data dan fakta, yang dapat dengan mudah
diperbaiki oleh redaksi. Adapun revisi besar diperlukan bila ada
kekeliruan yang lebih parah dan perlu melibatkan penulis bersangkutan
untuk memperbaikinya. Mungkin ilustrasi yang tidak cocok, pembahasan
yang melantur, atau penerapan yang abstrak. Bisa jadi juga karena
idenya secara teologis perlu diluruskan. Respons ini termasuk salah
satu pendorong untuk terus menekuni dan mengembangkan tulisan renungan
sebaik mungkin.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Panduan Peserta Papirus
Judul artikel: Proses Kreatif Menulis Renungan Harian
Penulis: Arie Saptaji
Penerbit: Tidak dicantumkan

                    POJOK BAHASA: LISAN DAN TULISAN

"Bahasa pada hakikatnya adalah lisan, bukan tulis," kata Lie Charlie
dalam kolom Bahasa, edisi Jumat, 11 Juni 2010.

Ini hanya benar secara kronologis. Bahasa berevolusi dari lisan ke
tulisan. Budaya bergerak dari "orality" ke "literacy". Dengan
percetakan, teks menjadi makin utama. Kini, radio, televisi, dan
internet pun hanya bisa ada dan berfungsi dengan tulisan. Tulisan
tidak akan ada tanpa lisan. Tetapi, bahasa tulisan bukan sekadar
bahasa lisan yang dituliskan. Hakikat bahasa tidak lagi lisan.

Dunia oral maupun literal kaya makna. Tetapi, ciri dan dampaknya pada
proses berpikir manusia dan sebagai kekuatan pengaruh evolusi sosial
sangat berbeda. Bukan hanya itu, sejak tulisan pertama lahir -- lebih
dari 5.000 tahun lalu di Sumeria (Irak Selatan), disusul Mesir, China,
dan sampai detik ini, sejarah mencatat bahwa bangsa bertulisan lebih
unggul daripada bangsa berlisan saja. Nyatanya, sejarah adalah
tulisan. Tulisan adalah cikal bakal peradaban. Tulisan tinggal, lisan
tanggal.

Tulisan jauh lebih akurat, tahan lama, dan efisien dalam melahirkan,
menyimpan, memproses, dan mengembangkan gagasan, sampai yang
serumit-rumitnya dan seluas-luasnya. Dari gagasan ke tindakan hanya
selangkah. Tanpa tulisan, tidak ada dunia modern, ilmu pengetahuan
lambat berkembang, teknologi sebatas sederhana, komunikasi sejauh
teriakan, transportasi sekuat tungkai selebar layar. Buta tulisan,
biarpun kaya lisan, adalah resep kemiskinan dan ketidakberdayaan.

Filsuf Yesuit dan pakar ilmu bahasa, Walter Ong, mendaftarkan beberapa
ciri oralitas yang kontras dengan budaya tulisan. Karena ingatan
adalah satu-satunya alat memelihara pengetahuan, maka dalam dunia
lisan, kosakata sedikit, tata bahasanya sederhana, kata dan konsep
diulang-ulang, dan gaya formula umum dipakai, ciri-ciri yang memang
masih kental dalam bahasa Indonesia. Formula seperti pantun dan syair
misalnya, sangat terkenal di dunia Melayu, yang tidak asing dengan
pidato, pepatah-petitih, dan silat lidah.

Guru-guru yang hidup dalam dunia lisan selalu menuntut murid-murid
menghafal, bahkan menghafal mati, sampai hal-hal yang
seremeh-remehnya. Dalam dunia tulisan, hanya hal-hal mendasar yang
perlu dihafal. Yang perlu adalah mengasah pemahaman, ketajaman
berpikir, kemampuan analitis, abstraksi, dan seterusnya. Dalam lisan,
yang penting adalah data. Dalam tulisan, yang utama adalah olah-data.
Akibatnya, lisan itu statis menoleh ke belakang, tulisan itu dinamis
menatap masa depan.

Dunia oralitas juga penuh dengan ungkapan-ungkapan ekspresif, seperti
adil makmur, aman sentosa, dan lain-lain. Klise memang berkembang
dalam dunia lisan. Dengan tulisan, kata-kata dalam ungkapan-ungkapan
seperti itu bisa dipecah dan dianalisis, sehingga timbul kompleksitas
yang merombak dan memperkaya makna. Yang perlu bukan hanya kemampuan
baca tulis, melainkan memfungsikan tulisan sebagai instrumen berpikir.
Misalnya, hanya dengan tulisanlah bisa dikembangkan daftar, tabel, dan
statistik. Bukan berpikir lalu menulis, melainkan menulis sebagai
bagian dari proses berpikir canggih.

Tulisan meningkatkan pikiran. Pikiran meningkatkan tulisan. Pemikir
adalah penulis.

Diambil dari:
Nama situs: Rubrik Bahasa
Alamat URL: http://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/06/18/lisan-dan-tulis
Penulis artikel: Samsudin Berlian
Tanggal akses: 25 Juli 2011

                    STOP PRESS: VIDEO BERITA NATAL
                      DARI YAYASAN LEMBAGA SABDA

Berita Natal yang tertulis dalam Injil Matius dan Lukas kini bisa
direnungkan dengan cara berbeda. Yayasan Lembaga SABDA (YLSA) telah
membuat video Berita Natal dan dapat Anda dapatkan melalui Youtube.
Penggunaan multimedia yang menggabungkan unsur teks/tulisan,
audio/suara, dan visual/gambar, memberi nuansa baru dalam pemberitaan
kelahiran Yesus.

Empat video Berita Natal ini tersedia dalam dua bahasa (Bahasa
Indonesia dan Bahasa Jawa). Video yang menampilkan narasi Natal dari
Injil Matius 1:18-25 berdurasi sekitar 8 menit, sedangkan video yang
menampilkan narasi kelahiran Yesus berdasarkan Injil Lukas 1:26-56
memiliki durasi sekitar 9 menit. Anda dapat mendengarkan suara narator
sembari membaca teks ayat yang ditampilkan pada layar. Sementara itu,
gambar latar bernuansa Natal memberi sentuhan khidmat kala kita
merenungkan peristiwa kelahiran Kristus di dunia, anugerah terbesar
dari Bapa bagi umat manusia. Anda bisa memilih salah satu tautan di
bawah ini untuk melihat video Natal selengkapnya. Jika Anda memiliki
aplikasi Youtube Downloader, Anda bisa mengunduh video Berita Natal
ini sehingga dapat dibagikan ke rekan-rekan Anda.

1. Kisah Natal Matius: http://www.youtube.com/watch?v=q8tSbbQPGZg
2. Kisah Natal Lukas: http://www.youtube.com/watch?v=MWxqm9U-KeY
3. Carita Natal Mateus: http://www.youtube.com/watch?v=w3Vt18UvxsU
4. Carita Natal Lukas: http://www.youtube.com/watch?v=j0ThUUrWVV8

Kontak: < penulis(at)sabda.org >
Redaksi: Truly Almendo Pasaribu, Sri Setyawati
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org/ >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/penulis >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
Berhenti berlangganan: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org