Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/98 |
|
e-Penulis edisi 98 (10-11-2011)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 098/November 2011 Tema: Edisi Khusus Ulang Tahun -- Berkarya Melalui Tulisan DAFTAR ISI DARI REDAKSI: MENULIS ITU PENTING KARYA SAHABAT 1: MADING TALENTA KARYA SAHABAT 2: TULISAN TANGAN PENUH MAKNA PUISI SAHABAT 1: TUHAN, PEGANG ERAT TANGANKU PUISI SAHABAT 2: TUHAN, SAYA INGIN PUISI SAHABAT 3: TAK PERLU MENJADI MOZART PUISI SAHABAT 4: WHY KATA SAHABAT KATA MUTIARA DARI REDAKSI: MENULIS ITU PENTING Dengan penuh sukacita kami hadir menyapa Sahabat Penulis semua melalui Edisi Khusus Ulang Tahun e-Penulis yang ke-7. Kami rindu Anda pun merasakan sukacita kami, karena Anda merupakan bagian dari perjalanan e-Penulis selama ini. Yang terutama, edisi khusus e-Penulis kali ini merupakan ungkapan syukur kami kepada Tuhan Yesus. Ialah sumber inspirasi dan sumber kekuatan kami dalam mengerjakan semua ini. Apa saja yang disajikan dalam edisi kali ini? Tentu saja sajian yang istimewa dan pasti bermanfaat bagi sahabat e-Penulis. Sebagai bagian dari perjalanan e-Penulis, Anda, setiap pelanggan merupakan mitra kami dalam mengembangkan publikasi ini. Jadi, dalam edisi khusus ini, kami menyajikan karya-karya sahabat e-Penulis yang telah dikirim ke redaksi. Sungguh, kontribusi dari Anda merupakan hadiah indah dan pemacu semangat kami untuk terus berkarya bagi kemuliaan nama Tuhan. Kami ucapkan selamat menikmati sajian kami dan biarlah menjadi berkat bagi Anda semua. Pemimpin Redaksi e-Penulis, Santi Titik Lestari < santi(at)in-christ.net > http://pelitaku.sabda.org http://fb.sabda.org/penulis KARYA SAHABAT 1: MADING TALENTA Oleh: Yesaya Emde Minggu pagi itu, seperti biasanya, Tiar dan Vera berangkat ke gereja bersama-sama. Kedua cewek yang baru saja menapaki jenjang pendidikan SLTA ini selalu kompak mengikuti kebaktian pagi di gereja kecil yang ada di kompleks perumahan mereka. Beberapa meter menuju gedung gereja, mendadak Vera menghentikan langkahnya. "Ada apa, sist?" tanya Tiar yang keheranan melihat sahabatnya bertingkah kebingungan. "Astaga, aku lupa bawa bolpen nih, aku ambil di rumah dulu ya?" jawab Vera. "Ah, kamu, masih muda kok udah pikun, sih? Bentar lagi kebaktian dimulai lho. Nih aku pinjemin bolpenku. Kamu tuh emang cocok dipromosikan jadi sekretarisnya Pak Ayub, hehehe," Tiar menggoda sahabat dekatnya. Sedari SD, Vera memang sudah menunjukkan minat di bidang kepenulisan. Setiap mengikuti kebaktian, cewek manis berambut sebahu ini selalu mencatat khotbah yang disampaikan Pak Ayub, gembala jemaat mereka. Dalam persekutuan-persekutuan, Vera rajin merangkum renungan yang disampaikan oleh kakak-kakak pembimbing maupun diskusi yang dilakukan bersama teman-teman remaja lainnya. Di waktu senggang, dia juga menuangkan ide dalam bentuk cerpen, puisi, maupun sekadar coretan di buku harian. Tiar, teman sekelasnya sejak SMP, sudah sejak lama mengagumi talenta sahabatnya. Hanya sayangnya, Vera suka pelupa, entah lupa membawa bolpen atau lupa menaruh catatannya. Sampai-sampai Tiar yang agak tomboi terkadang gemas karena harus menenangkan Vera yang kebingungan. Pak Ayub, pendeta yang masih bersemangat di usianya yang menjelang kepala lima itu, telah siap menanti jemaat di depan pintu gereja. Ketika menjabat tangan Tiar dan Vera, Pak Ayub berpesan, "Nanti seusai kebaktian, jangan pulang dulu ya. Bapak mau minta tolong." Mereka berdua saling berpandangan penuh tanya. Seusai kebaktian pagi itu, Tiar dan Vera menemui Pak Ayub di ruang rapat. Di sana juga ada Kak Otniel, ketua Komisi Pemuda di gereja itu. "Adik-adik semua, ada sesuatu yang mengganggu pikiran Bapak akhir-akhir ini," Pak Ayub memulai pembicaraan. "Setelah Bapak amati, kebanyakan jemaat kita langsung pulang selepas kebaktian. Ada juga beberapa yang masih tinggal sebentar untuk bercakap-cakap, namun biasanya mereka mengobrol hal-hal yang kurang berguna," beliau menjelaskan dengan serius. "Mereka hanya sekadar berkumpul, bukan bertemu. Dalam hati, Bapak merindukan jemaat saling berkomunikasi dan berinteraksi, melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat sebagai satu tubuh Kristus. Bapak terus menggumulkan hal ini," Pak Ayub menghela napas sejenak. Tiar dan Vera semakin penasaran. "Puji Tuhan, ketika berbincang dengan salah satu jemaat minggu lalu, ada gagasan menarik yang mungkin bisa kita coba untuk membangun jemaat kita. Nah, Otniel akan menjelaskan lebih lanjut kepada kalian berdua," Pak Ayub menepuk pundak Kak Otniel. "Terima kasih, Pak," sahut Kak Otniel. "Vera, Tiar, aku perhatikan kalian memang remaja yang rajin dan berbakat. Kami minta tolong kalian membantu dalam mengatasi persoalan tersebut. Nah, aku udah mengusulkan kepada Pak Ayub agar kalian mulai merintis dan mengelola majalah dinding untuk gereja kita," jelas Kak Otniel. Vera dan Tiar terkejut. Mereka tidak percaya telah diberi kesempatan untuk merintis suatu pelayanan. Kak Otniel sudah lama memerhatikan kedisiplinan dan minat Vera dalam menulis dan mencatat hasil-hasil rapat komisi, sedangkan Tiar sangat piawai menghias ruangan sebagai seksi dekorasi Perayaan Paskah yang lalu. Ternyata, dari atas mimbar, Pak Ayub pun juga memerhatikan mereka berdua yang selalu menyimak dan mencatat khotbah beliau. "Ya, Otniel yang mengusulkan program itu kepada Bapak. Bapak berpikir dengan adanya majalah dinding, jemaat mungkin akan meluangkan waktu untuk membaca renungan atau kesaksian daripada menggosipkan hal-hal yang tidak berguna," Pak Ayub menyahut. "Lagipula, di majalah dinding itu kita juga bisa memberi ruang untuk karya anak-anak sekolah minggu maupun `sharing` dan pokok doa dari jemaat kita bukan?" beliau menambahkan. "Bagaimana Vera? Tiar? Apakah kalian mau membantu kami?" tanya Kak Otniel. Vera dan Tiar saling berpandangan. Mereka mengangguk setuju, namun wajah mereka tak dapat menyembunyikan sedikit kebingungan. "Terima kasih. Kalian bisa mulai menyusun konsep majalah dindingnya. Nanti kami akan bicarakan anggaran pemasangan papan untuk menempel dengan majelis," Pak Ayub meyakinkan. "Kak, kami tetap minta masukan dan bantuan dari Kakak, juga dari teman-teman lainnya," kata Tiar. "Kami juga minta dukungan doa dari Pak Ayub, agar Tuhan memakai kami untuk memberkati jemaat lainnya melalui pelayanan ini," Vera menambahkan. Majalah dinding itu diberi nama TALENTA. Setiap bulannya, dinding timur di lahan parkir gereja dengan papan persegi panjang yang ditempeli sejumlah kesaksian, ringkasan khotbah, ayat renungan, informasi dan `sharing` jemaat, serta karya anak-anak sekolah minggu selalu disesaki jemaat yang berebut membaca. Vera dan Tiar bersyukur bahwa pelayanan mereka selama tiga bulan ini telah membuka kesempatan jemaat untuk saling melayani lewat tulisan yang membangun. KARYA SAHABAT 2: TULISAN TANGAN PENUH MAKNA Oleh: Prasasta Widiadi Niko kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta. Telah lama diimpi-impikannya untuk menyelesaikan studi dengan sesegera mungkin. Kemalasan datang sama seperti semester-semester sebelumnya, Niko acap kali tidak konsisten dengan ritme belajarnya. Kadang-kadang, ia bepergian dengan Heri dan Hendri ke luar kota hingga berhari-hari dan membolos kuliah. Saat semester akhir tiba, Heri dan Hendri sibuk mengerjakan skripsi. Keduanya dari jurusan yang sama dengan Niko, tetapi mereka berdua fokus pada kelulusan dan pekerjaan nantinya. Namun, kebiasaan Niko tak kunjung berubah. Niko malas mengerjakan skripsi. Saat Heri dan Hendri berada di kost, Niko malah pulang kampung ke Subang, Jawa Barat. Orang tua Niko terkejut setengah gembira dan sedih, mengapa anaknya pulang begitu cepat, padahal masa kuliah tinggal sebentar lagi. Selain itu, mereka sedih karena skripsi tak kunjung dikerjakannya. Ibunya, Suhayati, menasihati agar ia membantu berjaga di rumah makan milik bapaknya, Nurdin, yang letaknya di pinggir kota Subang. Pak Nurdin bingung kenapa Niko tiba-tiba rajin membantu di rumah makannya, Niko menjawab bahwa saat-saat skripsi membuatnya serasa menggantung dan tidak ada kepastian yang jelas tentang masa depan. Pak Nurdin bangga dan bahagia dengan jawaban itu sekaligus marah, seharusnya Niko mengerjakan skripsi sembari membantu para pekerja di rumah makan milik ayahnya itu, barulah membuat Pak nurdin dan bu Suhayati bangga. Niko mengatakan bahwa ia tak punya hobi menulis, tangannya mendadak kaku kalau harus menulis dengan tangan. Ia selalu menggunakan gadget terkini, telepon selular keluaran terbaru, komputer jinjing dan tablet pun dimilikinya. Tangannya tak lagi terlatih untuk menulis di atas kertas, paling-paling hanya tanda tangan pencairan dana di bank. Niko pulang kembali ke Yogyakarta. Ia menginap di kost Hendri. Niko heran, ke mana Heri yang tadinya satu kost dengan Hendri. Heri sudah lulus, sekarang sudah pulang kampung, membangun pusat kesehatan di kampung halamannya di Rantepao, Sulawesi. Begitu cepatnya Heri meninggalkan mereka berdua, Hendri masih menggarap skripsi sementara Niko belum berpikir apa-apa. Hendri mengatakan bahwa masa studi dan toleransinya sudah mendekati batas akhir bagi Niko. Hendri menyarankan agar Niko untuk mengambil tema yang sama dengan skripsinya. Niko bingung bagaimana caranya untuk rajin menulis. Hendri mengatakan caranya adalah banyak-banyak memegang pena dan kertas HVS, atau memo harus ada dalam genggaman kita, agar kita terlatih untuk mencintai tulisan, karena Hendri mengatakan bahwa tulisan pada dasarnya adalah hasil karya manusia itu sendiri. Jadi tatkala tulisan tangan kita benar-benar buruk, maka terlihat kualitas diri kita. Sebaliknya tatkala tulisan tangan kita bagus, maka kualitas diri kita juga lebih meningkat dari rata-rata. Niko mengamini pernyataan terakhir Hendri tersebut, Niko bingung bagaimana caranya untuk memulai menulis. Hendri mengatakan bahwa sesekali dalam sehari kita harus melepas gadget-gadget elektronik yang kita miliki dan menggantinya dengan pena. Hendri menyarankan agar Niko sesekali berkirim surat dengan pacar Niko, Nikita, yang berprofesi sebagai seorang karyawati swasta di Banyuwangi. Niko kali ini tidak berhubungan dengan perangkat seluler maupun elektronik, tetapi Niko mencoba dengan tulis tangan dan ia kirim surat dengan pos. Nikita setuju-setuju saja dengan hal ini, walau awalnya ia menolak gagasan Niko. Nikita sebenarnya juga tidak tahan dengan Niko yang lebih senang berpetualang daripada menyelesaikan masa studinya yang hampir mencapai ambang batas. Awalnya, Nikita sempat tak percaya dengan ide itu, karena kemalasan seorang mahasiswa yang berada pada semester akhir biasanya hanya masalah kemauan dari dalam diri yang kurang. Tetapi kali ini sempat membuat perdebatan panjang dengan Niko, karena bersurat-suratan tak ekonomis dan memboroskan biaya pos dan perangko. Syukurlah Nikita tak menganggap boros dan menghambur-hamburkan biaya, karena demi cintanya kepada Niko, ia rela melakukan aktivitas aneh seperti yang "diperintahkan" Niko. Pilihan kata yang digunakan Niko dan Nikita berbeda dengan komunikasi yang lazim mereka gunakan saat berkomunikasi dengan sms, pesan Blackberry (BBM), atau surat elektronik (e-mail). Bahasa puitis dan cinta romantisme yang biasanya tidak tertuang dalam percakapan mereka sehari-hari, malah sekarang terlihat dalam surat-suratan dengan media pos tersebut. Niko semakin bersemangat menulis. Niko berterima kasih dan mengucap syukur kepada Tuhan, karena tugas skripsi yang seharusnya sejak dahulu dikerjakan, akhirnya selesai juga karena ada keinginan untuk fokus dan konsentrasi pada menulis. Tujuh bulan berlalu, saat-saat yang ditunggu tiba -- ujian akhir atau saat yang penting harus dihadapi Niko. Skripsi diujikan dan selesai ujian skripsi Niko mendapat nilai memuaskan. Hendri menyarankan agar setelah skripsi dan kuliah selesai, Niko tetap rajin menulis. Niko menulis surat kepada wakil presiden dengan tulisan tangan. Ajaibnya, Niko mendapat pekerjaan setelah wakil presiden menghargai tulisan tangan, karena dari sekian banyak surat yang masuk ke wakil presiden biasanya diketik dengan komputer atau mesin ketik. PUISI SAHABAT 1: TUHAN, PEGANG ERAT TANGANKU oleh: Natalia Purbasari Perjalanan belajar, dari mulai merangkak, mencoba berdiri, belajar berjalan dan akhirnya dapat melangkah Dalam setiap langkahku, kuingin KAU slalu berada di sisiku Berada di sampingku memegang erat tanganku Pegang erat terus tangan ini, Tuhan Aku tidak mau erat tangan ini lepas hanya karena keegoisan manusia Bisikan juga ke telingaku lewat hatiku, apa yg menjadi rencana Roh Kudus, Roh Kebaikan Berikanku kekuatan dan keberanian karena dengan meminta maka kuakan mendapat Sehingga semuanya dapat berbuah senyuman kebaikan ... PUISI SAHABAT 2: TUHAN, SAYA INGIN Oleh: Tilestian Tuhan, saya ingin melukis yang paling indah untuk-Mu... Tapi semua itu tak mampu mewakili keindahan kasih-Mu padaku Tuhan, saya ingin membuat lagu dengan nada-nada yang paling harmonis untuk-Mu... Tapi semua itu tak mampu menyaingi kebaikan-Mu dalam setiap langkahku Tuhan, saya ingin melakukan yang Kau mau... dan Kau tersenyum... saya menjadi lega ingin selalu mendekat pada-Mu biar semua lukisan dan nada yang ingin kucipta sesuai dengan kehendak-Mu PUISI SAHABAT 3: TAK PERLU MENJADI MOZART Oleh: Vika Kurniawati Anak-Ku, kau tak perlu jadi mozart tuk menggubah lagu penyembahan kau tak perlu bisa bahasa roh tuk bicara denganKu kau tak perlu jadi song leader tuk memujiKu kau tak perlu jadi penyembuh tuk rasa berguna didepanKu kau tak perlu jadi pendeta tuk memberitakan Injil kau tak perlu jadi rasul tuk tetep setia iman kau tak perlu orang kudus agar namamu terpatri di ingatan umat namun menulislah lewat penamu bernyanyilah dengan hatimu kabarkan Injil dengan huruf-huruf setialah dengan ucapanmu jadilah kudus dalam keseharianmu dan tak jemu walau tak terhitung terlihat niscaya Aku akan memenuhi hari-harimu karena jiwamu tersimpan lebih berharga daripada ribuan pujian doa persembahan terlihat seperti pohon yang memerlukan akar seperti hujan memerlukan angin seperti gembala memerlukan padang berilah apa yang kau punya tiap anak Ku terbekal masing-masing talenta untuk seiring dengan Ku jadi tetaplah menggores pena tentang janjiKu seperti Aku juga menuliskan namamu di kitab hidup PUISI SAHABAT 4: WHY Oleh: Josimut Berlari di tepian zaman, Bernyanyi di ujung dunia, Berdiri di tengah-tengah matahari, Melihat sesuatu yang tak terlihat, Memikirkan semuanya yang tidak terpikirkan, Mencari yang tidak ada, bertanya dengan angin. Menyentuh yang tak tersentuh, Sandiwara dan drama yang tidak tahu kapan akan berakhir, Bingung dengan senyum dan air mata, Merasuk ke dalam hati, keluar meluap di tengah samudera, Menembus dinding-dinding kehampaan yang tidak dapat dijelaskan, Meremukkan keegoisan angkara murka, Membakar kesombongan yang melekat, Membinasakan hati yang pahit dan gelap. Uph, beristirahat sejenak dari segala rutinitas, Tuliskan semua dengan pena dan kertas putih KATA SAHABAT "Selamat ulang tahun ke-7 untuk e-Penulis. Kiranya semakin hari semakin memberkati banyak orang melalui banyak bahan yang diberikan. Terus berkarya dan terus maju dalam Tuhan." (Shmily) "Selamat ulang tahun untuk e-Penulis. Berikan yang terbaik untuk hormat dan kemuliaan Tuhan." (Novi) "Met ultah e-Penulis, terus berkarya bagi kemuliaan nama-Nya." (Dicky) "Selamat ulang tahun e-Penulis. Semoga semakin menjadi berkat bagi para pelanggannya lewat artikel-artikel Kristen yang semakin bermutu. God bless." (Amy) "e-Penulis, selamat ulang tahun. Terus menjadi lebih baik dan memberkati penulis-penulis di Indonesia." (Indah) "Selamat ulang tahun e-Penulis. Jadilah berkat bagi lebih banyak penulis-penulis Kristen dan tetap berkarya tanpa lelah. Tuhan memberkati." (Setya) KATA MUTIARA "Menulis merangsang pemikiran, jadi saat Anda tidak bisa memikirkan sesuatu untuk di tulis, tetaplah mencoba untuk menulis." -- Barbara Kontak: < penulis(at)sabda.org > Redaksi: Santi Titik Lestari, Davida Welni Dana, dan Sri Setyawati (c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org/ > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/penulis > Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org > Berhenti berlangganan: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |