Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/96 |
|
e-Penulis edisi 96 (3-11-2011)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 096/November 2011 Tema: Menggali Ide Kreatif (I) DAFTAR ISI DARI REDAKSI: TULISAN KREATIF NAN ATRAKTIF ARTIKEL: KREATIF MENGEMBANGKAN IDE POJOK BAHASA: GENIT STOP PRESS: DAPATKAN KUMPULAN BAHAN NATAL DI NATAL.SABDA.ORG DARI REDAKSI: TULISAN KREATIF NAN ATRAKTIF Seorang penulis tidak akan mungkin bisa bertahan di dunia penulisan, jika dia tidak kreatif dalam memproduksi tulisan-tulisannya. Penulis yang cara penyampaiannya monoton dan membosankan, bisa dipastikan akan mengalami "pensiun" dini. Sebaliknya, tulisan yang kreatif dan atraktif, akan terus ditunggu-tunggu oleh pembacanya. Tulisan kreatif bisa diciptakan oleh siapa saja. Untuk menciptakannya, Anda tidak butuh waktu yang lama, hanya ketekunan dan latihan. Sahabat Penulis bisa memulainya sesuai dengan rahasia yang dibagikan dalam artikel yang ditulis oleh redaksi di bawah ini. Selanjutnya, untuk menyajikan tulisan yang menarik, ada hal-hal yang harus diperhatikan. Untuk mengetahui lebih lengkapnya, silakan simak informasi kami di Pojok Bahasa. Selamat berkreasi! Staf Redaksi e-Penulis, Sri Setyawati < http://pelitaku.sabda.org > "Kita tidak harus menunggu datangnya inspirasi itu, kita sendirilah yang menciptakannya." -- Stephen King ARTIKEL: KREATIF MENGEMBANGKAN IDE Ditulis oleh: Truly Almendo Pasaribu Pada hakikatnya, semua orang memiliki bakat kreatif. Salah satu tanda kita terlahir sebagai makhluk kreatif adalah kemampuan kita berkomunikasi dengan ungkapan dan ide-ide segar. Namun demikian, bekal ini semata tidaklah memadai. Kreativitas itu seperti otot yang perlu terus menerus dilatih dan dikembangkan. Kreativitas perlu diiringi oleh ketekunan yang konsisten dalam proses kreatif mengembangkan ide. Melahirkan Ide Penulis kreatif memunyai kemampuan untuk menciptakan dan menghasilkan karya yang khas. Substansi utamanya adalah ide. Lalu pertanyaan yang sering dilontarkan para penulis, bagaimana menciptakan ide yang khas? Bukankah setiap hari banyak gagasan yang terlintas di benak kita? Bukankah ada banyak gejolak perasaan dalam diri kita hari demi hari? Bukankah banyak hal yang bisa ditangkap oleh indera kita dan dijadikan bahan baku tulisan? Ide muncul dari pikiran, perasaan, dan pengalaman kita sehari-hari. Itulah sebabnya, penulis profesional sering kali menganjurkan agar para penulis memunyai buku harian. Hernowo, seorang penulis profesional, mengatakan, "Jangan menganggap enteng nilai sebuah buku harian. Setiap masukan -- corat-coret yang Anda baca dan baca ulang -- merupakan peluang bagi sosial dan bakat seni Anda." Buku harian bisa menjadi gudang ide penulis. Salah satu cara memperkaya gudang ide adalah dengan membaca. Menulis dan membaca itu ibarat dua sisi koin yang tak terpisahkan. Membaca bisa memperkaya pengetahuan dan perbendaharaan kata kita. Ide juga bisa dirangsang dengan mempelajari gagasan dari berbagai karya orang lain. Jika kita semakin banyak menyerap isi bacaan, kita akan lebih peka dan jeli merangkai ide-ide baru. Penulis kreatif memandang dunianya sebagai laboratorium ide, yang memungkinkannya menemukan ide-ide baru. Mengembangkan Ide Ide bisa muncul dengan cepat, tetapi acap kali lenyap secepat kilat. Karena itu, segeralah ikat ide Anda sebelum lenyap. Setelah itu, tuliskan garis besar ide Anda. Meskipun menuangkan ide dalam kata-kata tidaklah segampang menuangkan segelas air, teruslah berusaha. Banyak penulis mengeluh, "Idenya ada, tetapi gagal menjadi sebuah karya." Sesungguhnya, proses kreatif tidak terlepas dari kemauan keras untuk menjabarkan ide itu. Ide bisa dikembangkan dengan memperluas wawasan referensi dan kebahasaan kita. Kita perlu menyiapkan bahan referensi yang bisa mendukung gagasan kita. Dengan kecanggihan teknologi dan media saat ini, kita tidak akan kesulitan mencari bahan referensi dari buku, koran, internet, dan berbagai bahan bacaan lainnya. Sedangkan untuk memperluas wawasan kebahasaan kita, penulis bisa mengakrabkan diri dengan kosakata baru, penguasaan kaidah berbahasa, dan penguasaan pengetahuan makna. Selain itu, pada tahap ini penulis perlu mengerahkan kekuatan daya imajinasinya dalam tulisan. Demi mendapatkan imajinasi ini, banyak penulis membenamkan diri dalam cerita mereka. Mereka hidup, bernapas, dan bermimpi bersamanya. Stephen King, penulis yang sangat berpengaruh, mengatakan, "Menulis adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan napas hidupnya." Menyempurnakan Ide Penulis kreatif adalah pekerja yang tekun. Dia tidak akan puas dengan draf awal tulisannya. Dia sadar bahwa karyanya bukanlah produk sekali jadi. Proses penyempurnaan dalam rangka mencapai hasil yang maksimal ini tidak hanya dilakukan oleh penulis pemula, bahkan sebagian besar penulis yang sudah punya nama tetap melakukannya. Penyuntingan sebaiknya dilakukan setelah karya tersebut diendapkan beberapa waktu. Penulis perlu memberi ruang bagi dirinya, agar dia bisa menyunting karya tersebut dengan lebih objektif. Proses penyuntingan tidak harus dilakukan oleh penulis sendiri. Penulis juga bisa meminta bantuan orang lain yang kompeten, untuk memberikan masukan atau perubahan yang berarti dalam karyanya. Proses-proses ini tidaklah selalu mudah dilakukan. Hampir semua karya yang indah merupakan hasil dari kerja keras. Akan tetapi, jika penulis memiliki bakat, kemauan, dan ketekunan yang konsisten, proses-proses ini akan menjadi pengalaman hidup yang menantang baginya. Dia tidak akan lelah melahirkan, mengembangkan, dan menyempurnakan idenya dalam kemasan istimewa. Dia akan menindaklanjuti proses ini dengan terus berlatih menulis, sampai akhirnya karya-karya kreatif itu diluncurkan. Referensi: 1. Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas. 2. Marwoto, Ms. dkk. 1985. Komposisi Praktis. Yogyakarta: PT. Hanindita Offset. 3. Wiedarti, Pangesti. 2005. Menuju Budaya Menulis. Yogyakarta: Tiara Wacana POJOK BAHASA: GENIT Memilih kata di dalam berbahasa pada praktiknya tidak mudah. Akan selalu ada kata yang terasa kurang persis mewakili suatu maksud. Namun juga, akan selalu ada godaan bergenit-genit, memamerkan berbagai model gaya. Hal ini dapat di lihat dalam penggunaan kata. Ada penulis yang tergoda untuk lebih mengutamakan efek -- entah kemerduan bunyi, kesan intelektual, atau cuma ingin beda sendiri -- daripada keperluan menyampaikan pengertian yang jelas. Hal ini biasanya diusahakan melalui pemakaian kata-kata yang pelik-mungkin bentuk arkais [berhubungan dengan masa dahulu atau berciri kuno, tua; tidak lazim dipakai lagi (tentang kata); ketinggalan zaman, Red], mungkin dicomot dari bahasa asing, atau mungkin pula yang terkesan dibuat-buat, seperti: "dicermatmaknai", "berjumpa-kenal". Mementingkan efek, ketimbang keperluan menyampaikan pengertian yang jelas itu, dilakukan mungkin demi memikat pembaca, satu hal yang jika dikerjakan tidak dengan hati-hati, dapat mengakibatkan pesan menjadi kabur. Sebaliknya, apabila seorang penulis mampu menggarap dengan tepat dan tekun dengan terus-menerus, boleh jadi ini justru dapat melahirkan idiosinkrasi, gaya dia seorang. Tapi bayangkan jika seorang penyair berkilah, bahwa ia secara sadar dan sengaja, sedang bereksperimen mendobrak kaidah tata bahasa dalam puisi-puisinya. Padahal, ada bagian yang memperlihatkan, bahwa ia tidak memahami benar perbedaan cara menuliskan "keluar" dan "ke luar". Entah apa gerangan yang mendorong para penulis bergenit-genit, tanpa mengerti kaidah bahasa yang mendasar seperti itu, atau sekurang-kurangnya menampakkan sikap abai. Itukah yang disebut "Licentia Poetica"? Boleh jadi soal ini tidak asing, atau jangan-jangan malah sudah cukup sering "mengganggu" dalam dunia tulis-menulis. Konsep penting demi kreativitas dalam dunia tulis-menulis yang diperkenalkan filsuf Romawi kelahiran Kordoba, Lucius Annaeus Seneca, di negeri kita beberapa waktu belakangan tampaknya malah menjadi tempat banyak penulis bersembunyi dan mencari suaka. Mungkin inilah salah satu pokok persoalan yang paling membuat pening kalangan penyunting. Konsep tersebut seolah telah menjelma menjadi hukum yang tampaknya cenderung lebih memihak dan memanjakan penulis. "Licentia Poetica" adalah semacam lisensi, izin tak tertulis yang dikantongi penyair, untuk menyimpangi kaidah bahasa demi mencapai efek tertentu yang dia inginkan. Kemudian, entah bagaimana keleluasaan ini seolah-olah dianggap menjadi milik sastrawan pada umumnya, bukan hanya yang menulis puisi. Inilah kuasa sastrawan menabrak rambu-rambu bahasa, demi pengungkapan nilai-nilai artistik yang dengan demikian dipandang lebih penting dari aturan bahasa. Apakah "efek" atau "nilai-nilai artistik" ini, kalau bukan sebuah kualitas atau sifat, sebentuk kesan yang terasakan oleh pembaca? Yang jadi soal sebenarnya bukan "bagaimana membuat", tapi "bagaimana menyampaikan" efek, nilai artistik, atau kesan itu kepada pembaca. Perbuatan melanggar bukanlah sebuah tujuan, melainkan sarana belaka. Jalan berpikir ini mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa, kebebasan dalam "Licentia Poetica" bukan dimaksudkan untuk membuat (baca: mencari-cari) efek alias bergenit-genit, melainkan lebih menyerupai alat bantu bagi penulis, guna menerabas kebuntuan dalam keadaan darurat. Lisensi ini sebetulnya bekerja dengan sejumlah asumsi: pertama, mereka yang melaksanakannya sungguh-sungguh terdorong oleh keperluan menyatakan satu hal, tapi ia merasa terhambat oleh daya ungkap bahasa. Ini mengisyaratkan bahwa penyimpangan kebahasaan olehnya tadi, adalah suatu tindakan darurat, setelah ia habis-habisan menjelajahi pelbagai kemungkinan yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Kedua, mereka yang mempraktikkannya tahu, sadar akan apa yang ia langgar. Artinya, sebenarnya si pelanggar mafhum akan hukum atau kaidah bahasa yang berlaku. Pertanyaannya kemudian, bisakah seseorang melanggar aturan bahasa, demi "Licentia Poetica", padahal seperti sudah disinggung di atas, ia tidak tahu perbedaan cara menuliskan "ke luar" dan "keluar" dalam kalimat? Tidak tahu perbedaan kata depan dan awalan? Tidak tahu kaidah bahasa Indonesia yang sangat mendasar, elementer, dan mungkin sekali itu sebabnya ia bersembunyi di sana, di balik "mantra" Licentia Poetica? Melanggar aturan bahasa demi "Licentia Poetica" adalah satu hal, sedangkan buta kaidah bahasa Indonesia adalah hal lain. Kedua hal itu saya kira tidak dapat diperbaurkan. Bagi saya, kepatuhan pada kaidah dalam berbahasa bukan menunjukkan sebuah sikap taat, tunduk, melainkan wujud rasa hormat kepada, dan rasa bangga terhadap norma, yaitu norma-norma bahasa Indonesia yang memang sudah sepatutnya kita junjung bersama. Diambil dari: Nama situs: Rubrik Bahasa Alamat URL: http://rubrikbahasa.wordpress.com/2009/05/04/genit/ Penulis: Eko Endarmoko Tanggal akses: 25 Juli 2011 STOP PRESS: DAPATKAN KUMPULAN BAHAN NATAL DI NATAL.SABDA.ORG Bulan November telah tiba. Kami yakin Anda yang aktif di pelayanan pasti sudah mulai berpikir untuk mempersiapkan Natal, bukan? Nah, dengan gembira kami menginformasikan bahwa Yayasan Lembaga SABDA (YLSA) telah menyediakan wadah di situs "natal.sabda.org" bagi setiap pelayan Tuhan agar bisa saling berbagi bahan-bahan Natal dalam bahasa Indonesia. Ada banyak bahan yang bisa didapatkan, seperti Renungan Natal, Artikel Natal, Cerita/Kesaksian Natal, Drama Natal, Puisi Natal, Tips Natal, Bahan Mengajar Natal, Blog Natal, Resensi Buku Natal, Review Situs Natal, e-Cards Natal, Gambar/Desain Natal, Lagu Natal, dan bahkan sarana diskusi tentang topik Natal. Yang istimewa adalah situs "natal.sabda.org" dirancang sebagai situs yang interaktif, sehingga pengunjung dapat mendaftarkan diri untuk berpartisipasi aktif dengan mengirimkan tulisan, menulis blog, memberikan komentar, dan mengucapkan selamat Natal kepada rekan pengunjung lain. Jadi, tunggu apa lagi? Segera kunjungi situs "natal.sabda.org". Mari berbagi berkat pada perayaan hari kedatangan Kristus ke dunia 2000 tahun yang lalu ini dengan menjadi berkat bagi kemuliaan nama-Nya. ==> http://natal.sabda.org/ Kontak: < penulis(at)sabda.org > Redaksi: Truly Almendo Pasaribu, Sri Setyawati (c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org/ > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/penulis > Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org > Berhenti berlangganan: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |