Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/90 |
|
e-Penulis edisi 90 (4-8-2011)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 090/Agustus/2011 Tema: Tentang Editor (I) DAFTAR ISI DARI REDAKSI: DUNIA EDITOR ARTIKEL: SYARAT MENJADI PENYUNTING NASKAH POJOK BAHASA: BAHASA PASAR DI MEDIA BISA TURUNKAN KUALITAS BAHASA INDONESIA DARI REDAKSI: DUNIA EDITOR Media cetak dan elektronik di Indonesia semakin berkembang pesat. Pertumbuhan media ini tentu saja membuka peluang lebar-lebar bagi editor/penyunting naskah. Untuk meraih peluang ini, para calon editor tentu saja perlu mempersiapkan diri atau bahkan melatih diri untuk lebih peka terhadap penggunaan bahasa. Apa saja yang perlu kita siapkan untuk menjadi editor? Dalam edisi kali ini, redaksi rindu membekali Sahabat dengan artikel yang memaparkan syarat-syarat menjadi editor. Selain itu, redaksi juga menyajikan rubrik Pojok Bahasa yang berjudul, "Bahasa Pasar di Media Bisa Turunkan Kualitas Bahasa Indonesia". Selamat membaca. Pimpinan Redaksi e-Penulis, Truly Almendo Pasaribu < uly(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > "Detail membuat tulisan Anda hidup!" -- Dewitt H. Scott ARTIKEL: SYARAT MENJADI PENYUNTING NASKAH Apakah semua orang bisa menjadi penyunting naskah? Tentu tidak semua orang bisa menjadi penyunting naskah. Mengapa? Karena untuk menjadi penyunting naskah ada beberapa persyaratan yang harus dia penuhi. Persyaratan itu meliputi penguasaan ejaan bahasa Indonesia, penguasaan tata bahasa Indonesia, ketelitian dan kesabaran, kemampuan menulis, keluwesan, penguasaan salah satu bidang keilmuan, pengetahuan yang luas, dan kepekaan bahasa. Marilah kita simak satu per satu persyaratan itu. 1. Menguasai Ejaan Seseorang yang ingin menjadi penyunting naskah pada satu penerbitan, harus menguasai kaidah ejaan bahasa Indonesia yang baku saat ini. Dia harus paham benar penggunaan huruf kecil dan huruf kapital, pemenggalan kata, dan penggunaan tanda-tanda baca (titik, koma, dan lain-lain). Syarat ini tentu dapat dimaklumi, mengingat penyuntingan naskah selalu berurusan dengan soal-soal itu. Bagaimana mungkin seorang penyunting naskah dapat membetulkan atau memperbaiki ejaan naskah orang lain, kalau si penyunting naskah tidak paham seluk-beluk ejaan bahasa Indonesia? 2. Menguasai Tata Bahasa Seperti halnya ejaan, seorang penyunting naskah pun dituntut untuk menguasai bahasa Indonesia dalam arti luas. Bukan berarti dia perlu menghafal semua arti kata yang terdapat dalam kamus, misalnya. Akan tetapi, seorang penyunting naskah harus tahu mana kalimat yang baik dan benar, dan mana kalimat yang salah dan tidak benar. Menguasai bahasa Indonesia tentu tidak lain dan tidak bukan adalah menguasai tata bahasa Indonesia. Jadi, seorang penyunting naskah harus mengerti susunan kalimat bahasa Indonesia yang baik, kata-kata yang baku, bentuk-bentuk yang salah kaprah, pilihan kata yang pas, dan sebagainya. Seperti halnya ejaan, kita pun bisa bertanya: bagaimana mungkin seorang penyunting naskah memperbaiki atau membetulkan kalimat orang lain, kalau si penyunting naskah sendiri tidak tahu syarat-syarat kalimat yang baik dan benar? 3. Bersahabat dengan Kamus Seorang penyunting naskah atau ahli bahasa sekalipun, tidak mungkin menguasai semua kata yang ada dalam satu bahasa tertentu. Belum lagi kalau kita berbicara mengenai bahasa asing. Oleh karena itu, seorang penyunting naskah perlu akrab dengan kamus. Entah itu kamus satu bahasa maupun kamus dua bahasa. Dalam hal ini, tentu termasuk pula kamus istilah, leksikon, dan ensiklopedia. Dengan kata lain, seorang yang enggan atau malas membuka kamus, sebetulnya tidak cocok menjadi penyunting naskah. Mengapa? Karena seorang penyunting naskah tidak pernah bisa lepas dari segala macam kamus, termasuk leksikon dan ensiklopedia. 4. Memiliki Kepekaan Bahasa Karena selalu berhubungan dengan ejaan, tata bahasa, dan kamus, seorang penyunting naskah pun dituntut untuk memiliki kepekaan bahasa. Dia harus tahu mana kalimat yang kasar dan kalimat yang halus; harus tahu mana kata yang perlu dihindari dan mana kata yang sebaiknya dipakai; harus tahu kapan kalimat atau kata tertentu digunakan atau dihindari. Untuk semua itu, seorang penyunting naskah perlu mengikuti tulisan pakar bahasa di media cetak. Di samping itu, seorang penyunting naskah perlu mengikuti kolom bahasa yang ada di sejumlah media cetak. Tentu tidak kurang pentingnya adalah mengikuti perkembangan bahasa Indonesia dari hari ke hari. 5. Memiliki Pengetahuan Luas Seorang penyunting naskah pun dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas. Artinya, dia harus banyak membaca buku, membaca majalah dan koran, dan menyerap informasi melalui media audio-visual. Dengan demikian, si penyunting naskah tidak ketinggalan informasi. Dengan kata lain, orang yang malas membaca buku, koran, majalah atau sumber informasi lain, sebetulnya tidak cocok untuk menjadi seorang penyunting naskah. Orang ini lebih baik mencari pekerjaan lain. 6. Memiliki Ketelitian dan Kesabaran Seorang penyunting naskah dituntut pula untuk bekerja dengan teliti dan sabar. Meskipun sudah capek bekerja, seorang penyunting naskah dituntut untuk tetap teliti dan sabar dalam menyunting naskah. Kalau tidak, penyunting naskah bisa terjebak pada hal-hal yang merugikan penerbit di kemudian hari. Misalnya, karena ada kalimat yang lolos dan lupa disunting. Jadi, meskipun mengantuk, seorang penyunting naskah harus tetap teliti menyunting setiap kalimat, setiap kata, dan setiap istilah yang digunakan penulis naskah. Dia harus memeriksa apakah kalimat, kata, dan istilah itu layak cetak atau tidak, berbau SARA atau tidak, berbau pornografi atau tidak, dan sebagainya. Seorang penyunting naskah harus sabar menghadapi setiap naskah. Kalau tidak, orang itu tidak cocok menjadi penyunting naskah. Mengapa? Karena seorang penyunting naskah harus bolak-balik memeriksa naskah. Malahan, sesudah menjadi "proof" (cetakan percobaan) pun, seorang penyunting naskah masih berurusan dengan kalimat-kalimat dan kata- kata. Penyunting naskah baru bisa lepas dari kalimat-kalimat dan kata- kata kalau "proof" itu sudah "fiat cetak" (disetujui untuk dicetak). 7. Memiliki Kepekaan terhadap SARA dan Pornografi Seorang penyunting naskah tentu harus tahu kalimat yang layak cetak, kalimat yang perlu diubah konstruksinya, dan kata yang perlu diganti dengan kata lain. Dalam hal ini, seorang penyunting naskah harus peka terhadap hal-hal yang berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Kalau tidak peka, penerbit bisa rugi di kemudian hari. Mengapa? Karena buku yang diterbitkan bisa dilarang beredar oleh pihak yang berwenang, atau penerbitnya dituntut oleh pihak tertentu ke pengadilan. Di samping itu, seorang penyunting naskah pun harus peka terhadap hal-hal yang berbau pornografi. Dalam hal ini, seorang penyunting naskah harus mempertimbangkan apakah kalimat tertentu layak cetak atau tidak, dan apakah gambar/ilustrasi tertentu layak siar atau tidak. Seperti halnya persoalan SARA, hal-hal yang berbau pornografi pun dapat mengakibatkan sebuah buku dilarang beredar. Jika ini terjadi, tentu penerbit akan mengalami kerugian. Kejaksaan Agung RI memunyai kriteria buku yang dilarang beredar di Indonesia dari dulu hingga sekarang. 8. Memiliki Keluwesan Seorang penyunting naskah haruslah dapat bersikap dan berlaku luwes (supel). Hal ini penting karena seorang penyunting naskah sering berhubungan dengan orang lain. Minimal, seorang penyunting naskah berhubungan dengan penulis/pengarang naskah. Dalam berhubungan dengan pihak luar, seorang penyunting naskah bertindak sebagai duta atau wakil penerbit. Oleh karena itu, penyunting naskah harus menjaga citra dan nama baik penerbit. Dalam berhubungan dengan penulis naskah, penyunting naskah tentu harus bersedia mendengarkan berbagai pertanyaan, saran, dan keluhan. Dalam hal ini, sebaiknya penyunting naskah tidak menggurui. Apalagi kalau penulisnya seorang pakar atau berkedudukan tinggi. Dengan kata lain, seorang yang kaku tidaklah cocok menjadi penyunting naskah. 9. Memiliki Kemampuan Menulis Seorang penyunting naskah juga perlu memiliki kemampuan menulis, minimal mampu menyusun tulisan yang elementer. Mengapa? Karena dalam pekerjaannya sehari-hari, seorang penyunting naskah pada suatu saat harus menulis surat/surel kepada penulis atau calon penulis naskah, menulis ringkasan isi buku (sinopsis), atau menulis biografi singkat (biodata) penulis. Lagi pula, kemampuan menulis ini pun berguna dalam penyuntingan naskah. Kalau tidak tahu menulis kalimat yang benar, tentu kita pun akan sulit membetulkan atau memperbaiki kalimat orang lain. 10. Menguasai Bidang Tertentu Alangkah baiknya kalau seorang penyunting naskah menguasai salah satu bidang keilmuan tertentu. Misalnya, ilmu bahasa, ilmu sastra, biologi, matematika, geologi, jurnalistik, ilmu pendidikan, filsafat, teknologi, dan pertanian. Hal ini tentu akan membantu penyunting naskah dalam tugasnya sehari-hari. 11. Menguasai Bahasa Asing Seorang penyunting naskah pun perlu menguasai bahasa asing yang paling banyak digunakan di dunia internasional, yakni bahasa Inggris. Mengapa? Karena dalam menyunting naskah, seorang penyunting naskah akan berhadapan dengan istilah-istilah bahasa Inggris atau istilah-istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Di samping itu, perlu pula diketahui bahwa buku terjemahan yang paling banyak diterjemahkan di Indonesia adalah buku-buku yang berasal dari bahasa Inggris. Jika tidak dapat menguasai bahasa Inggris secara aktif, minimal penyunting naskah menguasainya secara pasif. Artinya, penyunting naskah dapat memahami dan membaca teks bahasa Inggris. Akan lebih baik lagi jika penyunting naskah bukan hanya menguasai bahasa Inggris, melainkan juga menguasai salah satu bahasa atau beberapa bahasa asing lain. Misalnya, bahasa Latin, bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Perancis, bahasa Arab, dan bahasa Jepang. Pendek kata, makin banyak bahasa asing yang dikuasai penyunting naskah makin baik. Semua bahasa asing itu akan melancarkan pekerjaan si penyunting naskah. 12. Memahami Kode Etik Penyuntingan Naskah Seorang penyunting naskah perlu menguasai dan memahami Kode Etik Penyuntingan Naskah. Dengan kata lain, penyunting naskah harus tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam penyuntingan naskah. Jika penyunting naskah tidak memahami Kode Etik Penyuntingan Naskah, ada kemungkinan dia akan salah langkah atau salah sunting. Hal ini bisa berakibat buruk di kemudian hari. Diambil dari: Judul buku: Buku Pintar Penyuntingan Naskah Penulis: Pamusuk Eneste Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2005 Halaman: 15 -- 21 POJOK BAHASA: BAHASA PASAR DI MEDIA BISA TURUNKAN KUALITAS BAHASA INDONESIA Penggunaan bahasa pasar atau bahasa tidak baku di media, dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas bahasa Indonesia di masyarakat. Demikian salah satu pendapat yang terlontar dalam diskusi di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Jumat (23/10), menyoal penggunaan bahasa pasar dalam media. Setidaknya ada tiga faktor yang mendorong masuknya bahasa pasar dalam bahasa jurnalistik, bahasa yang digunakan para reporter, redaktur, dan pengelola surat kabar. Demikian diungkap Kristanto Hartadi, Pemimpin Redaksi Harian Sinar Harapan, dalam diskusi tersebut. Faktor pertama, dorongan pasar. Menurut Kristanto, mengikuti keinginan pasar adalah salah satu upaya mendekatkan diri dengan khalayak pembacanya, sehingga muncullah bahasa sehari-hari atau bahasa pasar. Contohnya, media remaja yang nuansanya "gaul". Tidak hanya itu, belakangan ini malah ada sejumlah surat kabar yang sengaja menggunakan bahasa kasar. "Tentulah salah satu tujuannya adalah membidik ceruk pembaca yang bisa menerima penggunaan bahasa pasar itu dalam hal pelaporan berita. Jadi, pasar merupakan alasan penggunaan bahasa pasar itu dalam penulisan berita," ujar Kristanto. Kedua, persoalan teknis. Bahasa pasar masuk dalam kalimat jurnalis karena penguasaan bahasa Indonesia yang tidak terlalu baik di kalangan para wartawan. Kata yang kerap dipakai wartawan, seperti "diobok-obok", "bantai" untuk bunuh, atau "cuek" untuk tak acuh, masih terus dipakai. "Harus diakui bahwa kosakata pasar itu juga diucapkan oleh para pembentuk opini, selain juga ungkapan yang ada di masyarakat," papar Kristanto. Ketiga, pemahaman etika. Menurutnya, ada kaitan antara ketidakpahaman mengenai etika jurnalistik para wartawan dengan penggunaan bahasa pasar atau penerapan bahasa Indonesia yang tidak tepat. "Cukup banyak wartawan yang tidak pernah membaca kode etik wartawan dan apalagi memahaminya," ucap Kristanto. Melihat ketiga fenomena di atas, ia pun merekomendasikan perlunya pelatihan bagi wartawan. Tujuannya supaya mereka bisa mensosialisasikan pada masyarakat penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Diambil dan disunting seperlunya dari: Nama situs: Rubrik Bahasa Alamat URL: http://rubrikbahasa.wordpress.com/2009/10/23/ bahasa-pasar-di-media-bisa-turunkan-kualitas-bahasa-indonesia/ Penulis: ONE Tanggal akses: 26 April 2011 Kontak: < penulis(at)sabda.org > Redaksi: Truly Almendo Pasaribu, Sri Setyawati (c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org/ > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/penulis > Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org > Berhenti berlangganan: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |