Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/86 |
|
e-Penulis edisi 86 (2-6-2011)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 086/Juni/2011 Tema: Menulis Novel (I) DAFTAR ISI DARI REDAKSI: KREATIVITAS MENULIS ARTIKEL: PROSES KREATIF MENULIS NOVEL POJOK BAHASA: SASTRA ITU "BERAT" STOP PRESS: E-LEADERSHIP DARI REDAKSI: KREATIVITAS MENULIS Keindahan mozaik-mozaik di kota Roma, lukisan elok "Perjamuan Terakhir" Galileo, berbait-bait puisi ajeg dalam Alkitab, menunjukkan betapa luar biasanya Allah yang menganugerahi manusia dengan kreativitas tak terbatas. Semua manusia diciptakan dengan bibit kreatif. Saat ditanam di tanah, bibit itu memang tak kasat mata. Akan tetapi, setelah dipupuk dan diairi dengan kedisiplinan, bibit itu pun tumbuh menjadi pohon yang berbuah. Demikian juga dalam membuat novel, Earnest Hemmingway mengatakan, "Work everyday." Muchtar Lubis menyarankan agar penulis tetap menulis, apalagi saat pikiran mereka buntu. Pada akhirnya, proses kreatif perlu diimbangi dengan perjuangan serta kedisiplinan untuk menghasilkan karya yang terbaik. Barangkali, Sahabat Penulis sedang mencari atau bahkan memendam ide untuk sebuah novel. Jangan lama-lama menunggu inspirasi dan menyembunyikan ide itu. Tuangkan saja dalam tulisan! Untuk menambah wawasan sahabat tentang menulis novel, bacalah artikel dalam edisi kali ini, "Proses Kreatif Menulis Novel". Jangan lewatkan juga, pojok bahasa tentang "Sastra Itu `Berat`". Selamat membaca dan berkarya! Pimpinan Redaksi e-Penulis, Truly Almendo Pasaribu < uly(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > "No tears in the writer, no tears in the reader" -- Robert Frost ARTIKEL: PROSES KREATIF MENULIS NOVEL Dirangkum oleh: Truly Almendo Pasaribu Proses menulis novel sama seperti dengan proses memasak. Juru masak bermain-main dengan bahan pokok dan bumbu makanan yang terbaik untuk menjadikannya santapan lezat. Sedangkan dalam menulis novel, seorang penulis belajar membaurkan "bahan" dan "bumbu", agar tulisan enak dibaca. Jika koki belajar memadukan daging sapi, wortel, saus, kentang, garam, sup, lada hitam, dll., penulis belajar mencampur bahan pilihannya seperti filsafat, mitologi, sejarah, dan cerita-cerita rakyat. Penulis novel perlu mempersiapkan bahan-bahan pokoknya untuk menghasilkan karya yang melekat di hati pembacanya. Berikut ini beberapa ramuan dasar yang perlu penulis novel perhatikan. 1. Proses Kreatif Mengembangkan Tema Setiap karya tulis, termasuk novel, perlu memiliki tema atau ide pokok. Dalam sebuah karya, tema terungkap saat cerita mengalir dan pembaca dapat menyimpulkan tema yang diangkat di akhir cerita. Tema begitu penting dalam sebuah novel, karena tema berperan sebagai benang penyatu antar setiap paragraf dan babnya. Setiap bagian dari tulisan perlu berhubungan dengan tema utama yang telah ditentukan. Dalam sebuah novel, terkadang kita menemukan tema yang bercabang-cabang menjadi beberapa subtema. Contohnya dalam novel pendek karangan John Steinbeck, "The Pearl", yang mengangkat tema tentang pentingnya kepuasan hidup. Selain tema tentang pentingnya kepuasan hidup, dia juga mengangkat berbagai subtema seperti rasisme dan kemiskinan. Subtema-subtema ini memperkaya pemahaman pembaca mengenai tema utamanya. Penulis dapat mengembangkan tema dengan cara apa saja atau melalui teknik yang beragam. Penulis dapat menggunakan pemikiran, ucapan, serta tindakan karakter. Penulis juga bisa memanfaatkan setting dengan menggunakan simbol-simbol kebudayaan dan nilai-nilai hidup. Dalam hal ini, penulis hanya dibatasi oleh daya imajinasinya. 2. Kreatif Menciptakan Alur Cerita Seorang arsitek tentu memunyai gambaran tentang gedung yang akan dibangunnya, demikian juga dengan penulis. Setelah mengetahui tema novel, pancinglah imajinasi Anda untuk menyusun plot atau alur cerita. Menurut Mochtar Lubis, cerita biasanya memunyai 5 bagian dasar: a. Situasi b. Keadaan pemicu konflik c. Keadaan mulai memuncak d. Klimaks e. Pemecahan dari persoalan Alur sebuah cerita tentunya tergantung pada fantasi penulis. Tidak selamanya penulis harus mulai dengan langkah awal, yaitu melukiskan situasi. Penulis boleh memulai dengan menggambarkan keadaan tegang yang sedang memuncak. Cara ini dinamakan flashback (kilas balik), yaitu tokoh dalam cerita tersebut mengenang apa yang telah terjadi sebelum keadaan memuncak. Alur yang kreatif membuat novel menarik, karena pembaca harus memutar otak kembali untuk mengaitkan antara konflik yang satu dengan konflik yang lain, antara penyebab konflik dengan penyelesaiannya, dan sebagainya. Akan tetapi, alur juga bisa membuat pembaca bingung, jika pengarang tidak pintar-pintar meramunya menjadi sesuatu yang menarik -- bisa dicerna. 3. Kreatif Menggambarkan Tokoh-Tokoh Novel Penokohan merupakan salah satu faktor terpenting dalam sebuah cerita fiksi. Setiap karya fiksi otomatis terdapat tokoh di dalamnya. Terdapat dua jenis tokoh dalam setiap karya fiksi, yaitu tokoh utama (sentral) dan tokoh penunjang (periferal). Pembaca tentu ingin mengenal bagaimana watak dan rupa tokoh-tokoh dalam novel. Untuk melukiskan rupa, watak, dan pribadi pelakon, pengarang dapat menggunakan berbagai macam cara: a. Penulis menggambarkan tokoh secara langsung. Pengarang dapat menjelaskan tokoh secara langsung dengan menyebutkan ciri-ciri, sifat-sifat, status atau atribut-atribut tokoh dalam novel. Penulis dapat membuat daftar atribut yang singkat tentang tokoh novel. Kemudian dalam setiap adegan, penulis tinggal menambah atau mengurangi atribut tokoh sesuai dengan pengembangan tokoh. Penulis juga bisa memberikan keterangan langsung tentang perlengkapan yang dikenakan tokoh novel, contohnya pakaian yang dikenakannya. b. Penulis menggambarkan tokoh dengan tidak langsung. Penggambaran tokoh bisa dijelaskan secara tidak langsung oleh penulis. Penulis bisa melukiskan jalan pikiran pelakon dengan kreatif agar pembaca mengetahui watak pelakon itu. Penulis juga berkuasa untuk menentukan reaksi dan tindakan pelakon terhadap suatu kejadian. Apakah pelakon itu pendiam dan pengamat, atau orang yang spontan dan tangkas? Penulis memunyai ruang untuk membeberkan karakter tokoh dengan menggambarkan keadaan di sekitar tokoh itu. Misalnya dengan melukiskan keadaan dalam kamar, pembaca akan mendapat kesan apakah pelakon itu orang jorok, bersih, rajin, malas, dan sebagainya. Dialog juga sangat ampuh menyingkapkan watak tokoh sedikit demi sedikit, agar pembaca semakin penasaran. 4. Kreatif Menjadi Arsitek Setting Cerita Saat menatap kertas kosong, penulis belajar betapa susahnya menjadi pencipta dunia. Penulis perlu melepaskan batas-batas fantasi mereka dan mengendalikan cuaca, kemacetan, tokoh, dan detail terkecil sekalipun. Penulis dapat menciptakan dunia yang sempurna atau dunia yang tidak terlalu sempurna. Setting yang Anda pakai bisa berupa tempat nyata, seperti kampung halaman Anda atau imajinasi Anda. Singkat kata, novel adalah dunia penulis yang dibatasi oleh imajinasi dan kemampuan meneliti mereka. Entah nyata atau fiktif, yang penting setting yang penulis ciptakan haruslah logis. Jika setting Anda penuh dengan ketidakkonsistenan atau ketidakmungkinan, pembaca Anda tidak bisa "terlibat" ke dalam waktu dan tempat seperti itu. Ini tentunya bisa mengurangi nilai novel Anda. Anda perlu menciptakan setting yang memperkuat cerita Anda, karena Setting adalah tulang punggung novel Anda. Saat Anda memiliki setting sempurna dalam pikiran Anda, Anda perlu mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dan membagikan informasi itu kepada para pembaca Anda dengan detail agar mereka bisa memvisualisasikannya. Anda kini telah memunyai keempat bahan dasar untuk memasak sebuah cerita. Selebihnya, gabungkan dan kembangkanlah bahan-bahan mentah itu, agar isinya tidak hanya enak tetapi juga bergizi bagi pembaca. Tambahkanlah bumbu-bumbu penyedap seperti lelucon, anekdot, ketegangan (suspense), dan sebagainya. Menulis novel adalah proses kreatif yang membutuhkan kerja keras dan mendebarkan. Dirangkum dari: Kurniawan, Eka. "Proses Kreatif: Penulis sebagai si Juru Masak". Dalam http://ekakurniawan.com/blog/penulis-sebagai-si-juru-masak-109.php Brown, Thomas. "Writing the Novel û Setting". Dalam http://www.suite101.com/content/writing-the-novel---setting-a240851 Adieb, Achmad. "Analisis Penokohan dan Alur pada Novel-novel Indonesia". Dalam http://achmadadieb.wordpress.com/2010/07/04/ analisis-penokohan-dan-alur-pada-novel-novel-indonesia/ Lubis, Mochtar. "Teknik Mengarang". Jakarta: Kurnia Esa POJOK BAHASA: SASTRA ITU "BERAT" Sekretaris Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Cabang Yogyakarta, baru-baru ini menyatakan bahwa hanya 5 persen dari semua perusahaan penerbitan di Yogyakarta, yang menerbitkan buku-buku sastra, karena para penerbit menganggap buku sastra itu "berat" -- baik materi dan bahasanya, sehingga kurang laku di pasaran (Kompas, 6 Oktober 2010, Halaman 12). Karena anggapan tersebut, maka para penerbit kurang begitu berminat menerbitkan buku-buku sastra. Sekretaris IKAPI Yogyakarta juga mengatakan bahwa buku cerita dan novel populer sangat laku di pasaran. Pernyataan ini membuat sejumlah orang bertanya-tanya, apa yang sekretaris itu maksudkan dengan "sastra"? Bukankah sastra itu mengurung arti cerita, meskipun novel populer biasanya disisihkan dari sastra? Kalau pengertian "populer" adalah buku-buku yang banyak dibeli pembaca sehingga sering dicetak ulang, bagaimana dengan buku-buku klasik seperti Mahabharata, Ramayana, karya-karya Khalil Gibran, cerita-cerita detektif karya A. Conan Doyle, yang diperebutkan untuk diterjemahkan dan diterbitkan banyak penerbit saking lakunya? Buku-buku itu termasuk karya sastra, bukan novel populer tetapi laku sekali. Menerbitkan buku-buku sastra asli, memang kurang diminati para penerbit, meskipun diakui sebagai karya sastra yang unggul. Para penerbit hanya berpikir mendapat untung dan jangan rugi. Adanya mitos yang menganggap "sastra itu berat" juga mengakibatkan buku sastra kurang laku di pasaran. Kalau hanya untuk mencari keuntungan, penerbitan bukanlah lapangan yang tepat untuk diterjuni. Usaha penerbit berupa buku, bukanlah sekadar komoditas yang bisa dijual dan menghasilkan untung, karena buku dapat memengaruhi jiwa pembacanya. Penerbit seharusnya memunyai paling tidak sedikit idealisme untuk turut mencapai tujuan bernegara, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar -- "mencerdaskan bangsa". Kalau semata-mata hanya mengejar keuntungan, membuka warung bakso akan lebih menjanjikan. Kecilnya minat pembaca terhadap karya-karya sastra, erat hubungannya dengan pelajaran sastra di sekolah-sekolah. Secara umum diakui, pelajaran sastra (juga bahasa) di sekolah-sekolah masih jauh dari memuaskan. Murid-murid hanya diberi tahu dan disuruh menghafal nama-nama pengarang dengan judul-judul buku yang mereka tulis, ditambah dengan pengarang tersebut termasuk ke angkatan mana. Jarang sekali murid diperkenalkan dengan buku-buku sastra, apalagi mendapat kesempatan membacanya karena sekolah umumnya tidak memunyai perpustakaan. Pendeknya, kesempatan anak-anak bertemu dan membaca karya-karya sastra sangat sedikit. Kesempatan untuk belajar dan menikmati keindahan sastra sangat terbatas. Padahal, untuk menggemari sesuatu mutlak diperlukan perkenalan dan "pergaulan" yang akrab dengan yang harus digemari itu. Untuk menggemari membaca komik atau "novel populer" juga diperlukan perkenalan dan "pergaulan". Hanya kesempatan bertemu dan "bergaul" dengan komik dan bacaan populer lebih banyak, karena komik dan "novel populer" lebih banyak diterbitkan karena adanya mitos bahwa "sastra itu berat" di kalangan penerbit. Dalam hal sastra Indonesia memang ada masalah bahasa. Perkembangan bahasa Indonesia yang sangat cepat dan tidak terkendali, menyebabkan bahasa karya-karya sastra cepat dianggap "ketinggalan zaman", sehingga menyusahkan generasi belakangan untuk membacanya. Siapa generasi muda yang akan tahan membaca bahasa yang digunakan oleh Marah Roesli dalam Siti Nurbaya atau Abdoel Moeis dalam Salah Asuhan? Tidak ada usaha membuat edisi pelajar dari karya-karya sastra klasik, agar pelajar dapat menikmatinya seperti orang-orang Inggris membuat edisi pelajar dari karya-karya William Shakespeare, Charles Dickens, Oscar Wilde, dan lain-lain, bahkan juga membuat edisi buku bergambar, agar sejak kecil anak-anak diakrabkan dengan karya-karya sastra nasionalnya? Masalahnya, di Indonesia tidak ada yang menganggap sastra itu penting, termasuk pejabat di Kementerian Pendidikan, sehingga tidak ada yang menganggap pentingnya perpustakaan (anggaran untuk perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum sangat kecil). Di negara maju, anak-anak sejak kecil diakrabkan dengan karya sastra nasionalnya. Sebelum bersekolah, mereka dibiasakan bermain-main dengan buku-buku bergambar yang memuat dongeng-dongeng nasional warisan nenek moyangnya, sehingga mereka mengenal tokoh-tokoh utama mitologinya. Dalam buku-buku demikian, yang dipentingkan gambarnya, teksnya dibuat sesedikit dan sesederhana mungkin. Dalam buku-buku bergambar yang ditujukan untuk anak-anak sekolah, teksnya kian banyak. Akhirnya pada tingkat tertentu, mereka harus membaca teks lengkap karya sastra yang penting. Anak-anak Indonesia lebih mengenal tokoh-tokoh komik Jepang atau Amerika, daripada tokoh mitologi warisan nenek moyangnya. Para penerbit lebih tertarik menerbitkan komik terjemahan, karena modalnya lebih rendah daripada memesan komik asli kepada pelukis Indonesia, yang berdasarkan tokoh mitologi atau cerita Indonesia. Selama orientasi para penerbit hanya "untung dan rugi", masa depan bangsa Indonesia hanyalah menjadi pasar karya-karya negara lain yang maju serta kreatif. Selama pelajaran bahasa dan sastra dibiarkan seperti sekarang, para penerbit akan tetap berpegang kepada mitos bahwa "sastra itu berat". Diambil dan disunting dari: Nama situs: Rubrik Bahasa Alamat URL: http://rubrikbahasa.wordpress.com/2011/01/22/sastra-itu-berat/ Judul artikel: Sastra Itu "Berat" Penulis: Ajip Rosidi Tanggal akses: 7 Maret 2011 STOP PRESS: E-LEADERSHIP Apakah Anda seorang pemimpin yang selalu menggebu-gebu mendapatkan pengalaman dan wawasan baru? Dapatkanlah publikasi e-Leadership, gratis, melalui email Anda! Publikasi e-Leadership menyajikan tulisan-tulisan bermutu dan terpercaya bagi setiap pemimpin Kristen yang ingin bertumbuh secara rohani serta terampil dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Jangan tunda-tunda! Berlanggananlah sekarang juga dengan mengirim email ke < subscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org > atau kontak redaksi di < leadership(at)sabda.org >. Berbagai tulisan seputar kepemimpinan Kristen lainnya dapat Anda akses pula dalam situs Indo Lead di alamat < http://lead.sabda.org/ >. Jika Anda ingin bergabung dalam komunitas e-Leadership, silakan masuk dalam Facebook Leadership di < http://fb.sabda.org/lead > dan Twitter Leadership di < http://twitter.com/sabdaleadership >. Kiranya menjadi berkat bagi Anda semua! Kontak: < penulis(at)sabda.org > Redaksi: Truly Almendo, Sri Setyawati (c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org/ > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/penulis > Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |