Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/55 |
|
e-Penulis edisi 55 (20-5-2009)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi: 055/Mei/2009 Tema: Kejujuran dalam Menulis DARI REDAKSI__________________________________________________________ BATASAN KEJUJURAN DALAM MENULIS Shalom, Kejujuran dalam menulis. Sebuah pernyataan yang bagi beberapa penulis sangat sulit untuk diberi batasan. Apakah itu berarti tidak boleh menulis cerita fiksi karena menceritakan hal yang sebenarnya tidak terjadi bahkan hal yang sebenarnya tidak ada di dunia ini? Atau tidak bolehkah kita menulis tentang dinginnya salju jika kita belum pernah memegang salju di negeri empat musim? Atau tidak bolehkah seorang penulis menguntai kata-kata yang penuh aroma kebahagiaan ketika hatinya sendiri sedang sendu? Ya, orang bisa berpendapat berbeda-beda mengenai arti kejujuran dalam menulis. Dan Sahabat Penulis terkasih pun bisa memiliki argumen yang berbeda-beda mengenai hal ini. Namun, bolehlah kita juga melihat pendapat dan pengalaman dari para penulis lain mengenai makna kejujuran dalam menulis. Tentu saja tujuannya agar semakin membuka wawasan dan pengetahuan kita sehingga kita dapat memberikan batasan yang tepat mengenainya. Redaksi e-Penulis telah menyiapkan artikel-artikel bertemakan kejujuran dalam menulis. Da menariknya, artikel-artikel tersebut lebih banyak berbicara mengenai pengalaman "kejujuran dalam menulis", bukan sekadar teori saja. Kiranya menjadi berkat bagi kita semua dan kita bisa mendulang banyak pelajaran melaluinya. Pimpinan Redaksi e-Penulis, Davida Welni Dana http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/ http://pelitaku.sabda.org/ ______________________________________________________________________ Pastikan bahwa apa yang kita tulis itu benar dan secara jujur menggambarkan diri kita dalam setiap karya yang kita tulis. - Steven Wagenheim - DAFTAR ISI____________________________________________________________ - Dari Redaksi: Batasan Kejujuran dalam Menulis - Daftar Isi - Artikel 1: Kejujuran dalam Menulis - Artikel 2: Menulis Itu Melatih Saya untuk Jujur - Artikel 3: Silet Kejujuran - Pena Maya: Wanita Kristen: Kumpulan Bahan untuk Menulis Seputar Wanita - Pojok Bahasa: Lebih Dekat dengan Preposisi "Di" dan "Pada" ARTIKEL_______________________________________________________________ KEJUJURAN DALAM MENULIS Saat kita berbicara tentang menulis dengan jujur, kita tidak bermaksud mengatakan bahwa penulis mengatakan yang sebenarnya. Stephen King misalnya, adalah (atau setidaknya dulu -- beberapa dari kita sedikit prihatin dengan novel-novel terakhirnya) seorang penulis yang jujur. Padahal kita tahu setiap kata-katanya adalah kebohongan. Kata-katanya banyak yang tidak benar, misalnya saja, kota Derry, Maine, yang disebut dalam novel-novelnya itu tidak benar-benar ada. Kejujuran King nampak dalam penanganannya terhadap karakterisasi, observasi, dan interaksi manusia. Tidak masalah jika Stuttering Bill (karakter dalam novel King yang berjudul "It") dan adik laki-lakinya yang dibunuh tidak pernah benar-benar ada. Yang penting adalah bagaimana Bill merespons pembunuhan itu dan ketidakmampuan orang tuanya dalam menghadapi kenyataan itu. Respons yang jujur, itulah yang penting. Mungkin respons mereka hanyalah salah satu dari banyak respons yang mungkin dapat timbul; tapi respons itu jujur. Namun demikian, beberapa penulis menulis karakter-karakter yang merasakan, bersikap, dan merespons dalam cara yang sepertinya didikte untuk kepentingan plot. Misalnya, saya yakin kita semua pernah membaca sebuah misteri pembunuhan, di mana seseorang yang kehilangan orang yang dicintainya karena dibunuh oleh seorang pembunuh berantai, tertawa dan minum sampanye bersama detektif yang memecahkan kasusnya 48 jam kemudian. Apakah cerita seperti itu nyata? Menurutku tidak. Hal yang sama juga terjadi dalam tulisan nonfiksi. Saat kita menulis esai, kita seharusnya menuliskan pemikiran kita tentang suatu subjek di atas kertas. Namun, sering kali, yang ada di pikiran kita adalah pikiran orang lain yang kita anggap pintar. Akibatnya, diakui atau tidak, banyak esai tidak lebih dari sekadar rangkaian kutipan-kutipan dari "para ahli". Misalnya, dalam sebuah esai tentang pentingnya tidur malam bagi kesehatan kita, seorang siswa memberikan referensi tentang tidur dari seorang ahli yang mengatakan bahwa Anda tidak bisa mengganti waktu tidur yang hilang. Apakah siswa itu benar-benar memercayainya? Pertanyaan pertama yang terlintas di pikiran saya adalah, "Apa maksudnya itu?" Jika kita tidak pernah dapat mengganti waktu tidur kita yang hilang, apakah itu berarti bahwa efek dari malam-malam tanpa tidur yang saya alami 5 tahun lalu masih ada dalam diri saya? Bagaimana dengan malam-malam saat kita bayi, saat sakit perut membuat kita tetap terjaga? Tidak heran kita menjadi tua dan mati -- setiap jam tidak tidur menyumbang satu paku di peti mati kita. Menulis bukanlah tentang memeriksa fakta-fakta yang kita hadirkan, meski hal itu juga penting. Intinya adalah beberapa "fakta" secara otomatis menimbulkan pertanyaan dalam pikiran mereka yang pernah mendengarnya, namun sedikit yang cukup jujur untuk mengakuinya. Bahkan, mungkin adalah kemampuan untuk mengatakan "Apa artinya?" yang membentuk fondasi tulisan yang jujur. Dalam "It", plotnya mengharuskan kakak Stuttering Bill dibunuh, yang akhirnya membuat orang tuanya menjadi dingin dan kehilangan emosi. Seorang penulis yang tidak jujur hanya akan menggambarkan hal itu dalam satu bentuk atau bentuk lainnya. King, di sisi lain, bertanya pada dirinya sendiri, "Apa maksudnya?" "Bagaimana rasanya memiliki seorang adik yang dibunuh dengan brutal?" "Bagaimana rasanya jika orang tua mengabaikan kita karena mereka terlalu terluka dan hancur untuk melihat kebutuhan di luar kebutuhan mereka sendiri?" Dan kemudian ia menulisnya. Intinya, ini adalah dasar dari tulisan yang baik. Kita bertanya kepada diri kita sendiri, "Apa maksudnya?" dan kemudian kita menuliskannya. Diterjemahkan dari: Nama situs: Roughly 1,000 Words Judul asli artikel: Honesty in Writing Penulis: Professor C. Simpson Alamat URL: http://1000wordsaweek.blogspot.com/2008/02/honesty-in-writing.html ARTIKEL_______________________________________________________________ MENULIS ITU MELATIH SAYA UNTUK JUJUR Ya, menuliskan apa saja ke selembar kertas berarti saya sebenarnya sedang berusaha keras untuk jujur kepada diri saya sendiri. Menulis adalah sebuah aktivitas yang sangat personal. Yang terlibat hanyalah diri sang penulis, meskipun dia menuliskan tentang persoalan-persoalan besar yang melingkupi dirinya. Memang betul bahwa pada saat menulis, saya dibantu oleh banyak hal. Pertama, mungkin, adalah pengalaman saya berinteraksi dengan orang lain. Ini jelas sesuatu yang membuat saya memunyai bahan untuk dituliskan. Saya tidak dapat -- atau akan mengalami kesulitan -- menulis apabila bahan-bahan yang ingin saya tuliskan tidak atau belum menjadi bagian dari pengalaman saya. Kedua, mungkin, saya dibantu atau, bahkan, didorong oleh gagasan hebat milik orang lain sehingga saya harus menuliskan sesuatu. Gagasan hebat ini bisa saja saya temukan di buku-buku yang saya baca, atau saya peroleh dari menonton film, sinetron, atau saya gaet dari irama musik yang saya dengarkan. Kadang-kadang gagasan yang mampu mendorong saya menulis datang bagaikan kilat. Dan ini, kadang, tidak bisa saya duga sebelumnya. Ketiga, mungkin saja, saya dibantu oleh ketidakstabilan emosi saya akibat gangguan orang lain. Misalnya saja saya dibuat kesal oleh seseorang atau saya dipuji habis-habisan oleh seseorang sehingga diri saya limbung. EQ atau kecerdasan emosi biasanya sangat sering saya gunakan pada saat-saat awal akan menulis. Tentu, tidak hanya tiga hal itu yang membantu saya sehingga saya dapat menuliskan sesuatu. Saya kira saya masih bisa menyebutkan banyak hal. Dan saya kira, orang lain bisa menyebut lebih banyak hal lagi ketika dia dapat menuliskan sesuatu. Saya cukupkan tiga hal itu sekadar untuk menunjukkan bahwa meskipun menulis itu merupakan kegiatan yang sangat personal, tetap saja banyak faktor di luar sang diri personal yang membantunya dapat menulis. Namun -- lagi-lagi saya harus cepat-cepat menambahkan sesuatu di sini -- semua itu tetap harus dikembalikan kepada diri sendiri pada saat kita mau menuliskan sesuatu. Apapun faktor di luar diri Anda yang dapat memengaruhi atau menggerakkan Anda untuk bisa menulis, faktor-faktor dari luar itu tetap tidak ada gunanya apabila tidak Anda pertemukan dengan totalitas diri Anda. Apabila kita tidak dapat berkompromi dengan, atau tidak mau memahami, atau tidak jujur kepada diri kita sendiri, ada kemungkinan kita tidak dapat menulis secara lancar, mengalir, dan menyenangkan. Apa yang saya maksud dengan "jujur kepada diri sendiri"? Tidak mudah memang membicarakan soal jujur ini. Bagaimana kita mengukur sebuah kejujuran? Apabila kejujuran dikaitkan dengan kegiatan menulis, ada kemungkinan kita dapat mengukur soal jujur ini dari seberapa jauh seorang penulis tidak menjiplak atau menelan mentah-mentah gagasan orisinal orang lain. Apakah di dunia ini ada gagasan orisinal milik seorang penulis, misalnya? Bukankah setiap penulis itu tentu, ujung-ujungnya, hanya merakit gagasan-gagasan banyak orang dan kemudian sedikit diimbuhi dengan gagasannya sendiri? Bagaimana menentukan bahwa sebuah gagasan adalah milik atau merupakan temuan orisinal seorang penulis? Bagaimana pula dengan sosok seorang Chairil Anwar yang -- pada awal mencipta sajak, menurut beberapa pengamat, beliau belajar banyak dari sajak-sajak orang lain? Bagaimana pula dengan Buya Hamka yang pernah diisukan menciptakan sebuah novel yang juga, menurut beberapa pengamat, mirip dengan novel yang diciptakan oleh penulis asing? Bagaimana kita mendudukkan soal-soal seperti ini? Saya tidak ingin membawa persoalan "jujur kepada diri sendiri" itu melebar-lebar. Saya akan mencoba menunjukkan saja kepada para pembaca tulisan saya tentang pendapat saya. Bisa jadi, pendapat saya ini masih belum sempurna atau banyak memiliki kekurangan. Namun, yang ingin saya harapkan adalah semoga saya dapat membantu Anda untuk memecahkan sendiri persoalan-persoalan berkaitan dengan kejujuran dalam menulis. Pertama, saya kok sangat yakin bahwa setiap manusia -- termasuk di sini para penulis -- punya ciri khasnya sendiri-sendiri yang tidak mungkin sama persis dengan orang lain. Saya kira, pada suatu saat kelak, entah kapan, setiap manusia bisa menemukan sendiri ciri khas tersebut. Apalagi seorang penulis. Seorang penulis diberi kemampuan lebih oleh Sang Penciptanya untuk lebih cepat, lebih kukuh, dan lebih percaya diri dalam menemukan ciri-ciri khas yang dimilikinya. Jadi, bagi saya, pada tahap sangat awal, seorang penulis layak meniru gaya penulis lain. Bahkan di sini, saya ingin mengatakan secara tegas dan lantang: harus! Harus meniru lebih dahulu. Dahulu, waktu masih kanak-kanak, kita meniru cara bicara orang tua kita. Juga, kita meniru cara berjalan orang-orang di sekeliling kita. Sekarang, sesudah dewasa, kita punya ciri khas sendiri dalam berbicara. Juga, mungkin, dalam berjalan. Jadi tidak apa, pada saat awal meniru, bukan? Bagaimana supaya kita tidak jatuh dalam bentuk plagiat? Jujurlah kepada diri Anda sendiri. Saya kira tidak usah orang lain yang memutuskan bahwa kita ini seorang plagiat dengan deretan bukti yang ditunjukkan oleh orang lain. Sebelum kita mau menerbitkan karya tulis kita, sebenarnya kita dapat bertanya kepada diri sendiri tentang apakah karya tulis kita merupakan hasil plagiat atau tidak. Bagaimana kalau suara hati kita mengatakan itu bukan merupakan karya plagiat, namun di dalamnya ada beberapa tulisan yang meniru gagasan orang lain? Asal kita dapat mempertanggungjawabkan, mengapa kita harus takut? Sekali lagi, meniru tidaklah merupakan suatu cela pada saat kita memang mau belajar menulis. Meniru, ada kemungkinan, bisa membantu kita untuk menemukan karakter kita. Kedua, saya kok juga yakin bahwa setiap orang dapat menuliskan sesuatu. Setiap orang tentu memunyai pengalaman, seberapapun sederhananya pengalaman yang dimilikinya. Pengalaman inilah yang dapat dijadikan bahan untuk dituliskan. Apa gunanya pengalaman dituliskan? Ya untuk diseleksi, lewat kegiatan menulis, apakah pengalaman itu berharga untuk diri sendirinya atau tidak? Kalau tidak atau kurang berharga, ya dicoba dihargainya sendiri atau dicari jalan keluarnya agar pengalaman berikutnya dapat mengesankannya atau membuat dirinya berharga. Dan ini bisa dilakukan siapa saja lewat menulis. Kadang-kadang, memang, ada orang yang sudah kebelet atau ingin menulis, tetapi macet atau kehabisan kata-kata. Saya ingin menunjukkan kepada orang ini bahwa sebenarnya bukan soal dia tidak bisa atau tidak mampu menulis. Tetapi yang membuat dirinya macet menulis adalah ketidaktersediaan bahan yang ada pada dirinya. Atau dalam kata lain, orang ini sebenarnya tidak punya banyak pengalaman mengenai apa yang ingin ditulisnya. Nah, untuk memudahkan agar kita dapat menuliskan sesuatu berdasarkan pengalaman yang kita miliki, kita harus bersikap jujur kepada diri kita sendiri. Kalau kita menipu diri kita -- dengan mengatakan bahwa di dalam diri tersimpan banyak pengalaman berharga yang layak dibagikan kepada orang lain, padahal sebenarnya tidak ada -- ya, tentu, kita akan kesulitan dalam menuangkan pengalaman kita dalam bentuk tertulis. (Meskipun, ya meskipun, kita sudah dibantu oleh seorang penulis andal lain dalam menuliskan pengalaman kita itu.) Agar kita dapat jujur dengan diri kita sendiri saat menuliskan pengalaman kita, saya sarankan menulislah lebih dulu untuk ditujukan kepada diri sendiri. Buatlah catatan harian yang diisi setiap hari secara kontinu dan konsisten. Buku catatan harian dapat menjadi alat bantu yang luar biasa -- dan saya sudah membuktikan keampuhannya -- dalam melakukan tes apakah kita punya pengalaman berharga atau tidak untuk kita bagikan kepada orang lain. Saya kira, buku catatan harian juga bisa lebih berperan dari sekadar alat bantu seperti itu. Buku catatan harian juga dapat menunjukkan siapa diri kita, apa ciri khas kita, dan apa sebenarnya keunikan yang kita miliki. Sampailah kita pada batas akhir. Apakah kejujuran ini bisa menjadi kriteria baru untuk sebuah tulisan yang baik? Apa sebenarnya tulisan yang baik itu? Menurut saya, tulisan yang baik adalah tulisan yang bermanfaat bagi perkembangan diri orang lain. Apabila tulisan itu dibaca orang lain dan orang lain yang membacanya dapat memperbaiki dirinya akibat membaca tulisan itu, maka inilah yang saya maksud dengan tulisan yang baik. Tulisan dalam bentuk fiksi atau pun nonfiksi dapat bertindak sebagaimana yang saya sebutkan sebelum ini. Tulisan dapat memengaruhi orang lain. Tulisan berbeda dengan penggambaran secara visual. Sebuah tulisan dapat mengajak seseorang untuk merenungkan dirinya sendiri. Tulisan dapat berubah seperti cermin yang dapat digunakan untuk berkaca -- baik itu menyangkut keadaan fisik maupun nonfisik orang yang membaca sebuah tulisan. Nah, supaya setiap tulisan yang dilahirkan oleh seorang penulis dapat menjadi tulisan yang baik dan dapat memengaruhi pembacanya menjadi lebih baik, saya ingin mensyaratkan bahwa tulisan tersebut harus ditulis secara jujur oleh penulisnya. Semoga apa yang saya gagas ini dapat dipahami. Dan saya ingin mengakhiri tulisan saya ini dengan kata-kata berikut ini. "Saya hanya bisa mengeluarkan kata-kata dan merangkai kata-kata itu menjadi sesuatu yang berharga (atau kadang kata-kata itu "bertenaga") untuk diri saya -- dan semoga juga berharga untuk pembaca tulisan saya -- apabila saya menulis apa adanya tentang diri saya. Ini berarti saya harus jujur kepada diri saya sendiri." Diambil dan disunting seperlunya dari: Nama situs: mifty.tripod.com Penulis: Hernowo Alamat URL: http://www.mifty.tripod.com/id51.html ARTIKEL 3_____________________________________________________________ SILET KEJUJURAN "Jujur pada tulisan", kurang lebih seperti itulah perkataan Samuel Mulia malam itu. Sosok yang lebih aku kenal melalui kolom parodi Harian Kompas tiap edisi Minggu. Tulisannya ringan, berbicara tentang hal-hal yang terjadi di sekitar kita, tetapi sebetulnya punya kekuatan tampar yang kuat, atau untuk seorang Samuel lebih tepat dikatakan punya daya silet yang supertajam. Dia memuji Tuhan karena pernah mengalami semua hal yang negatif. Tidak ada yang dia tutup-tutupi dari perjalanan hidupnya. Semua diungkapkan dalam bahasa yang lugas, gamblang, atau bahkan vulgar. Pilihan kata yang dipilih bisa membuat orang rikuh atau gelisah. Urusan main dengan suami orang, menurut Samuel adalah hal yang paling enak. Dia juga sempat menganut anal ampun; setelah melakukan anal tinggal minta ampun pada Tuhan. Ini adalah sebagian hal negatif yang dia lakukan sebelum dia diperbarui. Ya, seorang Samuel adalah orang yang sudah diperbarui. Ia kini hidup dalam kebenaran, karena itu ia selalu jujur terhadap tulisan dan tidak mengkhayal. Ia rela melakukan itu. Ia sering memosisikan dirinya sebagai korban dalam tulisan-tulisannya. Menanggapi pertanyaan Ei, ia berkata bahwa ia memang pernah menjadi korban dan karena itu ia ingin menyampaikan pesan untuk jangan pernah menjadi korban. Dia menulis dengan bahasa yang mudah dimengerti. Tulisannya pasti menimbulkan berbagai komentar, dan pasti ada komentar tidak enak, pedas, atau salah kaprah. Ketika ditanya Nenden, "Bagaimana `you deal with it`, menanggapi para komentator dadakan itu?" Samuel berkata, "You don`t deal with it." Menulislah dengan kejujuran, tanpa peduli bagaimana tanggapan orang. Ancaman juga bukan sesuatu yang perlu ditakuti, dan dia mengingatkan bahwa ancaman sesungguhnya hal biasa, yang dihadapi oleh berbagai profesi, bukan saja penulis, kan! Menurut Samuel, tulisan kita mencerminkan diri kita. "We (tulisan kita) represent our personality". Orang seharusnya bisa melihat kita melalui tulisan kita, atau lebih tepat lagi, lewat tulisan kita, orang bisa melihat kepribadian kita. Untuk itu, seorang penulis harus menemukan dirinya. Buat dia, tidak ada alasan karena pemula, maka seseorang harus meniru dan mencontek gaya penulis tenar. Lupakan itu semua. Ia mengagumi Tohari, tapi toh tulisan Samuel jelas bukan tulisan Ahmad Tohari. Serupa pun tidak. Buka mata, buka telinga. Belajar untuk sensitif. Belajar untuk menjadi lebih peka dengan sekitar kita. Tidak ada yang perlu diperbuas karena terlalu sederhana. Tidak perlu dibuat-buat untuk membuat sesuatu hal tidak terlalu sederhana. Tetapi cobalah melihat dari cara yang lain. Geser pantat sedikit untuk bisa menemukan cara baru membuat "blackforest". Mengapa tidak? Kita tidak boleh terlalu malas untuk "geser pantat", karena itu bisa memberi pemandangan yang berbeda, padahal kita sebetulnya masih berbicara tentang hal yang sama. Bikin "blackforest" memang ada resep baku, tapi apa salahnya menemukan cara baru membuat "blackforest", kan? Ini juga perlu, untuk membuat diri kita tidak sama dengan orang lain. Tulisan jadi dibaca! Ah, Samuel Mulia ternyata bukan saja pintar memakai kata-kata, tetapi juga pintar memasarkan diri sendiri. Menciptakan merek, yaitu "Samuel Mulia". Padahal, lebih dari satu kali dia berkata bahwa dia itu bodoh. Buku-buku terkenal lebih banyak menjadi "interior design" ketimbang dibaca. Punya penyakit lupa ingatan dan menghindari jargon-jargon yang tidak dia mengerti. Berbicara pun banyak memakai istilah-istilah yang "yuk, yak, yuuuk". Tetapi, ah, sulit membayangkan kebodohan dari Samuel Mulia yang keluaran sekolah kedokteran itu! Buat aku, Samuel sama sekali tidak bodoh, tetapi sungguh rendah hati. Di balik ketajaman omongan seorang Samuel, ia menulis dengan niat yang tulus. Karena dia menulis dalam terang. Menurut Samuel, di dalam gelap kita tidak bisa melihat apa-apa. Kejujuran dan kebenaran membuat kolom parodi menjadikan pembaca "naik kelas" dan bukan "turun kelas". Iya kan, kita tidak merasa menjadi manusia bodoh ketika membaca tulisan-tulisannya, walaupun barangkali sebetulnya Samuel tengah membodohi-bodohi kelakuan kita dengan kata-kata. Dua jam yang menyenangkan bersama Samuel dan teman-teman. Pada akhirnya, mengenai tulisan dia berkata, "At end of the day, it comes from the heart", dan ya, Samuel -- menurutku -- memang punya hati yang mulia. Diambil dan disunting seperlunya dari: Nama situs: Mediabersama.com Penulis: Mellyana Frederika Alamat URL: http://mediabersama.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1798:silet-kejujuran&catid=932:pandangan&Itemid=110 PENA MAYA_____________________________________________________________ WANITA KRISTEN: KUMPULAN BAHAN UNTUK MENULIS SEPUTAR WANITA Berbahagialah Anda, para wanita Kristen Indonesia, karena sebuah situs baru yang secara khusus ditujukan bagi Anda telah hadir, yakni situs Wanita Kristen. Situs yang diluncurkan oleh Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org > ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk para wanita Kristen bertemu dan berbagi berkat, baik dengan saling bertukar bahan maupun bertukar pikiran. Situs ini juga merupakan pusat bahan yang lengkap bagi Anda yang ingin menulis hal-hal seputar wanita Kristen maupun mengenai wanita pada umumnya. Mari, segeralah berkunjung ke alamat situs di atas karena kami jamin wawasan dan pengetahuan Anda pasti akan bertambah luas. Apakah ada banyak bahan yang bisa dibagikan? Ya, tentu saja! Situs Wanita Kristen menyediakan artikel, renungan, kesaksian, biografi, dan tips yang mengupas berbagai topik, yang semuanya sangat berguna untuk para wanita Kristen, di antaranya topik tentang keluarga, kesehatan, konseling, pernikahan, "single life", karier, kehidupan rohani, relasi, dan pengembangan diri. Selain itu, Anda juga diajak untuk saling berbagi, yakni dengan mengirimkan tulisan dan komentar, sehingga Anda pun dapat menjadi berkat bagi wanita lain. Guna menambah kreativitas Anda, silakan nikmati fasilitas sajian ayat hari ini, kata bijak, pencarian ayat, dan RSS, yang akan sayang sekali untuk dilewatkan. Nah, jangan tunda lagi! Kunjungilah dan berpartisipasilah di situs Wanita Kristen -- tempat yang tepat untuk para wanita Kristen saling menajamkan pikiran dan memperkuat iman. ==> http://wanita.sabda.org/ POJOK BAHASA_________________________________________________________ LEBIH DEKAT DENGAN PREPOSISI "DI" DAN "PADA" Diringkas oleh: Dian Pradana Dalam bahasa Indonesia, "di" memunyai dua fungsi: sebagai prefiks (awalan) dan sebagai preposisi (kata depan). Kedua fungsi yang berbeda ini kerap dikacaukan dalam penggunaannya. a. Sebagai prefiks: "di" selalu diikuti oleh verba (kata kerja), dan ditulis serangkai dengan verba tersebut. Contoh: ditulis, didorong, dimakan b. Sebagai preposisi: - "di" diikuti oleh keterangan tempat (yang biasanya adalah kata benda/nomina) dan ditulis terpisah dari keterangan tempat yang mengikutinya. Contoh: di jalan, di kantor, di Bandung - "di" untuk keterangan tempat yang lebih spesifik mendapat tambahan kata yang sesuai dengan kekhususan tersebut, seperti atas, bawah, luar, muka, dalam, dan belakang. Contoh: di atas meja, di bawah bantal, di rumah Catatan khusus: a. Preposisi "di" tidak boleh digunakan untuk menunjukkan waktu. Sebagai gantinya digunakan kata "pada". Contoh: di zaman Sriwijaya, seharusnya: pada zaman Sriwijaya di bulan yang lalu, seharusnya: pada bulan yang lalu di senja hari, seharusnya: pada senja hari *) Jika dalam syair atau puisi ada keterangan waktu memakai preposisi "di", itu karena "licentia poetika". Kadang-kadang seorang penyair harus menyusun kata-kata untuk mendapatkan keseimbangan bunyi yang dapat melahirkan rasa keindahan. b. Preposisi "di" tidak digunakan jika diikuti kata ganti orang, seperti saya, dia, kamu, mereka, ayah, ibu, dan kakak. Sebagai gantinya digunakan kata depan "pada". Contoh: Bukumu ada di saya. Seharusnya: Bukumu ada pada saya. Titipkan bukuku di Sandri. Seharusnya: Titipkan bukuku pada Sandri. c. Preposisi "di" tidak digunakan jika yang mengikutinya kata benda abstrak (tak berwujud). Sebagai gantinya digunakan preposisi "pada", kadang-kadang dapat juga digunakan preposisi "dalam". Contoh: di pertandingan itu, di pikirannya, di pertemuan itu, di kesempatan ini, seharusnya: pada/dalam pertandingan itu, pada/dalam pikirannya, pada/dalam pertemuan itu, pada/dalam kesempatan ini. d. Preposisi "di" tidak digunakan jika keterangan tempat didahului oleh angka. Contoh: di sebuah kapal, seharusnya: pada sebuah kapal di dua kamar, seharusnya: pada dua kamar di banyak kantor, seharusnya: pada banyak kantor e. Preposisi "di" tidak digunakan jika diikuti oleh keterangan tempat yang tidak sebenarnya. Contoh: Di wajahmu kulihat bulan. Seharusnya: Pada wajahmu kulihat bulan. Ada sisa makanan di sela-sela gigi anak itu. Seharusnya: Ada sisa makanan pada sela-sela gigi anak itu. Diringkas dari: Nama majalah: Matabaca Edisi: Vol.4/No.3/November 2005 Penulis: Edi Warsidi Halaman: 20 ______________________________________________________________________ Pimpinan redaksi: Davida Welni Dana Staf Redaksi: Yohanna Prita Amelia dan Sri Setyawati Kontributor: Dian Pradana Kontak redaksi/kirim bahan: penulis(at)sabda.org Berlangganan: Kirim e-mail ke subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti: Kirim e-mail ke unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/ Situs PELITAKU: http://pelitaku.sabda.org/ Forum Penulis: http://pelitaku.sabda.org/forum Network Literatur: http://www.in-christ.net/komunitas_umum/network_literatur Kunjungi Blog SABDA di http://blog.sabda.org ______________________________________________________________________ Melayani sejak 3 November 2004 Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA. Didistribusikan melalui sistem network I-KAN. Copyright(c) e-Penulis 2009 / YLSA -- http://www.ylsa.org/ Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |