Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/55

e-Penulis edisi 55 (20-5-2009)

Kejujuran dalam Menulis


__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                          Edisi: 055/Mei/2009
                     Tema: Kejujuran dalam Menulis

DARI REDAKSI__________________________________________________________

                    BATASAN KEJUJURAN DALAM MENULIS

  Shalom,

  Kejujuran dalam menulis. Sebuah pernyataan yang bagi beberapa
  penulis sangat sulit untuk diberi batasan. Apakah itu berarti tidak
  boleh menulis cerita fiksi karena menceritakan hal yang sebenarnya
  tidak terjadi bahkan hal yang sebenarnya tidak ada di dunia ini?
  Atau tidak bolehkah kita menulis tentang dinginnya salju jika kita
  belum pernah memegang salju di negeri empat musim? Atau tidak
  bolehkah seorang penulis menguntai kata-kata yang penuh aroma
  kebahagiaan ketika hatinya sendiri sedang sendu?

  Ya, orang bisa berpendapat berbeda-beda mengenai arti kejujuran 
  dalam menulis. Dan Sahabat Penulis terkasih pun bisa memiliki 
  argumen yang berbeda-beda mengenai hal ini. Namun, bolehlah kita 
  juga melihat pendapat dan pengalaman dari para penulis lain mengenai 
  makna kejujuran dalam menulis. Tentu saja tujuannya agar semakin 
  membuka wawasan dan pengetahuan kita sehingga kita dapat memberikan 
  batasan yang tepat mengenainya. Redaksi e-Penulis telah menyiapkan 
  artikel-artikel bertemakan kejujuran dalam menulis. Da menariknya, 
  artikel-artikel tersebut lebih banyak berbicara mengenai pengalaman 
  "kejujuran dalam menulis", bukan sekadar teori saja. Kiranya menjadi 
  berkat bagi kita semua dan kita bisa mendulang banyak pelajaran 
  melaluinya.

  Pimpinan Redaksi e-Penulis,
  Davida Welni Dana
  http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/
  http://pelitaku.sabda.org/

______________________________________________________________________

        Pastikan bahwa apa yang kita tulis itu benar dan secara        
   jujur menggambarkan diri kita dalam setiap karya yang kita tulis.                       
                          - Steven Wagenheim -

DAFTAR ISI____________________________________________________________

  - Dari Redaksi: Batasan Kejujuran dalam Menulis
  - Daftar Isi
  - Artikel 1: Kejujuran dalam Menulis
  - Artikel 2: Menulis Itu Melatih Saya untuk Jujur
  - Artikel 3: Silet Kejujuran
  - Pena Maya: Wanita Kristen: Kumpulan Bahan untuk Menulis Seputar
               Wanita
  - Pojok Bahasa: Lebih Dekat dengan Preposisi "Di" dan "Pada"

ARTIKEL_______________________________________________________________

                       KEJUJURAN DALAM MENULIS

  Saat kita berbicara tentang menulis dengan jujur, kita tidak 
  bermaksud mengatakan bahwa penulis mengatakan yang sebenarnya. 
  Stephen King misalnya, adalah (atau setidaknya dulu -- beberapa dari 
  kita sedikit prihatin dengan novel-novel terakhirnya) seorang 
  penulis yang jujur. Padahal kita tahu setiap kata-katanya adalah 
  kebohongan. Kata-katanya banyak yang tidak benar, misalnya saja, 
  kota Derry, Maine, yang disebut dalam novel-novelnya itu tidak 
  benar-benar ada. 
  
  Kejujuran King nampak dalam penanganannya terhadap karakterisasi, 
  observasi, dan interaksi manusia. Tidak masalah jika Stuttering Bill 
  (karakter dalam novel King yang berjudul "It") dan adik laki-lakinya 
  yang dibunuh tidak pernah benar-benar ada. Yang penting adalah 
  bagaimana Bill merespons pembunuhan itu dan ketidakmampuan orang 
  tuanya dalam menghadapi kenyataan itu. Respons yang jujur, itulah 
  yang penting. Mungkin respons mereka hanyalah salah satu dari banyak 
  respons yang mungkin dapat timbul; tapi respons itu jujur.

  Namun demikian, beberapa penulis menulis karakter-karakter yang 
  merasakan, bersikap, dan merespons dalam cara yang sepertinya 
  didikte untuk kepentingan plot. Misalnya, saya yakin kita semua 
  pernah membaca sebuah misteri pembunuhan, di mana seseorang yang 
  kehilangan orang yang dicintainya karena dibunuh oleh seorang 
  pembunuh berantai, tertawa dan minum sampanye bersama detektif yang 
  memecahkan kasusnya 48 jam kemudian. Apakah cerita seperti itu 
  nyata? Menurutku tidak.
  
  Hal yang sama juga terjadi dalam tulisan nonfiksi. Saat kita menulis 
  esai, kita seharusnya menuliskan pemikiran kita tentang suatu subjek 
  di atas kertas. Namun, sering kali, yang ada di pikiran kita adalah 
  pikiran orang lain yang kita anggap pintar. Akibatnya, diakui atau 
  tidak, banyak esai tidak lebih dari sekadar rangkaian 
  kutipan-kutipan dari "para ahli".
  
  Misalnya, dalam sebuah esai tentang pentingnya tidur malam bagi 
  kesehatan kita, seorang siswa memberikan referensi tentang tidur 
  dari seorang ahli yang mengatakan bahwa Anda tidak bisa mengganti 
  waktu tidur yang hilang. Apakah siswa itu benar-benar memercayainya? 
  Pertanyaan pertama yang terlintas di pikiran saya adalah, "Apa 
  maksudnya itu?" Jika kita tidak pernah dapat mengganti waktu tidur 
  kita yang hilang, apakah itu berarti bahwa efek dari malam-malam 
  tanpa tidur yang saya alami 5 tahun lalu masih ada dalam diri saya? 
  Bagaimana dengan malam-malam saat kita bayi, saat sakit perut 
  membuat kita tetap terjaga? Tidak heran kita menjadi tua dan mati --
  setiap jam tidak tidur menyumbang satu paku di peti mati kita.
  
  Menulis bukanlah tentang memeriksa fakta-fakta yang kita hadirkan, 
  meski hal itu juga penting. Intinya adalah beberapa "fakta" secara 
  otomatis menimbulkan pertanyaan dalam pikiran mereka yang pernah 
  mendengarnya, namun sedikit yang cukup jujur untuk mengakuinya.
  
  Bahkan, mungkin adalah kemampuan untuk mengatakan "Apa artinya?" 
  yang membentuk fondasi tulisan yang jujur. Dalam "It", plotnya 
  mengharuskan kakak Stuttering Bill dibunuh, yang akhirnya membuat 
  orang tuanya menjadi dingin dan kehilangan emosi. Seorang penulis 
  yang tidak jujur hanya akan menggambarkan hal itu dalam satu bentuk 
  atau bentuk lainnya. King, di sisi lain, bertanya pada dirinya 
  sendiri, "Apa maksudnya?" "Bagaimana rasanya memiliki seorang adik 
  yang dibunuh dengan brutal?" "Bagaimana rasanya jika orang tua 
  mengabaikan kita karena mereka terlalu terluka dan hancur untuk 
  melihat kebutuhan di luar kebutuhan mereka sendiri?" Dan kemudian ia 
  menulisnya.
  
  Intinya, ini adalah dasar dari tulisan yang baik. Kita bertanya 
  kepada diri kita sendiri, "Apa maksudnya?" dan kemudian kita 
  menuliskannya. 

  Diterjemahkan dari:
  Nama situs: Roughly 1,000 Words
  Judul asli artikel: Honesty in Writing
  Penulis: Professor C. Simpson
  Alamat URL: http://1000wordsaweek.blogspot.com/2008/02/honesty-in-writing.html

ARTIKEL_______________________________________________________________

                  MENULIS ITU MELATIH SAYA UNTUK JUJUR

  Ya, menuliskan apa saja ke selembar kertas berarti saya sebenarnya
  sedang berusaha keras untuk jujur kepada diri saya sendiri. Menulis
  adalah sebuah aktivitas yang sangat personal. Yang terlibat hanyalah
  diri sang penulis, meskipun dia menuliskan tentang
  persoalan-persoalan besar yang melingkupi dirinya.

  Memang betul bahwa pada saat menulis, saya dibantu oleh banyak hal. 
  Pertama, mungkin, adalah pengalaman saya berinteraksi dengan orang 
  lain. Ini jelas sesuatu yang membuat saya memunyai bahan untuk 
  dituliskan. Saya tidak dapat -- atau akan mengalami kesulitan --
  menulis apabila bahan-bahan yang ingin saya tuliskan tidak atau 
  belum menjadi bagian dari pengalaman saya.

  Kedua, mungkin, saya dibantu atau, bahkan, didorong oleh gagasan 
  hebat milik orang lain sehingga saya harus menuliskan sesuatu. 
  Gagasan hebat ini bisa saja saya temukan di buku-buku yang saya 
  baca, atau saya peroleh dari menonton film, sinetron, atau saya gaet 
  dari irama musik yang saya dengarkan. Kadang-kadang gagasan yang 
  mampu mendorong saya menulis datang bagaikan kilat. Dan ini, kadang, 
  tidak bisa saya duga sebelumnya.

  Ketiga, mungkin saja, saya dibantu oleh ketidakstabilan emosi saya
  akibat gangguan orang lain. Misalnya saja saya dibuat kesal oleh
  seseorang atau saya dipuji habis-habisan oleh seseorang sehingga
  diri saya limbung. EQ atau kecerdasan emosi biasanya sangat sering
  saya gunakan pada saat-saat awal akan menulis.

  Tentu, tidak hanya tiga hal itu yang membantu saya sehingga saya 
  dapat menuliskan sesuatu. Saya kira saya masih bisa menyebutkan 
  banyak hal. Dan saya kira, orang lain bisa menyebut lebih banyak hal 
  lagi ketika dia dapat menuliskan sesuatu. Saya cukupkan tiga hal itu 
  sekadar untuk menunjukkan bahwa meskipun menulis itu merupakan 
  kegiatan yang sangat personal, tetap saja banyak faktor di luar sang 
  diri personal yang membantunya dapat menulis.

  Namun -- lagi-lagi saya harus cepat-cepat menambahkan sesuatu di 
  sini -- semua itu tetap harus dikembalikan kepada diri sendiri pada 
  saat kita mau menuliskan sesuatu. Apapun faktor di luar diri Anda 
  yang dapat memengaruhi atau menggerakkan Anda untuk bisa menulis, 
  faktor-faktor dari luar itu tetap tidak ada gunanya apabila tidak 
  Anda pertemukan dengan totalitas diri Anda. Apabila kita tidak dapat 
  berkompromi dengan, atau tidak mau memahami, atau tidak jujur kepada 
  diri kita sendiri, ada kemungkinan kita tidak dapat menulis secara 
  lancar, mengalir, dan menyenangkan.

  Apa yang saya maksud dengan "jujur kepada diri sendiri"? Tidak mudah 
  memang membicarakan soal jujur ini. Bagaimana kita mengukur sebuah 
  kejujuran? Apabila kejujuran dikaitkan dengan kegiatan menulis, ada 
  kemungkinan kita dapat mengukur soal jujur ini dari seberapa jauh 
  seorang penulis tidak menjiplak atau menelan mentah-mentah gagasan 
  orisinal orang lain.

  Apakah di dunia ini ada gagasan orisinal milik seorang penulis, 
  misalnya? Bukankah setiap penulis itu tentu, ujung-ujungnya, hanya 
  merakit gagasan-gagasan banyak orang dan kemudian sedikit diimbuhi 
  dengan gagasannya sendiri? Bagaimana menentukan bahwa sebuah gagasan 
  adalah milik atau merupakan temuan orisinal seorang penulis?

  Bagaimana pula dengan sosok seorang Chairil Anwar yang -- pada awal 
  mencipta sajak, menurut beberapa pengamat, beliau belajar banyak 
  dari sajak-sajak orang lain? Bagaimana pula dengan Buya Hamka yang 
  pernah diisukan menciptakan sebuah novel yang juga, menurut beberapa 
  pengamat, mirip dengan novel yang diciptakan oleh penulis asing? 
  Bagaimana kita mendudukkan soal-soal seperti ini?

  Saya tidak ingin membawa persoalan "jujur kepada diri sendiri" itu
  melebar-lebar. Saya akan mencoba menunjukkan saja kepada para
  pembaca tulisan saya tentang pendapat saya. Bisa jadi, pendapat saya
  ini masih belum sempurna atau banyak memiliki kekurangan. Namun,
  yang ingin saya harapkan adalah semoga saya dapat membantu Anda
  untuk memecahkan sendiri persoalan-persoalan berkaitan dengan
  kejujuran dalam menulis.

  Pertama, saya kok sangat yakin bahwa setiap manusia -- termasuk di
  sini para penulis -- punya ciri khasnya sendiri-sendiri yang tidak
  mungkin sama persis dengan orang lain. Saya kira, pada suatu saat
  kelak, entah kapan, setiap manusia bisa menemukan sendiri ciri khas
  tersebut. Apalagi seorang penulis. Seorang penulis diberi kemampuan
  lebih oleh Sang Penciptanya untuk lebih cepat, lebih kukuh, dan
  lebih percaya diri dalam menemukan ciri-ciri khas yang dimilikinya.

  Jadi, bagi saya, pada tahap sangat awal, seorang penulis layak 
  meniru gaya penulis lain. Bahkan di sini, saya ingin mengatakan 
  secara tegas dan lantang: harus! Harus meniru lebih dahulu. Dahulu, 
  waktu masih kanak-kanak, kita meniru cara bicara orang tua kita. 
  Juga, kita meniru cara berjalan orang-orang di sekeliling kita. 
  Sekarang, sesudah dewasa, kita punya ciri khas sendiri dalam 
  berbicara. Juga, mungkin, dalam berjalan. Jadi tidak apa, pada saat 
  awal meniru, bukan?

  Bagaimana supaya kita tidak jatuh dalam bentuk plagiat? Jujurlah 
  kepada diri Anda sendiri. Saya kira tidak usah orang lain yang 
  memutuskan bahwa kita ini seorang plagiat dengan deretan bukti yang 
  ditunjukkan oleh orang lain. Sebelum kita mau menerbitkan karya 
  tulis kita, sebenarnya kita dapat bertanya kepada diri sendiri 
  tentang apakah karya tulis kita merupakan hasil plagiat atau tidak.

  Bagaimana kalau suara hati kita mengatakan itu bukan merupakan karya 
  plagiat, namun di dalamnya ada beberapa tulisan yang meniru gagasan 
  orang lain? Asal kita dapat mempertanggungjawabkan, mengapa kita 
  harus takut? Sekali lagi, meniru tidaklah merupakan suatu cela pada 
  saat kita memang mau belajar menulis. Meniru, ada kemungkinan, bisa 
  membantu kita untuk menemukan karakter kita.

  Kedua, saya kok juga yakin bahwa setiap orang dapat menuliskan 
  sesuatu. Setiap orang tentu memunyai pengalaman, seberapapun 
  sederhananya pengalaman yang dimilikinya. Pengalaman inilah yang 
  dapat dijadikan bahan untuk dituliskan. Apa gunanya pengalaman 
  dituliskan? Ya untuk diseleksi, lewat kegiatan menulis, apakah 
  pengalaman itu berharga untuk diri sendirinya atau tidak? Kalau 
  tidak atau kurang berharga, ya dicoba dihargainya sendiri atau 
  dicari jalan keluarnya agar pengalaman berikutnya dapat 
  mengesankannya atau membuat dirinya berharga. Dan ini bisa dilakukan 
  siapa saja lewat menulis.

  Kadang-kadang, memang, ada orang yang sudah kebelet atau ingin
  menulis, tetapi macet atau kehabisan kata-kata. Saya ingin 
  menunjukkan kepada orang ini bahwa sebenarnya bukan soal dia tidak 
  bisa atau tidak mampu menulis. Tetapi yang membuat dirinya macet 
  menulis adalah ketidaktersediaan bahan yang ada pada dirinya. Atau 
  dalam kata lain, orang ini sebenarnya tidak punya banyak pengalaman 
  mengenai apa yang ingin ditulisnya.

  Nah, untuk memudahkan agar kita dapat menuliskan sesuatu berdasarkan 
  pengalaman yang kita miliki, kita harus bersikap jujur kepada diri 
  kita sendiri. Kalau kita menipu diri kita -- dengan mengatakan bahwa 
  di dalam diri tersimpan banyak pengalaman berharga yang layak 
  dibagikan kepada orang lain, padahal sebenarnya tidak ada -- ya, 
  tentu, kita akan kesulitan dalam menuangkan pengalaman kita dalam 
  bentuk tertulis. (Meskipun, ya meskipun, kita sudah dibantu oleh 
  seorang penulis andal lain dalam menuliskan pengalaman kita itu.)

  Agar kita dapat jujur dengan diri kita sendiri saat menuliskan 
  pengalaman kita, saya sarankan menulislah lebih dulu untuk ditujukan 
  kepada diri sendiri. Buatlah catatan harian yang diisi setiap hari 
  secara kontinu dan konsisten. Buku catatan harian dapat menjadi alat 
  bantu yang luar biasa -- dan saya sudah membuktikan keampuhannya --
  dalam melakukan tes apakah kita punya pengalaman berharga atau tidak 
  untuk kita bagikan kepada orang lain. Saya kira, buku catatan harian 
  juga bisa lebih berperan dari sekadar alat bantu seperti itu. Buku 
  catatan harian juga dapat menunjukkan siapa diri kita, apa ciri khas 
  kita, dan apa sebenarnya keunikan yang kita miliki.

  Sampailah kita pada batas akhir. Apakah kejujuran ini bisa menjadi
  kriteria baru untuk sebuah tulisan yang baik? Apa sebenarnya tulisan
  yang baik itu? Menurut saya, tulisan yang baik adalah tulisan yang
  bermanfaat bagi perkembangan diri orang lain. Apabila tulisan itu
  dibaca orang lain dan orang lain yang membacanya dapat memperbaiki
  dirinya akibat membaca tulisan itu, maka inilah yang saya maksud
  dengan tulisan yang baik.

  Tulisan dalam bentuk fiksi atau pun nonfiksi dapat bertindak 
  sebagaimana yang saya sebutkan sebelum ini. Tulisan dapat 
  memengaruhi orang lain. Tulisan berbeda dengan penggambaran secara 
  visual. Sebuah tulisan dapat mengajak seseorang untuk merenungkan 
  dirinya sendiri. Tulisan dapat berubah seperti cermin yang dapat 
  digunakan untuk berkaca -- baik itu menyangkut keadaan fisik maupun 
  nonfisik orang yang membaca sebuah tulisan.

  Nah, supaya setiap tulisan yang dilahirkan oleh seorang penulis 
  dapat menjadi tulisan yang baik dan dapat memengaruhi pembacanya 
  menjadi lebih baik, saya ingin mensyaratkan bahwa tulisan tersebut 
  harus ditulis secara jujur oleh penulisnya. Semoga apa yang saya 
  gagas ini dapat dipahami. Dan saya ingin mengakhiri tulisan saya ini 
  dengan kata-kata berikut ini.

  "Saya hanya bisa mengeluarkan kata-kata dan merangkai kata-kata itu 
  menjadi sesuatu yang berharga (atau kadang kata-kata itu 
  "bertenaga") untuk diri saya -- dan semoga juga berharga untuk 
  pembaca tulisan saya -- apabila saya menulis apa adanya tentang diri 
  saya. Ini berarti saya harus jujur kepada diri saya sendiri."

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Nama situs: mifty.tripod.com
  Penulis: Hernowo
  Alamat URL: http://www.mifty.tripod.com/id51.html

ARTIKEL 3_____________________________________________________________

                           SILET KEJUJURAN

  "Jujur pada tulisan", kurang lebih seperti itulah perkataan Samuel
  Mulia malam itu.

  Sosok yang lebih aku kenal melalui kolom parodi Harian Kompas tiap
  edisi Minggu. Tulisannya ringan, berbicara tentang hal-hal yang
  terjadi di sekitar kita, tetapi sebetulnya punya kekuatan tampar
  yang kuat, atau untuk seorang Samuel lebih tepat dikatakan punya
  daya silet yang supertajam.

  Dia memuji Tuhan karena pernah mengalami semua hal yang negatif. 
  Tidak ada yang dia tutup-tutupi dari perjalanan hidupnya. Semua 
  diungkapkan dalam bahasa yang lugas, gamblang, atau bahkan vulgar. 
  Pilihan kata yang dipilih bisa membuat orang rikuh atau gelisah. 
  Urusan main dengan suami orang, menurut Samuel adalah hal yang 
  paling enak. Dia juga sempat menganut anal ampun; setelah melakukan 
  anal tinggal minta ampun pada Tuhan. Ini adalah sebagian hal negatif 
  yang dia lakukan sebelum dia diperbarui.

  Ya, seorang Samuel adalah orang yang sudah diperbarui. Ia kini hidup 
  dalam kebenaran, karena itu ia selalu jujur terhadap tulisan dan 
  tidak mengkhayal. Ia rela melakukan itu. Ia sering memosisikan 
  dirinya sebagai korban dalam tulisan-tulisannya. Menanggapi 
  pertanyaan Ei, ia berkata bahwa ia memang pernah menjadi korban dan 
  karena itu ia ingin menyampaikan pesan untuk jangan pernah menjadi 
  korban.

  Dia menulis dengan bahasa yang mudah dimengerti. Tulisannya pasti 
  menimbulkan berbagai komentar, dan pasti ada komentar tidak enak, 
  pedas, atau salah kaprah. Ketika ditanya Nenden, "Bagaimana `you 
  deal with it`, menanggapi para komentator dadakan itu?" Samuel 
  berkata, "You don`t deal with it." Menulislah dengan kejujuran, 
  tanpa peduli bagaimana tanggapan orang. Ancaman juga bukan sesuatu 
  yang perlu ditakuti, dan dia mengingatkan bahwa ancaman sesungguhnya 
  hal biasa, yang dihadapi oleh berbagai profesi, bukan saja penulis, 
  kan!

  Menurut Samuel, tulisan kita mencerminkan diri kita. "We (tulisan
  kita) represent our personality". Orang seharusnya bisa melihat kita
  melalui tulisan kita, atau lebih tepat lagi, lewat tulisan kita,
  orang bisa melihat kepribadian kita. Untuk itu, seorang penulis
  harus menemukan dirinya. Buat dia, tidak ada alasan karena pemula,
  maka seseorang harus meniru dan mencontek gaya penulis tenar.
  Lupakan itu semua. Ia mengagumi Tohari, tapi toh tulisan Samuel
  jelas bukan tulisan Ahmad Tohari. Serupa pun tidak.

  Buka mata, buka telinga. Belajar untuk sensitif. Belajar untuk 
  menjadi lebih peka dengan sekitar kita. Tidak ada yang perlu 
  diperbuas karena terlalu sederhana. Tidak perlu dibuat-buat untuk 
  membuat sesuatu hal tidak terlalu sederhana. Tetapi cobalah melihat 
  dari cara yang lain. Geser pantat sedikit untuk bisa menemukan cara 
  baru membuat "blackforest". Mengapa tidak? Kita tidak boleh terlalu 
  malas untuk "geser pantat", karena itu bisa memberi pemandangan yang 
  berbeda, padahal kita sebetulnya masih berbicara tentang hal yang 
  sama. Bikin "blackforest" memang ada resep baku, tapi apa salahnya 
  menemukan cara baru membuat "blackforest", kan?

  Ini juga perlu, untuk membuat diri kita tidak sama dengan orang 
  lain. Tulisan jadi dibaca! Ah, Samuel Mulia ternyata bukan saja 
  pintar memakai kata-kata, tetapi juga pintar memasarkan diri 
  sendiri. Menciptakan merek, yaitu "Samuel Mulia".

  Padahal, lebih dari satu kali dia berkata bahwa dia itu bodoh. 
  Buku-buku terkenal lebih banyak menjadi "interior design" ketimbang 
  dibaca. Punya penyakit lupa ingatan dan menghindari jargon-jargon 
  yang tidak dia mengerti. Berbicara pun banyak memakai 
  istilah-istilah yang "yuk, yak, yuuuk". Tetapi, ah, sulit 
  membayangkan kebodohan dari Samuel Mulia yang keluaran sekolah 
  kedokteran itu!

  Buat aku, Samuel sama sekali tidak bodoh, tetapi sungguh rendah 
  hati. Di balik ketajaman omongan seorang Samuel, ia menulis dengan 
  niat yang tulus. Karena dia menulis dalam terang. Menurut Samuel, di 
  dalam gelap kita tidak bisa melihat apa-apa. Kejujuran dan kebenaran 
  membuat kolom parodi menjadikan pembaca "naik kelas" dan bukan 
  "turun kelas". Iya kan, kita tidak merasa menjadi manusia bodoh 
  ketika membaca tulisan-tulisannya, walaupun barangkali sebetulnya 
  Samuel tengah membodohi-bodohi kelakuan kita dengan kata-kata.

  Dua jam yang menyenangkan bersama Samuel dan teman-teman. Pada 
  akhirnya, mengenai tulisan dia berkata, "At end of the day, it comes 
  from the heart", dan ya, Samuel -- menurutku -- memang punya hati 
  yang mulia.

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Nama situs: Mediabersama.com
  Penulis: Mellyana Frederika
  Alamat URL: http://mediabersama.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1798:silet-kejujuran&catid=932:pandangan&Itemid=110

PENA MAYA_____________________________________________________________

    WANITA KRISTEN: KUMPULAN BAHAN UNTUK MENULIS SEPUTAR WANITA

  Berbahagialah Anda, para wanita Kristen Indonesia, karena sebuah 
  situs baru yang secara khusus ditujukan bagi Anda telah hadir, yakni 
  situs Wanita Kristen. Situs yang diluncurkan oleh Yayasan Lembaga 
  SABDA < http://www.ylsa.org > ini diharapkan dapat menjadi wadah 
  untuk para wanita Kristen bertemu dan berbagi berkat, baik dengan 
  saling bertukar bahan maupun bertukar pikiran. Situs ini juga 
  merupakan pusat bahan yang lengkap bagi Anda yang ingin menulis 
  hal-hal seputar wanita Kristen maupun mengenai wanita pada umumnya. 
  Mari, segeralah berkunjung ke alamat situs di atas karena kami jamin 
  wawasan dan pengetahuan Anda pasti akan bertambah luas.

  Apakah ada banyak bahan yang bisa dibagikan? Ya, tentu saja! Situs 
  Wanita Kristen menyediakan artikel, renungan, kesaksian, biografi, 
  dan tips yang mengupas berbagai topik, yang semuanya sangat berguna 
  untuk para wanita Kristen, di antaranya topik tentang keluarga, 
  kesehatan, konseling, pernikahan, "single life", karier, kehidupan 
  rohani, relasi, dan pengembangan diri. Selain itu, Anda juga diajak 
  untuk saling berbagi, yakni dengan mengirimkan tulisan dan komentar, 
  sehingga Anda pun dapat menjadi berkat bagi wanita lain.

  Guna menambah kreativitas Anda, silakan nikmati fasilitas sajian 
  ayat hari ini, kata bijak, pencarian ayat, dan RSS, yang akan sayang 
  sekali untuk dilewatkan. Nah, jangan tunda lagi! Kunjungilah dan 
  berpartisipasilah di situs Wanita Kristen -- tempat yang tepat untuk 
  para wanita Kristen saling menajamkan pikiran dan memperkuat iman.

  ==> http://wanita.sabda.org/

POJOK BAHASA_________________________________________________________

              LEBIH DEKAT DENGAN PREPOSISI "DI" DAN "PADA"
                      Diringkas oleh: Dian Pradana

  Dalam bahasa Indonesia, "di" memunyai dua fungsi: sebagai prefiks
  (awalan) dan sebagai preposisi (kata depan). Kedua fungsi yang
  berbeda ini kerap dikacaukan dalam penggunaannya.

  a. Sebagai prefiks:
     "di" selalu diikuti oleh verba (kata kerja), dan ditulis 
     serangkai dengan verba tersebut.
     Contoh: ditulis, didorong, dimakan

  b. Sebagai preposisi:
     - "di" diikuti oleh keterangan tempat (yang biasanya adalah kata
       benda/nomina) dan ditulis terpisah dari keterangan tempat yang
       mengikutinya.
       Contoh: di jalan, di kantor, di Bandung
     - "di" untuk keterangan tempat yang lebih spesifik mendapat
       tambahan kata yang sesuai dengan kekhususan tersebut, seperti
       atas, bawah, luar, muka, dalam, dan belakang.
       Contoh: di atas meja, di bawah bantal, di rumah

  Catatan khusus:

  a. Preposisi "di" tidak boleh digunakan untuk menunjukkan waktu.
     Sebagai gantinya digunakan kata "pada".
     Contoh:
     di zaman Sriwijaya, seharusnya: pada zaman Sriwijaya
     di bulan yang lalu, seharusnya: pada bulan yang lalu
     di senja hari, seharusnya: pada senja hari

     *) Jika dalam syair atau puisi ada keterangan waktu memakai
        preposisi "di", itu karena "licentia poetika". Kadang-kadang
        seorang penyair harus menyusun kata-kata untuk mendapatkan
        keseimbangan bunyi yang dapat melahirkan rasa keindahan.

  b. Preposisi "di" tidak digunakan jika diikuti kata ganti orang,
     seperti saya, dia, kamu, mereka, ayah, ibu, dan kakak. Sebagai
     gantinya digunakan kata depan "pada".
     Contoh: 
     Bukumu ada di saya. Seharusnya: Bukumu ada pada saya.
     Titipkan bukuku di Sandri. Seharusnya: Titipkan bukuku pada 
     Sandri.

  c. Preposisi "di" tidak digunakan jika yang mengikutinya kata benda
     abstrak (tak berwujud). Sebagai gantinya digunakan preposisi
     "pada", kadang-kadang dapat juga digunakan preposisi "dalam".
     Contoh: di pertandingan itu, di pikirannya, di pertemuan itu,
             di kesempatan ini, seharusnya: pada/dalam pertandingan 
             itu, pada/dalam pikirannya, pada/dalam pertemuan itu, 
             pada/dalam kesempatan ini.

  d. Preposisi "di" tidak digunakan jika keterangan tempat didahului
     oleh angka.
     Contoh: di sebuah kapal, seharusnya: pada sebuah kapal
             di dua kamar, seharusnya: pada dua kamar
             di banyak kantor, seharusnya: pada banyak kantor

  e. Preposisi "di" tidak digunakan jika diikuti oleh keterangan
     tempat yang tidak sebenarnya.
     Contoh: Di wajahmu kulihat bulan. Seharusnya: Pada wajahmu
             kulihat bulan.
             Ada sisa makanan di sela-sela gigi anak itu. Seharusnya:
             Ada sisa makanan pada sela-sela gigi anak itu.

  Diringkas dari:
  Nama majalah: Matabaca
  Edisi: Vol.4/No.3/November 2005
  Penulis: Edi Warsidi
  Halaman: 20

______________________________________________________________________
Pimpinan redaksi: Davida Welni Dana
Staf Redaksi: Yohanna Prita Amelia dan Sri Setyawati
Kontributor: Dian Pradana
Kontak redaksi/kirim bahan: penulis(at)sabda.org
Berlangganan: Kirim e-mail ke subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Berhenti: Kirim e-mail ke unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/
Situs PELITAKU: http://pelitaku.sabda.org/
Forum Penulis: http://pelitaku.sabda.org/forum
Network Literatur: http://www.in-christ.net/komunitas_umum/network_literatur

Kunjungi Blog SABDA di http://blog.sabda.org
______________________________________________________________________
Melayani sejak 3 November 2004
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
Copyright(c) e-Penulis 2009 / YLSA -- http://www.ylsa.org/
Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org