Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/39 |
|
e-Penulis edisi 39 (16-1-2008)
|
|
______________________________________________________________________ e-Penulis Menulis untuk Melayani Edisi 039/Januari/2008 MENGAPA MENJADI PENULIS? = DAFTAR ISI = * Dari Redaksi : Alasan Anda Menjadi Seorang Penulis * Mutiara Penulis * Artikel 1 : Melayani Dia Melalui Pena * Artikel 2 : Tujuan Menulis * Pojok Bahasa : Luluhnya "P" Sehabis "Me-" * Stop Press! : Kolom Baru E-Penulis ____________________________DARI REDAKSI______________________________ ALASAN ANDA MENJADI SEORANG PENULIS Apa alasan Anda ketika memutuskan untuk menekuni dunia tulis-menulis? Menyalurkan hobi, ingin terkenal, atau karena bisa mendapatkan uang melalui tulisan-tulisan Anda? Apakah hanya sebatas itu? Sebagai penulis, atau paling tidak calon penulis Kristen, hendaknya kita memunyai alasan yang lebih kekal dari alasan-alasan di atas. Menyampaikan kebenaran dan kabar sukacita melalui setiap tulisan kita, tentunya menjadi alasan dasar keputusan kita untuk menulis, mengingat betapa dahsyatnya pengaruh sebuah tulisan terhadap pembacanya. Menjadi penulis adalah pelayanan, seperti moto yang diusung publikasi e-Penulis ini, "Menulis untuk Melayani". Pakailah pena Anda untuk menjangkau setiap orang agar datang kepada-Nya. Seperti halnya uraian dalam sajian artikel kali ini. Simak juga tujuan menulis yang akan memperkuat alasan Anda untuk terus menulis. Mengawali tahun baru ini, sekali lagi redaksi ingin mengajak pembaca sekalian untuk bertanya pada diri sendiri, mengapa Anda menjadi seorang penulis? Selamat Tahun Baru 2008, selamat menyimak, dan mulailah mengisi tahun ini dengan tulisan-tulisan Anda! Pimpinan Redaksi e-Penulis, Puji Arya Yanti ___________________________MUTIARA PENULIS____________________________ MENULIS ITU SEBUAH PANGGILAN HIDUP _______________________________ARTIKEL 1______________________________ MELAYANI DIA MELALUI PENA Oleh: Drs. Xavier Quentin Pranata Di tengah-tengah seminar "Langkah Pemuda di Tengah Pergolakan Dunia", seorang mahasiswi Sastra Inggris Universitas Nasional Jakarta, yang juga menjadi salah seorang peserta seminar itu, memberiku selembar kertas. Aku terkejut. Aku belum begitu akrab dengan dia. Aku baru mengenalnya dua hari. Ya. Pada saat seminar itu saja. Namanya Inge! Ketika lembar kertas itu kubuka dari lipatannya, dahiku mengernyit. Isinya, kalau ingin tahu, puisi. Lho, kok sempat-sempatnya dia membuat puisi di tengah seminar yang cukup serius ini. Pantas dari tadi dia kulihat asyik menulis sesuatu. Kebetulan saja dia duduk persis di sebelahku. Kukira mencatat pokok-pokok pikiran pembicara. Ternyata! Inilah puisinya yang kukutip lengkap! Untuk: Xavier Quentin AKU INGIN MENULIS Selama napas masih, berdenyut Aku ingin menulis .... Selama masalah tak kunjung habis Aku ingin menulis .... Selama duka, sapi, bahagia masih mewarnai Aku ingin menulis .... Aku ingin menulis .... Berbagi rasa sejuta Mungkin tanggap ... sengap Saat ... suara bergema Membacakan sebait konsep Tentang asa ... rasa ... `tuk cinta Aku ingin menulis... . Dari, Inge. N.B. Yakinlah suatu ketika engkau bisa tunjukkan pada dunia identitas dirimu! Tetaplah mengucapkan syukur pada-Nya yang telah memberikan rahmat untuk menulis .... TETAPLAH MENULIS!!! Aku agak terkejut membaca puisi di atas. Lho, dari mana dia tahu kalau aku senang menulis. Belakangan aku tahu bahwa ada seorang temanku di Petra yang "mempromosikan" diriku di depannya. Menerima puisi yang penuh dorongan itu, tentu saja aku senang. Dan setelah puisi itu kurenungkan dalam-dalam, aku pun mengambil pena dan menarikannya di atas memo yang kubawa. Untuk: Inge AKU TETAP MENULIS Selama ilham datang menjelang Aku tetap menulis Selama tema mewarnai kanvas jiwa Aku tetap menulis Selama jantung masih berdetak Aku tetap menulis Akan kugali diksi Akan kugarap sajak Akan kutimba kata Akan kutata alinea Aku tetap menulis Berbahan kata, beralat pena Aku tetap menulis Mengubah diksi menjadi puisi Aku tetap menulis Mengolah abjad menjadi diktat Selama nadi masih berdenyut Aku tetap menulis Membagi rasa Membagi karsa Membagi cita Membagi cinta UNTUKMU! Dari, Xavier Quentin Pranata Ketika menerima puisi tersebut, Inge tersenyum. Manis sekali. Dia menjabat tanganku dengan erat. Dan kami makin akrab. Pada waktu aku pulang kembali ke Surabaya, dia mengantarku dengan lambaian tangannya. Sebelum berpisah, dia menantangku untuk berlomba menghiasi media massa dengan tulisan. Dan aku menyanggupinya. Sejak saat itu, aku makin "gila" menulis. Rasanya tiada hari tanpa menulis. Tetapi, tulisanku masih tetap tulisan sekuler dan kukirimkan ke majalah maupun koran "dunia" juga. Ini membuat "iri" beberapa temanku, baik yang duduk di redaksi majalah kampus "Genta" maupun temanku di Sastra Inggris. Salah satunya adalah Santi Yunaita. Dia begitu menggebu untuk ikut-ikutan menulis. Dia pun bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Pencinta Cerpen dan Puisi Cakrawala yang kukoordinir. Dia pun mulai menggeluti buku-buku tulis-menulis. Dan ... jerih payahnya tidak sia-sia. Cerpen-cerpennya mulai bermunculan di majalah-majalah remaja seperti "Mitra" dan "Gadis". Bahkan ada satu karyanya yang kuanggap luar biasa. Cerpen itu berjudul "Vas Bunga Berwarna Merah". Cerpen ini bercerita tentang konflik, baik jiwa dan raga, antara protagonis (tokoh utama) dengan adik kandungnya sendiri. Santi begitu manis mengolah cerpen ini sehingga karakter tokoh-tokohnya begitu hidup. Dia sudah bisa "masuk" ke dalam jiwa tokoh khayalannya. Ternyata, apa yang kukatakan kepadanya dulu menjadi kenyataan. Dulu, rasanya masih kemarin, dia pernah bertanya kepadaku: "Xavier, bagaimana sih caranya agar aku bisa seproduktif kamu?" Aku, kalau tidak salah ingat, hanya mengatakan satu kalimat: "Berlatih keras!" Dan hal itu kulakukan terus-menerus -- sampai detik ini! Belajar mengarang seperti belajar bahasa. Makin sering kita berlatih menggunakan bahasa yang kita pelajari, makin fasih juga kita menggunakannya. Poerwadarminta, dalam bukunya "ABC Karang Mengarang", mengatakan, "Sesungguhnya kecakapan mengarang itu tak lain daripada kecakapan menggunakan bahasa dengan tulisan. Sekarang karang-mengarang atau tulis-menulis sudah jadi bagian umum, bukan merupakan kegiatan yang luar biasa lagi." Hal ini pun pernah diungkapkan oleh Dahlan Iskan. Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi koran Jawa Pos ini, dalam kata sambutannya pada Saresehan Tahun Perdana Kelompok Diskusi dan Penulis Paradigma (3 Agustus 1986) di ruang Biru Jawa Pos, mengatakan: "Belajar menulis, kata orang, mirip dengan belajar naik sepeda. Masih ingatkah Anda ketika Anda belajar naik sepeda dulu? Apakah Anda membaca buku teori naik sepeda lebih dulu? Atau tiba-tiba saja Anda bisa naik sepeda? Ataukah Anda langsung saja memegang sepeda itu, kemudian mulai mencoba-coba sendiri? Ataukah juga seseorang membantu memegangi sepeda itu agar tidak jatuh?" Mungkin Anda akan menyanggah, "Naik sepeda lain dengan belajar menulis. Lagipula, aku tidak berbakat. Para penulis itu sudah dari sananya pandai menulis." Pendapat Anda itu ada benarnya. Memang ada orang yang dari sananya diberi bakat menulis. Tetapi, banyak juga orang yang tidak memunyai bakat menulis dan berhasil menjadi penulis yang baik. Bukankah kepenulisan, seperti halnya ilmu yang lain, dapat dipelajari dan dilatih? Lagipula, agar seseorang bisa menjadi penulis yang baik, yang paling diperlukan adalah AKU, singkatan dari Ambisi, Kemampuan, dan Usaha. "Writing is a matter of practice". Ya. Kepenulisan adalah masalah latihan. S. Mara GD., penulis novel misteri terkemuka Indonesia yang sering disebut sebagai Agatha Christi Indonesia, mengungkapkan pendapatnya, "Saya yakin, unsur bakat bukan yang terpenting dalam melakukan sesuatu. Ketekunan, semangat, dan tidak mudah menyerah, itulah modal utama" (Jakarta-Jakarta edisi 21 Agustus 1988 dalam rubrik "Reka Mereka"). Gary Provost, dalam bukunya "One Hundred Ways to Improve Your Writing" (100 Cara untuk Meningkatkan Penulisan Anda), berpendapat, "Bakat (dalam kepenulisan) memang diperlukan, tapi cuma 10%, sedang yang 90% adalah kemauan dan latihan." Wuri Sujatmiko, wartawan dan penulis, memunyai pandangan yang tidak jauh berbeda. Dalam salah satu saresehan pers dan kepenulisan, dia bertanya: "Mengapa tidak ada orang yang mengatakan bahwa dirinya tidak berbakat "bicara" dan kemudian memilih membungkam seumur hidup atau berbicara kalau amat dan sangat perlu saja? Bukankah menulis dan berbicara itu sama-sama merupakan alat komunikasi, dan sama-sama merupakan suatu keterampilan yang memerlukan latihan?" Nah, dari pendapat lima orang pakar di bidang kepenulisan itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kepenulisan memang merupakan proses yang bisa dipelajari dan dilatih. Makin sering dan makin keras kita berlatih, makin cepat kita menjadi penulis. Ingin bukti lagi? Pada waktu aku masih kuliah di Petra, ada seorang pelajar SMA dari kota Malang yang mengirimiku surat dan menyatakan ingin belajar menulis dariku. Membaca keinginannya yang menggebu untuk segera bisa menulis, aku tidak tega untuk tidak segera membalas suratnya. Di dalam surat itu kukatakan bahwa tidaklah tepat untuk belajar menulis dariku karena terus-terang saja, aku pun masih dalam taraf belajar -- sampai sekarang. Aku mengatakan kepadanya bahwa di antara aku dan dia tidak ada bedanya. Kami masih sama-sama belajar. Kalau aku lebih "bisa" menulis itu bukan karena kepandaianku, tetapi karena aku "lebih dulu" belajar dan menerjuni dunia yang mengasyikkan itu. Dia bisa mengerti. Dan hubungan surat-menyuratku dengan cewek Malang itu berlangsung terus. Di dalam setiap suratnya, dia pasti mengirimkan cerpen yang harus kuanalisa dan kuberi saran perbaikannya. Suatu ketika, entah siapa dulu yang menghentikan kebiasaan ini, surat kami terhenti sama sekali. Suatu hari, aku membaca sebuah cerpen yang cukup menarik di salah satu majalah ibu kota. Cerpen itu tidak akan menarik perhatianku kalau di akhir cerpennya tidak dituliskan demikian: "Buat guru menulisku: X.Q.P. di Surabaya." Ternyata "muridku" itu sudah bisa menjadi salah seorang penulis muda Indonesia yang cukup potensial. Mengapa kata "muridku" kuberi tanda kutip? Karena yang menjadi "gurunya" sebenarnya bukan aku. Aku hanya ikut memotivasi dia sedemikian rupa sehingga dia mau belajar keras. Kemauan itulah gurunya yang sebenarnya. Seandainya dia tidak mau belajar dan tidak bersedia berlatih keras dengan disiplin tinggi, usahaku akan sia-sia, bukan? Oleh karena itu dalam berbagai kesempatan, baik dalam acara jumpa pengarang, seminar, ceramah, diskusi, maupun saresehan kepenulisan dan kewartawanan, aku selalu menegaskan bahwa kemauan lebih penting daripada kemampuan. Kemampuan akan berkembang dengan sendirinya sesuai dengan kemauan kita untuk belajar. Lagipula, dari mana kita tahu kalau kita bisa menulis jika kita tidak pernah mencobanya? Karena itu, satu-satunya cara untuk mengetahui apakah kita bisa menjadi seorang penulis atau tidak adalah dengan cara mencobanya. Aku pun dulu menggunakan sistem "trial and error" dalam perjalanan kepenulisanku. Salah, ganti. Salah, ulang, ganti. Salah, perbaiki, ganti. Sampai berhasil! Menurut hematku, siapa saja yang bisa mencatat pelajaran sekolah atau kuliah, pasti bisa menjadi penulis. Bukankah sejak TK kita sudah diajari menulis? Dan aku juga percaya bahwa banyak di antara Anda yang bisa menulis surat atau buku harian maupun agenda. Itu sudah merupakan pertanda yang baik bahwa Anda mampu menulis. Oleh sebab itu, cobalah dulu sebelum menyerah. Hayes B. Jacobs, seorang penulis Amerika yang amat terkenal, bukunya yang menjadi "best seller" berjudul "How to Write and Sell Non-Fiction", tidak sim salabim lalu menjadi penulis. Tidak. Dia menulis sebanyak 277 kali baru dimuat. Anda bisa membayangkan kegigihannya, bukan? Sekali lagi, cobalah dulu sebelum menyerah! KEKUATAN MEDIA TULIS Sering kali, orang menyamakan penginjilan dengan pelayanan firman atau pelayanan mimbar. Ada juga yang mengidentikkannya dengan kunjungan langsung kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus, misalnya dengan mengirimkan misionaris. Namun, seberapa banyak orang yang bisa sepenuh waktu melayani Dia dalam jalur ini? Dibandingkan jumlah penduduk dunia yang milyaran ini, orang yang benar-benar bisa dan terbeban untuk itu masih belum mencukupi. Di samping itu, ada negara-negara atau daerah-daerah yang amat rawan bagi utusan Injil. Hamba-hamba Tuhan yang dikirim, banyak yang pulang hanya tinggal nama. Anda tentu sudah melihat film "The Mission", bukan? Nah, di sinilah media tulis berperanan. Media tulis bisa menjembatani atau mengisi kekosongan tersebut. Literatur Kristen yang sering juga disebut sebagai "utusan Injil tercetak" memunyai beberapa kekuatan dan kelebihan, antara lain: 1. Ia dapat pergi ke mana-mana tanpa dilihat sebagai orang asing, 2. Lewat pos, ia dapat masuk sampai ke tempat-tempat di mana seorang penginjil tidak diizinkan masuk, 3. Ia menyampaikan beritanya dengan rajin tanpa mengenal pembatasan waktu, istirahat, atau cuti, 4. Ia mempersembahkan beritanya sesuai dengar kecepatan berpikir seseorang dan menurut kesenangan pembacanya, 5. Ia memungkinkan si pembaca mendalami berita yang sama berulang-ulang, 6. Ia adalah "pengkhotbah estafet" yang menyampaikan beritanya dari orang yang satu kepada orang yang lain, 7. Ia memungkinkan si pembaca mempelajari satu bagian khusus dari berita yang menarik hatinya, 8. Dalam bentuk buku, ia dapat memberi makanan rohani kepada mereka yang lapar berjam-jam, bahkan berhari-hari seperti khotbah bersambung yang tak ada putusnya, 9. Pada umumnya tidak mahal, tetapi juga tidak kalah baik buahnya dibandingkan cara penginjilan lainnya, 10. Dalam waktu sejam, ia dapat dibagikan kepada lebih banyak orang daripada jumlah rata-rata pengunjung gereja setiap Minggu pagi. Para tokoh besar dunia pun mengakui dampak tulisan yang luar biasa ini. Apa kata mereka? Napoleon Bonaparte: "Senjata api dan pena adalah kekuatan-kekuatan yang paling dahsyat di dunia. Tetapi, kekuatan pena akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan senjata api." Benyamin Franklin: "Bila saja Anda memberi saya 26 serdadu, maka saya akan menaklukkan dunia!" Ketika ia ditanya apakah yang dimaksudkan dengan 26 serdadu itu, Franklin menjawab, "Huruf A sampai Z." Martin Luther: "Selain keselamatan dari Tuhan Yesus, maka anugerah terbesar dari Tuhan yang lain adalah mesin cetak." Perkataan Martin Luther sudah terbukti. Setelah mesin cetak berhasil dibuat, di Amerika terjadi panen jiwa yang luar biasa. Puluhan juta jiwa dibaptis. Di antara mereka yang dibaptis, 85% mengatakan bahwa mereka datang kepada Kristus karena bacaan-bacaan rohani dalam bentuk traktat, buku, dan majalah. Pendeta Oswald Smith, gembala sidang People Church di Toronto, Kanada, mengatakan, "Saya sudah berkeliling dunia ke tujuh puluh negara sambil mencari cara manakah yang paling efektif untuk penginjilan sedunia. Dan sampai detik ini, yang bisa saya dapatkan adalah melalui media cetak." Itu pendapat dari orang-orang Kristen. Bagaimana dengan orang dunia? Idem dito! Bahkan sebagian dari mereka lebih "hebat" dari orang Kristen sendiri. Terutama dalam hal profesionalisme dan kegigihan kerja. Tokoh-tokoh komunis sudah menyadari dampak literatur ini. Sudah sejak lama mereka menggunakan media cetak untuk indoktrinasi massa. Mereka menyebarkan dan menyuntikkan ajarannya dengan media literatur ini. Menurut sumber yang bisa dipercaya, saat ini 60% penduduk dunia berada di bawah bayang-bayang komunis, sebab bacaan komunis konon bisa diletakkan di telapak tangan manusia yang berderet sampai dua kali keliling bola bumi ini. Saksi Yehova pun menggunakan metode yang sama. Musuh dalam selimut ini memunyai unit cetak terbesar di Amerika Serikat. Pada tahun 1966 saja, telah dicetak 4.000 ton bahan bacaan yang disebar ke seluruh dunia. Akibat dari majalah-majalah Saksi Yehova yang disebarkan itu, beberapa tahun yang lalu, ketika mereka mengadakan KKR di Yankee Stadium dan Polo Ground, New York, selama 14 hari nonstop, 7.136 orang langsung minta dibaptiskan. KKR itu sendiri dihadiri oleh 180.291 jiwa. Padahal pada hari sebelumnya, Dr. Billy Graham mengadakan KKR di tempat yang sama dan jumlah yang hadir jauh lebih sedikit dari mereka. Ketua Partai Komunis Tiongkok, Mao Zedong, pernah menulis buku kecil bersampul merah dengan judul "Perkataan Mao". Hasilnya? Lebih dari satu milyar jiwa di Tiongkok berpikir, berkata, dan berjalan berarak sesuai dengan kata-kata Mao tersebut. Luar biasa, bukan? Melihat fenomena di atas, kalau kita tidak memulai sejak saat ini, kita akan ketinggalan kereta. Sekarang pun kita sudah ketinggalan dengan media literatur sekuler. Lihat saja, berapa banyak buku dan majalah umum yang beredar saat ini. Jika literatur Kristen dibandingkan dengan literatur sekuler, jumlahnya amat memprihatinkan. Terutama di Indonesia. Aku banyak mengenal para pemimpin redaksi majalah-majalah rohani yang ada di Indonesia. Kebanyakan dari mereka mengeluhkan satu hal: kekurangan naskah. Nah, tidakkah hati Anda terbeban untuk ikut membantu mereka? Bukankah beban yang berat jadi terasa ringan jika dipikul bersama? Oleh karena itu, mulailah menulis. Seperti aku katakan di atas, jangan menunda-nunda pelayanan atau mengulur-ulur waktu karena alasan klise: tidak berbakat dan tidak bisa menulis. Bakdi Soemanto, dalam salah satu tulisannya mengatakan, "Jangan terlalu bertanya: bagaimana menulis, bagaimana menulis, tetapi ambil mesin ketik, atau "ball point" dan kertas dan mulai menulis." WHAT`S NEXT? QUO VADIS TULISAN ANDA? Nah, setelah Anda berhasil menjadi penulis, tidakkah Anda ingin mengembalikan talenta yang Tuhan berikan itu untuk kemuliaan-Nya? Tuhan memang memberikan talenta yang berbeda kepada kita. Mungkin Dia memberikan "lines talents" menulis kepada kita. Mungkin dua talenta. Bahkan mungkin hanya satu. Tetapi, berapa pun talenta yang Tuhan berikan, kita harus mengembangkannya. Ada pepatah Inggris terkenal yang berbunyi "Use or Lose". Ya. Gunakan atau hilang sama sekali. Setelah Tuhan memberikan talenta dan mina kepada Anda, jangan sampai Anda berkata seperti hamba yang bodoh itu: "Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menanam. Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan!" (Mat. 25:24), atau: "Tuan, inilah mina tuan, aku telah menyimpannya dalam sapu tangan. Sebab aku takut akan tuan, karena tuan adalah manusia yang keras; tuan mengambil apa yang tidak pernah tuan taruh dan tuan menuai apa yang tidak tuan tabur" (Luk. 19:20-21). Apa jawaban Tuhan jika Anda berkata demikian? "Hai hamba yang jahat, aku akan menghakimi engkau menurut perkataanmu sendiri. Engkau sudah tahu bahwa aku adalah orang yang keras, yang mengambil apa yang tidak pernah aku taruh dan menuai apa yang tidak aku tabur. Jika demikian, mengapa uangku itu tidak kauberikan kepada orang yang menjalankan uang? Maka sekembaliku aku dapat mengambilnya serta dengan bunganya." Lalu katanya kepada orang-orang yang berdiri di situ: "Ambillah mina yang satu itu daripadanya dan berikanlah kepada orang yang memunyai sepuluh mina itu" (Luk. 19:22-24; bandingkan dengan Mat. 25:26-28). Ya. Mulailah menulis dan setia dalam perkara yang kecil, maka Tuhan akan memercayakan bidang pelayanan yang lebih besar kepada Anda. Dengan mengirimkan tulisan Anda ke berbagai media massa, terutama media massa Kristen, Anda akan mendapatkan tiga berkat. Pertama, kemampuan Anda meningkat. Bukankah pisau yang diasah makin lama makin tajam? Kedua, Anda akan mendapatkan berkat rohani. Tulisan Anda akan menjadi berkat, baik bagi Anda sendiri maupun orang lain yang membacanya. Bagi yang belum mengenal Tuhan, mereka dapat Anda bawa kepada Dia lewat tulisan. Bagi yang sudah mengenal Kristus, Anda memperbarui iman mereka, bahkan menguatkan yang sedang lemah atau suam-suam. Ketiga, Anda akan mendapatkan berkat jasmani. Bukankah berkat jasmani menyusul setelah berkat rohani? Ada beberapa majalah yang memberikan "berkat pelayanan" berupa uang yang lumayan. Uang itu bisa Anda gunakan sendiri atau Anda kembalikan kepada majalah itu, itu hak Anda. Yang utama dan terutama, Anda telah mengembangkan talenta dan mina yang Tuhan berikan. Yuk, kita berlomba melayani Dia melalui pena! "Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup -- itulah yang kami tuliskan kepada kamu." (1 Yohanes 1:1) Diambil dan diedit seperlunya dari: Judul buku : Visi Pelayanan Literatur Judul artikel: Melayani Dia Melalui Pena Penulis : Drs. Xavier Quentin Pranata Penerbit : Yayasn ANDI, Yogyakarta 1989 Halaman : 87 -- 98 ______________________________ARTIKEL 2_______________________________ TUJUAN MENULIS Oleh: Lie Charlie Semulia-mulianya orang menulis adalah demi tercapainya kehidupan yang lebih baik bagi seisi dunia. Jurnal ilmiah, karangan populer, fiksi, atau roman picisan sekali pun, ditulis dengan tujuan supaya manusia, setidak-tidaknya segolongan kecil, terinspirasi dan tergerakkan. Orang boleh saja menulis tanpa tujuan, tetapi lazimnya orang menulis guna mencapai tujuan tertentu, seperti: - Memberi (Menjual) Informasi Sebagian besar tulisan dihasilkan dengan tujuan memberi (baca: menjual) informasi, teristimewa bila hasil karya tulis tersebut diperjualbelikan. Pada sisi positif lain, tulisan juga bersifat memperkenalkan atau mempromosikan sesuatu, termasuk suatu kejadian (berita) atau tempat (pariwisata). - Mencerahkan Jiwa Bacaan sudah menjadi salah satu kebutuhan manusia modern, sehingga karya tulis selain sebagai komoditi juga layak dipandang sebagai salah satu sarana pencerahan pikiran dan jiwa. - Mengabadikan Sejarah Sejarah harus dituliskan agar abadi sampai ke generasi selanjutnya. - Ekspresi Diri Tulisan juga merupakan sarana mengekspresikan diri, baik bagi perorangan maupun kelompok. - Mengedepankan Idealisme Idealisme umumnya dituangkan dalam bentuk tertulis supaya memiliki daya sebar lebih cepat dan merata. - Mengemukakan Opini dan Teori Buah pikiran pun hampir selalu diabadikan dalam bentuk tulisan. - "Menghibur" Baik temanya humor maupun bukan, tulisan umumnya juga bersifat "menghibur". Diambil dari: Judul buku: Jadi Penulis Ngetop itu Mudah Penulis : Lie Charlie Penerbit : Nexx Media Inc., Bandung 2006 Halaman : 111 -- 112 _____________________________POJOK BAHASA_____________________________ LULUHNYA "P" SEHABIS "Me-" Oleh: Sally Pattinasarany Akhir-akhir ini kita dibingungkan oleh kata mempunyai dan memunyai. Media massa pun dibuatnya begitu. Lihat artikel di Pikiran Rakyat, 18 Oktober 2002 (Pimpinan Harus Selalu Harmonis) dan terbitan 1 Juli 2002 (Memberantas Pencucian Uang). Pada artikel pertama, terdapat kalimat: "... meminta agar warga Bandung memunyai perhatian ...." Sedangkan pada artikel kedua, ada kalimat: "... sebaliknya, Singapura sendiri mempunyai semacam kebijakan ...." Mana yang benar? Selama ini, kita mempelajari bahwa jika sebuah kata yang diawali dengan huruf p bergabung dengan awalan me-, huruf itu akan luluh. Jadi, menurut kaidah bahasa Indonesia, seharusnya bentuk yang dapat dianggap benar adalah memunyai. Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi 2001, tertera kata pu.nya dengan kata turunan mem.punya.i. Apakah ada kata-kata berawalan p lainnya yang juga tidak luluh ketika digabungkan dengan awalan me-? Mari kita merujuk KBBI. Ada empat pola kata berawalan huruf p yang terdapat dalam KBBI: (1) KV (konsonan-vokal): huruf p akan luluh ketika bergabung dengan me-. Misalnya, pa.gar menjadi me.ma.gar. (2) KVK (konsonan-vokal-konsonan): huruf p akan luluh. Misalnya: pim.pin menjadi me.mim.pin. Namun, jika sebuah kata hanya terdiri atas satu suku kata, huruf p tidak luluh. Misalnya, pel menjadi me.nge.pel. (3) KKV (konsonan-konsonan-vokal): huruf p tidak luluh. Misalnya, pro.duk.si menjadi mem.pro.duk.si. (4) KKVK (konsonan-konsonan-vokal-konsonan): huruf p tidak luluh. Misalnya, plom.bir menjadi mem.plom.bir. Jadi, berdasarkan KBBI, ada empat jenis pola suku kata untuk kata awalan huruf p, yaitu pola di mana huruf p luluh (KV dan KVK) dan pola di mana huruf p tidak luluh (KKV dan KKVK). Pertanyaannya, apakah suku kata awal sebuah kata dapat dijadikan pegangan untuk menentukan luluh tidaknya huruf p? Ternyata tidak. Dalam KBBI, juga ditemukan kata-kata yang diawali dengan huruf p, tetapi perilakunya berbeda dengan kelompok pola suku kata di atas. Ambil contoh kata pat.ro.li dan pat.ri yang berpola KVK. Harusnya, huruf p luluh bergabung dengan awalan me- sehingga akan menghasilkan kata turunan me.mat.ro.li dan me.ma.tri. Namun dalam kamus, ditemukan kata turunan mem.pat.ro.li. Yang lebih membingungkan, dalam KBBI edisi 1991 untuk kata per.ko.sa, kita akan menemukan dua bentuk kata turunan, yakni me.mer.ko.sa dan mem.per.ko.sa. Pada edisi 2001, hanya dijumpai satu bentuk kata turunan: me.mer.ko.sa. Karena edisi 2001 merupakan edisi lebih baru, saya beranggapan bahwa kata turunan yang benar untuk kata perkosa adalah memerkosa. Kembali ke pertanyaan semula, kapankah sebenarnya huruf p akan luluh jika bergabung dengan me- dan kapan tidak. Mustakim dalam buku "Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia untuk Umum" menyatakan, huruf awal p pada kata-kata serapan dari bahasa asing tidak akan luluh jika gabung dengan me- (1992:149). Berdasarkan pendapat Mustakim itu, kita dapat berasumsi bahwa kata patroli merupakan kata serapan, sedangkan kata patri merupakan kata yang berasal dari bahasa Indonesia. Apakah setiap kali ingin menggabungkan sebuah kata berawalan huruf p, kita selalu harus memerhatikan apakah kata itu kata serapan atau bukan? Jadi dalam hal ini, kita harus mengetahui sejarah sebuah kata secara etimologis. Oleh karena banyak yang tidak mengetahui etimologi sebuah kata, tidak mengherankan jika kita menemukan dua bentuk kata turunan untuk sebuah kata yang sama. Misalnya, mempunyai dan memunyai, memproses memroses. Agar tidak membingungkan para pengguna bahasa Indonesia, sebaiknya kita berpegang pada keempat pola di atas. Dengan demikian berdasarkan pola itu, kata turunan untuk kata punya adalah memunyai. Diambil dari: Nama majalah: Intisari Desember 2003 Penulis : Sally Pattinasarany Penerbit : PT Intisari Mediatama, Jakarta 2003 Halaman : 152 -- 153 _____________________________STOP PRESS!______________________________ KOLOM BARU E-PENULIS Mulai tahun 2008 ini, publikasi e-Penulis menambah dua kolom baru, yaitu Seputar Pelitaku dan Mutiara Penulis. Kolom Seputar Pelitaku hampir sama dengan kolom Seputar CWC (kolom yang pernah ada di edisi e-Penulis tahun 2004 dan 2005). Tujuan dari kolom ini untuk menginformasikan segala aktivitas yang terjadi di Forum Pelitaku maupun hal-hal lainnya yang terdapat di situs Pelitaku. Sedangkan Mutiara Penulis berisi kata-kata mutiara dalam dunia tulis-menulis. Selain penambahan kolom, terdapat juga perubahan nama kolom Asah Pena menjadi Tokoh Penulis. Namun, isinya tetap sama, yaitu mengisahkan riwayat penulis-penulis terkenal guna membangkitkan motivasi pembaca untuk turut berkarya. Kiranya penambahan dan perubahan nama kolom ini semakin membawa e-Penulis ke arah yang lebih baik. Semoga. ______________________________________________________________________ Pimpinan Redaksi : Puji Arya Yanti Staf Redaksi : Davida Welni Dana Berlangganan : Kirim e-mail ke subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti : Kirim e-mail ke unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Kirim bahan/tanya : Kirim e-mail ke penulis(at)sabda.org Arsip e-Penulis : http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/ Situs Pelitaku : http://pelitaku.sabda.org/ Forum Penulis : http://pelitaku.sabda.org/forum ______________________________________________________________________ Melayani sejak 3 November 2004 Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA. Didistribusikan melalui sistem network I-KAN. Copyright(c) e-Penulis 2008 YLSA -- http://ylsa.sabda.org/ http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |