Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/37 |
|
e-Penulis edisi 37 (7-11-2007)
|
|
______________________________________________________________________ e-Penulis Menulis untuk Melayani Edisi 037/November/2007 TULISAN SEBAGAI CERMINAN BUDAYA ------------------------------- = DAFTAR ISI = * Dari Redaksi: Antara Metode Lisan dan Metode Tulisan * Artikel 1 : Mewariskan Budaya Lewat Tulisan * Artikel 2 : Teenlit sebagai Cermin Budaya Remaja Perkotaan Masa Kini * Pojok Bahasa: Translasi Berdimensi Budaya * Stop Press : Pelayanan Literatur Kristen di Indonesian Christian Networks DARI REDAKSI ------------ ANTARA METODE LISAN DAN TULISAN Ada dua macam cara untuk mentransfer informasi. Cara pertama ialah dengan menggunakan metode lisan. Metode ini merupakan metode yang sangat umum digunakan jauh sebelum manusia mengenal tulisan. Metode ini juga memiliki banyak kelemahan. Sederhananya, ingatan manusia tidak dapat menampung semua pengetahuan yang ada. Meski demikian, tradisi lisan masih banyak diwariskan dan dipraktikkan oleh suku-suku bangsa yang masih memegang teguh tradisi lisan itu. Ketika manusia mulai mengenal aksara, transfer informasi itu pun beralih pula dengan metode tulisan. Tradisi baru ini memungkinkan disusunnya koleksi kepustakaan dari berbagai bidang ilmu. Perpustakaan yang dibangun oleh Assurbanipal antara 669 dan 631 SM dan perpustakaan Aleksandria di Mesir pada sekitar 300 SM merupakan tempat dihimpunnya koleksi tulisan kuno pada zaman dahulu. Dan sistem tulisan memang jauh lebih awet daripada sistem lisan. Tidak heran bila kemudian tulisan menjadi alternatif pewarisan budaya yang cukup dominan. Saat ini, tulisan masih bisa dianggap sebagai alternatif terbaik untuk mewariskan informasi, termasuk kebudayaan. Penyampaiannya pun tidak mesti berupa artikel kebudayaan secara khusus. Kalau Anda ingat pelajaran bahasa Indonesia, setiap karya tulis memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua unsur itu akan bercampur dan menjadi gambar budaya yang tengah berkembang saat ini. Bentuknya juga dapat dihadirkan dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi. Lalu bagaimana sampai tulisan itu bisa mencerminkan kebudayaan suku bangsa, maupun kebudayaan yang tengah berlangsung di masyarakat perkotaan saat ini? Berbagai literatur yang hadir di masyarakat saat ini sesungguhnya akan memperkenalkan Anda pada kehidupan (dan mungkin) juga tatanan baru. Simaklah sajian kami kali ini lalu cobalah bertanya pada diri sendiri: "Apa yang hendak kutulis untuk generasi masa kini, yang bisa membawa mereka juga mengenal Juru Selamat?" Penanggung jawab e-Penulis, R.S. Kurnia ARTIKEL 1 --------- MEWARISKAN BUDAYA LEWAT TULISAN Oleh: R.S. Kurnia Bagaimana Anda dapat mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lalu atau ratusan tahun lampau? Buku sejarah mungkin menjadi jawaban Anda. Tidak salah memang karena buku-buku sejarah banyak mengisahkan apa yang terjadi, jauh sebelum zaman informasi ini. Belum lagi revolusi mesin cetak dan internet yang memungkinkan informasi masa lalu terekam dengan baik. Meski literatur saat ini bisa dibilang komplit dan beragam, sejarah masa lalu umat manusia tidak seketika itu juga dihadirkan lewat buku-buku maupun perangkat digital yang saat ini tersedia. Sebab budaya tulisan bukanlah budaya manusia yang tertua. Sebaliknya, budaya lisan jauh lebih tua daripada budaya tulisan. Kelompok-kelompok masyarakat tertentu bahkan masih mempertahankan budaya lisan ini. Sebelum era tulisan, pengalihan tradisi dari generasi ke generasi dilakukan secara lisan. Para leluhur akan bertutur kepada anak-cucunya, menyampaikan kisah-kisah moral, termasuk berbagai pengajaran. Metode ini masih bisa ditemukan pada sejumlah suku bangsa. Hanya saja, metode lisan memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan yang utama ialah tidak banyak orang yang bisa mengingat apa yang disampaikan pendahulunya setepat yang dikemukakan padanya. Sedikit banyak, tentu ada saja yang tidak tersampaikan. Belum lagi kemungkinan untuk menambah maupun mengurangi secara sadar cukup terbuka. Meski demikian, manusia tidak langsung mengenal sistem tulisan dengan alfabet seperti kita saat ini. Sebelumnya, dikenal piktogram, yaitu aksara berupa gambar untuk mengungkapkan amanat tertentu. Tradisi ini sangat tua usianya. Masa-masa awal penggunaan piktogram ini diperkirakan di Mesopotamia oleh bangsa Sumeria Kuno. Manusia diperkirakan mulai memasuki masa aksara sekitar 3000 SM. Aksara pertama disebut-sebut pertama kali melalui tiga kebudayaan besar: bangsa Sumeria di Mesopotamia dengan huruf pakunya, masyarakat lembah Sungai Nil di Mesir dengan hieroglifnya, dan masyarakat Han di lembah Sungai Kuning dengan aksara han (Kridalaksana dan Sutami 2005). Revolusi tulisan baru terjadi ketika Gutenberg menemukan mesin cetak di Eropa. Buku-buku yang dulunya memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menyalinnya, kini dapat dihadirkan dengan lebih cepat. Sampai Martin Luther pun menyebutkan bahwa mesin cetak merupakan salah satu anugerah terbesar Tuhan selain keselamatan (Pranata 2002). Hal ini tentu memungkinkan penyebaran literatur dengan lebih cepat. Teknologi saat ini malah telah memungkinkan dihasilkannya ribuan eksemplar dalam waktu yang lebih singkat. MEMBEKUKAN WAKTU, MEWARISKAN BUDAYA Kegiatan menulis sebenarnya bisa dianggap sebagai kegiatan membekukan waktu. Konteks yang ada di sekitarnya pun turut terekam di dalamnya. Hal ini jelas terasa, misalnya dalam buku-buku biografi, sejauh buku tersebut dituliskan secara jujur. Sebab informasi yang dituangkan dalam tulisan tersebut menjadi rekaman sepanjang masa. Rekaman itu malah relatif lebih awet mengingat revolusi digital yang terjadi. Pada dasarnya, sejumlah konteks dapat terekam bersama dengan tulisan, sejauh konteks-konteks tersebut (waktu, tempat, budaya) disertakan; eksplisit maupun implisit. Ketika tulisan itu dibaca kembali, nuansa yang tercakup di dalamnya sedikit banyak akan dapat ditangkap. Dengan demikian, gambaran keadaan (dan dengan demikian budaya) di sekitar penulisan bisa dirasakan pula. Alkitab merupakan wujud keberhasilan pembekuan berbagai konteks tersebut. Para penulisnya dengan sangat baik menangkap dan merepresentasikan nuansa pada masanya -- sesuatu yang kita imani sebagai tuntunan Roh Kudus. Tidak mengherankan bila kita senantiasa diingatkan atau dituntut untuk memerhatikan konteks tertentu ketika hendak membahas suatu ayat agar tidak keliru menafsirkan bagian itu. Ketika tulisan itu lebih difokuskan pada aspek budaya, aspek-aspek yang diangkat (bila diungkapkan dengan cara yang baik) dapat dinikmati, seakan-akan langsung hadir di hadapan pembacanya. Dengan demikian, budaya yang diwariskan pun akan lebih hidup. Apalagi bila dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi, gambar-gambar, atau foto-foto. Media massa tercetak dan situs web memungkinkan hal ini. Ada beberapa jenis tulisan yang berpotensi besar untuk meneruskan kebudayaan. Pada saat ini, bentuknya bermacam-macam. Bisa berupa makalah, skripsi, tesis, disertasi, jurnal ilmiah, buku, majalah, dan sebagainya. 1. Tulisan sejarah Kalau mencermati buku-buku sejarah, kita bisa melihat situasi ekonomi, sosial, politik, termasuk kebudayaan yang berlaku pada suatu periode di tengah suku bangsa tertentu. Tidak sekadar menggambarkan, tulisan sejarah bisa dianggap melengkapi benda-benda historis lainnya. 2. Tulisan budaya Berbeda dengan tulisan-tulisan sejarah, tulisan-tulisan budaya secara khusus menjelaskan kebudayaan komunitas tertentu. Jadi, tulisan-tulisan ini tidak difokuskan pada penjelasan latar sosial-politik lingkungan masyarakat tertentu. Namun, bukan berarti tidak menyinggung aspek tersebut sama sekali. Tulisan seperti ini, misalnya, tulisan-tulisan yang mengungkapkan tata pernikahan, penjelasan simbol-simbol adat, akan mewariskan hal-hal tersebut kepada generasi berikutnya. 3. Liputan berita Beberapa media massa memberikan kolom khusus budaya. Artikel-artikel budaya yang disajikan pada kolom tersebut merupakan salah satu sarana untuk menginformasikan sekaligus membuka mata masyarakat perihal budaya suatu daerah. Beberapa bahkan mengangkat kebudayaan yang hampir punah dengan ajakan untuk memelihara budaya tersebut. 4. Karya-karya sastra Tidak sedikit karya sastra yang mengangkat fenomena budaya sebagai bagian dari karyanya. Sebut saja karya Korrie Layun Rampan, "Api, Awan, Asap" yang mengangkat budaya Dayak Benuaq. 5. Tulisan pribadi Era blog saat ini memungkinkan siapa saja untuk berpartisipasi dalam mewariskan budayanya lewat tulisan. Dengan blog, setiap orang bisa membaca, bahkan merespons secara langsung (bandingkan dengan buku harian yang lebih eksklusif sifatnya). Tulisannya bisa berupa pemaparan atau refleksi, tergantung penyajiannya. Cobalah bandingkan jenis-jenis tulisan di atas dengan kitab-kitab pada Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Pastilah Anda akan menemukan kekayaan budaya dalam beragam jenis tulisan di sana dan, lebih daripada itu, firman Allah. MENTRANSFER BUDAYA LEWAT TULISAN Pewarisan budaya lewat tulisan boleh dibilang bukan perkara yang mudah. Apalagi bila berpatokan pada akurasi. Data dan makna yang terkandung di dalamnya tentu harus tepat sebagaimana yang berlaku pada masyarakat yang budayanya hendak diungkapkan. Oleh karena itu, langkah-langkah berikut perlu diperhatikan. 1. Penyelidikan awal Selidiki budaya yang paling jarang diekspos di media. Kalaupun suatu budaya cukup umum diangkat, coba cermati aspek lain dari budaya tersebut yang terkesan samar. Hal-hal yang minim itu akan menjadi aspek yang penting untuk diungkapkan. Boleh dikata, semakin jarang aspek budaya itu diangkat, semakin perlu ia diangkat sehingga bagian tersebut, meski sudah tidak dipraktikkan lagi, akan tetap dipelajari sebagai bagian budaya masyarakat tertentu. 2. Melakukan riset Setelah menemukan aspek tersembunyi -- katakanlah demikian -- dari budaya tertentu, lakukanlah riset atau penelitian lebih dalam lagi. Penelitian dapat dilakukan dengan menyelidiki setuntas mungkin perihal budaya terkait. Namun, kita perlu memerhatikan hal-hal ini: a. latar belakang budaya masyarakat terkait; b. aspek budaya yang paling banyak dikenal; c. situasi masyarakat masa lalu dan masa kini; d. peninggalan-peninggalan budaya; e. penelusuran pelaku-pelaku budaya. Keempat hal tersebut sedikit banyak akan membangun jembatan kepada aspek budaya yang jarang diekspos. Seperti kepingan bongkar pasang, kita perlu menjalinnya menjadi suatu keutuhan dalam bentuk tulisan. 3. Menguji hasil penelitian Pengujian dapat dilakukan dengan kembali menemui pelaku-pelaku budaya, dalam hal ini para sesepuh. Sedikit banyak, mereka itulah yang menjadi sumber informasi terpercaya untuk meyakinkan kembali hasil penelitian kita; apakah memang benar budaya yang kita ungkap lewat tulisan itu benar-benar sesuai dengan fakta atau tidak. Hal ini memang paling cocok bila kita hendak menyajikan tulisan yang bersifat menyeluruh. Namun, bukan berarti tidak relevan bila diterapkan pada tulisan yang memang hanya bersifat mempertanyakan eksistensi aspek budaya tersebut. 4. Penarikan simpulan Bila telah mendapatkan kepastian melalui pengujian, berikan simpulan yang jelas sehingga setiap orang dapat memahaminya. Tentu saja Anda tidak harus menuangkan tulisan ilmiah panjang lebar hanya untuk mewariskan sesuatu. Faktanya, kita dapat memanfaatkan beragam jenis tulisan sesuai kemampuan kita untuk melakukan pentransferan budaya tersebut, termasuk fiksi. Langkah-langkah di atas mungkin cenderung mengarah kepada penelitian ilmiah. Namun, bukan mustahil untuk diterapkan pada penulisan fiksi. Karena sering kali sistematika ilmiah membantu seorang penulis fiksi untuk meruntun sajiannya sehingga tampil menawan. TENTANG TULISAN POPULER Memang ada kecenderungan untuk menyisihkan tulisan-tulisan populer sebagai tulisan yang hanya bernilai hiburan semata. Tulisan-tulisan seperti novel-novel picisan dinilai sebagai sampah dan tidak layak dianggap sebagai karya sastra. Akan tetapi, karya-karya populer yang belakangan merebak, sebut saja novel-novel "chicklit" dan "teenlit", sebaiknya jangan begitu saja diacuhkan. Mungkin bobotnya kalah jauh ketimbang karya-karya sastra lain. Namun, tulisan-tulisan demikian merupakan fenomena zaman yang tidak dapat dimungkiri. Karya-karya populer juga bisa dianggap sebagai perwujudan budaya masyarakat pada masa tersebut. Coba saja bandingkan kehidupan anak remaja pada zaman Lupus (karya Hilman) itu dengan kehidupan remaja gaya "chicklit" dan "teenlit". Masing-masing tetap mencerminkan budaya remaja pada zamannya, budaya populer. TUGAS SIAPA? Akhirnya, kita patut menyadari peran kita sebagai orang percaya. Bahwa melalui dunia tulis-menulis, pesan Injil dapat diberitakan, tidaklah dapat kita mungkiri. Bahkan karena kita telah mengenal Kristuslah maka kita berkewajiban untuk melanjutkan budaya luhur yang dihasilkan pada generasinya. Ini tentu berarti hal-hal positif yang kelak mendorong generasi berikutnya untuk berkembang, perlu disampaikan. Dan tulisan adalah salah satu caranya. Bangsa Israel pada masa Perjanjian Lama diperintahkan untuk mengajarkan kebenaran firman Allah yang terkandung dalam Taurat -- sesuatu yang bisa dikatakan membudaya dalam tatanan hidup orang Israel -- kepada generasi-generasi di bawah mereka (Ulangan 31:19). Sementara para rasul turut menyuarakan kebenaran itu dengan tinta dan pena dengan tujuan mulia, agar setiap orang mengenal Kristus dan beroleh hidup yang kekal (1Yoh. 5:13). Melalui tulisan, kita pun dapat (dan sudah seharusnya) menyuarakan kebenaran firman Tuhan. Tidak masalah kalau Anda lebih senang menulis fiksi. Robert L. Short (1974: 13) pernah menulis bahwa seni (termasuk karya tulis fiksi; sastra) memiliki kemampuan untuk menaklukkan intelektual dan prasangka emosional manusia. Karena sifatnya yang tidak langsung, pewarisan tradisi Kristen yang agung melalui fiksi dapat menjadi sarana penjangkauan pula. Dan sudah tugas kita untuk mewariskan budaya hidup Kristen kepada generasi berikutnya. Tidakkah Anda terbeban? Daftar bacaan: Kridalaksana dan Sutami. 2005. Aksara dan Ejaan, dalam "Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik". Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pranata, Xavier Quentin. 2002. "Menulis dengan Cinta". Yogyakarta: Yayasan ANDI. Short, Robert L. 1974. "The Gospel According to Peanuts". Soffolk: Collins. ARTIKEL 2 --------- TEENLIT SEBAGAI CERMIN BUDAYA REMAJA PERKOTAAN MASA KINI Disusun oleh: R.S. Kurnia Kalau ditanya apa genre novel yang tengah populer pada masa kini, mungkin jawabnya adalah "teenlit", alias "teen literature". Karya fiksi ini mendapat sambutan yang luar biasa dari penggemarnya. Buktinya, karya-karya fiksi berlabel "teenlit" ini sampai dicetak berkali-kali. Sebut saja "Dealova" karya Dyan Nuranindya yang langsung ludes 10 ribu eksemplar hanya dalam tempo sebulan. Malahan, "Dealova" juga telah diangkat ke layar lebar. Genre yang mulai merebak sekitar tahun 2000-an ini memang boleh dikatakan fenomenal. Pangsa pasarnya berkisar di lingkungan remaja putri, dapat dikatakan bersaing dengan genre yang "sedikit" lebih dewasa, "chicklit", atau "chick literature". Perkembangannya pun boleh dikata hampir beriringan. Bila "chicklit" lebih mengarah pada sosok wanita muda protagonis yang mandiri, lajang, bergaya hidup kosmopolit, dengan pelbagai problematika percintaan (Anggoro 2003), "teenlit" cenderung mengarah pada kaum remaja putri, kehidupan sekolahan, pesta "sweet seventeen", dan juga percintaan (Sulistyorini 2005). BERAKAR DARI BARAT SUKSES DI LOKAL Meski demikian, akar dari kedua genre ini sesungguhnya sama: sama-sama buatan Barat. "Buku Harian Bridget Jones" (terjemahan "Bridget Jones` Diary"; juga telah dilayarlebarkan) merupakan buku pertama dari genre tulisan populer ini yang muncul di Indonesia pada 2003. Namun, ketika "teenlit" dan "chicklit" terjemahan sepertinya mulai mendominasi, para penulis lokal pun turut menggeliat. Karya-karya mereka yang sampai dicetak hingga jutaan kopi menunjukkan bahwa "teenlit" dan "chicklit" lokal pun bisa menggeser dominasi "teenlit" dan "chicklit" Barat. Sebut saja "Cintapuccino" yang dalam sebulan sudah harus dicetak tiga kali dan terjual 11.000 eksemplar sejak diluncurkan; "Dealova" sejumlah 10.000 eksemplar, juga sebulan setelah dirilis; "Fairish" yang sampai 2005 sudah terjual 29.000 eksemplar. Fakta tersebut menggambarkan potensi yang dimiliki para penulis lokal kita tidaklah kalah dengan para penulis luar. Setidaknya, mereka berhasil meraih pasar dalam negeri. BERMULA DARI BUKU HARIAN Sebagai salah satu genre tulisan, "teenlit" dan "chicklit" mungkin bisa dibilang tidak terlalu rumit. Alur cerita yang mudah ditelusuri; gaya bahasa yang sangat mengena; fenomena yang diangkat terkesan sangat dekat; semua itu memungkinkan penerimaan bagi genre yang boleh disebut relatif baru dalam khazanah sastra Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadi daya tarik bagi kalangan remaja sebagai kalangan yang paling menggemari "teenlit" dan "chicklit". Isi cerita yang demikian bisa dimaklumi karena kebanyakan penulis genre ini ialah anak-anak remaja. "Dealova", misalnya, ditulis ketika penulisnya masih duduk di bangku SMP. Sementara "Me Versus High Heels" ditulis oleh siswi SMU. Sebagian karya ini malah diangkat dari buku harian dengan modifikasi di sana-sini demi menghasilkan rangkaian cerita yang menarik. Tidak dapat dimungkiri, fenomena ini memberi dampak positif, setidaknya dalam dua hal. Pertama, keberhasilan para penulis muda ini bisa mendorong siapa saja untuk mulai mengikuti jejak mereka. Tidak heran bila kemudian ada lebih banyak lagi penulis untuk genre baru ini. Kedua, fakta bahwa beberapa novel berangkat dari sebuah buku harian bisa menegaskan kembali bahwa menulis tidak serumit yang dibayangkan kebanyakan orang. Semua bisa diawali dari diri sendiri. CERMINAN BUDAYA PARA REMAJA Pada sebuah "teenlit", remajalah yang menjadi sentralnya. Kehidupan mereka berada di seputar sekolahan, pergaulan dengan teman-teman sebaya mereka, hobi dan minat anak remaja. Dunia remaja juga dimeriahkan dengan percintaan, umumnya dengan teman-teman sebaya mereka; mulai dari menaksir seseorang dan jatuh cinta, patah hati, sampai pada kenakalan remaja. Semua itu tercermin dalam sejumlah "teenlit". Dengan demikian, secara tidak langsung, sebuah "teenlit" bisa dianggap sebagai cermin budaya para remaja. Lihat saja, misalnya "Looking for Alibrandi" yang menggambarkan kehidupan anak remaja. Novel yang ditulis dengan gaya penulisan buku harian ini isinya tidak jauh dari kehidupan sekolah, jatuh cinta (baca: naksir), dan pesta ulang tahun. Sementara itu, gambaran kehidupan remaja yang natural, dengan kekonyolan, kejahilan, dan keanehan lainnya bisa juga dilihat pada "Fairish". Lalu aspek yang rasanya juga jelas terlihat ialah aspek bahasa. Gaya bahasa gaul, yang sebenarnya merupakan bahasa Indonesia dialek Jakarta turut hadir dalam novel genre ini. "Loe-gue" yang dihadirkan tidak sekadar membuat "teenlit" begitu terasa dekat dengan para remaja, tapi justru dunia remaja yang demikian itulah yang tercermin lewat "teenlit". Belum lagi cara penyajiannya yang menyerupai penulisan buku harian, lebih membangkitkan keterlibatan para pembacanya (Santoso 2005). Sebagai cermin budaya remaja, "teenlit" juga turut menghadirkan efek positif. Kita mengakui kalau masa-masa remaja tidak sekadar masa-masa ceria belaka, tetapi juga masa-masa kritis pencarian jati diri. Santoso melihat bahwa sejumlah "teenlit" dan "chicklit" turut memberikan alternatif pencarian identitas diri, mulai yang normatif, sampai yang memberontak. Para pembaca bisa menggunakannya sebagai salah satu pertimbangan pilihan identitas diri. GUGATAN TERHADAP "TEENLIT" Meski fenomenal, pro-kontra terhadap genre ini tetap saja mencuat. Sebagian kalangan beranggapan bahwa karya satu ini adalah karya yang terlalu ringan. Sama sekali tidak mengangkat fenomena krusial dalam masyarakat. "Teenlit" (demikian pula dengan "chicklit") juga dianggap hanya menawarkan sisi manis kehidupan, sesuatu yang tidak bisa dianggap sebagai kondisi global masyarakat Indonesia. Gugatan demikian pada satu sisi memang ada benarnya. Kalau kita bandingkan, misalnya dengan novel "Bunga" karya Korrie Layun Rampan, "teenlit" jelas tidak seimbang. Korrie tidak sekadar menyajikan dengan bahasa yang "taat kaidah", tapi juga indah. Isu yang diangkat juga cenderung lebih kaya dan berbobot. Hal ini menyebabkan "teenlit" tidak akan bertahan lama. Selain itu, "teenlit" juga dianggap sebagai genre yang merusakkan bahasa. Meskipun ragam lisan menjadikan "teenlit" sangat dekat dengan pembacanya yang notabene merupakan remaja, ragam itu cenderung tidak disajikan dengan daya didik yang tinggi. Malah keberadaan bahasa Indonesia terkesan tidak terencana dan tidak terpola dengan baik. Termasuk pula keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan yang dipandang tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali. Selain itu, dari segi politik bahasa nasional, novel "teenlit" dianggap tidak memedulikan bahasa Indonesia. Dari segi isi, "teenlit" juga dituduh sebagai genre yang menganggap bahwa nilai-nilai pergaulan seperti di Barat (berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks, pesta-pesta) wajar-wajar saja diterapkan. Maka yang ditampilkan ialah warna-warni kehidupan yang meniru gaya Barat. Sehingga rok pendek dan baju ketat turut menjadi tren masa kini. Demikianlah kira-kira gugatan yang disampaikan lewat sebuah Debat Sastra yang diselenggarakan di Universitas Nasional, 7 September 2005 tentang "teenlit". Gugatan ini bisa dianggap cukup berlebihan. Karena kalau kita mencermati, gaya hidup remaja sejak sebelum genre ini merebak, tidaklah berbeda jauh. Aspek bahasa mungkin tidak seheboh saat ini, namun sudah tercermin sejak lama. Demikian pula dalam hal pergaulan. Apalagi pengaruh budaya Barat sudah meresap di negeri ini sejak lama. Dengan kata lain, transisi budaya itu tidak terjadi ketika "teenlit" atau "chicklit" hadir. "TEENLIT" MASA DEPAN Meski dinilai miring oleh sejumlah kalangan, kehadiran "teenlit" itu sendiri memang bukannya tanpa nilai positif. Selain membakar semangat para penulis muda untuk berani berekspresi, "teenlit" terbukti mampu meramaikan dunia perbukuan di Indonesia. Terlebih lagi, dengan membanjirnya jenis bacaan yang sangat mudah dicerna ini, minat baca remaja turut meningkat. "Teenlit" juga cukup berhasil mengangkat kehidupan remaja (meski masih terbatas pada remaja perkotaan) ke permukaan, sekaligus menawarkan alternatif jati diri, sebagaimana dikemukakan Santoso di atas. Selain itu, tidak dapat dimungkiri pula bahwa "teenlit" cukup berhasil mengangkat kehidupan remaja ke permukaan. Memang fenomena yang diangkat masih berupa kehidupan remaja perkotaan. Hanya saja, sebuah tulisan yang cenderung bersifat menghibur umumnya tidak akan bertahan lama. Apalagi bila tidak memiliki nilai yang dalam. Tidak heran apabila genre "teenlit" suatu waktu akan tergerus oleh waktu dan tergantikan dengan genre tulisan yang lain. Oleh karena itu, "teenlit" masih harus bertransformasi untuk mempertahankan keberadaannya. Mungkin sudah saatnya untuk menghadirkan aspek-aspek lain, misalnya substansi pergeseran budaya masyarakat agraris ke urban. Daftar Bacaan: Anggoro, Donny. 2003. "Chicklit" Buku Laris Penulis Manis, dalam "Matabaca", Vol. 2 No. 1 September 2003. Kusmarwanti. 2005. "Teenlit" dan Budaya Menulis di Kalangan Remaja, "Menuju Budaya Menulis: Sebuah Bunga Rampai", Ed. Pangesti Wieadarti. Yogyakarta: Tiara Wacana. Santoso, Satmoko Budi. 2005. "Chicklit" dan "Teenlit": Relativitas Paradigma Kualitatif, dalam "Matabaca", Volume 3 No. 8 April 2005. Sulistyorini, Endah. 2005. Berbagi Cerita dari Membaca "Teenlit", dalam "Matabaca", Volume 3 No. 8 April 2005. Tasai, S. Amran. 2006. Teenlit, Masalah Baru Pernovelan Indonesia, dalam Republika Online, Minggu, 12 Maret 2006, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=239147&kat_id=364. POJOK BAHASA ------------ TRANSLASI BERDIMENSI BUDAYA Oleh: Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. Pernahkah Anda merasa sangat geli dan kemudian tertawa sendiri di dalam hati ketika mendengar seseorang menerjemahkan bentuk kebahasaan tertentu dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia? Demikian sebaliknya, terjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Kemudian, translasi frasa, translasi kata, translasi ungkapan, dan translasi idiom dalam bahasa-bahasa daerah yang ada di bumi Nusantara. Misalnya bila ada bentuk bahasa Inggris, "It`s raining cats and dogs", yang diterjemahkan secara statis menjadi `hujan anjing dan kucing`. Padahal, seharusnya kita cukup mentranslasikan bentuk asing menjadi "Hujan amat deras" atau "Hujan deras sekali". Demikian pula, untuk menyebut hujan rintik-rintik saat matahari belum terbenam, bahasa Jawa menggunakan istilah udan tekek, bahasa Bali memakai ujan raja, dan bahasa Manggarai menggunakan usang rewe. Namun, bahasa Indonesia cukup mengatakan `hujan rintik-rintik`. Beberapa contoh di atas sebenarnya jelas menunjukkan bahwa translasi bentuk kebahasaan tidak selamanya dapat dilakukan kata per kata, serba harafiah, senantiasa setia wujudnya, dan serba semantis. Translasi bentuk-bentuk kebahasaan umumnya tidak bisa tidak harus menautkan pertimbangan konteks sosial budayanya, konteks situasi dan lingkungannya, serta tujuan dan maksud komunikasinya. Tanpa mempertimbangan semuanya, niscaya terjemahan hanyalah hasil pencarian ekuivalensi yang sifatnya statis (static equivalence), bukan ekuivalensi bersifat dinamis (dynamic equivalence). Kata `enak` dalam metafora sinestetia bahasa Indonesia seperti pada "badanku sedang tidak enak." tentu lucu bila serta-merta dialihbahasakan menjadi "my body is not delicious". Bentuk idiomatis `sambil menyelam minum air` akan menjadi lucu pula bila diterjemahkan `while diving, drinking water`. Dalam budaya bangsa Inggris, bentuk idiomatik demikian pasti akan menjadi `killing two birds with one stone`. Akhir-akhir ini, banyak pemakaian bentuk yang menurut penulis cenderung tidak tepat dan lucu, kendatipun mungkin pihak-pihak berotoritas telah melegitimasinya. Ambillah contoh bentuk translasi `hadiah lawang` atau `hadiah pintu` sebagai penerjemahan bentuk dalam bahasa Inggris "door prize". Menurut penulis, bentuk asing akan lebih tepat dan masuk akal bila diterjemahkan `hadiah kedatangan` atau `hadiah kehadiran`. Kemudian, bentuk `rumah terbuka` sebagai translasi "open house". Dalam konteks Idul Fitri, bolehlah kita menyebutnya `silaturahmi terbuka`. Namun, dalam konteks pameran di kampus-kampus perguruan tinggi, kiranya menjadi lebih tepat bila bentuk diterjemahkan `kampus terbuka`. Jadi, persis sama dengan yang disampaikan di atas, "it`s raining cats and dogs" tidak bisa serta-merta diterjemahkan secara statis menjadi `hujan kucing dan anjing`. Kita harus menerjemahkan bentuk secara dinamis dan berdimensi budaya menjadi `hujan deras sekali` atau `hujan amat deras`. Penerjemahan bentuk-bentuk kebahasaan dalam bahasa apa pun, entah yang berupa ungkapan, idiom, peribahasa, seloka, maupun frasa-frasa lain yang bermuatan sosial budaya, niscaya tidak bisa dilakukan hanya secara biner dan dengan ekuivalensi yang statis semata. Diambil dari: Judul buku: Bahasa Kaya Bahasa Berwibawa: Bahasa Indonesia dalam Konteks Ekstrabahasa Penerbit : Penerbit ANDI, Yogyakarta 2006 Halaman : 125 -- 127 STOP PRESS ---------- PELAYANAN LITERATUR KRISTEN DI INDONESIAN CHRISTIAN NETWORKS Apakah Anda ingin mendapat bahan bahkan terlibat dalam pelayanan internet di bidang literatur? Situs Indonesian Christian Networks (In-Christ.Net) hadir untuk memfasilitasinya. Dengan semboyan "Equiping One Another", situs ini berupaya menghimpun berbagai gereja, yayasan/lembaga, dan individu Kristen yang memiliki minat di bidang pelayanan ini, untuk saling melengkapi satu sama lain. Di sini Anda bisa mendapatkan dan memberikan kontribusi berupa artikel literatur bermutu, blog yayasan/perorangan yang menekuni bidang literatur, dan ulasan-ulasan situs yang mendukung pelayanan literatur. Tersedia pula fasilitas kolaborasi yang terbuka lebar bagi Anda yang ingin menambahkan informasi bermanfaat di bidang pelayanan literatur. Semua fasilitas tersebut disediakan agar Anda mudah mendapatkan informasi serta terlibat secara aktif dalam membangun komunitas pelayanan literatur Kristen yang saling melengkapi dalam dunia maya. Terdapat pula fasilitas kursus e-Learning. Namun, saat ini yang tersedia baru kursus bagi para konselor. Kursus ini akan bertambah seiring partisipasi dari pihak-pihak yang menyediakan kursus. Jangan heran, literatur bukan satu-satunya bidang pelayanan yang terdapat di situs ini. Berbagai "networks" pelayanan Kristen lain, di antaranya Konseling, Misi, Anak, dan Kepemimpinan, dapat Anda temui pula dalam Situs In-Christ.Net ini. Jadi, tunggu apa lagi? Bergabunglah dan marilah saling melengkapi lewat In-Christ.Net. http://www.in-christ.net/ http://www.in-christ.net/topic_blog/literatur http://www.in-christ.net/topic_artikel/literatur ______________________________________________________________________ Penanggung jawab : R.S. Kurnia Berlangganan : subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti : unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Redaksi/kirim bahan: penulis(at)sabda.org Arsip e-Penulis : http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/ Situs CWC : http://www.ylsa.org/cwc/ Situs Pelitaku : http://pelitaku.sabda.org/ ______________________________________________________________________ Melayani sejak 3 November 2004 Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA. Didistribusikan melalui sistem network I-KAN. Copyright(c) e-Penulis 2007 YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/ http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |