Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/25

e-Penulis edisi 25 (27-11-2006)

Fenomena Dunia Penulisan Masa Kini


______________________________________________________________________

                              e-Penulis
                       (Menulis untuk Melayani)
                       Edisi 025/November/2006

                  FENOMENA DUNIA PENULISAN MASA KINI
                  ----------------------------------
  = DAFTAR ISI =
    * Dari Redaksi
    * Artikel 1    : Melihat Sekilas Fenomena Penulisan Indonesia
    * Artikel 2    : Memperkenalkan: Novel Grafis
    * Asah Pena    : Nadine Gordimer

                             DARI REDAKSI
                             ------------

  Salam damai dalam kasih Yesus,

  "Dunia berubah begitu cepat!" Mungkin kita sudah sering mendengar
  kalimat ini, atau bahkan sering mengatakannya. Jika beberapa tahun
  yang lalu internet terasa sangat berjarak dengan kehidupan kita,
  sekarang kita justru akan merasa aneh kalau ada orang yang tidak
  memiliki alamat surat elektronik.

  Dunia penulisan pun terus berubah. Selain pengaruh dari berbagai
  penemuan teknologi baru, faktor-faktor seperti gaya hidup
  masyarakat, pengaruh media dan gejolak sosial di sekitar kita juga
  sangat memengaruhi tren-tren dunia penulisan. Memang tidak semua
  tren itu baik. Meski demikian, penulis Kristen tetap memiliki
  kewajiban untuk cermat membaca tanda-tanda zaman (Matius 16:3).

  Sajian kami kali ini menghadirkan artikel yang meringkas fenomena-
  fenomena dalam dunia penulisan Indonesia. Selain itu, jangan sampai
  Anda melewatkan satu paparan singkat mengenai genre baru, yaitu
  novel grafis. Tak lupa, profil penulis perempuan, Nadine Gordimer,
  kiranya membawa semangat baru bagi Anda dalam berkarya. Harapan
  kami, sajian ini bisa menjadi sebuah gambaran bagaimana kita bisa
  memanfaatkan perubahan-perubahan yang sedang terjadi dalam dunia
  penulisan ini untuk memuliakan Dia!

  Redaksi e-Penulis,
  Ary

                               ARTIKEL
                               -------

             Melihat Sekilas Fenomena Penulisan Indonesia
             --------------------------------------------

  Dunia penulis adalah dunia sosial. Ini membuat seorang penulis tidak
  dapat hidup sendiri karena pada dasarnya seorang penulis bertugas
  sebagai pengamat yang tekun dan kritis terhadap kondisi sekitarnya.
  Karena itulah dunia penulisan juga selalu bergerak dalam dinamika
  yang tidak bisa lepas dari pengaruh berbagai kejadian di dunia.
  Penemuan berbagai teknologi baru, peristiwa dan pergolakan sejarah,
  perubahan tren filsafat, paradigma atau cara baru dalam melihat
  dunia dan kehidupan adalah hal-hal yang selalu mempengaruhi dunia
  penulisan.

  Dengan menyadari hal-hal itu, kita perlu untuk terus mengamati
  perkembangan dan fenomena-fenomena terkini yang sedang terjadi di
  dalam dunia penulisan. Jika kita mengikuti perkembangan saat ini,
  dunia penulisan bisa dikatakan telah mengalami banyak perubahan.
  Bahkan ada yang menyebutnya sebagai revolusi. Beberapa poin di bawah
  adalah fenomena-fenomena menarik di dunia penulisan tanah air,
  beberapa sudah berlangsung cukup lama, beberapa juga sangat khas
  Indonesia. Yang jelas, semuanya membawa warna tersendiri dalam dunia
  penulisan pada zaman yang disebut pascamodern ini:

  1. Sastra cyber

  Sastra cyber merupakan revolusi. Sebagaimana internet menjadi
  revolusi media kedua setelah penemuan mesin cetak Guttenberg dan
  ketiga setelah kehadiran televisi.

  Sebelum munculnya sastra cyber, dunia sastra Indonesia sendiri telah
  memiliki beberapa kekhasan yang terkait dengan keberadaan teknologi
  media. Almarhum Kuntowijoyo pernah mengatakan bahwa keberadaan
  koran-koran yang punya kolom untuk memajang cerpen, puisi, dll hanya
  bisa dijumpai di Indonesia saja. Semula, sastra koran ini
  dimaksudkan sebagai media alternatif selain buku yang biaya
  produksinya jelas lebih besar. Tapi ketika sastra koran kemudian
  dirasa telah membangun hegemoninya sendiri, internet pun datang.
  Komunitas-komunitas sastra maya mulai muncul. Memanfaatkan teknologi
  seperti mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan kini juga
  blog, internet menawarkan iklim kebebasan, tanpa sensor. Semua orang
  boleh memajang karyanya, dan semua boleh mengapresiasinya. Sastra
  cyber menjanjikan bahwa hanya masyarakatlah yang akan menilai baik
  buruknya karya seseorang, bukan lagi seorang editor kolom sastra di
  surat kabar, kritikus sastra atau para sastrawan (tua) saja.

  Memang tidaklah benar jika dikatakan bahwa internet hanya mewadahi
  karya-karya para penulis pemula saja (istilah "pemula" di sini
  dilihat dari sudut pandang dunia penulisan cetak). Meski demikian,
  bakat-bakat yang belum diberi kesempatan oleh media cetak ini tentu
  adalah yang paling terbantu dengan pemanfaatan media internet untuk
  menulis atau bersastra. Dan selain mereka, ada juga para penulis dan
  sastrawan yang karena berbagai alasan (misalnya, distigmakan sebagai
  mantan tapol) sehingga karyanya tak bisa (dilarang) dipublikasikan
  secara luas. Mereka ini juga menemukan wadah berinteraksi,
  berkreasi, dan bersuara lewat sastra cyber.

  Ironisnya, tantangan di Indonesia justru muncul dari dunia sastra
  sendiri. Sastra cyber, dengan sifatnya yang bebas itu pernah
  dituding oleh beberapa pihak sebagai sekadar ajang main-main
  sehingga karya-karyanya pastilah tak bermutu. Meski demikian,
  seiring berjalannya waktu, saat ini eksistensi karya sastrawan cyber
  pun sudah mulai makin diakui, terutama oleh masyarakat, walau untuk
  apresiasi mungkin masih dipandang sebelah mata oleh kelompok mapan
  tersebut.

  2. Teenlit, Chicklit, Metropop, Sastrawangi

  Berdasarkan kategori usia, urutan antara ketiganya adalah teenlit
  (remaja usia SMP-SMU), chicklit (usia kuliah), dan metropop (usia
  kerja dan pasangan muda). Biasanya semuanya mengambil seting dan
  target pembaca masyarakat perkotaan, ekonomi menengah ke atas, dan
  kebanyakan juga wanita.

  Keberadaan novel chicklit di Indonesia diawali oleh diterbitkannya
  terjemahan dari karya-karya penulis seperti Helen Fielding atau
  Sophie Kinsella di sekitar tahun 2003. Tulisan yang begitu
  sederhana, namun sangat mudah merebut hati pasar tersebut kemudian
  mulai membawa angin baru, yaitu kemunculan penulis-penulis muda.
  Pasar yang menyambut dengan tangan terbuka membuat chicklit --
  kemudian diikuti oleh teenlit untuk pembaca yang lebih muda dan
  kemudian berkembang lagi dengan metropop, menjadi sesuatu yang
  fenomenal, baik bagi dunia bisnis maupun dunia penulisan nasional.
  Karya-karya lokal ternyata cukup mampu mengimbangi karya terjemahan.
  Beberapa bahkan sudah diangkat menjadi film atau sinetron. Meskipun
  hal tersebut bisa dikatakan masih belum dibarengi dengan lokalitas.

  Tapi demikianlah, teenlit, chicklit dan metropop memang murni hanya
  untuk bacaan hiburan dan pelarian. Oleh karenanya bisa dibilang hal
  tersebut lebih mirip sebagai sebuah fenomena budaya daripada
  fenomena penulisan atau sastra. Fenomena yang merupakan perpaduan
  antara budaya pop, kapitalisme, yang barangkali juga cerminan
  kondisi masyarakat yang tanpa sadar sedang menginginkan semacam
  `eskapisme` (pelarian) atas kondisi sosial yang makin sakit. Situasi
  yang makin dibingungkan oleh para sastrawan dan intelektual yang
  cuma berputar-putar dengan wacana untuk sebuah solusi yang ternyata
  gagal. Apalagi fakta membuktikan bahwa hal yang mirip sudah pernah
  terjadi sekitar dua dekade lalu dengan kepopuleran Lupus karya
  Hilman Hariwijaya atau majalah Anita yang khusus memuat cerpen-
  cerpen remaja. Perbedaan yang sesungguhnya lebih terletak pada dunia
  bisnis dan media serta apa yang disebut dengan globalisasi itu.

  Kritik yang sering dilontarkan untuk genre-genre di atas adalah
  bahwa karya tersebut hanya bersifat hiburan (ringan), apatis
  terhadap kondisi sosial masyarakat, sangat industrialis dengan
  orientasi hanya pada pasar dan dari segi bahasa juga penuh carut-
  marut. Meski demikian, beberapa kalangan melihat maraknya kemunculan
  penulis novel-novel teenlit, chicklit dan metropop lokal ini sebagai
  sesuatu yang memiliki nilai positif. Yang utama tentu adalah
  munculnya banyak penulis-penulis muda, beberapa bahkan masih sangat
  muda namun sudah berani berkarya. Tak ayal, kesuksesan yang tentu
  saja diikuti oleh sukses dalam hal materi itu membuat pelatihan-
  pelatihan menulis novel kini begitu diminati oleh para remaja.
  Menjadi penulis pun makin menjadi cita-cita yang umum.

  Poin ini adalah poin yang cukup penting. Jika di masa lalu
  (sebagaimana para sastrawan masa itu sering menceritakannya)
  penulis, penyair, atau sastrawan identik dengan kehidupan miskin,
  bohemian, dsb. kini pandangan seperti itu telah berubah. Sebagaimana
  diungkapkan oleh staf pengajar UI, Manneke Budiman, hal ini menjadi
  fenomena di negeri ini sejak tahun 1998. Menulis, terutama sastra,
  kini bukan hanya sekadar alat ekspresi gagasan melainkan sudah mulai
  menjadi gengsi. Tak heran jika para selebritis (artis sinetron,
  penyanyi, presenter, dsb) dan juga kalangan ekonomi mapan juga
  melangkah masuk menyemarakkan dunia penulisan Indonesia. Dari
  situlah muncul istilah sastrawangi.

  Sebagaimana chicklit (plesetan dari chicklet, nama permen karet yang
  hanya dikunyah lalu dibuang) istilah sastrawangi mungkin lebih
  kepada sindiran. Sastra yang tidak berbau kecutnya keringat para
  pekerja, namun beraromakan semerbak bau kamar apartemen serta parfum
  mewah. `Genre` ini diusung oleh para penulis perempuan seperti Ayu
  Utami dan Djenar Mahesa Ayu. Karya-karya mereka berusaha mendobrak
  berbagai tabu dalam budaya patriarkis yang membelenggu kaum
  perempuan. Diwarnai tema seks yang bahkan terasa vulgar, semangat
  feminisme, dan seting yang biasanya berlatarkan kehidupan yang
  mereka temui sehari-hari (tingkat ekonomi atas) diiringi dengan
  individualisme yang tinggi. Maka, jika menyitir pandangan Eep
  Saefullah, karya sastrawangi terasa memiliki lubang yakni mereka
  kehilangan konteks sosialnya. Hilangnya konteks sosial itu karena
  pada masa Orde Baru situasi politik serba mengekang dan sentralistik
  sehingga penulis-penulis sastrawangi itu menganggap situasi itu
  justru tidak ada.

  3. Penerbit

  Maraknya penerbit lokal yang muncul (meski konon tiap hari juga ada
  yang gulung tikar) sebagai dampak gerakan reformasi di negeri ini
  menimbulkan beberapa fenomena tersendiri bagi dunia penulisan. Entah
  dilatar belakangi oleh kepentingan idealisme atau sekadar murni
  industri, kemunculan berbagai penerbit itu pertama-tama membawa
  pengaruh pada maraknya karya terjemahan.

  Di satu sisi tentu saja ini hal yang bagus karena penerjemahan karya
  (sastra) dunia adalah satu syarat agar sastra kita sendiri bisa
  berkembang, di samping untuk mengimbangi globalisasi negatif dalam
  bidang lain, demikian ungkap penyair Sitor Situmorang. Meski begitu,
  banyak juga karya terjemahan yang kualitasnya sangat mengecewakan.
  Menerjemahkan, apalagi tanpa mengurus izin ke penerbit aslinya
  (sehingga biaya lebih murah dan tanggung jawab mutu kepada penerbit
  asal tidak diperlukan), memang prosesnya tentu lebih cepat dan
  menjanjikan untung yang lebih cepat juga.

  Masalah buruknya hasil terjemahan ini jelas sangat memprihatinkan.
  Tak heran jika kita bisa menemukan dua versi terjemahan dari satu
  karya penulis luar negeri diluncurkan pada saat bersamaan dengan
  harga berbeda dan kualitas terjemahan yang juga beda. "Penerjemah
  buku banyak yang tidak memiliki visi budaya," komentar Frans M.
  Parera ketua Ikatan Penyunting Indonesia saat menanggapi hal ini.
  Namun sesungguhnya, selain penerjemah, masih ada dua pihak lagi yang
  pantas bertanggung jawab atas buruknya suatu karya terjemahan, yaitu
  editor dan penerbit.

  Banyaknya penerbit juga memberi kemudahan seseorang untuk
  mempublikasikan karyanya. Selain banyaknya penulis teenlit atau
  chicklit, kemunculan para penulis cilik, meski masih belum terlalu
  banyak, juga sungguh menggembirakan. Mungkin para penulis belia ini
  masih sangat kental dipengaruhi oleh karya-karya yang menjadi
  referensinya. Tak heran jika kebanyakan karya mereka berbentuk novel
  epik atau fantasi petualangan yang memang tengah marak itu. Tapi
  seberapa banyak orang dewasa yang memiliki ketekunan, sehingga
  dengan tulisan tangan mampu menghasilkan naskah setebal novel
  "Misteri Pedang Skinheald" seperti yang dilakukan Ahmad Ataka
  Awwalur Rizki yang masih duduk di bangku SMP? Berapa banyak pula
  yang bisa menyamai Stanley Timotius Kurnia, remaja tujuh belas tahun
  yang sudah menerbitkan novel berbahasa Inggris berjudul "The
  Corruption" setebal 300-an halaman. Kesempatan yang didapatkan oleh
  anak-anak itu untuk menerbitkan karya dan terus mengasah bakatnya
  adalah satu hal yang patut disyukuri. Semoga saja dunia penulisan
  dan perbukuan tanah air terus bergairah dan terus berbenah untuk
  mencerdaskan generasi bangsa.

  Bahan Bacaan dan Referensi:
  --------------------------
   1. Anggoro, Donny, Stop Press: Booming Sastra Terjemahan, dalam
      http://cybersastra.net/edisi_mei2001/booming.htm
   2. Arcana, Putu Fajar, Bacaan-bacaan yang Cewek Banget ..., dalam
      http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/30/kehidupan/2173578.htm
   3. Kuntowijoyo, Hampir Sebuah Subversi, 1999, Grasindo Jakarta
   4. Nugroho, Heru C., Para Penulis Muda, dalam
      http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNg==&dokm=MDE=&dokd=MjQ=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=Q1JT&uniq=MjIx
   5. Pattisina, Edna C, Para Pembuat Novel yang Menghibur, Kompas,
      Minggu, 30 Oktober 2005, dalam http://www.yayan.com/forward/berita/para_pembuat_novel_yang_menghibur.html
   6. Situmorang, Saut (ed), Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk,
      2004, Yayasan Multimedia Sastra dan Jendela Yogyakarta.
   7. Sopyan, Yayan, Menerjemahkan = Memberikan Pemahaman, dalam
      http://www.yayan.com/free_writing/tentang_menulis/menerjemahkan_=_memberikan_pemahaman.html
   8. Wendyartaka, Anung, Penerbit dan Selebriti Saling Memanfaatkan,
      dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053901.htm
   9. `Sastrawangi` Muncul Sebagai Pemberontakan, dalam
      http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=54682
  10. Situmorang, Sitor, Karena Sastrawan Bukan Malaikat, dalam
      http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNg==&dokm=MDU=&dokd=Mjg=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=UEVS&uniq=MjY3

  Penulis: Ary Cahya (Pemimpin Redaksi e-Penulis)

                               ARTIKEL 2
                               ---------

                      Memperkenalkan: Novel Grafis
                      ----------------------------

  1. Apakah novel grafis itu?

  Istilah novel grafis itu sendiri sebetulnya cukup membingungkan.
  Istilah "novel" sebelumnya telah memiliki pemahaman sendiri.
  Demikian pula halnya istilah dan pemahaman masyarakat tentang
  grafis. Bermula dari tahun 1978 saat komikus Will Eisner ingin "...
  membuat sebuah buku yang akan tampak sebagaimana lazimnya sebuah
  buku, dan sekaligus ingin mengerjakan komik dengan tema yang
  sebelumnya tidak pernah dibuat." "A Contract with God" pun dibuat
  dan mulai ditawarkan kepada penerbit. Eisner yang khawatir hasil
  kerjanya itu akan ditolak sebagai sebuah komik, mengatakan bahwa apa
  yang ia kerjakan itu adalah sebuah "novel grafis".

  2. Lalu apa yang membedakannya dengan komik?

  Perbedaan antara novel grafis dan komik mulai terasa ketika alur
  cerita yang tertuang dalam rupa bahasa kata dalam balon teks atau
  dalam rupa bahasa visual lewat tarikan garis ekspresi wajah, bahasa
  tubuh, maupun rangkaian gerak gambar yang berurutan itu mulai
  dinikmati. Suasana ringan yang biasanya didapat ketika menikmati
  komik-komik biasa akan sulit didapatkan pada karya novel grafis.
  Sebaliknya, cara penyampaian yang tidak biasa, baik dalam
  penyampaian teks maupun dalam penyampaian adegan-adegan visual yang
  begitu kreatif yang memakai aneka teknik perspektif, dengan segera
  akan membawa pembaca pada keunikan gaya bertutur sang pencerita yang
  punya ciri khasnya masing-masing, sama halnya seperti ketika sedang
  menikmati sebuah karya sastra. Hingga di sini perbedaan dengan komik
  atau novel dalam pengertian konvensional langsung terasa. Novel
  grafis tidak hanya bertumpu pada kekuatan gambar seperti pada komik
  biasa, juga tidak pada kekuatan teks seperti layaknya karya novel.
  Kedua aspek visual dan bahasa bersama-sama menjadi unsur  yang
  penting.

  Tampaknya sebagai suatu kerja serius dari pembuatnya, wajar jika
  karya-karya novel grafis ini praktis tidak bisa begitu saja menjadi
  sekadar bacaan ringan bagi pembaca. Karena itu, ciri dan gaya yang
  bersifat populer sengaja dijauhi oleh para pembuat novel grafis.
  Salah satunya adalah dalam hal pewarnaan. Tidak seperti pada
  komik-komik populer, terutama yang bergaya Amerika, pemakaian warna
  yang penuh dalam novel grafis tampaknya tidak menjadi persoalan.

  3. Jadi, apakah novel grafis bisa disebut sebagai sastra?

  Tema yang ditujukan untuk pembaca dewasa memang juga menjadi salah
  satu ciri novel grafis yang membedakannya dengan komik biasa. Selain
  itu, biasanya novel grafis memiliki garis cerita yang panjang dan
  kompleks, meski definisi-definisi ini bukanlah suatu batasan yang
  kaku. Hikmat Darmawan, seorang pengamat komik di Indonesia, malah
  ingin memberi ciri lebih pada novel grafis sebagai karya komik yang
  memiliki "ambisi sastrawi". Menurut Hikmat, pengertian ini menjadi
  tolok ukur yang akan mensyaratkan bobot kualitas sastra dari karya
  yang disebut sebagai novel grafis dan membedakannya dengan
  komik-komik biasa.

  "Ambisi sastrawi" mau tidak mau memang mendobrak tradisi industri
  komik yang terbiasa memasung komikusnya dengan jumlah halaman yang
  dibatasi demi efisiensi biaya pencetakan. Bahkan kini penikmat novel
  grafis di Amerika Serikat sudah terbiasa dengan karya-karya yang
  melampaui jumlah lima ratus halaman. Meski demikian, Surjorimba
  Suroto, pengelola milis Komik Alternatif, lebih melihat bobot sastra
  bukanlah soal urgen bagi perkembangan novel grafis di Indonesia
  maupun di dunia.

  4. Bagaimana keberadaan novel grafis di Indonesia?

  Ada yang berpendapat komikus Indonesia secara tak langsung sudah
  menciptakan novel grafis sejak era komik Mahabharata karya R.A.
  Kosasih pada 1950-an. Selanjutnya, disusul komik "Taguan Hardjo",
  "Trilogi Sandhora" milik almarhum Teguh Santosa, sebagian karya Jan
  Mintaraga, kisah "Misteri Kematian Si Dewi Racun" milik HAR, "Sukab"
  karya Seno Gumira Ajidarma, hingga "Selamat Pagi Urbaz" ciptaan
  komikus muda Beng Rahardian, dan "Rampokan Jawa" karya Peter Van
  Dongen.

  Demikian pula dengan novel grafis terjemahan seperti "Persepolis I"
  dan "Persepolis II" karya penulis Iran, Marjane Satrapi cukup
  dinantikan oleh penggemar novel grafis di Indonesia. Meski begitu,
  tebalnya novel grafis dibandingkan komik biasa ternyata tidaklah
  menyiratkan tebalnya dompet di saku para pembuatnya dari penghasilan
  yang mereka peroleh. Beng Rahardian, yang melahirkan novel grafis
  "Selamat Pagi Urbaz", mengaku, proyek novel grafisnya ini adalah
  kerja yang sekadar impas. Untung tidak, rugi tidak. Bagi Beng,
  mendapatkan nama dan lebih dikenal karena hasil karyanya itu, untuk
  saat ini lebih penting.

  5. Akhirnya, bagaimana prospek novel grafis dalam dunia penulisan
     dan perbukuan itu sendiri?

  Di Indonesia, tampaknya format novel grafis masih merupakan suatu
  genre baru yang harus lebih memperkenalkan diri pada publik.
  Sebagaimana komik, novel grafis di Indonesia tidak memiliki
  industri. "Tak cukup mendapat topangan dari dunia penerbitan. Jika
  sudah diterbitkan dan kelihatan laku, cetak ulangnya pun tersendat-
  sendat," ujar Surjorimba Suroto. "Jadi, Indonesia bukannya tak punya
  karya-karya novel grafis, tapi lebih karena tak terekspos media dan
  tak mendapat dukungan memadai dari dunia penerbitan," sahutnya.

  Sedangkan Pandu Ganesa menanggapi secara optimistis. Pimpinan
  Pustaka Primatama yang menerbitkan "Rampokan Jawa" ini berpendapat,
  format novel grafis ini bisa menjadi terobosan sehingga lebih banyak
  orang muda yang mengenali kembali karya sastra. Menurutnya, karya-
  karya sastra yang dianggap momok oleh orang muda ini perlu
  diterbitkan kembali dalam bentuk novel-novel grafis. Inilah peluang
  bagi genre yang sesungguhnya tidak lagi baru di antero khazanah buku
  dunia. Menurut Pandu, yang perlu digugah tidak hanya pembuat dan
  penerbitnya, namun toko buku dan konsumennya juga perlu dibina.

  Bahan dirangkum oleh Ary dari:
  1. Satrio, BE, Novel Grafis: Komik atau Sastra?, dalam
     http://www.kompas.com/kompascetak/0510/15/pustaka/2126542.htm
  2. Rizal, Yos, Novel Grafis Tanpa Laporan,
     http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNg==&dokm=MDI=&dokd=MjY=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=Q1JT&uniq=MjQx
  3. Mereka Menyebut Novel Grafis, Pustaka Loka Koran Kompas, dalam
     http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/15/pustaka/2127465.htm

                               ASAH PENA
                               ---------

                            Nadine Gordimer
                            ---------------

  Nadine Gordimer (lahir tahun 1923) adalah novelis dan cerpenis asal
  Afrika Selatan yang menerima penghargaan Nobel Sastra pada tahun
  1991. Kebanyakan karya Nadine berhubungan dengan tema-tema moral dan
  psikologis negaranya yang terpecah oleh rasisme. Ia juga pendiri
  organisasi Congress of South African Writers. Bahkan saat rezim
  apartheid sedang dalam masa puncak, ia tak pernah meninggalkan
  negerinya.

  Nadine Gordimer dilahirkan di sebuah keluarga kaya di daerah
  Springs, Transvaal, sebuah kota pertambangan di wilayah East Rand di
  luar kota Johannesburg. Daerah itu jugalah yang menjadi latar novel
  pertamanya "The Lying Days" (1953). Ayahnya adalah seorang Yahudi,
  pedagang perhiasan yang berasal dari Latvia, sedangkan ibunya
  berdarah Inggris. Sejak kecil, Gordimer menyaksikan bagaimana
  minoritas kulit putih terus mengurangi hak-hak kaum mayoritas kulit
  hitam. Gordimer dididik di sebuah sekolah yang ketat. Ia hanya
  menghabiskan setahun di Universitas Witwaterstrand, Johannesburg
  tanpa meraih gelar.

  Sering dikurung di dalam rumah oleh ibunya yang selalu membayangkan
  bahwa ia memiliki kelainan jantung, Gordimer mulai menulis ketika
  berusia sembilan tahun. Cerpen pertamanya, "Come Again Tomorrow"
  sudah dimuat di halaman anak-anak majalah Forum ketika ia berusia
  empat belas tahun. Umur dua puluh, karya-karya Gordimer sudah banyak
  dipublikasikan di banyak majalah setempat. Tahun 1951, The New
  Yorker menerima salah satunya dan sejak itu menjadi penerbit
  karya-karyanya.

  Dalam kumpulan cerpen pertamanya "Face to Face" (1949), yang sering
  tidak tercantum dalam biografi-biografi tentangnya, Gordimer
  mengungkapkan akibat psikologis dari politik diskriminasi yang
  terjadi di negaranya.

  Novel "The Lying Days" (1953) kebanyakan ditulis berdasarkan
  pengalaman hidupnya sendiri. Di situ, ditampilkan tokoh seorang
  gadis kulit putih bernama Helen yang dari waktu ke waktu semakin
  mengalami ketidakpuasan terhadap kehidupan masyarakat sebuah kota
  kecil yang berpikiran sempit. Karya lain di tahun 1950 dan 1960-an
  meliputi "A World of Strangers" (1958), "Occasion for Loving"
  (1963), dan "The Late Bourgeois World" (1966). Melalui novel-
  novelnya tersebut, Gordimer mempelajari hubungan majikan-pembantu,
  ketakutan (paranoia) kejiwaan dan seksual terhadap kolonialisme, dan
  kebebasan palsu yang dimiliki kaum kulit putih seperti dirinya.

  "Occasion for Loving" memberi tekanan pada "barisan kata dalam
  sebuah buku peraturan", yakni hukum rasis negara Afrika Selatan yang
  kejam. Ceritanya adalah mengenai cinta terlarang antara seorang pria
  kulit hitam dan wanita kulit putih yang berakhir dengan pahit.
  Tokoh-tokohnya meliputi Ann Davis yang menikahi seorang pria Yahudi
  bernama Boaz Davis, seorang peneliti yang penuh dedikasi, yang
  bepergian ke seluruh negeri dalam rangka meneliti musik Afrika.
  Gideon Shibalo, seorang pelukis berbakat, seorang kulit hitam, yang
  sudah menikah meski juga memiliki beberapa hubungan rahasia. Ada
  juga Nyonya Jessie Stilwell, seorang wanita bebas namun peragu,
  wanita penghibur yang menyediakan diri untuk cinta mereka yang suka
  melanggar aturan.

  Gordimer mendapatkan pengakuan dari dunia internasional berkat
  cerpen dan novel-novelnya. "The Conversationist" (1974)
  membandingkan dunia kaum industrialis kulit putih yang kaya raya
  dengan tradisi dan mitologi bangsa Zulu. "Burger’s Daughter" (1979)
  ditulis selama masa kebangkitan Soweto (South Western Townships).
  Berkisah tentang seorang anak perempuan yang menganalisa hubungan
  antara dirinya dengan ayahnya, seorang martir dalam pergerakan anti
  apartheid. "July’s People" (1981) adalah sebuah novel futuristis
  tentang sebuah keluarga kulit putih dari Johannesburg yang turut
  menjadi korban akibat pecahnya perang di negeri tersebut, di mana
  mereka pergi bersama pelayan Afrikanya untuk mencari tempat
  mengungsi di dusunnya.

  Kumpulan cerpen Gordimer di masa-masa awal di antaranya termasuk
  "Six Feet of the Country" (1956), "Not for Publication" (1965), dan
  "Livingstone’s Companions" (1971). Fakta sejarah tentang rakyat yang
  dipisahkan akibat rasisme juga adalah dasar penting dalam cerpen-
  cerpennya. Dalam cerpen Oral History di buku "A Soldiers Embrace"
  (1980), tokoh kepala desa memperoleh jabatannya berdasar hasil
  pilihan kubu penindas. Setelah desanya dimusnahkan, ia pun bunuh
  diri. Gordimer dengan tenang mengkaji tindakan tokoh protagonisnya,
  menghubungkan kejadian tragis tersebut dengan tradisi panjang dari
  peraturan kolonial. Dengan mengambil latar belakang perang
  kemerdekaan di Zimbabwe (1966-1980), Gordimer menggunakan pohon
  Mopane sebagai simbol kehidupan dan kematian –- kepala desa tersebut
  gantung diri di pohon Mopane, mayatnya dikubur di bawah pohon Mopane
  dan akhirnya pohon tersebut menjadi simbol dari konsolidasi.

  Sejak 1948, Gordimer tinggal di Johannesburg. Ia juga mengajar di
  beberapa universitas di Amerika Serikat sepanjang tahun 1960-1970-
  an. Gordimer telah menulis buku nonfiksi tentang Afrika Selatan dan
  membuat film dokumenter televisi, yang paling terkenal adalah saat
  ia bekerja sama dengan putranya, Hugo Cassirer, dalam film "Choosing
  Justice: Allan Boesak". Dalam buku "The House Gun" (1998) Gordimer
  mengeksplorasi rumitnya kekerasan yang terjadi di masyarakat pasca-
  apartheid lewat sebuah kisah tentang usaha pembunuhan. Dua orang
  kulit putih yang memilki hak bebas, Harald dan Claudia Lindgard
  menghadapi kenyataan bahwa putra mereka yang seorang arsitek, Duncan
  telah membunuh temannya, Carl Jesperson.

  "Karya fiksi terakhirnya menunjukkan sebuah kesiapan menyambut dan
  menghadapi jalan dan cara pandang dunia yang baru," tulis sastrawan
  J.M. Coetzee saat mengomentarinya di The New York Review of Books
  (Oktober 2003). Dalam "The Pick Up" (2001), seting utamanya
  mengingatkan beberapa hal di film terkenal "Les Parapluies de
  Cherbourg" (1962) yang dibintangi Catherine Deneuve dan Nino
  Castelnuovo. Julie adalah putri seorang bankir kaya. Satu kali
  mobilnya rusak dan di bengkel ia bertemu Ibrahim, seorang imigran
  gelap yang berasal dari sebuah negara Arab. Dua anak muda dari
  budaya berbeda itu mulai terlibat hubungan asmara. Meski latar
  belakang mereka memisahkan keduanya, seks berhasil menerobos semua
  hambatan budaya, namun tidak bisa menghentikan keinginan Ibrahim
  akan uang dan kesuksesan, hal-hal yang ditawarkan budaya Barat.
  "Amatlah sulit untuk menuliskan tentang kekuatan seks dengan cara
  yang indah," kata Andrew Sullivan di New York Times (16 Desember
  2001), "karena diperlukan kemampuan untuk mampu mengangkat manusia
  dari dunia yang mengotak-kotakkan mereka, diperlukan kualitas luar
  biasa yang jarang ada." Namun, Gordimer menulis hal tersebut dengan
  mudahnya hingga kita pun bisa melihat pencapaiannya tersebut dengan
  jelas. Tema lain dalam buku itu adalah kedewasaan Julie. Saat
  Ibrahim harus dideportasi dari Afrika Selatan, ia memaksa untuk
  meninggalkan negaranya bersama dia. Julie menikahi Ibrahim dan
  menetap di tanah air suaminya. (t/Ary)

  Diterjemahkan dan disunting dari:
  Judul asli   : Nadine Gordimer (1923-)
  Tahun terbit : 2003
  Situs        : http://www.kirjasto.sci.fi/gordimer.htm
______________________________________________________________________

Staf Redaksi   : Ary, Puji, dan Raka
Berlangganan   : Kirim email ke
                 subscribe-i-kan-penulis(at)xc.org
Berhenti       : Kirim email ke
                 unsubscribe-i-kan-penulis(at)xc.org
Kirim bahan    : Kirim email ke
                 staf-penulis(at)sabda.org
Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/
Situs CWC      : http://www.ylsa.org/cwc/
Situs Pelitaku : http://www.sabda.org/pelitaku/
______________________________________________________________________
      Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
             Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
                     Copyright(c) e-Penulis 2006
                  YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/
                       http://katalog.sabda.org/
                    Rekening: BCA Pasar Legi Solo
                 No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org