Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/22

e-Penulis edisi 22 (22-8-2006)

Kebiasaan Buruk Dalam Menulis

                     

______________________________________________________________________

                              e-Penulis
                       (Menulis untuk Melayani)
                         Edisi 022/Agustus/2006

                     KEBIASAAN BURUK DALAM MENULIS
                     -----------------------------
  = DAFTAR ISI =
    * Dari Redaksi
    * Artikel      : Tulisanmu bukan Untukmu:
                     Beberapa Kebiasaan Buruk dalam Menulis
    * Tips         : Tujuh Jangan untuk Para Penulis
    * Pojok Kata   : Di Manakah `Di`?
    * Stop Press   : 1. Baru! Situs Blog: SABDAspace
                     2. Tampilan Baru SABDA.org

                             DARI REDAKSI
                             ------------

  Salam kasih,

  Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam hidup manusia adalah
  faktor kebiasaan. Kebiasaan yang baik akan membentuk suatu sikap,
  kualitas, dan etos hidup yang baik. Demikian pula dalam menulis,
  setiap penulis mungkin memiliki kebiasaan atau "ritual" tersendiri.
  Kebiasaan-kebiasaan itu bisa berdampak positif, namun ada pula yang
  berdampak negatif. Nah, seperti apakah kebiasaan-kebiasaan yang
  membawa dampak negatif untuk seorang penulis? Ada beberapa yang akan
  dipaparkan di edisi e-Penulis kali ini. Selengkapnya, simak sajian
  Artikel dan Tips di bawah ini. Jangan lewatkan pula Kolom Pojok Kata
  yang akan membahas kebiasaan yang salah dalam pemakaian ejaan dan
  partikel bahasa Indonesia.

  Selamat membaca!

  Redaksi e-Penulis,
  Ary


                               ARTIKEL

                        Tulisanmu bukan Untukmu:
                  Beberapa Kebiasaan Buruk dalam Menulis
                  --------------------------------------

  Setiap orang bisa menulis, itu benar. Namun, tentunya tidak semua
  orang menulis dalam level yang sama dengan yang lainnya. Kualitas
  sebuah tulisan, atau paling tidak apakah tulisan itu enak dibaca,
  juga tidak dapat dilihat hanya dari usia, gender, latar belakang
  pendidikan, status sosial, bahkan pemahaman seorang penulis terhadap
  topik yang ia tulis. Jam terbang tentunya cukup menentukan. Namun
  lebih daripada itu, ada satu hal lain yang tak kalah penting, yaitu
  bagaimana sikap penulis terhadap pembaca.

  Seorang penulis tidak bisa hidup tanpa pembaca. Bahkan dikatakan
  ketika sebuah tulisan diterbitkan (apa pun medianya), maka tulisan
  itu bukan lagi menjadi milik penulis, melainkan milik pembaca.
  Itulah yang disampaikan Roland Barthes dalam karyanya "Dead of the
  Author". Lebih dalam lagi, sastrawan almarhum Pramoedya Ananta Toer
  dalam berbagai kesempatan malah menyebut menulis sebagai sebuah
  tugas sosial. Saat menulis, seseorang harus menyadari bahwa ia
  menulis untuk melayani masyarakat (pembaca), jadi pembaca adalah
  yang utama. Paradigma ini sangat perlu ditanamkan di benak mereka
  yang ingin menjadi penulis yang baik. Anda bisa menyajikan tulisan
  yang baik jika tulisan Anda:

  (1) menghormati pembaca;
  (2) berbicara dengan pembaca;
  (3) tidak berbelit-belit.

  Meski demikian, nyatanya banyak orang yang masih sering gagal
  membuat tulisan yang menarik minat pembaca. "Saya memiliki banyak
  pemikiran untuk dibagikan yang sering saya tulis dan saya sebar di
  milis-milis. Namun, jarang ada yang merespon, malah ada di antara
  mereka yang salah mengerti atas apa yang ingin saya sampaikan,"
  keluh seorang rekan.

  Rekan saya tersebut memang suka menuliskan ide-idenya. Namun,
  ternyata dari tulisannya sering terlihat beberapa hal tak perlu yang
  selalu ia lakukan dan selalu ia ulang. Hal-hal tersebut mungkin
  sepertinya kecil, tapi jika dilakukan berulang-ulang dan bahkan
  menjadi kebiasaan, yang kecil itupun menjadi sesuatu yang besar.
  Kebiasaan-kebiasaan itu adalah sebagai berikut.

  1. Tidak peduli pada pembaca
  ----------------------------
  Penulis sering lupa kalau ia bukan menulis untuk dirinya sendiri.
  Untuk itu, langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan
  memakai kata "Anda", "kau", dsb. dalam porsi tepat untuk menciptakan
  kedekatan/interaksi antara penulis dan pembaca. Selain itu,
  bicaralah pada pembaca seakan Anda mengobrol dengan mereka. Ini
  tidak berarti berbicara dengan gaya bahasa santai seperti orang
  mengobrol, namun memakai pernyataan langsung dan kata kerja aktif
  yang memperjelas siapa sedang berbicara dengan siapa.

  Bicara dengan pembaca juga berarti menggunakan kalimat-kalimat yang
  sederhana. Jika Anda berpikir bahwa memakai kata-kata yang rumit dan
  "berbusa-busa" akan membuat pembaca tertarik, Anda salah. Dalam
  menulis, tujuan Anda adalah untuk menjelaskan, bukan untuk
  membuktikan bahwa Anda lebih pintar dari pembaca. Manusia memang
  memiliki dua macam bahasa. Bahasa lisan yang biasanya lebih
  sederhana dan bahasa tulisan yang biasanya lebih panjang. Pakailah
  bahasa yang sederhana untuk membuat pembaca lebih cepat menangkap
  makna yang ingin disampaikan. Sebaliknya, saat memakai kalimat-
  kalimat panjang, Anda akan memaksa pembaca untuk menerjemahkan
  kalimat panjang dan rumit itu ke bentuk yang sederhana. Ini juga
  yang dilakukan copywriter dalam dunia periklanan. Mereka akan
  memakai kata-kata yang paling memiliki daya persuasif (menggoda/
  membujuk/memikat) untuk menarik perhatian pembaca. Kata-kata itu
  sering kali sederhana seperti "ya", "gratis", "dijamin", "baru",
  dll.

  Di beberapa tempat, dalam penulisan yang melibatkan opini,
  penggunaan kata "saya" dilarang. Namun sebenarnya, kata "saya" malah
  bisa dipakai untuk lebih memberi kesan lugas. Sementara kata "kita"
  dalam sebuah penulisan opini akan memiliki kesan mendominasi,
  mengklaim, dan memaksa pembaca menuruti pendapat penulis. Pada
  akhirnya, yang tak kalah penting adalah bersikaplah jujur, jangan
  berlebihan. Sekali pembaca menangkap kalimat Anda yang berlebihan,
  kalimat-kalimat Anda berikutnya akan dicurigai.

  2. Pamer
  --------
  Sama halnya dalam pergaulan, penulis yang suka pamer tidak akan
  memiliki banyak pembaca. Kebiasaan pamer ini biasa berwujud
  penggunaan kata-kata sulit yang tak perlu untuk satu makna yang
  sebenarnya mudah. Penggunaan kata-kata sulit (namun tak tepat),
  misalnya terdapat ketika menyebut seorang sebagai pemimpin
  "karismatis" hanya karena pemimpin itu memiliki penampilan fisik
  yang menarik dan murah senyum. Hal serupa juga terjadi pada
  kebiasaan pemakaian kata-kata bahasa asing atau istilah teknis yang
  sebenarnya tak harus dipakai. Memang kata-kata teknis, bahasa asing,
  atau kata-kata sulit tidak dilarang untuk dipakai. Dan jika memang
  harus dipakai, untuk menghindari kesan pamer itu perlu dibuat sebuah
  standar untuk tulisan. Jika Anda tergabung dalam sebuah institusi
  (misalnya di sebuah kantor jasa), standar itu berguna untuk
  menetapkan apakah Anda akan memakai kata klien, konsumen, pelanggan,
  dll. untuk menyebut mereka yang memakai jasa institusi Anda. Standar
  ini pun bisa ditetapkan jika Anda menulis mewakili pribadi, namun
  sekali lagi dengan mengingat bahwa Anda menulis untuk pembaca.

  3. Terjebak dalam klise/jargon
  ------------------------------
  Kata-kata klise atau jargon dapat membuat pembaca bosan dan muak. Di
  zaman Orde Baru ada kata-kata atau istilah seperti "pembangunan",
  "nusa dan bangsa", "era tinggal landas", dsb. yang sangat sering
  diucapkan bahkan dalam konteks yang tidak selalu tepat. Hal ini juga
  bisa ditemui dalam bidang-bidang khusus lainnya.

  Kebiasaan ini bisa disebabkan karena beberapa hal. Pertama, penulis
  merasa nyaman dengan hal itu sehingga tak menyadarinya lagi. Kedua,
  kata-kata klise sering tidak disadari. Dalam beberapa hal, kata yang
  trendi atau yang sedang dibicarakan banyak orang (untuk saat ini
  misalnya: reformasi, indie, dll.) bisa berpotensi menjadi klise.
  Jadi, setiap periode waktu tertentu memiliki kata klisenya sendiri.
  Bahkan pemberian tanda petik dalam kata yang klise juga tidak banyak
  membantu. Malah dengan melakukannya, Anda seakan sedang
  menggarisbawahi kekurangan Anda sendiri.

  Untuk jargon, (misalnya, istilah "gereja yang injili" yang sering
  dipakai dalam artikel tentang penginjilan) sering kali dipakai tanpa
  memberikan kejelasan makna. Jika memang ingin memakainya, sebaiknya
  jelaskan artinya, kalau tidak, lupakan. Penulis yang baik adalah
  penulis yang rajin menggali dan memperkaya perbendaharaan
  kosakatanya.

  4. Selip kata
  -------------
  Salah ketik, salah pelafalan, kurang tanda baca (tanda koma, tanda
  titik, tanda tanya, dsb.) atau pemakaian tanda baca yang tidak
  tepat, subjek dan predikat yang tidak cocok, penempatan kata yang
  salah, dan penggunaan kalimat menyangatkan (superlatives) yang
  ditandai oleh kata-kata beratribut ter-, paling, dsb. tanpa didukung
  alasan yang kuat adalah kebiasaan yang dapat membuat pembaca merasa
  terganggu.

  5. Kurang jelas dan kurang lengkap
  ----------------------------------
  "Aku tidak memberitahu, aku tidak menjelaskan, aku menunjukkan,"
  itulah nasihat Tolstoy. Untuk menghindari kebiasaan membuat tulisan
  yang kurang jelas dan lengkap ini, diperlukan keterampilan dalam
  membuat deskripsi. Ketimbang menyebut sesuatu baik/buruk sehingga
  membuat tulisan terkesan tendensius, lebih baik tunjukkan kebaikan
  atau keburukan itu dengan penggambaran yang mendukung. Biarkan
  pembaca mengintepretasikannya sendiri. Saat Anda ingin menulis
  sebuah cerita dengan seorang tokoh yang punya karakter pemarah,
  jangan beri tahu pembaca bahwa "dia" pemarah, tapi tunjukkan sifat
  tersebut. Perhatikan contoh berikut.

    "Lelaki itu datang ke perkebunan sambil membawa sekop, lalu
    menggaruk-garuk tanah hingga tanaman yang tumbuh di atasnya
    berantakan. Sang pemilik datang dengan mengacungkan parangnya
    kemudian berusaha mengusir lelaki itu sembari mengancam akan
    melaporkannya ke polisi. Bukannya takut, lelaki itu malah
    menghampiri sang pemilik kebun. Matanya menyipit karena marah,
    lalu meludah sebelum mengatakan kalau dia tidak takut pada polisi.
    "Kamu pikir polisi berani padaku?" tanyanya sambil mendengus
    kesal. "Aku tak sabar menunggunya." Lelaki itu tersenyum
    meremehkan, ia menendang pot bunga yang ada di dekatnya dan
    kembali mengacungkan sekopnya ke arah pemilik kebun. "Katakan pada
    mereka, kalau aku menunggunya di sini," teriaknya. *)

  Dari penggambaran di atas, terlihat kalau sang lelaki itu bukan saja
  pemarah, tapi juga seorang pengacau. Tidak perlu dikatakan kalau dia
  pengacau, tapi pembaca akan tahu secara lebih jelas kalau lelaki itu
  pengacau melalui penggambaran yang ditulis.

  Lengkap dan jelas juga tidak berarti panjang. Pascal pernah menulis
  surat, "Maaf karena merepotkan Anda dengan tulisan yang panjang
  mengingat saya tidak punya waktu untuk menulis yang pendek." Menulis
  secara singkat dan lengkap memerlukan waktu. Hindari juga terlalu
  banyak menulis singkatan dan akronim, kecuali Anda yakin bahwa
  pembaca akrab dengan singkatan atau akronim tersebut.

  6. Tidak menghargai
  -------------------
  Tindakan yang tidak menghargai pembaca maupun orang lain, misalnya
  terlihat dari kalimat-kalimat yang mengandung stereotipe, pukul
  rata, dan mengandung bias. Untuk menghindari hal itu, jika
  memungkinkan, mintalah penilaian dari pembaca pertama (keluarga atau
  teman) sebelum memublikasikan tulisan. Akan lebih baik lagi jika
  mereka itu termasuk dalam golongan target pembaca Anda. Jangan marah
  atau tersinggung jika pendapat mereka tidak sesuai dengan harapan
  Anda.

  Disarikan oleh Ary dari sumber-sumber:

  - Scott, Dewitt. H,. Secrets of Succesful Writing, Reference
    Software International, USA, 1989.

  - Wibowo, Wahyu., 6 Langkah Jitu Agar Tulisan Anda Makin Hidup dan
    Enak Dibaca, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002

  *) contoh diambil dari posting di milis penulislepas
     <penulislepas(at)yahoogroups.com> oleh Diena Ulfaty
     <d33_n4(at)xxx>


                                 TIPS

                   Tujuh Jangan untuk Para Penulis
                   -------------------------------

  Hanya tujuh? Tentu tidak. Tapi sebagai langkah awal untuk menjadi
  penulis yang berhasil, tujuh hal inilah yang wajib dihindari seorang
  penulis. Untuk selanjutnya, biarlah pengalaman yang mengajari Anda.

  1. Menulis buku tanpa melengkapi bagian-bagian buku, seperti
     prakata, daftar pustaka, indeks, glosarium.

  Kata pengantar/prakata penting untuk membantu pembaca meraba apa
  yang bisa ia dapatkan dari buku Anda. Daftar pustaka, indeks, dan
  glosarium juga sangat membantu pembaca agar bisa lebih cepat menuju
  apa yang ia cari. Tak jarang sebelum memutuskan untuk membeli,
  seorang pembaca akan memeriksa daftar pustaka, indeks, maupun
  glosarium sebelum memutuskan apakah buku tersebut sesuai dengan yang
  ia inginkan. Daftar nama, istilah, peristiwa, tanggal penting dalam
  sebuah indeks atau daftar definisi dalam sebuah glosarium sangat
  disukai, terutama oleh mereka yang sedang mencari bahan referensi.

  2. Mengirim naskah tanpa pengantar atau proposal.

  Pengantar atau proposal bukanlah untuk berbasa-basi. Pengantar atau
  proposal yang Anda sertakan ketika mengirim naskah ke penerbit/media
  akan membantu editor mendapat gambaran tentang apa yang Anda
  tawarkan. Pengantar yang baik dan menarik juga akan membawa kesan
  pertama yang baik untuk editor.

  3. Mengutip tanpa mencantumkan sumber kutipan.

  Ingat, ini adalah zaman di mana hak cipta menjadi satu tema pokok
  yang lumayan sensitif. Anda boleh saja tidak setuju dengan masalah
  hak cipta (dan masalah ini memang masih jadi bahan perdebatan).
  Namun, terlepas dari masalah hukum tadi, penulis yang baik adalah
  penulis yang menghormati sejawatnya. Jika Anda lupa dari mana Anda
  mendapatkan kutipan tersebut, lebih baik urungkan niat Anda
  mencantumkan kutipan itu. Jika ternyata hanya mampu mengingat
  sebagian informasi (nama atau judul buku) dari sumber kutipan yang
  sangat penting, dengan terpaksa pakailah kalimat tak langsung atau
  akui saja dalam tulisan bahwa Anda memang lupa. Penulis yang baik
  bukanlah yang menulis dengan tujuan untuk mencari nama, popularitas,
  pujian, maupun kekayaan belaka; memberi sumbangan pikiran dan
  membagi wawasan yang dimiliki kepada khalayak adalah tujuan yang
  jauh lebih mulia. Sebab itu, tak ada salahnya terlihat "bodoh",
  namun jujur daripada terlihat "pintar" tapi ternyata hanya klaim
  palsu. Demikian juga tak ada ruginya mempromosikan tulisan orang
  lain dalam tulisan Anda. Bahkan referensi/sumber kutipan yang
  lengkap malah membuktikan bahwa Anda menulis dengan landasan yang
  kuat.

  4. Menulis tanpa berempati terhadap pembaca.

  Jika dalam dunia dagang dikenal "pembeli adalah raja", hal yang sama
  juga terjadi dalam dunia penulisan. Pembaca bahkan adalah dewa
  karena hidup mati seorang penulis mutlak bergantung pada mereka.
  Lebih dari sebuah hubungan jual beli, dalam dunia penulisan pembaca
  juga bisa menghasilkan produk yang sama (yaitu tulisan) dalam bentuk
  resensi, komentar, atau kritik terhadap sebuah tulisan. Karena itu,
  jangan sekali-kali mengabaikan pembaca. Mereka bisa sewaktu-waktu
  berubah menjadi sama atau bertukar posisi dengan Anda.

  5. Menulis tanpa referensi yang memadai.

  Tak hanya buku non-fiksi, buku fiksi pun memerlukan referensi.
  Kecuali Anda seorang yang memiliki imajinasi begitu luar biasa
  sehingga mampu menciptakan sebuah seting, karakter, dan sebuah
  realitas yang benar-benar murni dan belum pernah terpikirkan
  sebelumnya, barulah Anda boleh menulis tanpa banyak referensi selain
  dari imajinasi Anda sendiri. Semakin lengkap referensi yang
  dimiliki, tulisan akan semakin meyakinkan dan berkualitas. Ide yang
  sangat bagus, namun dengan referensi yang kurang (kurang lengkap
  atau malah kurang tepat) akan berpotensi untuk cepat disanggah dan
  kemudian segera dilupakan.

  6. Asal menulis.

  Jangan asal menulis. Saat ada ide Anda memang harus segera
  menuliskannya, namun lebih baik pakailah tulisan awal itu untuk
  brainstorming dahulu. Setelah itu, tentukan teknik menulis terbaik
  yang akan Anda pakai. Tak jarang teknik atau cara menulis/bercerita
  lebih utama daripada isi cerita itu sendiri. Rencanakan segala
  sesuatunya dengan matang. Inilah perlunya outline/kerangka karangan.
  Tak ketinggalan, terutama dalam menulis fiksi, karakter juga
  memiliki peran penting. Ada pembaca yang tertarik mengikuti sebuah
  cerita karena penasaran atau jatuh cinta dengan karakternya.
  Rencanakan semuanya secara matang dan setelah itu, jangan lupa juga
  untuk segera menuangkannya dalam tulisan.

  7. Menolak naskahnya disunting editor.

  Apakah Anda menganggap editor hanyalah seorang yang suka mengacak-
  acak tulisan orang lain dan menggantinya sekehendak hatinya? Ya,
  editor (dan kritikus) kadang memang menjengkelkan, bertindak seakan
  dirinya tuhan. Tapi hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan menjalin
  hubungan yang baik serta sering berkomunikasi untuk mencapai titik
  temu terbaik. Namun, jangan sampai Anda menganggap peran editor
  tidak diperlukan. Tanpa editor, tulisan Anda bisa terjebak dalam
  subjektivitas. Pada akhirnya, kerendahan hati adalah karakter kunci
  untuk berkembang.

  Artikel di atas dikutip dan diedit dari:
  Judul artikel: 7 Jangan untuk Para Penulis
  Penulis      : Mahardica
  Sumber       : http://pelitaku.sabda.org/node/221


                               POJOK KATA

                            Di Manakah `Di`?
                            ---------------

  Coba kita memasuki Jalan Diponegoro. Di depan Taman Surapati akan
  tampak sepetak tanah yang rapat dikelilingi pagar, dengan sekalimat
  pemberitahuan:

                        DI SINI AKAN DI BANGUN.

  Si penulis pemberitahuan itu pasti tak tahu ada dua macam "di" dalam
  kalimatnya yang seharusnya berbeda. "Di" yang pertama menunjukkan
  tempat -- yang harus dituliskan terpisah dari kata yang menunjukkan
  tempat itu. "Di" yang kedua merupakan sebuah awalan untuk sebuah
  kata kerja pasif -- yang harus merapat pada kata yang diawalinya.

  Bedanya? Kita tahu, "di langgar" (artinya: di surau) tidak sama
  dengan "dilanggar" (artinya: ditabrak).

  Tapi benarkah kita tahu? Ketika ejaan diperbaharui di awal tahun
  1970-an, umumnya orang ingat ada perubahan menulis secara tertentu;
  misalnya huruf "tj" ("tjowok") diganti dengan "c" (jadi "cowok").
  Tapi umumnya orang lupa, sejak saat itu sebenarnya ada ketentuan
  agar kita menuliskan secara berbeda kedua macam "di" itu.

  Tapi apa lacur: sampai pada awal abad ke-21, kekacauan masih banyak
  terjadi. Kalimat di depan Taman Surapati itu adalah contohnya.
  Dengan kata lain, ada yang gagal dari niat pembaharuan ejaan tiga
  puluh tahun yang lalu.

  Mungkin karena Pusat Bahasa yang jadi pendorong ikhtiar nasional
  itu hanya sibuk dengan perkara cara menulis yang berubah. Atau
  mungkin para pegawainya hanya repot dengan ide perubahan bersama
  antara Melayu-Indonesia dan Melayu-Malaysia dalam hal ejaan. Mungkin
  karena para pakar Pusat Bahasa sendiri tak sadar bahwa mementingkan
  ejaan sesungguhnya menegaskan perubahan sebuah kebudayaan.

  Ejaan adalah perkara huruf. Kini, mau tak mau, kita hidup dalam
  kebudayaan beraksara. Agaknya Walter Ong, dengan bukunya yang
  termasyhur itu, "Orality and Literacy", yang pertama kali dengan
  bagus menunjukkan apa implikasi "beraksara" itu. Terutama jika
  dibandingkan dengan kebudayaan yang hampir sepenuhnya mengandalkan
  komunikasi dan ekspresi lisan.

  "Teknologi tulisan," kata Ong, "mengubah kesadaran manusia." Berbeda
  dengan kebudayaan lisan, aksara memberi bentuk linear kepada pikiran
  kita. Dengan itu, terbuka dan terdoronglah kita untuk bersikap
  analitis. Salah satu contoh terkenal dalam sejarah adalah ketika
  orang Yunani mulai menghayati alfabet. Dunia pemikirannya pun
  berubah, tak lagi berdasar kisah lisan Homeros, melainkan bersama
  Plato, yang mampu mengurai persoalan hidup dan jalan pikiran secara
  tajam.

  Mengurai juga berarti menyadari dalam menggunakan kata, bukan
  mengigau. Karena tanpa sikap analitis yang memadai, kita pun mudah
  mencampuradukkan "kontra" dengan "kontrak", sehingga kita memasang
  pengumuman di depan pintu: "RUMAH INI DIKONTRAKAN" (dengan satu
  "k").

  Atau kita alpa bahwa akar kata "berubah" bukanlah "rubah" (nama
  sejenis hewan yang dalam bahasa Inggris disebut "fox"), melainkan
  "ubah", sehingga "merubah" sebenarnya berarti "menjelma jadi rubah".

  Memang ada yang hilang dalam kebudayaan aksara, tapi bisakah kita
  mengabaikan, betapa pentingnya kini sikap analitis dalam berbahasa
  dan berpikir? Tak hanya untuk melahirkan seorang Plato. Tapi juga
  buat soal yang lebih sehari-hari, misalnya ketika kita harus
  menggugat sebuah perlakuan yang kita anggap secara seenaknya
  menafsirkan hukum. Kita hanya bisa menggugat secara efektif, jika
  bisa bertanding tafsir atas kata-kata dalam peraturan itu dan adu
  tafsir pada dasarnya adu analisis.

  Syahdan, ada sebuah teori, berdasarkan pengalaman, bahwa di
  masyarakat yang terbiasa dengan aksara, orang ramai tak mudah
  dihasut. Orang akan lebih mampu menyimak kembali dan menguraikan
  informasi yang didapat.

  Kalau tak percaya, coba bayangkan di sebuah pertemuan seseorang
  berseru: "Tadi siang Quran kita dibiarkan di langgar!" Orang ramai
  yang mendengar mungkin akan marah besar; mereka menyangka bahwa yang
  dimaksudkan adalah "Tadi siang Quran kita dibiarkan dilanggar!"

  Artikel di atas dikutip dan diedit dari:
  Judul artikel  : Di Manakah `Di`?
  Penulis        : Goenawan Mohamad
  Alamat milis   : sastra-pembebasan(at)yahoogroups.com


                            = STOP PRESS =

  1. Baru! Situs Blog: SABDA Space
  -------------------------------
  Kabar gembira bagi para penulis blog Kristen (Christian bloggers)!
  Bulan Juli yang lalu, Yayasan Lembaga SABDA telah meluncurkan Situs
  SABDAspace sebagai wadah untuk orang-orang Kristen menuangkan
  pemikiran, ide, dan aspirasi yang dapat menggugah kebangunan di
  Indonesia; baik itu kebangunan dalam hal moral, etika, estetika,
  pengetahuan dan terutama kerohanian di Indonesia. Melalui situs ini
  selain bisa membuat blog pribadi, Anda juga bisa menulis/
  mengomentari artikel sesuai dengan topik-topik yang tersedia, yaitu
  Bahasa/Sastra, Kaum Muda, Kesaksian, Pengajaran/Guru, Penginjilan,
  Pribadi, dan Puisi. Mulailah menulis dan kirimkan karya Anda ke
  situs penyedia blog gratis, SABDA Space!

  ==> http://www.sabdaspace.org/

  2. Tampilan Baru SABDA.Org
  --------------------------
  Yayasan Lembaga SABDA (YLSA) menginformasikan bahwa situs SABDA.org
  telah memiliki wajah (tampilan) dan format baru yang lebih menarik
  dan lengkap. Dengan wajah baru SABDA.org ini Anda dapat melihat
  lebih jelas kekayaan informasi yang terdapat didalamnya. Lima tab
  menu utama di halaman tengah akan mengantar Anda menuju ke sumber-
  sumber (resources) yang dimiliki SABDA.org. Ditambah mesin pencari
  yang canggih akan membuat Anda serasa dimanjakan karena sekarang
  dengan mudah Anda bisa mencari bahan yang dibutuhkan. Pelayanan
  Yayasan Lembaga SABDA, yang menaungi situs SABDA.org ini juga dapat
  lebih Anda kenal melalui halaman-halaman yang disajikan. Selamat
  berkunjung.

  ==> http://www.sabda.org/

______________________________________________________________________

Staf Redaksi   : Ary, Puji, dan Raka
Berlangganan   : Kirim email ke
                 subscribe-i-kan-penulis(at)xc.org
Berhenti       : Kirim email ke
                 unsubscribe-i-kan-penulis(at)xc.org
Kirim bahan    : Kirim email ke
                 staf-penulis(at)sabda.org
Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/
Situs CWC      : http://www.ylsa.org/cwc/
Situs Pelitaku : http://pelitaku.sabda.org/
______________________________________________________________________
      Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
             Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
                     Copyright(c) e-Penulis 2006
                    YLSA -- http://ylsa.sabda.org/
                       http://katalog.sabda.org/
                    Rekening: BCA Pasar Legi Solo
                 No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org