Bahasa dan Bangsa (I)
|
e-Penulis -- Edisi 205, 6 September 2018
|
DARI REDAKSI
Menghargai dan Mencintai Bahasa Indonesia
"Semua bangsa yang berjaya adalah bangsa yang telah berhasil mengembangkan nilai dan hikmah budayanya dalam bahasanya" (Teguh Santoso [peneliti bahasa] dalam Bahasa dan Pembangunan Karakter Bangsa). Secara pribadi, saya setuju dengan esensi yang terkandung dalam kutipan ini. Sebagai bagian dari suatu bangsa, setiap orang harus memiliki rasa bangga terhadap bahasa negaranya, dan memiliki antusiasme untuk mengembangkan bahasanya guna membangun karakter bangsa. Fakta menyatakan bahwa tata bahasa atau pemakaian bahasa mencerminkan karakter suatu bangsa. Untuk lebih jelasnya, silakan membaca artikel di bawah ini.
Salah satu sikap bangga terhadap bahasa juga bisa tecermin dari pemakaian bahasa yang benar, yang sesuai dengan konteksnya, baik secara lisan maupun tulisan. Dalam kolom Pojok Bahasa, kita akan belajar penggunaan kata outlet, counter, dan gerai dalam konteks yang tepat. Kiranya sajian ini tidak hanya memperluas wawasan kita, tetapi semakin mendorong kita untuk lebih menghargai dan mencintai bahasa Indonesia. Selamat membaca. Tuhan Yesus memberkati.
|
ARTIKEL
Bahasa dan Pembangunan Karakter Bangsa
Karakter diinterpretasikan sebagai realisasi operasional jati diri atau identitas seseorang atau suatu bangsa jika seseorang atau suatu bangsa dihadapkan pada masalah yang harus diselesaikan atau diatasi untuk mencapai kesejahteraannya.
Dengan perkataan lain, sifat jati diri atau identitas berbeda dari karakter, sebab jati diri bersifat konseptual, sedangkan karakter bersifat operasional. Jati diri merupakan kapasitas, sedangkan karakter merupakan realitas. Jati diri bersifat statis, sedangkan karakter bersifat dinamis operasional. Selanjutnya, satu unsur jati diri dapat direalisasikan oleh lebih dari satu karakter. Misalnya, seseorang yang memiliki jati diri jujur dapat merealisasikan identitasnya itu dalam berbagai kegiatan atau perbuatan nyata, seperti (1) memberikan informasi secara berimbang kepada yang memerlukan, (2) menyampaikan pesan kepada orang yang diamanahkan, dan (3) tidak mengambil harta orang lain tanpa seizin pemiliknya.
Seperti dikemukakan sebelumnya, istilah karakter lebih umum mencakup karakter yang baik atau yang positif. Dengan demikian, bahasan mengenai karakter dalam makalah ini dikaitkan dengan karakter baik atau karakter positif saja. Hubungan bahasa dengan jati diri dan karakter suatu bangsa adalah hubungan realisasi. Bahasa suatu komunitas atau bangsa yang sudah bermuatan ideologi, budaya, dan situasi membangun jati diri suatu bangsa. Ketika dihadapkan pada masalah aktual, jati diri didayagunakan dalam bentuk karakter.
Karakter bangsa Indonesia dapat dibangun secara kartografi atau dibangun berdasarkan sifat hakiki tata bahasa atau pemakaian bahasa Indonesia. Sebagai gambaran, karakter potensial suatu bangsa dapat berkembang dengan cara demikian: (1) Dalam contoh (1) terdahulu, dikemukakan bahwa tata bahasa Inggris yang meliputi Tense, Singular, dan Persons (tenses, system of grammatical number, dan points of view -- Red.) telah membangun jati diri atau identitas cermat waktu, cermat angka, dan cermat posisi atau kedudukan orang pada penutur bahasa Inggris atau bahasa-bahasa Eropa lainnya.
Jati diri ini telah didayagunakan dan telah membangun karakter penuturnya dalam rupa individualisme dalam budaya Barat, keberanian mengambil risiko, semangat kewirausahawan, kebebasan, dan pendewaan individu. Nilai individualisme ini telah melahirkan kreasi dan inovasi yang cemerlang berupa penemuan dalam bidang sains dan teknologi.
Penemuan mesin uap, mesin pencetak, radio, telepon, telegraf, teknologi kedokteran, sampai pesawat ruang angkasa merupakan realisasi karakter bangsa yang individualis, kreatif, inovatif, dan wirausaha. Sebanyak 180 pemenang Hadiah Nobel adalah penutur bahasa Barat (Hassan 2008). Penemuan-penemuan baru sebagian besar dibuat oleh penutur bahasa-bahasa di Barat, terutama pemakai bahasa Inggris. (2) Jepang tidak terkenal sebagai pembuat temuan baru, tetapi sebagai bangsa pemodifikasi temuan Barat.
Dengan perkataan lain, Jepang memiliki karakter membuat tiruan suatu benda. Dalam bahasa Jepang, terdapat konsep bonsai, yakni istilah atau kata dengan pengertian mengecilkan atau mengerdilkan sesuatu yang besar agar dapat diletakkan dalam ruang yang terbatas. Mengecilkan atau membuat tiruan benda nyata merupakan identitas bangsa Jepang. Barat berhasil dengan ciptaan mereka berupa mobil, traktor, kompor gelombang mikro, dan komputer yang besar.
Akan tetapi, temuan Barat itu kurang menarik bagi orang Asia karena terlalu besar. Dengan konsep bonsainya, Jepang telah berhasil membangun karakter bangsanya sebagai pemodifikasi temuan orang lain atau benda dalam alam semesta. Dengan perkataan lain, dengan karakter membuat tiruan atau membuat sesuatu menjadi kecil, bangsa Jepang telah sukses merebut pasar mobil, traktor tangan, televisi, komputer, dan kompor gelombang mikro di seluruh dunia.
Beberapa contoh yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa bahasa suatu komunitas, etnik, atau bangsa pada awalnya mengatur cara berbahasa (lisan, tulisan, dan isyarat). Aturan berbahasa atau tata bahasa itu dibentuk setelah melalui kurun waktu yang lama yang berkembang sesuai dengan tuntutan atau potensi ideologi, budaya, dan situasi suatu komunitas atau bangsa. Aturan bahasa atau tata bahasa terealisasi dalam konsep, dan menjadi jati diri atau identitas suatu komunitas atau bangsa. Kemajuan suatu bangsa bersumber pada jati diri suatu bangsa dan kemampuannya mendayagunakan karakter atau hikmah budaya bangsa itu yang terealisasi oleh dan menyatu dengan bahasa.
Dengan perkataan lain, bagi bangsa atau kaum yang cemerlang dan mau berpikir, bahasa adalah sumber daya untuk mengembangkan kreasi dan inovasi. Fakta menunjukkan bahwa semua bangsa yang berjaya adalah bangsa yang telah berhasil mengembangkan nilai dan hikmah budayanya dalam bahasanya. Tidak ada bangsa yang cemerlang dengan meminjam atau meniru bahasa bangsa lain (lihat Othman 2008: 172--190; Hassan 2008: 338--364). Korea, Jepang, China, dan Thailand berhasil meneroka budaya mereka dengan menggunakan bahasa mereka untuk meraih kejayaan. Bukan dengan bahasa Inggris!
Bahasa dan Karakter Bangsa
|
Pojok Bahasa
Penggunaan Kata Outlet, Counter, dan Gerai
Kata counter (Inggris) berarti toonbank, meja pajangan/kedai, kasir. Kata tersebut mengandung pengertian bahwa counter bukanlah toko, melainkan meja/kedai kecil tempat menjual barang-barang. Dengan demikian, di dalam toko bisa terdapat beberapa counter/kedai kecil yang menjual barang-barang, misalnya counter kosmetik, obat-obatan, dan majalah.
Kata gerai berarti kedai kecil, meja tempat menjual barang. Kata gerai ini pun mengandung pengertian bahwa gerai bukanlah toko, melainkan meja/kedai kecil tempat menjual barang-barang. Jadi, di dalam toko bisa terdapat beberapa gerai.
Berdasarkan pengertian outlet, counter, dan gerai tersebut, kata gerai merupakan padanan bahasa Indonesia dari kata counter. Jadi, penggunaan yang benar untuk penyebutan meja/kedai kecil tempat menjual barang-barang adalah gerai, bukan counter, karena kata counter masih merupakan kata asing (Inggris). Kata outlet masih sering dipakai karena padanannya dalam bahasa Indonesia belum ada. Dalam hal ini, kata outlet bisa diartikan toko.
Berikut beberapa contoh penggunaan kata gerai dan outlet yang benar dalam kalimat.
- Temanku, Esty, sudah bekerja di gerai kosmetik sejak 2005.
- Toko swalayan itu menarik banyak pengunjung karena di dalamnya terdapat banyak gerai.
- Outlet-outlet baju bermerek tertentu didirikan di sepanjang jalan daerah Tajur, Bogor.
- Karena ada diskon besar-besaran di outlet itu, para pengunjung berebutan membeli.
|
RESENSI BUKU
The Hole in Our Holiness
|
Judul buku
:
Lubang dalam Kekudusan Kita
Judul asli
:
The Hole in Our Holiness
Penulis/Penyusun
:
Kevin DeYoung
Penerjemah
:
Kharis Adirahsetio
Penyunting
:
Milhan K.Santoso
Editor
:
Milhan K.Santoso
Penerbit
:
Literatur Perkantas Jawa Timur
|
Pada zaman ini, jarang sekali orang ingin membahas perilaku hidup kudus atau kekudusan, termasuk orang Kristen. Mereka menjalani hidup dengan perasaan bebas dan dipenuhi dengan perayaan atas anugerah yang telah mereka terima. Meskipun mereka sadar bahwa mereka telah diselamatkan dan mereka menyanyikan pujian dan mengucapkan terima kasih, mereka tidak pernah berhenti dan berpikir, "Mengapa saya diselamatkan?" Pada zaman ini, yang dipenuhi oleh kenyamanan dan ketenangan, tidakkah terasa ada sesuatu yang kurang? Pertanyaan-pertanyaan ini dan masih banyak hal lain yang terkait akan dijawab dalam buku The Hole in Our Holiness karya Kevin DeYoung.
Dalam buku ini, penulis banyak membahas kekudusan, yang seharusnya berada dalam hidup setiap orang Kristen, secara bertahap. Dimulai dari hal yang paling mendasar, yaitu "Menyadari adanya lubang". Bab ini membantu kita menyadari adanya kekosongan dalam hidup kita. Dilanjutkan dengan "Alasan Penebusan" yang membahas tujuan Allah dalam menyelamatkan umat manusia. Dan, masih banyak bab lain yang membahas mengapa kita harus hidup kudus atau kekudusan itu sendiri. Bagian awal dari buku ini berisi penjelasan mengapa kita harus hidup kudus, bagian tengah merupakan pemberian motivasi untuk hidup kudus, dan bagian akhir membahas penerapan yang dapat kita lakukan. Pembahasan tiap tahapannya disusun dengan sangat baik seperti menuntun anak bertumbuh dan memasuki usia dewasa.
Dalam buku ini, juga terdapat banyak kutipan, referensi, dan ilustrasi untuk memperkuat pernyataan si penulis. Buku ini menggunakan Alkitab sebagai guideline (pedoman/dasar) sehingga tidak menyimpang dari pengajaran firman Tuhan. Sebagai tambahan informasi, Kevin DeYoung juga menulis buku-buku lain mengenai kehidupan orang Kristen pada zaman modern seperti Crazy Busy.
Ketika membaca buku ini, saya tertegur oleh apa yang ditulis oleh Kevin DeYoung karena saya kurang menganggap serius kehidupan yang kudus. Yang paling membuat saya terkesan adalah ilustrasi berkemah (camping) pada awal buku ini. Dalam ilustrasi tersebut, disebutkan bahwa berkemah memang suatu hal yang baik, tetapi tidak berkemah pun tidak apa-apa, terlebih lagi jika kegiatan tersebut justru menambah beban. Dalam konteks tersebut, saya setuju, tetapi dalam konteks yang lain, yakni jika ilustrasi tersebut digunakan untuk mengumpamakan kehidupan yang kudus dalam pelayanan, saya merasa tersindir. Benar apa yang ditulis, bahwa manusia hanya senang memercayai Yesus tanpa ingin mengalami kesusahan. Sebab, manusia belum mengerti keseluruhan alasan dan rencana Allah dalam penyelamatan umat manusia.
Peresensi: Wilson Mark
|
|
|