Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/20

e-Penulis edisi 20 (22-6-2006)

Tulisan Terjemahan


______________________________________________________________________

                              e-Penulis
                       (Menulis untuk Melayani)
                         Edisi 020/Juni/2006

                          TULISAN TERJEMAHAN
                          ------------------
  = DAFTAR ISI =
    * Dari Redaksi
    * Artikel #1   : Tidak Sekadar Alih Bahasa
    * Artikel #2   : Tentang Penerjemah
    * Asah Pena    : Fyodor Dostoyevsky
    * Surat Pembaca: Forum Penulis Kristen

                             DARI REDAKSI

  Salam kasih,

  Dunia penerjemahan dan kekristenan merupakan dua hal yang tidak
  terpisahkan bahkan saling memengaruhi. Melalui upaya penerjemah,
  literatur Kristen dapat disebarkan dalam berbagai bahasa.
  Sebaliknya, lewat semangat menginjili kepada berbagai suku bangsa
  dan bahasa, kegiatan penerjemahan semakin berkembang hingga saat
  ini. Berangkat dari fakta di atas, e-Penulis kali ini mencoba
  mengetengahkan topik seputar dunia penulisan terjemahan. Simaklah
  dua artikel yang berisi pendapat dari para praktisi penerjemahan di
  Indonesia mengenai hal ini.

  Selamat membaca!

  Redaksi e-Penulis,
  Ary

                              ARTIKEL #1

                       Tidak Sekadar Alih Bahasa
                       -------------------------

  Menerjemahkan buku atau karya tulis baik itu fiksi maupun nonfiksi
  dari bahasa satu ke bahasa yang lain adalah suatu pekerjaan yang
  tidak hanya sekadar mengalihbahasakan suatu karya saja. Namun, lebih
  dari itu, penerjemah juga dituntut untuk menyalurkan gagasan penulis
  ke pembaca dalam bahasa sasaran.

  Oleh karena itu, seorang penerjemah yang baik selain harus menguasai
  bahasa sumber dan sasaran juga wajib memahami situasi dan konteks
  dari karya yang akan diterjemahkan. "Penerjemahan itu bukan
  pengalihan kata, karena itu saya tidak setuju dengan istilah
  mengalihbahasakan. Menerjemahkan itu menyampaikan kembali dalam
  bahasa lain. Hal itu luas aspeknya, tidak hanya (menerjemahkan)
  kata-kata saja, tetapi juga suasana dan nuansanya. Jadi, ini
  merupakan pekerjaan yang membutuhkan rasa seni juga," papar Koesalah
  S Toer, penerjemah novel terjemahan "Musashi" yang awalnya
  diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung di harian Kompas awal
  tahun 1980-an.

  Hal yang hampir senada juga diungkap oleh Sapardi Djoko Damono,
  penyair yang juga seorang penerjemah. Menurut Sapardi, menerjemahkan
  adalah proses mengalihkan satu kebudayaan ke kebudayaan lain atau
  suatu pengertian dari kebudayaan yang satu ke pengertian kebudayaan
  yang lain. Jadi, hal yang utama dalam karya terjemahan menurut
  Sapardi adalah keterbacaan dan kepemahaman.

  Artinya, kemampuan atau potensi untuk bisa dipahami dalam bahasa
  sasaran. Oleh karena itu, terjemahan yang baik menurut dia adalah
  terjemahan yang bisa dibaca oleh pembaca sasaran.

  Sementara itu, Manneke Budiman, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan
  Budaya Universitas Indonesia (FIPB UI), menambahkan bahwa pekerjaan
  menerjemahkan buku, terutama karya sastra, selain memindahkan
  gagasan atau makna juga memindahkan bentuk. Contohnya, prosa menjadi
  prosa atau puisi tetap menjadi puisi. Dengan demikian, kemudian
  timbul pendapat bahwa yang bisa menerjemahkan karya sastra itu
  hanyalah sastrawan.

  Lalu, apa yang diperlukan agar karya terjemahan bisa dibaca dan
  dipahami oleh pembaca? Pertama, seorang penerjemah selain harus
  menguasai bahasa asal atau sumber juga harus memahami konteks dan
  latar belakang budayanya.

  "Kadang-kadang ada penerjemah yang menguasai bahasa asalnya, tapi
  konteks zaman atau peristiwa sejarahnya kurang dikuasai. Akibatnya,
  kendati bahasanya (asal) dikuasai betul, dalam proses menerjemahkan
  ke dalam bahasa Indonesia bisa menjadi tidak tepat. Ini karena
  mereka tidak menguasai konteks zaman, historis, maupun kondisi
  sosialnya," ujar Manneke.

  Faktor yang kedua adalah penguasaan bahasa sasaran. "Penguasaan
  bahasa sasaran atau dalam hal ini bahasa Indonesia, menurut saya,
  justru lebih penting daripada penguasaan bahasa asal atau sumber,"
  kata Sapardi. Menurut dia, baik-buruknya kualitas penerjemah di sini
  bukan terutama lantaran gaji kecil atau tidak, tetapi lebih karena
  kemampuan bahasa sasaran yang kurang.

  "Mungkin mereka menguasai benar bahasa Inggrisnya, tapi bahasa
  Indonesianya justru tidak. Nah, ini justru berbahaya sekali," tutur
  Sapardi. Lebih pentingnya penguasaan bahasa sasaran ketimbang bahasa
  asal juga dibenarkan oleh Hendarto Setiadi, penerjemah yang banyak
  menerjemahkan buku-buku fiksi.

  "Bahasa sasaran itu lebih penting daripada bahasa asal. Kalau bahasa
  asal kita enggak tahu, kita bisa buka kamus, tanya teman, atau cari
  di internet. Tapi kalau kosakata kita terbatas, pengetahuan tentang
  susunan kalimat atau gramatik kita juga terbatas, dengan sendirinya
  hasilnya juga enggak baik, kurang variatif, bahkan enggak bunyi,"
  jelas Hendarto yang menerjemahkan buku "Dan Damai di Bumi" karangan
  Karl May.

  Pendapat senada dilontarkan oleh Manneke Budiman. "Bagaimanapun,
  penguasaan bahasa sasaran memang harus lebih dikuasai oleh seorang
  penerjemah. Memang ada `lost and gain-nya` kalau bahasa sasaran
  dikuasai dengan baik, tetapi jika bahasa sumbernya tidak dikuasai
  dengan baik, tetap menjadi masalah. Akan tetapi, persoalan ini bisa
  diatasi asalkan penerjemahnya rajin. Artinya, dia bisa tanya orang
  atau cari di kamus. Kalau bahasa sasaran yang tidak dikuasai, hal
  ini bisa menjadi persoalan besar karena ada kecenderungan kalau kita
  sudah merasa pintar berbahasa Indonesia. Sehingga tidak ada lagi
  dorongan untuk rajin atau bertanya, bahkan membuka yang namanya KBBI
  (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Gejala seperti ini sangat terlihat
  jelas akhir-akhir ini, terutama dengan buku-buku terbitan Jogja.
  Kovernya bagus-bagus, kelihatannya menarik. Orang menjadi terpukau
  untuk beli. Akan tetapi, begitu melihat terjemahannya, waduh ....
  Orang-orang yang mengaku kenal Gramsci, mengenal Foucault, tapi
  ternyata ketika sampai ke dalam bahasa Indonesia menjadi sama sekali
  tidak bisa dikenali," papar Manneke.

  Menerjemahkan buku nonfiksi memang agak berbeda dengan karya fiksi.
  Menurut Sapardi, menerjemahkan buku nonfiksi lebih ketat
  dibandingkan dengan karya fiksi atau karya sastra.

  "Buku nonfiksi seperti karya ilmiah, misalnya, terjemahannya enggak
  boleh melenceng sama sekali dengan aslinya. Kalau bisa, setiap kata
  ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Nah, kalau hasilnya menjadi
  tidak terbaca, itu masalah lain lagi. Tapi, bagaimanapun terjemahan
  yang baik itu tetap yang bisa dibaca," jelas Sapardi yang juga
  tercatat sebagai Guru Besar FIPB UI dan dosen Pascasarjana
  Universitas Indonesia.

  Berbeda dengan Sapardi, Manneke berpendapat bahwa menerjemahkan
  karya nonfiksi justru lebih leluasa atau lebih bebas ketimbang
  menerjemahkan karya fiksi. Menurut Manneke, di dalam menerjemahkan
  karya fiksi sering kali orang berbenturan dengan keharusan untuk
  mempertahankan bentuk, seperti dalam menerjemahkan puisi yang tidak
  betul-betul bebas karena ada aturan-aturan tertentu.

  "Dalam menerjemahkan karya nonfiksi seperti pengetahuan umum,
  misalnya, saya tidak melihat sejauh mana dia (penerjemah) mampu
  mempertahankan bentuk yang asli, tetapi yang lebih penting adalah
  sejauh mana dia bisa menyampaikan maknanya kepada pembaca Indonesia.
  Selama makna terseberangkan, hilangnya beberapa detail, bahkan kalau
  perlu dengan merombak struktur kalimat yang kompleks menjadi simpel,
  enggak apa-apa karena penerjemahan nonfiksi itu biasanya bersifat
  memberi tahu orang tentang sesuatu, atau bagaimana cara melakukan
  sesuatu. Nah, dengan demikian yang lebih penting adalah kemampuan
  untuk menyeberangkan gagasan utamanya. Makna tersampaikan dengan
  baik dan tidak ada kesalahpahaman," papar Manneke.

  Persoalan keleluasaan atau kebebasan dalam penerjemahan, terutama
  karya fiksi atau sastra, ternyata hingga kini masih menjadi salah
  satu persoalan klasik di dunia sastra. Paling tidak ada dua aliran
  penerjemah yang berbeda dalam memandang bagaimana seharusnya
  menerjemahkan sebuah karya sastra.

  Kelompok pertama adalah mereka yang punya kecenderungan
  menerjemahkan karya sastra secara lebih ketat. Sementara kelompok
  yang kedua cenderung menerjemahkan karya sastra secara lebih bebas.
  Menurut Aprinus Salam, pengamat sastra dari kota Yogyakarta, mereka
  yang menerjemahkan sastra secara lebih ketat biasanya mencoba
  melakukan penerjemahan sesuai dengan teks aslinya dan secara
  bertanggung jawab melakukan proses imajinasi sesuai dengan aslinya.

  Sementara kelompok yang kedua cenderung melakukan praktik-praktik
  penerjemahan yang lebih bebas. Penerjemah yang masuk dalam kelompok
  ini biasanya mencoba menulis ulang sesuai dengan bahasa dan
  imajinasi si penerjemah. Oleh karena itu, mereka sering mendapat
  sebutan sebagai pengkhianat kreatif.

  "Mereka disebut sebagai pengkhianat kreatif karena dalam
  menerjemahkan karya sastra mereka melakukan kreativitasisasi, tapi
  mengkhianati teksasinya," tutur Aprinus Salam yang juga aktif
  mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Menurut
  Aprinus, penerjemah kreatif seharusnya menerjemahkan seperti
  mendalami laut, jadi ada semacam kontekstualisasi.

  "Dalam beberapa hal saya lebih berpihak kepada penerjemah yang
  melakukan usaha-usaha kontekstualisasi. Karena dengan
  kontekstualisasi, teks tersebut bisa bermakna bagi pembacanya. Oleh
  karena itu, ketika karya-karya Ernest Hemingway diterjemahkan ke
  dalam bahasa Indonesia, saya berkeyakinan bahwa sampai saat ini
  karya itu belum bisa diterima oleh banyak orang," kata Aprinus.

  Sapardi Djoko Damono merupakan salah seorang penerjemah yang masuk
  dalam kategori penerjemah yang lebih bebas. Berbagai macam karya
  terjemahan mulai dari puisi, cerita pendek, naskah drama, hingga
  novel sudah ia buat sejak masih duduk di bangku sekolah menengah
  umum.

  Latar belakang dia sebagai penyair cukup berpengaruh terhadap karya-
  karya terjemahannya yang cenderung lebih bebas. "Terjemahan itu
  bebas, paling tidak kalau saya yang menerjemahkan. Menerjemahkan itu
  mengkhianati sesuatu karya sastra dari bangsa lain atau budaya lain
  kepada bangsa kita supaya bisa dipahami. Seperti orang Italia
  bilang: terjemahan itu ibarat perempuan. Kalau setia tidak cantik,
  kalau tidak setia justru cantik. Nah, kalau dilihat dari sejarah
  kesusastraan kita, sebenarnya apa yang dianggap sebagai karya sastra
  kita hampir semua karya terjemahan belaka. Contohnya, Sri Rama,
  Mahabarata, atau Aji Parwa, itu semua karya terjemahan. Apakah itu
  sesuai dengan aslinya di India sana, tentu saja tidak. Yang jelas,
  buku-buku itu bisa dibaca dan dijadikan sebagai karya sastra agung
  sejak nenek moyang kita dulu. Hal ini juga terjadi di Eropa. Banyak
  karya sastra romantik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
  Jerman yang kemudian menjadikan gerakan romantik di Jerman itu
  menjadi penting. Nah, untuk sastra modern di Indonesia gampang
  sekali. Chairil Anwar menerjemahkan sajak John Cornford yang
  judulnya "Poem" menjadi "Huesca". Itu kan rusak sama sekali. Tapi,
  sebagai sajak Indonesia, terjemahan itu luar biasa bagusnya. Dia
  mungkin berusaha setia, tapi dia tahu potensi yang ada pada bahasa
  Inggris berbeda dengan yang ada di Indonesia sehingga dia harus
  mengubah. Jadi, toleransi ketidaksetiaan dalam terjemahan fiksi itu
  bisa sangat besar, baik untuk puisi maupun prosa," kata Sapardi.

  Penerjemahan karya sastra yang cenderung bebas seperti yang
  dilakukan oleh Sapardi maupun Chairil Anwar ini ternyata mendapat
  kritikan dari Manneke Budiman. Menurut Manneke, menerjemahkan karya
  sastra tetap harus setia terhadap makna dan bentuk.

  Jadi, yang dikhianati itu pilihan kata, sementara makna dan suasana
  yang dibangun maupun bentuknya harus tetap dipertahankan. Tapi,
  bagaimana kemudian makna itu dinyatakan dalam suatu bentuk tertentu
  bisa sangat fleksibel dalam penerjemahan sastra.

  Oleh karena itu, karya terjemahan yang kreativitasnya sudah terlalu
  jauh sehingga sangat kental menampilkan warna pribadi penerjemahnya,
  lebih baik bila karya itu disebut sebagai karya pengarang yang
  menerjemahkan, bukan lagi dibilang sebagai karya pengarang aslinya.
  "Sapardi Djoko Damono pernah menerjemahkan puisi-puisi klasik Tiongkok.
  Hasilnya bagus. Tetapi, bentuk asli sama sekali ditinggalkan
  sehingga bisa saja orang tidak tahu kalau itu puisi klasik Tiongkok.
  Orang akan sangat mudah mengasumsikan itu sebagai puisinya Sapardi,"
  ujar Manneke. Jadi, menurut dia, lebih baik karya itu diakui sebagai
  karya Sapardi ketimbang disebut sebagai karya terjemahan.

  Kendati masih banyak terjadi pro-kontra dan pandangan-pandangan yang
  berbeda dalam menilai sebuah karya terjemahan, di sisi lain
  membanjirnya buku-buku terjemahan ini mendapat sambutan positif.

  "Dampak dari kehadiran karya-karya terjemahan akhir-akhir ini luar
  biasa bagi perkembangan kesusastraan Indonesia. Karena ada semacam
  asumsi ketika di suatu bangsa kesusastraan bangsa itu sedang
  stagnan, tidak ada fenomena besar yang muncul, maka yang membuat
  kesusastraan bangsa itu tetap hidup adalah karya-karya terjemahan
  sebagaimana pun kualitasnya. Nah, kalau kemudian muncul misalnya Ayu
  Utami, Dewi Lestari, dan sebagainya, terus orang Indonesia sendiri
  tercambuk untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda sebagai akibat
  banyaknya novel terjemahan, memang harus dilihat lagi. Akan tetapi,
  kesan stagnasi kira-kira sepuluh tahun lalu, sekarang sudah mulai
  berubah. Orangnya tidak itu-itu terus, Putu Wijaya, Putu Wijaya
  terus. Sekarang ada yang sedikit berubah ketika muncul Ayu
  Utami," jelas Manneke.(wen/bip/nca/nur/umi)

  Bahan diedit dari:
  Sumber: Pustakaloka Kompas, Sabtu 24 Mei 2003
  Situs : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/24/pustaka/326701.htm


                               ARTIKEL #2

                           Tentang Penerjemah
                           ------------------

  Apa yang sedang terjadi di bidang penerjemahan di negeri kita? Di
  kalangan kita masih terjadi ketidakpahaman akan kemampuan dan peran
  penerjemah, yakni mengalihkan pesan teks suatu bahasa ke bahasa yang
  lain dan berperan sebagai jembatan yang menghubungkan dua pihak.
  Posisinya sangat strategis. Kesalahan penerjemahan memberikan dampak
  yang buruk pada pemahaman pembaca.

  Fasih berbahasa asing tidak dengan sendirinya mampu menerjemahkan.
  Penguasaan bahasa sasaran sangatlah penting. Kemampuan menerjemahkan
  bertumpu pada pengalaman, bakat, dan pengetahuan umum: gabungan
  pengetahuan atau inteligensi (kognitif), rasa bahasa (emotif), dan
  keterampilan menggunakan bahasa (retoris).

  Seorang penerjemah tidak dapat menerjemahkan naskah untuk segala
  bidang. Penerjemah harus menguasai pengetahuan umum, seperti tentang
  kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan ilmu
  pengetahuan. Penerjemah yang berspesialisasi, misalnya hukum,
  teknik, atau kedokteran, harus menguasai substansi yang
  diterjemahkannya.

  Sering terjadi seorang penerjemah "dipaksa" menerjemahkan teks
  dengan substansi apa saja. Penerjemah adalah profesi. Mempekerjakan
  penerjemah harus berdasarkan kriteria profesional dan tidak sekadar
  karena kenal atau karena kata orang saja. Bila kita belum mengenal
  kemampuannya, ia harus diminta menerjemahkan satu halaman untuk kita
  lihat nilai kualitasnya.

  Masih banyak editor penerbit yang tidak memerhatikan kualitas
  terjemahan, tetapi semata-mata bahasa Indonesianya agar layak terbit
  dan laku jual. Dalam penerbitan terjemahan diperlukan pemeriksa
  kualitas terjemahan (disebut reviser), yang menguasai bahasa sumber
  dan bahasa sasaran, untuk mengurangi risiko kesalahan. Penerjemahan
  film juga masih memprihatinkan karena penerjemahnya diambil tanpa
  menggunakan kriteria profesional. Intinya, kualitas terjemahan harus
  diutamakan.

  Penerjemah adalah profesi praktis dan nonakademis yang bertumpu pada
  kemampuan berpikir, rasa bahasa, dan kemampuan retoris. Peneliti dan
  kritikus terjemahan adalah profesi yang sifatnya akademis atau
  semiakademis. Mereka pengkaji dan bukan praktisi penerjemahan.
  Pendidikan sarjana, magister, atau pun doktor di bidang penerjemahan
  memberikan kemampuan akademis dan bukan praktis di bidang
  penerjemahan, kecuali jika kurikulumnya memang dirancang untuk
  menghasilkan penerjemah.

  Kualitas penerjemah berdampak pada kualitas terjemahan. Penerjemah
  berkualitas buruk akan menghasilkan terjemahan yang buruk.
  Pertanyaannya bagaimana menanggulangi masalah ini?

  Pertama, etik. Salah satu butir kode etik Himpunan Penerjemah
  Indonesia menyebutkan penerjemah tidak dibenarkan menerima pekerjaan
  penerjemahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Ini untuk
  menjaga kualitas.

  Kedua, peningkatan diri. Penerjemah harus selalu meningkatkan dan
  memperluas serta menyegarkan pengetahuannya.

  Ketiga, perguruan tinggi harus berperan sebagai tempat mengembangkan
  program pelatihan di samping program pendidikan formal di jenjang
  pascasarjana (spesialis atau magister).

  Keempat, HPI sedang membina para penerjemah dengan pendidikan
  nonformal untuk meningkatkan kualitas.

  Kelima, peneliti dan kritisi terjemahan harus berperan sebagai
  pendorong peningkatan kualitas.

  Keenam, pengembangan karir penerjemah harus mendapat dorongan dari
  masyarakat pengguna. Penerjemah dalam birokrasi harus diberi jabatan
  fungsional agar karirnya terjamin (upaya ini sedang ditangani oleh
  Sekretariat Negara dan Kementerian PAN).

  Ketujuh, perlu ada standardisasi kualitas melalui ujian kualifikasi
  (sejak tahun 1968 sudah dilakukan oleh Universitas Indonesia).

  Itulah sketsa profesi penerjemah di Indonesia. Semoga penerjemahan
  yang ngawur seperti yang masih banyak dikeluhkan bisa berkurang
  jumlahnya. Namun, kelihatannya kita masih harus bersabar.

  Bahan diedit dari:
  Situs   : http://wartahpi.org/content/view/43//
  Penulis : Benny H Hoed

                               ASAH PENA
                               ---------

                          FYODOR DOSTOYEVSKY
                              (1821-1881)

  "Jika ada yang dapat membuktikan padaku bahwa Kristus berada di luar
    kebenaran dan bahwa pada kenyataannya kebenaran berada di luar
     Kristus, aku akan tetap memilih Kristus ketimbang kebenaran."

  Demikian kalimat menjelang kematian itu ia katakan, Fyodor
  Dostoyevsky, 29 tahun ketika itu sedang bersama tahanan lainnya,
  berada di tengah arena, siap untuk ditembak.

  Tiba-tiba seorang pembawa pesan menyeruak muncul, mengatakan bahwa
  Tsar telah memutuskan untuk membiarkan mereka hidup (saat hal ini
  terjadi, siksaan-siksaan awal telah menjadi bagian dari hukumannya).
  Saat pengampunan ini diumumkan, dua dari tahanan ini telah menjadi
  gila, sementara seorang lagi akan menuliskan novel "Crime and
  Punishment" dan "The Brothers Karamozov", dua dari beberapa novel
  terbesar di sejarah sastra Eropa.

  Pengalaman di atas mungkin adalah yang paling dramatis walau bukan
  satu-satunya krisis yang pernah terjadi dalam warna-warni hidup
  Dostoyevsky. Meski seorang Kristen yang taat, dia tak pernah menjadi
  orang Kristen yang baik; walau seorang penulis yang jenius, karya-
  karyanya secara teknis masih terasa belum terpoles dengan baik.
  Selain itu, pemahamannya mengenai hati manusia mungkin disebabkan
  oleh hatinya sendiri yang begitu bermasalah, yang sangat nyata
  terlihat dalam karya sastranya.

  Kejamnya Peluang
  ----------------
  Ayah Dostoyevsky, seorang pria yang kejam dan mata keranjang (dia
  akhirnya dibunuh oleh pembantunya), mengarahkan anaknya untuk
  berkarir sebagai ahli mesin untuk militer. Namun, Dostoyevsky
  memilih bekerja dengan pena, dan setelah menjadi sarjana pada tahun
  1843, ia keluar dari pekerjaannya untuk menekuni karier kepenulisan.

  Novel pertamanya, "Poor Folk", banyak dipuji oleh para kritikus di
  Rusia, yang kemudian menobatkannya sebagai bakat besar dalam
  kesusastraan Rusia. Setelah eksekusi mati yang batal tadi
  Dostoyevsky dikirim ke kamp kerja paksa di Siberia selama empat
  tahun karena keterlibatannya dalam "kegiatan revolusioner". Setelah
  dibebaskan, ia menuliskan "The House of Dead" berdasarkan
  pengalamannya dalam kamp yang kejam itu. Novel itu menandai
  munculnya tradisi sastra penjara di Rusia.

  Di penjara itu juga, Dostoyevsky sempat mengalami serangan epilepsi
  pertamanya, sebuah kondisi yang selanjutnya akan selalu ia bawa di
  sepanjang hidupnya, yang juga ia terangkan dalam tulisannya. Pada
  tahun 1860-an, Dostoyevsky (bersama saudara lelakinya Mikhail)
  mengedit dua jurnal penting. Dalam jurnal tersebut, selain dalam
  catatannya yang ditulis pada tahun 1864 berjudul "Notes from the
  Underground", dia menyatakan keberjarakannya pada para kaum utopis
  radikal (sosialis dan komunis) yang ingin mengakhiri perbudakan dan
  korupsi dalam pemerintahan Tsar - atau pada dasarnya dalam seluruh
  tatanan masyarakat - untuk mendirikan masyarakat yang lebih baik.

  Di luar kesuksesannya dalam bidang sastra, Dostoyevsky malah
  memorak-porandakan hidupnya sendiri. Ia pun menjadi seorang pencandu
  judi dan kehilangan semua uangnya serta semua teman-teman yang
  memberinya utang. Ia sangat percaya pada keyakinannya untuk menang:
  "Dalam sebuah permainan peluang," tulisnya suatu kali, "jika
  seseorang mempunyai kendali yang sempurna atas keinginannya - orang
  tak akan gagal untuk mengatasi betapa kejam sebuah peluang itu."
  Peluang memang kejam pada Dostoyevsky. Untuk melunasi utang pada
  krediturnya, ia menandatangani sebuah kontrak tak adil dengan sebuah
  penerbit yang curang yang ingin memanfaatkan situasi dan sikapnya
  yang tidak disiplin. Dostoyevsky harus menyelesaikan sebuah novel
  dalam tenggat waktu tertentu. Jika ia gagal, penerbit itu berhak
  untuk mendapatkan semua hak atas karya Dostoyevsky yang telah
  diterbitkan.

  Dapat ditebak bahwa Dostoyevsky banyak menunda sampai akhirnya
  tinggal sedikit waktu yang ia miliki. Tinggal kurang dari sebulan
  saja waktu yang ia miliki sebelum akhirnya ia mempekerjakan seorang
  juru tulis berusia 18 tahun, Anna Smitkina. Setelah siang malam
  selama tiga minggu ia mendiktekan novelnya, ia pun sanggup
  memberikan karyanya yang berjudul "The Gambler" itu kepada penerbit
  dan selamat dari konsekuensi. Kedisiplinan dan dorongan dari Annalah
  yang membuat perbedaan itu, Dostoyevsky pun menyadarinya. Perkawinan
  pertamanya (yang berakhir dengan kematian istrinya) adalah sebuah
  pengalaman yang sangat menguras emosinya. "Kami tidak bahagia
  bersama - namun kami juga tak bisa untuk tidak mencintai satu sama
  lain," tulisnya. "Semakin besar ketidakbahagiaan kami, semakin dekat
  pula hubungan kami." Kelanjutan perkawinannya dengan Anna terbukti
  sebagai sebuah kekuatan penyelaras bagi hidupnya, dan hanya setelah
  pernikahannya, ia dapat menghasilkan karya-karya besar.

  Orang Kristen bermasalah
  ------------------------
  Dalam novel-novel selanjutnya, tema-tema kekristenan muncul dengan
  lebih jelas, meski tidak menjadi satu-satunya tema. "Crime and
  Punishment" yang dikerjakan hampir bersamaan dengan novel "The
  Gambler" adalah mengenai perintah "jangan membunuh". Dengan unsur
  psikologis yang kaya, Dostoyevsky menceritakan kisah Raskolnikov,
  yang membunuh seorang nyonya tua yang serakah dan akhirnya jadi
  gila. Dalam "The Idiot" (1868-1869) Dostoyevsky menampilkan seorang
  pria yang memiliki kemiripan dengan Yesus dalam dunia yang penuh
  dengan realita yang membingungkan. Dalam "The Possessed" (1872) dia
  mengkritik skeptisme kaum liberal, mengolok-olok nilai-nilai
  tradisional dan pengabaian keluarga.

  "The Brothers Karamozov" (1879-1880) adalah novel hebatnya yang
  terakhir dan yang paling banyak dibicarakan. Tema-tema teologis dan
  filosofis muncul saat dia menggambarkan kehidupan empat pria
  bersaudara. Dua yang paling menonjol adalah Alyosha, karakter yang
  menggambarkan Kristus yang sangat ingin menerapkan prinsip kasih
  Kristen serta Ivan, yang dengan emosional selalu membela
  agnostikisme. Dalam bab "Rebellion", Ivan menyalahkan Bapa Surgawi
  yang menciptakan dunia di mana banyak anak menderita. Dalam bab "The
  Grand Inquisitor", Ivan menceritakan kisah Kristus yang datang
  kembali ke bumi selama periode penjelajahan bangsa Spanyol. Para
  penjelajah itu menangkap Kristus atas tuduhan "bidat paling buruk"
  karena, jelas para penjelajah, gereja sendiri telah menolak Kristus,
  menjual kebebasan mereka dalam Kristus demi `mujizat, misteri dan
  kekuasaan`.

  Dostoyevsky, penganut Kristen ortodoks Rusia, mengemukakan banyak
  kritik paling keras terhadap kekristenan. Namun, di waktu yang sama
  ia menampilkan karakter Alyosha yang percaya sepenuh hati dalam
  kasih murni Kristus. Ketika menjawab "Apakah neraka itu?", salah
  satu karakter menjawab, "Itu adalah penderitaan karena tidak mampu
  mengasihi."

  Peperangan batin antara si percaya dan si skeptik ini terus memenuhi
  jiwa Dostoyevsky seumur hidupnya, baik secara teologis maupun secara
  moral. Salah seorang teman Tolstoy mengatakan, "Saya tak bisa bilang
  apakah Dostoyevsky seorang pria yang baik atau bahagia. Ia orang
  yang keras, dengki, kasar dan menjalani hidupnya dalam emosi dan
  kemarahan. Di Swiss, di hadapan saya ia memperlakukan pelayannya
  begitu kasar hingga membuat pelayannya itu berteriak, `Saya juga
  manusia!`" Penulis Turgeniev pernah menjulukinya "orang Kristen
  terjahat yang pernah saya temui".

  Pandangan politik dan sosial Dostoyevsky juga seringkali ekstrim. Ia
  percaya bahwa bangsa Eropa akan segera hancur, bahwa Rusia dan
  gereja ortodoks Rusia ("Tuhan hidup sendirian dalam gereja
  ortodoks," katanya suatu kali) akan menciptakan kerajaan Tuhan di
  dunia.

  Walau begitu, iman yang ia miliki terlihat sangat dalam. Ini
  terlihat dalam ucapannya, "Jika ada yang dapat membuktikan padaku
  bahwa Kristus berada di luar kebenaran dan bahwa pada kenyataannya
  kebenaran berada di luar Kristus, aku akan tetap memilih Kristus
  ketimbang kebenaran."

  Di luar paradoks hidupnya, kejeniusan nampak pada karyanya, dan
  tidak ada novelis lain yang dapat menampilkan karakter dengan begitu
  dalam dan gagasan yang sedemikian penting. (t/ary)

  Bahan diterjemahkan dari:
  Judul artikel: Fyodor Dostoyevsky: Russian Novelist of Spiritual
                 Depth
  Situs: http://www.christianitytoday.com/history/special/131christians/dostoyevsky.html

                          = SURAT PEMBACA =

  Dari: Tony Tio (ttio.ami(at)..)
  >Salam damai,
  >
  >Setiap bulan saya menerima materi e-penulis yang isinya sangat luar
  >biasa. Saya juga ikut beberapa forum menulis yang anggotanya sangat
  >aktif dengan berbagai kegiatan, terus terang saya merasa iri sama
  >mereka.
  >
  >Timbul pertanyaan dalam benak saya, adakah atau bisakah kita juga
  >membentuk forum demikian? saya percaya banyak penulis kristiani
  >yang mau membantu dan aktif dalam komunitas ini.
  >
  >Kita lihat forum lingkar pena yang tersebar disetiap daerah yang
  >secara tidak langsung mereka aktif berdakwa disetiap pelatihan
  >penulis yang mereka buat.
  >
  >Saya berharap ini menjadi masukan pengurus sabda dengan harapan
  >kelak komunitas penulis kristiani ini akan melahirkan penulis-
  >penulis handal dan berbakat yang memiliki imam kristiani.
  >
  >Salam dalam Tuhan
  >
  >Toni Tio

  Redaksi:

  Terima kasih atas tanggapan Anda terhadap pelayanan kami. Kerinduan
  dari Bapak Toni sesungguhnya adalah kerinduan kami juga. Saat ini
  selain milis publikasi e-Penulis, kami juga telah meluncurkan dua
  buah situs.

  Situs komunitas penulis kami bernama Christian Writers` Club (CWC)
  di alamat:
  ==>   http://www.ylsa.org/cwc

  Situs bahan (tentang penulisan) yang baru kami luncurkan adalah
  situs Pelitaku (Penulis Literatur Kristen dan Umum)

  ==>   http://www.sabda.org/pelitaku

  Khusus untuk komunitas CWC, terus terang pergumulan yang sedang kami
  hadapi adalah kurang optimalnya pemanfaatan forum diskusi atau
  komunitas yang ada di sana. Oleh karena itu dalam kesempatan kali
  ini, mungkin akan sangat tepat jika dengan ini kami juga mengundang
  Bapak Toni untuk bergabung dan menyemarakkan forum komunitas CWC.

_____________________________________________________________________

Staf Redaksi   : Ary, Puji, dan Raka
Berlangganan   : Kirim email ke
                 subscribe-i-kan-penulis(at)xc.org
Berhenti       : Kirim email ke
                 unsubscribe-i-kan-penulis(at)xc.org
Kirim bahan    : Kirim email ke
                 staf-penulis(at)sabda.org
Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/
Situs CWC      : http://www.ylsa.org/cwc/
Situs Pelitaku : http://www.sabda.org/pelitaku/
______________________________________________________________________
      Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
             Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
                     Copyright(c) e-Penulis 2006
                  YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/
                       http://katalog.sabda.org/
                    Rekening: BCA Pasar Legi Solo
                 No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org