Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/20 |
|
e-Penulis edisi 20 (22-6-2006)
|
|
______________________________________________________________________ e-Penulis (Menulis untuk Melayani) Edisi 020/Juni/2006 TULISAN TERJEMAHAN ------------------ = DAFTAR ISI = * Dari Redaksi * Artikel #1 : Tidak Sekadar Alih Bahasa * Artikel #2 : Tentang Penerjemah * Asah Pena : Fyodor Dostoyevsky * Surat Pembaca: Forum Penulis Kristen DARI REDAKSI Salam kasih, Dunia penerjemahan dan kekristenan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan bahkan saling memengaruhi. Melalui upaya penerjemah, literatur Kristen dapat disebarkan dalam berbagai bahasa. Sebaliknya, lewat semangat menginjili kepada berbagai suku bangsa dan bahasa, kegiatan penerjemahan semakin berkembang hingga saat ini. Berangkat dari fakta di atas, e-Penulis kali ini mencoba mengetengahkan topik seputar dunia penulisan terjemahan. Simaklah dua artikel yang berisi pendapat dari para praktisi penerjemahan di Indonesia mengenai hal ini. Selamat membaca! Redaksi e-Penulis, Ary ARTIKEL #1 Tidak Sekadar Alih Bahasa ------------------------- Menerjemahkan buku atau karya tulis baik itu fiksi maupun nonfiksi dari bahasa satu ke bahasa yang lain adalah suatu pekerjaan yang tidak hanya sekadar mengalihbahasakan suatu karya saja. Namun, lebih dari itu, penerjemah juga dituntut untuk menyalurkan gagasan penulis ke pembaca dalam bahasa sasaran. Oleh karena itu, seorang penerjemah yang baik selain harus menguasai bahasa sumber dan sasaran juga wajib memahami situasi dan konteks dari karya yang akan diterjemahkan. "Penerjemahan itu bukan pengalihan kata, karena itu saya tidak setuju dengan istilah mengalihbahasakan. Menerjemahkan itu menyampaikan kembali dalam bahasa lain. Hal itu luas aspeknya, tidak hanya (menerjemahkan) kata-kata saja, tetapi juga suasana dan nuansanya. Jadi, ini merupakan pekerjaan yang membutuhkan rasa seni juga," papar Koesalah S Toer, penerjemah novel terjemahan "Musashi" yang awalnya diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung di harian Kompas awal tahun 1980-an. Hal yang hampir senada juga diungkap oleh Sapardi Djoko Damono, penyair yang juga seorang penerjemah. Menurut Sapardi, menerjemahkan adalah proses mengalihkan satu kebudayaan ke kebudayaan lain atau suatu pengertian dari kebudayaan yang satu ke pengertian kebudayaan yang lain. Jadi, hal yang utama dalam karya terjemahan menurut Sapardi adalah keterbacaan dan kepemahaman. Artinya, kemampuan atau potensi untuk bisa dipahami dalam bahasa sasaran. Oleh karena itu, terjemahan yang baik menurut dia adalah terjemahan yang bisa dibaca oleh pembaca sasaran. Sementara itu, Manneke Budiman, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIPB UI), menambahkan bahwa pekerjaan menerjemahkan buku, terutama karya sastra, selain memindahkan gagasan atau makna juga memindahkan bentuk. Contohnya, prosa menjadi prosa atau puisi tetap menjadi puisi. Dengan demikian, kemudian timbul pendapat bahwa yang bisa menerjemahkan karya sastra itu hanyalah sastrawan. Lalu, apa yang diperlukan agar karya terjemahan bisa dibaca dan dipahami oleh pembaca? Pertama, seorang penerjemah selain harus menguasai bahasa asal atau sumber juga harus memahami konteks dan latar belakang budayanya. "Kadang-kadang ada penerjemah yang menguasai bahasa asalnya, tapi konteks zaman atau peristiwa sejarahnya kurang dikuasai. Akibatnya, kendati bahasanya (asal) dikuasai betul, dalam proses menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa menjadi tidak tepat. Ini karena mereka tidak menguasai konteks zaman, historis, maupun kondisi sosialnya," ujar Manneke. Faktor yang kedua adalah penguasaan bahasa sasaran. "Penguasaan bahasa sasaran atau dalam hal ini bahasa Indonesia, menurut saya, justru lebih penting daripada penguasaan bahasa asal atau sumber," kata Sapardi. Menurut dia, baik-buruknya kualitas penerjemah di sini bukan terutama lantaran gaji kecil atau tidak, tetapi lebih karena kemampuan bahasa sasaran yang kurang. "Mungkin mereka menguasai benar bahasa Inggrisnya, tapi bahasa Indonesianya justru tidak. Nah, ini justru berbahaya sekali," tutur Sapardi. Lebih pentingnya penguasaan bahasa sasaran ketimbang bahasa asal juga dibenarkan oleh Hendarto Setiadi, penerjemah yang banyak menerjemahkan buku-buku fiksi. "Bahasa sasaran itu lebih penting daripada bahasa asal. Kalau bahasa asal kita enggak tahu, kita bisa buka kamus, tanya teman, atau cari di internet. Tapi kalau kosakata kita terbatas, pengetahuan tentang susunan kalimat atau gramatik kita juga terbatas, dengan sendirinya hasilnya juga enggak baik, kurang variatif, bahkan enggak bunyi," jelas Hendarto yang menerjemahkan buku "Dan Damai di Bumi" karangan Karl May. Pendapat senada dilontarkan oleh Manneke Budiman. "Bagaimanapun, penguasaan bahasa sasaran memang harus lebih dikuasai oleh seorang penerjemah. Memang ada `lost and gain-nya` kalau bahasa sasaran dikuasai dengan baik, tetapi jika bahasa sumbernya tidak dikuasai dengan baik, tetap menjadi masalah. Akan tetapi, persoalan ini bisa diatasi asalkan penerjemahnya rajin. Artinya, dia bisa tanya orang atau cari di kamus. Kalau bahasa sasaran yang tidak dikuasai, hal ini bisa menjadi persoalan besar karena ada kecenderungan kalau kita sudah merasa pintar berbahasa Indonesia. Sehingga tidak ada lagi dorongan untuk rajin atau bertanya, bahkan membuka yang namanya KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Gejala seperti ini sangat terlihat jelas akhir-akhir ini, terutama dengan buku-buku terbitan Jogja. Kovernya bagus-bagus, kelihatannya menarik. Orang menjadi terpukau untuk beli. Akan tetapi, begitu melihat terjemahannya, waduh .... Orang-orang yang mengaku kenal Gramsci, mengenal Foucault, tapi ternyata ketika sampai ke dalam bahasa Indonesia menjadi sama sekali tidak bisa dikenali," papar Manneke. Menerjemahkan buku nonfiksi memang agak berbeda dengan karya fiksi. Menurut Sapardi, menerjemahkan buku nonfiksi lebih ketat dibandingkan dengan karya fiksi atau karya sastra. "Buku nonfiksi seperti karya ilmiah, misalnya, terjemahannya enggak boleh melenceng sama sekali dengan aslinya. Kalau bisa, setiap kata ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Nah, kalau hasilnya menjadi tidak terbaca, itu masalah lain lagi. Tapi, bagaimanapun terjemahan yang baik itu tetap yang bisa dibaca," jelas Sapardi yang juga tercatat sebagai Guru Besar FIPB UI dan dosen Pascasarjana Universitas Indonesia. Berbeda dengan Sapardi, Manneke berpendapat bahwa menerjemahkan karya nonfiksi justru lebih leluasa atau lebih bebas ketimbang menerjemahkan karya fiksi. Menurut Manneke, di dalam menerjemahkan karya fiksi sering kali orang berbenturan dengan keharusan untuk mempertahankan bentuk, seperti dalam menerjemahkan puisi yang tidak betul-betul bebas karena ada aturan-aturan tertentu. "Dalam menerjemahkan karya nonfiksi seperti pengetahuan umum, misalnya, saya tidak melihat sejauh mana dia (penerjemah) mampu mempertahankan bentuk yang asli, tetapi yang lebih penting adalah sejauh mana dia bisa menyampaikan maknanya kepada pembaca Indonesia. Selama makna terseberangkan, hilangnya beberapa detail, bahkan kalau perlu dengan merombak struktur kalimat yang kompleks menjadi simpel, enggak apa-apa karena penerjemahan nonfiksi itu biasanya bersifat memberi tahu orang tentang sesuatu, atau bagaimana cara melakukan sesuatu. Nah, dengan demikian yang lebih penting adalah kemampuan untuk menyeberangkan gagasan utamanya. Makna tersampaikan dengan baik dan tidak ada kesalahpahaman," papar Manneke. Persoalan keleluasaan atau kebebasan dalam penerjemahan, terutama karya fiksi atau sastra, ternyata hingga kini masih menjadi salah satu persoalan klasik di dunia sastra. Paling tidak ada dua aliran penerjemah yang berbeda dalam memandang bagaimana seharusnya menerjemahkan sebuah karya sastra. Kelompok pertama adalah mereka yang punya kecenderungan menerjemahkan karya sastra secara lebih ketat. Sementara kelompok yang kedua cenderung menerjemahkan karya sastra secara lebih bebas. Menurut Aprinus Salam, pengamat sastra dari kota Yogyakarta, mereka yang menerjemahkan sastra secara lebih ketat biasanya mencoba melakukan penerjemahan sesuai dengan teks aslinya dan secara bertanggung jawab melakukan proses imajinasi sesuai dengan aslinya. Sementara kelompok yang kedua cenderung melakukan praktik-praktik penerjemahan yang lebih bebas. Penerjemah yang masuk dalam kelompok ini biasanya mencoba menulis ulang sesuai dengan bahasa dan imajinasi si penerjemah. Oleh karena itu, mereka sering mendapat sebutan sebagai pengkhianat kreatif. "Mereka disebut sebagai pengkhianat kreatif karena dalam menerjemahkan karya sastra mereka melakukan kreativitasisasi, tapi mengkhianati teksasinya," tutur Aprinus Salam yang juga aktif mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Menurut Aprinus, penerjemah kreatif seharusnya menerjemahkan seperti mendalami laut, jadi ada semacam kontekstualisasi. "Dalam beberapa hal saya lebih berpihak kepada penerjemah yang melakukan usaha-usaha kontekstualisasi. Karena dengan kontekstualisasi, teks tersebut bisa bermakna bagi pembacanya. Oleh karena itu, ketika karya-karya Ernest Hemingway diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, saya berkeyakinan bahwa sampai saat ini karya itu belum bisa diterima oleh banyak orang," kata Aprinus. Sapardi Djoko Damono merupakan salah seorang penerjemah yang masuk dalam kategori penerjemah yang lebih bebas. Berbagai macam karya terjemahan mulai dari puisi, cerita pendek, naskah drama, hingga novel sudah ia buat sejak masih duduk di bangku sekolah menengah umum. Latar belakang dia sebagai penyair cukup berpengaruh terhadap karya- karya terjemahannya yang cenderung lebih bebas. "Terjemahan itu bebas, paling tidak kalau saya yang menerjemahkan. Menerjemahkan itu mengkhianati sesuatu karya sastra dari bangsa lain atau budaya lain kepada bangsa kita supaya bisa dipahami. Seperti orang Italia bilang: terjemahan itu ibarat perempuan. Kalau setia tidak cantik, kalau tidak setia justru cantik. Nah, kalau dilihat dari sejarah kesusastraan kita, sebenarnya apa yang dianggap sebagai karya sastra kita hampir semua karya terjemahan belaka. Contohnya, Sri Rama, Mahabarata, atau Aji Parwa, itu semua karya terjemahan. Apakah itu sesuai dengan aslinya di India sana, tentu saja tidak. Yang jelas, buku-buku itu bisa dibaca dan dijadikan sebagai karya sastra agung sejak nenek moyang kita dulu. Hal ini juga terjadi di Eropa. Banyak karya sastra romantik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman yang kemudian menjadikan gerakan romantik di Jerman itu menjadi penting. Nah, untuk sastra modern di Indonesia gampang sekali. Chairil Anwar menerjemahkan sajak John Cornford yang judulnya "Poem" menjadi "Huesca". Itu kan rusak sama sekali. Tapi, sebagai sajak Indonesia, terjemahan itu luar biasa bagusnya. Dia mungkin berusaha setia, tapi dia tahu potensi yang ada pada bahasa Inggris berbeda dengan yang ada di Indonesia sehingga dia harus mengubah. Jadi, toleransi ketidaksetiaan dalam terjemahan fiksi itu bisa sangat besar, baik untuk puisi maupun prosa," kata Sapardi. Penerjemahan karya sastra yang cenderung bebas seperti yang dilakukan oleh Sapardi maupun Chairil Anwar ini ternyata mendapat kritikan dari Manneke Budiman. Menurut Manneke, menerjemahkan karya sastra tetap harus setia terhadap makna dan bentuk. Jadi, yang dikhianati itu pilihan kata, sementara makna dan suasana yang dibangun maupun bentuknya harus tetap dipertahankan. Tapi, bagaimana kemudian makna itu dinyatakan dalam suatu bentuk tertentu bisa sangat fleksibel dalam penerjemahan sastra. Oleh karena itu, karya terjemahan yang kreativitasnya sudah terlalu jauh sehingga sangat kental menampilkan warna pribadi penerjemahnya, lebih baik bila karya itu disebut sebagai karya pengarang yang menerjemahkan, bukan lagi dibilang sebagai karya pengarang aslinya. "Sapardi Djoko Damono pernah menerjemahkan puisi-puisi klasik Tiongkok. Hasilnya bagus. Tetapi, bentuk asli sama sekali ditinggalkan sehingga bisa saja orang tidak tahu kalau itu puisi klasik Tiongkok. Orang akan sangat mudah mengasumsikan itu sebagai puisinya Sapardi," ujar Manneke. Jadi, menurut dia, lebih baik karya itu diakui sebagai karya Sapardi ketimbang disebut sebagai karya terjemahan. Kendati masih banyak terjadi pro-kontra dan pandangan-pandangan yang berbeda dalam menilai sebuah karya terjemahan, di sisi lain membanjirnya buku-buku terjemahan ini mendapat sambutan positif. "Dampak dari kehadiran karya-karya terjemahan akhir-akhir ini luar biasa bagi perkembangan kesusastraan Indonesia. Karena ada semacam asumsi ketika di suatu bangsa kesusastraan bangsa itu sedang stagnan, tidak ada fenomena besar yang muncul, maka yang membuat kesusastraan bangsa itu tetap hidup adalah karya-karya terjemahan sebagaimana pun kualitasnya. Nah, kalau kemudian muncul misalnya Ayu Utami, Dewi Lestari, dan sebagainya, terus orang Indonesia sendiri tercambuk untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda sebagai akibat banyaknya novel terjemahan, memang harus dilihat lagi. Akan tetapi, kesan stagnasi kira-kira sepuluh tahun lalu, sekarang sudah mulai berubah. Orangnya tidak itu-itu terus, Putu Wijaya, Putu Wijaya terus. Sekarang ada yang sedikit berubah ketika muncul Ayu Utami," jelas Manneke.(wen/bip/nca/nur/umi) Bahan diedit dari: Sumber: Pustakaloka Kompas, Sabtu 24 Mei 2003 Situs : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/24/pustaka/326701.htm ARTIKEL #2 Tentang Penerjemah ------------------ Apa yang sedang terjadi di bidang penerjemahan di negeri kita? Di kalangan kita masih terjadi ketidakpahaman akan kemampuan dan peran penerjemah, yakni mengalihkan pesan teks suatu bahasa ke bahasa yang lain dan berperan sebagai jembatan yang menghubungkan dua pihak. Posisinya sangat strategis. Kesalahan penerjemahan memberikan dampak yang buruk pada pemahaman pembaca. Fasih berbahasa asing tidak dengan sendirinya mampu menerjemahkan. Penguasaan bahasa sasaran sangatlah penting. Kemampuan menerjemahkan bertumpu pada pengalaman, bakat, dan pengetahuan umum: gabungan pengetahuan atau inteligensi (kognitif), rasa bahasa (emotif), dan keterampilan menggunakan bahasa (retoris). Seorang penerjemah tidak dapat menerjemahkan naskah untuk segala bidang. Penerjemah harus menguasai pengetahuan umum, seperti tentang kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Penerjemah yang berspesialisasi, misalnya hukum, teknik, atau kedokteran, harus menguasai substansi yang diterjemahkannya. Sering terjadi seorang penerjemah "dipaksa" menerjemahkan teks dengan substansi apa saja. Penerjemah adalah profesi. Mempekerjakan penerjemah harus berdasarkan kriteria profesional dan tidak sekadar karena kenal atau karena kata orang saja. Bila kita belum mengenal kemampuannya, ia harus diminta menerjemahkan satu halaman untuk kita lihat nilai kualitasnya. Masih banyak editor penerbit yang tidak memerhatikan kualitas terjemahan, tetapi semata-mata bahasa Indonesianya agar layak terbit dan laku jual. Dalam penerbitan terjemahan diperlukan pemeriksa kualitas terjemahan (disebut reviser), yang menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran, untuk mengurangi risiko kesalahan. Penerjemahan film juga masih memprihatinkan karena penerjemahnya diambil tanpa menggunakan kriteria profesional. Intinya, kualitas terjemahan harus diutamakan. Penerjemah adalah profesi praktis dan nonakademis yang bertumpu pada kemampuan berpikir, rasa bahasa, dan kemampuan retoris. Peneliti dan kritikus terjemahan adalah profesi yang sifatnya akademis atau semiakademis. Mereka pengkaji dan bukan praktisi penerjemahan. Pendidikan sarjana, magister, atau pun doktor di bidang penerjemahan memberikan kemampuan akademis dan bukan praktis di bidang penerjemahan, kecuali jika kurikulumnya memang dirancang untuk menghasilkan penerjemah. Kualitas penerjemah berdampak pada kualitas terjemahan. Penerjemah berkualitas buruk akan menghasilkan terjemahan yang buruk. Pertanyaannya bagaimana menanggulangi masalah ini? Pertama, etik. Salah satu butir kode etik Himpunan Penerjemah Indonesia menyebutkan penerjemah tidak dibenarkan menerima pekerjaan penerjemahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Ini untuk menjaga kualitas. Kedua, peningkatan diri. Penerjemah harus selalu meningkatkan dan memperluas serta menyegarkan pengetahuannya. Ketiga, perguruan tinggi harus berperan sebagai tempat mengembangkan program pelatihan di samping program pendidikan formal di jenjang pascasarjana (spesialis atau magister). Keempat, HPI sedang membina para penerjemah dengan pendidikan nonformal untuk meningkatkan kualitas. Kelima, peneliti dan kritisi terjemahan harus berperan sebagai pendorong peningkatan kualitas. Keenam, pengembangan karir penerjemah harus mendapat dorongan dari masyarakat pengguna. Penerjemah dalam birokrasi harus diberi jabatan fungsional agar karirnya terjamin (upaya ini sedang ditangani oleh Sekretariat Negara dan Kementerian PAN). Ketujuh, perlu ada standardisasi kualitas melalui ujian kualifikasi (sejak tahun 1968 sudah dilakukan oleh Universitas Indonesia). Itulah sketsa profesi penerjemah di Indonesia. Semoga penerjemahan yang ngawur seperti yang masih banyak dikeluhkan bisa berkurang jumlahnya. Namun, kelihatannya kita masih harus bersabar. Bahan diedit dari: Situs : http://wartahpi.org/content/view/43// Penulis : Benny H Hoed ASAH PENA --------- FYODOR DOSTOYEVSKY (1821-1881) "Jika ada yang dapat membuktikan padaku bahwa Kristus berada di luar kebenaran dan bahwa pada kenyataannya kebenaran berada di luar Kristus, aku akan tetap memilih Kristus ketimbang kebenaran." Demikian kalimat menjelang kematian itu ia katakan, Fyodor Dostoyevsky, 29 tahun ketika itu sedang bersama tahanan lainnya, berada di tengah arena, siap untuk ditembak. Tiba-tiba seorang pembawa pesan menyeruak muncul, mengatakan bahwa Tsar telah memutuskan untuk membiarkan mereka hidup (saat hal ini terjadi, siksaan-siksaan awal telah menjadi bagian dari hukumannya). Saat pengampunan ini diumumkan, dua dari tahanan ini telah menjadi gila, sementara seorang lagi akan menuliskan novel "Crime and Punishment" dan "The Brothers Karamozov", dua dari beberapa novel terbesar di sejarah sastra Eropa. Pengalaman di atas mungkin adalah yang paling dramatis walau bukan satu-satunya krisis yang pernah terjadi dalam warna-warni hidup Dostoyevsky. Meski seorang Kristen yang taat, dia tak pernah menjadi orang Kristen yang baik; walau seorang penulis yang jenius, karya- karyanya secara teknis masih terasa belum terpoles dengan baik. Selain itu, pemahamannya mengenai hati manusia mungkin disebabkan oleh hatinya sendiri yang begitu bermasalah, yang sangat nyata terlihat dalam karya sastranya. Kejamnya Peluang ---------------- Ayah Dostoyevsky, seorang pria yang kejam dan mata keranjang (dia akhirnya dibunuh oleh pembantunya), mengarahkan anaknya untuk berkarir sebagai ahli mesin untuk militer. Namun, Dostoyevsky memilih bekerja dengan pena, dan setelah menjadi sarjana pada tahun 1843, ia keluar dari pekerjaannya untuk menekuni karier kepenulisan. Novel pertamanya, "Poor Folk", banyak dipuji oleh para kritikus di Rusia, yang kemudian menobatkannya sebagai bakat besar dalam kesusastraan Rusia. Setelah eksekusi mati yang batal tadi Dostoyevsky dikirim ke kamp kerja paksa di Siberia selama empat tahun karena keterlibatannya dalam "kegiatan revolusioner". Setelah dibebaskan, ia menuliskan "The House of Dead" berdasarkan pengalamannya dalam kamp yang kejam itu. Novel itu menandai munculnya tradisi sastra penjara di Rusia. Di penjara itu juga, Dostoyevsky sempat mengalami serangan epilepsi pertamanya, sebuah kondisi yang selanjutnya akan selalu ia bawa di sepanjang hidupnya, yang juga ia terangkan dalam tulisannya. Pada tahun 1860-an, Dostoyevsky (bersama saudara lelakinya Mikhail) mengedit dua jurnal penting. Dalam jurnal tersebut, selain dalam catatannya yang ditulis pada tahun 1864 berjudul "Notes from the Underground", dia menyatakan keberjarakannya pada para kaum utopis radikal (sosialis dan komunis) yang ingin mengakhiri perbudakan dan korupsi dalam pemerintahan Tsar - atau pada dasarnya dalam seluruh tatanan masyarakat - untuk mendirikan masyarakat yang lebih baik. Di luar kesuksesannya dalam bidang sastra, Dostoyevsky malah memorak-porandakan hidupnya sendiri. Ia pun menjadi seorang pencandu judi dan kehilangan semua uangnya serta semua teman-teman yang memberinya utang. Ia sangat percaya pada keyakinannya untuk menang: "Dalam sebuah permainan peluang," tulisnya suatu kali, "jika seseorang mempunyai kendali yang sempurna atas keinginannya - orang tak akan gagal untuk mengatasi betapa kejam sebuah peluang itu." Peluang memang kejam pada Dostoyevsky. Untuk melunasi utang pada krediturnya, ia menandatangani sebuah kontrak tak adil dengan sebuah penerbit yang curang yang ingin memanfaatkan situasi dan sikapnya yang tidak disiplin. Dostoyevsky harus menyelesaikan sebuah novel dalam tenggat waktu tertentu. Jika ia gagal, penerbit itu berhak untuk mendapatkan semua hak atas karya Dostoyevsky yang telah diterbitkan. Dapat ditebak bahwa Dostoyevsky banyak menunda sampai akhirnya tinggal sedikit waktu yang ia miliki. Tinggal kurang dari sebulan saja waktu yang ia miliki sebelum akhirnya ia mempekerjakan seorang juru tulis berusia 18 tahun, Anna Smitkina. Setelah siang malam selama tiga minggu ia mendiktekan novelnya, ia pun sanggup memberikan karyanya yang berjudul "The Gambler" itu kepada penerbit dan selamat dari konsekuensi. Kedisiplinan dan dorongan dari Annalah yang membuat perbedaan itu, Dostoyevsky pun menyadarinya. Perkawinan pertamanya (yang berakhir dengan kematian istrinya) adalah sebuah pengalaman yang sangat menguras emosinya. "Kami tidak bahagia bersama - namun kami juga tak bisa untuk tidak mencintai satu sama lain," tulisnya. "Semakin besar ketidakbahagiaan kami, semakin dekat pula hubungan kami." Kelanjutan perkawinannya dengan Anna terbukti sebagai sebuah kekuatan penyelaras bagi hidupnya, dan hanya setelah pernikahannya, ia dapat menghasilkan karya-karya besar. Orang Kristen bermasalah ------------------------ Dalam novel-novel selanjutnya, tema-tema kekristenan muncul dengan lebih jelas, meski tidak menjadi satu-satunya tema. "Crime and Punishment" yang dikerjakan hampir bersamaan dengan novel "The Gambler" adalah mengenai perintah "jangan membunuh". Dengan unsur psikologis yang kaya, Dostoyevsky menceritakan kisah Raskolnikov, yang membunuh seorang nyonya tua yang serakah dan akhirnya jadi gila. Dalam "The Idiot" (1868-1869) Dostoyevsky menampilkan seorang pria yang memiliki kemiripan dengan Yesus dalam dunia yang penuh dengan realita yang membingungkan. Dalam "The Possessed" (1872) dia mengkritik skeptisme kaum liberal, mengolok-olok nilai-nilai tradisional dan pengabaian keluarga. "The Brothers Karamozov" (1879-1880) adalah novel hebatnya yang terakhir dan yang paling banyak dibicarakan. Tema-tema teologis dan filosofis muncul saat dia menggambarkan kehidupan empat pria bersaudara. Dua yang paling menonjol adalah Alyosha, karakter yang menggambarkan Kristus yang sangat ingin menerapkan prinsip kasih Kristen serta Ivan, yang dengan emosional selalu membela agnostikisme. Dalam bab "Rebellion", Ivan menyalahkan Bapa Surgawi yang menciptakan dunia di mana banyak anak menderita. Dalam bab "The Grand Inquisitor", Ivan menceritakan kisah Kristus yang datang kembali ke bumi selama periode penjelajahan bangsa Spanyol. Para penjelajah itu menangkap Kristus atas tuduhan "bidat paling buruk" karena, jelas para penjelajah, gereja sendiri telah menolak Kristus, menjual kebebasan mereka dalam Kristus demi `mujizat, misteri dan kekuasaan`. Dostoyevsky, penganut Kristen ortodoks Rusia, mengemukakan banyak kritik paling keras terhadap kekristenan. Namun, di waktu yang sama ia menampilkan karakter Alyosha yang percaya sepenuh hati dalam kasih murni Kristus. Ketika menjawab "Apakah neraka itu?", salah satu karakter menjawab, "Itu adalah penderitaan karena tidak mampu mengasihi." Peperangan batin antara si percaya dan si skeptik ini terus memenuhi jiwa Dostoyevsky seumur hidupnya, baik secara teologis maupun secara moral. Salah seorang teman Tolstoy mengatakan, "Saya tak bisa bilang apakah Dostoyevsky seorang pria yang baik atau bahagia. Ia orang yang keras, dengki, kasar dan menjalani hidupnya dalam emosi dan kemarahan. Di Swiss, di hadapan saya ia memperlakukan pelayannya begitu kasar hingga membuat pelayannya itu berteriak, `Saya juga manusia!`" Penulis Turgeniev pernah menjulukinya "orang Kristen terjahat yang pernah saya temui". Pandangan politik dan sosial Dostoyevsky juga seringkali ekstrim. Ia percaya bahwa bangsa Eropa akan segera hancur, bahwa Rusia dan gereja ortodoks Rusia ("Tuhan hidup sendirian dalam gereja ortodoks," katanya suatu kali) akan menciptakan kerajaan Tuhan di dunia. Walau begitu, iman yang ia miliki terlihat sangat dalam. Ini terlihat dalam ucapannya, "Jika ada yang dapat membuktikan padaku bahwa Kristus berada di luar kebenaran dan bahwa pada kenyataannya kebenaran berada di luar Kristus, aku akan tetap memilih Kristus ketimbang kebenaran." Di luar paradoks hidupnya, kejeniusan nampak pada karyanya, dan tidak ada novelis lain yang dapat menampilkan karakter dengan begitu dalam dan gagasan yang sedemikian penting. (t/ary) Bahan diterjemahkan dari: Judul artikel: Fyodor Dostoyevsky: Russian Novelist of Spiritual Depth Situs: http://www.christianitytoday.com/history/special/131christians/dostoyevsky.html = SURAT PEMBACA = Dari: Tony Tio (ttio.ami(at)..) >Salam damai, > >Setiap bulan saya menerima materi e-penulis yang isinya sangat luar >biasa. Saya juga ikut beberapa forum menulis yang anggotanya sangat >aktif dengan berbagai kegiatan, terus terang saya merasa iri sama >mereka. > >Timbul pertanyaan dalam benak saya, adakah atau bisakah kita juga >membentuk forum demikian? saya percaya banyak penulis kristiani >yang mau membantu dan aktif dalam komunitas ini. > >Kita lihat forum lingkar pena yang tersebar disetiap daerah yang >secara tidak langsung mereka aktif berdakwa disetiap pelatihan >penulis yang mereka buat. > >Saya berharap ini menjadi masukan pengurus sabda dengan harapan >kelak komunitas penulis kristiani ini akan melahirkan penulis- >penulis handal dan berbakat yang memiliki imam kristiani. > >Salam dalam Tuhan > >Toni Tio Redaksi: Terima kasih atas tanggapan Anda terhadap pelayanan kami. Kerinduan dari Bapak Toni sesungguhnya adalah kerinduan kami juga. Saat ini selain milis publikasi e-Penulis, kami juga telah meluncurkan dua buah situs. Situs komunitas penulis kami bernama Christian Writers` Club (CWC) di alamat: ==> http://www.ylsa.org/cwc Situs bahan (tentang penulisan) yang baru kami luncurkan adalah situs Pelitaku (Penulis Literatur Kristen dan Umum) ==> http://www.sabda.org/pelitaku Khusus untuk komunitas CWC, terus terang pergumulan yang sedang kami hadapi adalah kurang optimalnya pemanfaatan forum diskusi atau komunitas yang ada di sana. Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini, mungkin akan sangat tepat jika dengan ini kami juga mengundang Bapak Toni untuk bergabung dan menyemarakkan forum komunitas CWC. _____________________________________________________________________ Staf Redaksi : Ary, Puji, dan Raka Berlangganan : Kirim email ke subscribe-i-kan-penulis(at)xc.org Berhenti : Kirim email ke unsubscribe-i-kan-penulis(at)xc.org Kirim bahan : Kirim email ke staf-penulis(at)sabda.org Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/ Situs CWC : http://www.ylsa.org/cwc/ Situs Pelitaku : http://www.sabda.org/pelitaku/ ______________________________________________________________________ Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA. Didistribusikan melalui sistem network I-KAN. Copyright(c) e-Penulis 2006 YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/ http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |