Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/19 |
|
e-Penulis edisi 19 (19-5-2006)
|
|
<>--------------------------------oo--------------------------------<> < e-Penulis > (Menulis untuk Melayani) Edisi 019/Mei/2006 <>------------------------------------------------------------------<> MENULIS FIKSI ATAU NONFIKSI? <>------------------------------------------------------------------<> = DAFTAR ISI = * Dari Redaksi * Artikel : Fiksi atau Nonfiksi, Itulah Pertanyaannya * Tips : Antara Fiksi dan Nonfiksi * Pojok Kata : Engdonesian * Stop Press : "Aksara" -- Kursus Menulis Seni Visual <>------------------------------------------------------------------<> = DARI REDAKSI = Salam damai dalam kasih Kristus, Redaksi e-Penulis kali ini sengaja mengangkat tema "Fiksi atau Nonfiksi" untuk menyoroti dua bentuk tulisan yang bisa menjadi pilihan untuk para penulis Kristen. Simaklah artikel utama yang diharapkan dapat memberi gambaran mengenai perbandingan kedua jenis tulisan ini. Jangan lewatkan juga tips yang dapat menolong Anda yang ingin mencoba ataupun mendalami teknik-teknik penulisan fiksi maupun nonfiksi. Kolom Pojok Kata yang sudah dijanjikan akan tampil bergantian dengan Asah Pena kali ini juga kembali menyapa Anda dengan tulisan tentang fenomena "Engdonesian" (English-Indonesian). Selamat menulis! Redaksi e-Penulis, Ary <>------------------------------------------------------------------<> = ARTIKEL = FIKSI ATAU NONFIKSI, ITULAH PERTANYAANNYA ========================================= Fiksi atau nonfiksi? Barangkali tak sedikit penulis pemula yang masih mengalami kebimbangan dalam menentukan jenis tulisan yang akan mereka tekuni. Seperti sebuah katalog belanja, tulisan ini diharapkan dapat membantu Anda untuk dapat memperoleh sedikit gambaran mengenai keduanya, meskipun hanya Anda sendirilah yang dapat menentukan pilihan untuk diri Anda sendiri. Tulisan fiksi dan nonfiksi memiliki pendukungnya masing-masing. Di sini yang disebut sebagai `pendukung` tulisan fiksi meliputi novelis, cerpenis, dramawan, dan kadang penyair pun sering dimasukkan ke dalamnya. Sementara `pendukung` tulisan nonfiksi meliputi para jurnalis, esais, penulis biografi, feature, peneliti, dsb. Tentu tidak begitu sulit bagi kita untuk mengenali mereka. Lalu apakah yang disebut dengan tulisan fiksi dan nonfiksi? Satu ciri yang pasti ada dalam tulisan fiksi adalah isinya yang berupa kisah rekaan. Kisah rekaan itu dalam praktik penulisannya juga tidak boleh sembarangan. Unsur-unsur seperti penokohan, plot, konflik, klimaks, seting, dsb. adalah hal-hal penting yang memerlukan perhatian tersendiri. Meski demikian, dengan kisah (bisa juga data) yang asalnya dari imajinasi pengarang tersebut, tulisan fiksi memungkinkan kebebasan bagi seorang pengarang untuk membangun sebuah `kebenaran` yang bisa digunakan untuk menyampaikan pesan yang ingin ia sampaikan kepada pembacanya. Di lain pihak, kebebasan yang dimiliki pengarang fiksi tadi juga memungkinkan adanya kebebasan bagi pembaca untuk menginterpretasikan makna yang terkandung dalam tulisan tersebut. Artinya, fiksi sangat memungkinkan adanya multi interpretasi makna. Bagi satu orang, novel JD Salinger yang berjudul "Catcher in the Rye" bisa dinilai sebagai sebuah novel yang dapat memperkaya pengetahuan tentang lika-liku kejiwaan manusia dan lingkungannya. Namun, novel yang sama juga dapat menginspirasi seorang bernama Mark David Chapman untuk membunuh pujaannya, John Lennon. Berkebalikan dengan fiksi, tulisan nonfiksi mengutamakan data dan fakta yang tidak boleh dibumbui oleh imajinasi atau rekaan penulis. Dalam tulisan nonfiksi berbentuk jurnalistik, penyampaian fakta bahkan harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam satu pakem yang disebut 5W1H (What, Who, When, Where, Why, How). Walau tidak sama, referensi data juga menjadi syarat dalam tulisan yang lebih `bebas` seperti esai, feature, memoar, atau kesaksian. Namun, ini tidak berarti bahwa tulisan nonfiksi sama sekali tidak memberikan kebebasan bagi penulisnya. Seorang penulis nonfiksi tentu saja dapat menuliskan apa pun tema yang ia inginkan. Hanya saja ia harus menyampaikannya dengan data yang dapat dipertanggungjawabkan, minimal oleh dirinya sendiri. Bahkan dalam praktiknya, bisa dibilang topik untuk tulisan nonfiksi berbentuk opini atau feature juga lebih mudah ditemukan. Cukup dengan mengamati, menilai, atau memiliki usul, sebuah topik akan cepat didapat. Satu hal lagi yang membedakan tulisan nonfiksi dengan fiksi adalah kejelasan makna yang ingin disampaikan penulis dalam karyanya. Dengan menulis sebuah nonfiksi yang baik dan sistematis, pembaca akan lebih mudah digiring ke sebuah opini atau pesan yang ingin disampaikan penulis tanpa perlu mengartikan simbolisasi atau metafora pesan yang ingin disampaikan seperti yang terjadi pada cerita fiksi. Pada perkembangan selanjutnya, fiksi zaman sekarang juga sudah berbeda dengan kisah fiksi lama yang sering identik dengan dongeng. Tulisan fiksi saat ini tidak melulu berisi hal-hal atau cerita imajinatif dan penuh khayalan. Kita bisa melihat contohnya pada fiksi-fiksi yang ditulis dengan gaya realis. Tak jarang sebuah fiksi yang ditulis dengan gaya realis yang baik mampu membuat banyak pembaca mengidentifikasikan kisah tersebut dengan kondisi nyata di sekeliling mereka. Fiksi (biasanya cerpen) yang ditulis dengan cara bertutur seperti sebuah jurnal atau laporan juga ada. Termasuk disini adalah novel klasik "Poor People" karangan Fyodor Dostoyevsky yang ditulis dengan gaya surat-menyurat. Selanjutnya ada juga genre fiksi-ilmiah yang memadukan dasar-dasar ilmu sains ilmiah dengan kisah-kisah khayalan. Fiksi-fiksi yang antara lain dipopulerkan oleh penulis seperti HG Wells dan Isaac Asimov itu pada perkembangannya juga sering mengilhami penemuan-penemuan yang kita kenal saat ini. Berkebalikan dengan fiksi ilmiah yang biasanya mengemukakan hal-hal yang belum terjadi, kita pun mengenal adanya novel-novel sejarah. Mulai dari novel-novel Pramoedya Ananta Toer yang menyajikan cerita- cerita yang dilengkapi referensi sejarah sampai novel "Da Vinci Code" dengan pemaparan data yang sebegitu `meyakinkan` hingga membuat banyak pemimpin Kristen kalang kabut dan orang Kristen bimbang akan fakta sejarah kekristenannya. Hal sebaliknya juga terjadi dalam penulisan nonfiksi. Tulisan nonfiksi saat ini tidak selalu bergaya laporan yang kaku yang penuh kutipan data serta referensi yang membuatnya `kering`. Tulisan demikian bisa dilihat dari sejumlah tulisan bercorak jurnalisme sastrawi, yaitu jurnalisme yang memakai estetika layaknya sastra dengan isi yang menguak satu topik secara lebih dalam dan kadang juga disajikan dengan gaya sebuah narasi karya sastra. Jadi, jurnalisme macam ini bukan saja melaporkan apa yang dilakukan seseorang, tapi juga psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal tersebut. Hal serupa juga bisa kita lihat dari tulisan-tulisan feature, biografi, otobiografi, memoar, yang kini semakin banyak yang bisa kita nikmati seperti halnya membaca karya fiksi atau sastra. Seorang penulis memang bebas untuk menulis apa pun, baik fiksi maupun nonfiksi. Tak ada yang melarang seorang sastrawan menulis tulisan ilmiah dan tak ada yang melarang seorang wartawan menulis novel. Tidak jarang pula kita mengenal penulis-penulis terkenal yang bisa menulis keduanya dengan sama baik, namun biasanya seorang penulis tetap memiliki kecenderungan untuk memilih salah satunya. Faktor-faktor yang memengaruhi pilihan ini bisa bersumber dari beberapa hal. Yang paling berpengaruh adalah faktor bacaan. Mengingat proses pembelajaran manusia pada awalnya selalu dengan meniru, seorang penulis pemula yang lebih banyak membaca tulisan- tulisan berbentuk jurnal atau opini (nonfiksi) biasanya cenderung akan membuat tulisan-tulisan bergaya serupa. Hal sebaliknya juga terjadi pada penulis nonfiksi. Faktor selanjutnya bisa berasal dari lingkungan, budaya, dan sistem pendidikan. Disadari atau tidak, ini adalah faktor yang cukup berpengaruh. Misalnya pada budaya yang menganggap pengungkapan pendapat secara langsung dan terus terang sebagai sesuatu yang tidak sopan atau bahkan subversif, tulisan fiksi yang memungkinkan penyampaian pendapat atau kritik lewat simbol-simbol biasanya akan dipilih. Demikian juga dengan metode pendidikan. Apa yang terjadi pada metode pengajaran di Indonesia adalah contoh yang mudah dilihat. Fakta bahwa pelajaran bahasa dan sastra Indonesia diubah menjadi pelajaran yang hanya mementingkan penghafalan nama dan data- data saja, bahwa para pengajarnya sendiri ternyata gagal menunjukkan bagaimana membuat sastra menjadi sesuatu yang menarik dan penting bagi kehidupan, menulis fiksi (atau bahkan menulis saja) pun bisa dipandang sebagai aktivitas yang tidak ada gunanya. Faktor yang lain tentunya aspek psikologis penulis itu sendiri. Sebagaimana masing-masing manusia selalu memiliki salah satu belahan otak yang lebih dominan dalam bekerja, demikian pula seorang penulis selalu memiliki kecenderungan pilihan antara menulis fiksi atau nonfiksi. Melihat beberapa hal ini (terutama faktor-faktor luar), paling tidak kita dapat mengetahui, atau juga mengarahkan pilihan kita atau orang lain dalam belajar menulis. Sebagai penutup, tulisan ini sekali lagi memang tidak dimaksudkan untuk mengunggulkan atau menjelek-jelekkan tulisan fiksi maupun nonfiksi. Sebagaimana menulis pada akhirnya lebih banyak berurusan dengan panggilan hati, menentukan fiksi atau nonfiksi juga tidak dapat dipaksakan. Tentunya menyuarakan kebenaran menjadi hal yang terpenting. Menulis dan menulislah! Sumber diedit dari: Milis : Kesasarpetra Penulis : Tadeus <mahardica(at)> Alamat milis : kesasarpetra <kesasarpetra(at)yahoogroups.com> <>------------------------------------------------------------------<> = TIPS = ANTARA FIKSI DAN NONFIKSI ========================= Sastrawan menulis buku nonfiksi? Bukan hal aneh. Ilmuwan atau wartawan yang menulis cerpen atau novel juga banyak. Umberto Eco menulis novel "The Name of Rose" sebaik ia menulis teori-teorinya tentang semiologi. Jean Paul Sartre dikenal sebagai tokoh filsafat, namun dinobatkan juga sebagai pemenang Nobel Sastra atas karya novelnya. Tahun lalu, Sihar Ramses Simatupang yang berprofesi sebagai wartawan Sinar Harapan juga turut berkarya dengan meluncurkan sebuah novel berjudul Lorca. Menekuni satu bidang memang baik karena keterbiasaan akan membuat kualitas tulisan kita lebih bagus. Namun, tak ada salahnya jika sesekali kita mencoba bentuk tulisan lain. Bagi penulis pemula, terutama yang sudah merasa `nyaman` dengan jenis tulisan yang ia geluti (fiksi maupun nonfiksi), membuat suatu tulisan yang berbeda dengan yang biasa ia tulis bisa menimbulkan kesulitan tersendiri. Berikut beberapa tips yang mungkin bisa Anda coba untuk mengatasi kesulitan tersebut. 1. Anda perlu menyesuaikan referensi bacaan. Sebagaimana bahan bacaan sering memengaruhi cara atau kecenderungan menulis kita, banyak membaca tulisan tertentu juga akan mampu mengubah apa yang kita tulis. Jadi, jika ada orang yang ingin membuat sebuah tulisan fiksi yang baik, saya yakin dia tidak akan mampu melakukannya kalau hanya membaca buku-buku teori yang berjudul "Bagaimana Cara Menulis Fiksi yang Baik" sekalipun. Pelajaran paling baik adalah dengan terjun langsung ke kancah bacaan fiksi itu sendiri, bukan hanya menjadi pengamat dari luar. Hal yang sama juga terjadi pada kasus sebaliknya. Seorang yang ingin mampu menulis karya nonfiksi atau merancang sebuah jurnal ilmiah akan sulit untuk menyampaikan idenya secara sistematis, analitis, dan jelas jika ia malah membaca karya Shakespeare yang memakai bahasa yang penuh metafora. 2. Tulisan jenis nonfiksi menuntut kata-kata yang dapat menjelaskan makna dengan efektif. Karenanya, Anda perlu berlatih menulis kalimat-kalimat bermakna tunggal, tidak bersayap, atau dengan prinsip satu paragraf satu ide. Karenanya kata-kata yang digunakan hendaknya lugas, jelas, dan sebisanya menghilangkan metafora atau simbol-simbol yang sering terdapat di bacaan sastra. Sebaliknya, bagi yang ingin menulis fiksi. Memperluas pengetahuan kosakata, kiasan, dan melatih penempatannya dalam kalimat menjadi sangat penting untuk narasi maupun dialog dalam fiksi. 3. Tulisan fiksi menuntut daya imajinasi tinggi, sementara nonfiksi dibatasi oleh fakta dan aturan-aturan atau hukum tertentu. Jadi bagi yang ingin menulis fiksi, kreativitas, daya imajinasi, dan kemampuan mendramatisasi suatu adegan perlu dilatih. Sementara itu, bagi yang ingin menulis nonfiksi, berlatihlah menulis dengan selalu memerhatikan unsur-unsur seperti 5W1H, cara mengutip dan menempatkan referensi, logika berpikir dalam tulisan, dsb. 4. Berlatih dan terus berlatih. Seperti halnya setiap masa belajar dan penyesuaian, proses ini juga membutuhkan banyak latihan. Tak jarang ketika mencoba menulis nonfiksi, seorang yang terbiasa menulis fiksi akan dikritik bahwa tulisannya berbelit-belit, tidak fokus dan membingungkan pembaca. Bagi seorang yang terbiasa menulis nonfiksi, cerpen buatannya pada awalnya mungkin juga akan dikritik karena terlalu kering, bahasanya kaku dan kurang ekspresif. Ini adalah wajar, jadi tidak perlu putus asa. 5. Pada akhirnya, niat dan ketekunan adalah kuncinya. Tanpa niat untuk melengkapi referensi data-data yang dapat mendukung sebuah ide, tulisan yang dimaksudkan sebagai jurnal ilmiah hanya akan berakhir sebagai sebuah komentar sambil lalu yang mudah disanggah. Sementara tanpa ketekunan untuk melatih teknik narasi dan dramatisasi, sebuah tulisan yang dimaksud sebagai cerpen hanya akan menjadi sebuah berita bohong belaka. Penulis: Ary Cahya Utomo <>------------------------------------------------------------------<> = POJOK KATA = ENGDONESIAN =========== Bahasa Indonesia, seperti bangsa Indonesia, sejak dari sono-nya merupakan gado-gado alias campuran atawa indo bin blasteran binti hibrid. Dalam bahasa kita, mengalir lancar istilah Melayu, Jawa, India, China, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, dan seterusnya. Ini sama sekali bukan cela, noda, atau bencana. Tapi juga bukan barang unik atau berkah istimewa. Itu ciri milik semua bahasa dan bangsa mutakhir. Di mata para peneliti, masuk-keluar dan nongkrong-nya istilah yang semula asing ke tubuh bahasa Indonesia itu tidak kebetulan atau acak-acakan. Ada pola yang tidak sama dari zaman ke zaman. Yang namanya Soempah Pemoeda 1928 lahir dari sebuah kongres yang membahas makalah-makalah berbahasa Belanda yang ditulis pemuda- pemudi Indonesia. Di kalangan orang sekolahan pada generasi itu, bahasa-bahasa Eropa perlu dikuasai sebaik-baiknya. Bukan hanya untuk kepentingan karir pribadi, tapi juga kepentingan bangsa dan "kemajuan" alias modernitas masyarakat ini. Cendekia pribumi lulusan sekolah kolonial pada masa itu lazimnya menguasai dua atau tiga bahasa Eropa sekaligus. Namun bagaimanapun fasihnya, bagi mereka bahasa-bahasa Eropa itu merupakan bahasa asing. Semacam alat yang bisa dipakai bila diperlukan atau dilepas bila tidak diperlukan. Mereka tetap menggunakan bahasa-bahasa daerah di Nusantara sebagai bahasa ibu. Di sinilah ironisnya. Berbagai bahasa asing dan Nusantara berhamburan setiap kali Presiden Soekarno berpidato. Tapi dia juga presiden yang paling galak menentang politik imperialisme Barat pimpinan Amerika Serikat. Ia menentang masuknya musik pop Barat dan memenjarakan musikus Indonesia yang ikut-ikutan musikus pop Barat. Pada masa Orde Baru, ironi berlanjut, tetapi secara terbalik. Sejak revolusi kemerdekaan, terlebih-lebih lagi sejak berjayanya pemerintahan Orde Baru, terjadi banjir modal dan budaya pop dari Barat, khususnya Amerika Serikat. Bukan cuma Coca-Cola, tetapi juga slogan dan iklannya. Bukan cuma banjir film Hollywood, tapi juga jazz, rock, pop top 40, soul, reaggae, punk, dan hiphop. Bertolak belakang dengan semangat revolusioner pemerintahan sebelumnya, pemandangan kota-kota Indonesia pada masa Orde Baru dipadati istilah Inggris. Kursus bahasa Inggris versi Amerika hiruk-pikuk menggantikan serunya pawai partai di zaman sebelumnya. Ironisnya, bersamaan dengan semua itu terjadi kemerosotan yang mencolok pada rata-rata kemampuan cendekiawan negeri ini dalam berbahasa Inggris secara formal. Yang lebih parah, para pemimpin nasional Orde Baru bahkan tampak kerepotan berbicara, apalagi menulis dalam bahasa Indonesia sekalipun. Maka tidak aneh kalau sepuluh tahun setelah merasakan enaknya kekuasaan negara, di tahun 1975 pemerintah Orde Baru menyediakan modal besar-besaran untuk program pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hasilnya? Sampai di akhir masa kekuasaannya, Soeharto si "Bapak Pembangunan Indonesia" kesusahan berbicara bahasa Indonesia secara "baik dan benar". Apalagi berbahasa asing! Bagaimana dengan bahasa anak-anak gaul Indonesia di kedua zaman tersebut? Para sarjana asing (misalnya, Ben Anderson, Krishna Sen, dan David Hill) mencatat pergeseran yang serupa. Sebelum bangkitnya Orde Baru, istilah-istilah Inggris berhamburan dalam komik, karikatur, atau juga grafiti. Semuanya tampil sebagai bahasa milik bangsa asing yang ditolak, namun digairahi. Hal serupa masih berlanjut dalam film nasional Indonesia di zaman Orde Baru. Dalam film di masa itu, bahasa Inggris, seperti wajah Indo berperan sama dengan gambar adegan film yang diambil di negeri-negeri bermusim empat. Semuanya hiasan tempel pemikat konsumen. Semuanya serba asing dan tidak menjadi bagian terpadu dari kisah yang dituturkan. Itu terjadi pada film. Lain pula ceritanya pada bacaan pop. Sejak berjayanya Orde Baru, bahasa Inggris menjadi bagian yang tidak bisa dihindari oleh generasi novelis Lupus, majalah Hai, atau Gadis. Apalagi sejak mengudaranya RCTI yang disusul dengan MTV Asia. Sekarang generasi gaul Orde Baru dan pasca-Orde Baru kesusahan menyelesaikan satu kalimat berbahasa Indonesia tanpa menggunakan istilah Inggris. Maka, suka atau tidak suka, Engdonesian menjadi lingua franca generasi gaul Indonesia di kota-kota: "Hei bebi, long time no see. Lho apa ini? Oh, ngasih oleh-oleh? For mi? Repot-repot aja. Waduh, so lovely! Ai laf yu. Tengkyu ya. Nanti malam bisa ikutan diner ama kita-kita? Aku sudah buking-in buat kamu. Plis join as. Gitu dulu, ya. Bai-bai." Tadinya, selama berpuluh tahun di sekitar kita hanya ada Taglish (Tagalog English) dan Singlish (Singaporean English). Lain halnya di negeri kita. Belanda enggan mengajarkan bahasa Eropa pada kaum terjajah di Hindia Belanda. Maka, sesudah puluhan tahun Belanda pergi, Indonesia tidak pernah mengalami gejala poskolonial. Yang ada hanya gejala kolonial dan antikolonial berkelanjutan. Sebagai orang yang bertahun-tahun mengkritik propaganda "Bahasa Indonesia Baik dan Benar" dua puluh tahun lalu, saya sempat terperangah oleh maraknya gejala Engdonesia. Seakan-akan wilayah publik urban di Indonesia saat ini telah menjadi lembaran-lembaran majalah Hai, Gadis, novel Lupus, atau studio MTV Asia. Patut disesalkan? Tidak untuk saya. Itulah budaya pop urban. Tapi sejujurnya, Engdonesia membunuh selera baca saya ketika ramai- ramai dipakai wartawan untuk menyampaikan laporan jurnalistik resmi atau oleh penulis kolom di media cetak. Saya kagum akan kreativitas anak-anak muda sekarang yang menciptakan istilah-istilah baru untuk berkirim SMS. Seperempat abad lalu, generasi saya punya padanannya berkat adanya telegram. Waktu itu belum ada internet atau faksimile. Kini kening saya berkerut ketika ada mahasiswa menggunakan istilah-istilah SMS dalam menuliskan tugas kuliahnya. Tulisan diambil dan diedit dari: Judul artikel: Engdonesian Penulis : Ariel Heryanto Alamat URL : http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0510/30/naper/2163906.htm <>------------------------------------------------------------------<> = STOP PRESS = "AKSARA" -- KURSUS MENULIS SENI VISUAL ====================================== Sebagai upaya membantu tetap tumbuhnya penulis-penulis bidang seni visual, Yayasan Seni Cemeti mulai bulan Mei 2006 mendatang mempunyai program kursus menulis seni visual. Program ini dirancang bagi Anda yang berusia maksimal 24 tahun. Kursus ini untuk setiap angkatan berlangsung per 3 bulan (10 kali pertemuan), dengan instruktur- instruktur yang telah berkompeten di bidangnya. Hanya tersedia maksimal 15 kursi untuk setiap angkatan. 1. Biaya pendaftaran: Rp 50.000, - (lima puluh ribu rupiah) 2. Fasilitas: - snack dan minum - sertifikat 3. Syarat peserta: - menguasai bahasa Indonesia - tertarik untuk menulis tentang seni visual - tidak buta huruf - menguasai alat ketik/komputer - bersedia mengikuti kursus hingga selesai * Angkatan I: Mei - Juli 2006 Instruktur: Kris Budiman Setiap hari Rabu pukul 19:00 - 21:00 WIB Kelas dimulai pada 10 Mei 2006 Tempat: Yayasan Seni Cemeti NB: Pendaftaran paling lambat 9 Mei 2006. * Angkatan II: Agustus - Oktober 2006 Instruktur: Antariksa Setiap hari Rabu pukul 19:00 - 21:00 WIB Kelas dimulai: (informasi menyusul) Tempat: Yayasan Seni Cemeti * Angkatan III: November 2006 - Januari 2007 (info lebih lengkap menyusul*) * Calon instruktur lainnya adalah: Ugoran Prasad dan Puthut E A * Angkatan IV: Februari - April 2007 (info lebih lengkap menyusul*) * Calon instruktur lainnya adalah: Ugoran Prasad dan Puthut E A Bagi Anda yang benar-benar tertarik dan serius ingin mengikuti program ini silakan hubungi: Yayasan Seni Cemeti c.p. Agustina Tri W [Tina] Cemeti Art Foundation | Yayasan Seni Cemeti Jalan Patehan Tengah No. 37 Yogyakarta 55133, INDONESIA Tel. +62.274.375 247, Tel./Fax. +62.274.372 095 Email: artysc<at>indosat.net.id doc<at>cemetiartfoundation.org URL : http://www.cemetiartfoundation.org <>------------------------------------------------------------------<> Staf Redaksi : Ary, Puji, dan Raka Berlangganan : Kirim email ke <subscribe-i-kan-penulis(at)xc.org> Berhenti : Kirim email ke <unsubscribe-i-kan-penulis(at)xc.org> Kirim bahan : Kirim email ke <staf-penulis(at)sabda.org> Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/ Situs CWC : http://www.ylsa.org/cwc/ Situs Pelitaku : http://www.sabda.org/pelitaku/ <>------------------------------------------------------------------<> Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA. Didistribusikan melalui sistem network I-KAN. Copyright(c) e-Penulis 2006 YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/ http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati <><-------------------------------oo-------------------------------><>
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |