Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/19

e-Penulis edisi 19 (19-5-2006)

Menulis Fiksi atau Nonfiksi?


<>--------------------------------oo--------------------------------<>
                            < e-Penulis >
                       (Menulis untuk Melayani)
                         Edisi 019/Mei/2006
<>------------------------------------------------------------------<>
                     MENULIS FIKSI ATAU NONFIKSI?
<>------------------------------------------------------------------<>
  = DAFTAR ISI =
    * Dari Redaksi
    * Artikel      : Fiksi atau Nonfiksi, Itulah Pertanyaannya
    * Tips         : Antara Fiksi dan Nonfiksi
    * Pojok Kata   : Engdonesian
    * Stop Press   : "Aksara" -- Kursus Menulis Seni Visual

<>------------------------------------------------------------------<>
= DARI REDAKSI =

  Salam damai dalam kasih Kristus,

  Redaksi e-Penulis kali ini sengaja mengangkat tema "Fiksi atau
  Nonfiksi" untuk menyoroti dua bentuk tulisan yang bisa menjadi
  pilihan untuk para penulis Kristen. Simaklah artikel utama yang
  diharapkan dapat memberi gambaran mengenai perbandingan kedua jenis
  tulisan ini. Jangan lewatkan juga tips yang dapat menolong Anda yang
  ingin mencoba ataupun mendalami teknik-teknik penulisan fiksi maupun
  nonfiksi. Kolom Pojok Kata yang sudah dijanjikan akan tampil
  bergantian dengan Asah Pena kali ini juga kembali menyapa Anda
  dengan tulisan tentang fenomena "Engdonesian" (English-Indonesian).
  Selamat menulis!

  Redaksi e-Penulis,
  Ary

<>------------------------------------------------------------------<>
= ARTIKEL =

              FIKSI ATAU NONFIKSI, ITULAH PERTANYAANNYA
              =========================================

  Fiksi atau nonfiksi? Barangkali tak sedikit penulis pemula yang
  masih mengalami kebimbangan dalam menentukan jenis tulisan yang akan
  mereka tekuni. Seperti sebuah katalog belanja, tulisan ini
  diharapkan dapat membantu Anda untuk dapat memperoleh sedikit
  gambaran mengenai keduanya, meskipun hanya Anda sendirilah yang
  dapat menentukan pilihan untuk diri Anda sendiri.

  Tulisan fiksi dan nonfiksi memiliki pendukungnya masing-masing. Di
  sini yang disebut sebagai `pendukung` tulisan fiksi meliputi
  novelis, cerpenis, dramawan, dan kadang penyair pun sering
  dimasukkan ke dalamnya. Sementara `pendukung` tulisan nonfiksi
  meliputi para jurnalis, esais, penulis biografi, feature, peneliti,
  dsb. Tentu tidak begitu sulit bagi kita untuk mengenali mereka.

  Lalu apakah yang disebut dengan tulisan fiksi dan nonfiksi? Satu
  ciri yang pasti ada dalam tulisan fiksi adalah isinya yang berupa
  kisah rekaan. Kisah rekaan itu dalam praktik penulisannya juga tidak
  boleh sembarangan. Unsur-unsur seperti penokohan, plot, konflik,
  klimaks, seting, dsb. adalah hal-hal penting yang memerlukan
  perhatian tersendiri. Meski demikian, dengan kisah (bisa juga data)
  yang asalnya dari imajinasi pengarang tersebut, tulisan fiksi
  memungkinkan kebebasan bagi seorang pengarang untuk membangun sebuah
  `kebenaran` yang bisa digunakan untuk menyampaikan pesan yang ingin
  ia sampaikan kepada pembacanya. Di lain pihak, kebebasan yang
  dimiliki pengarang fiksi tadi juga memungkinkan adanya kebebasan
  bagi pembaca untuk menginterpretasikan makna yang terkandung dalam
  tulisan tersebut. Artinya, fiksi sangat memungkinkan adanya multi
  interpretasi makna. Bagi satu orang, novel JD Salinger yang berjudul
  "Catcher in the Rye" bisa dinilai sebagai sebuah novel yang dapat
  memperkaya pengetahuan tentang lika-liku kejiwaan manusia dan
  lingkungannya. Namun, novel yang sama juga dapat menginspirasi
  seorang bernama Mark David Chapman untuk membunuh pujaannya, John
  Lennon.

  Berkebalikan dengan fiksi, tulisan nonfiksi mengutamakan data dan
  fakta yang tidak boleh dibumbui oleh imajinasi atau rekaan penulis.
  Dalam tulisan nonfiksi berbentuk jurnalistik, penyampaian fakta
  bahkan harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam satu pakem
  yang disebut 5W1H (What, Who, When, Where, Why, How). Walau tidak
  sama, referensi data juga menjadi syarat dalam tulisan yang lebih
  `bebas` seperti esai, feature, memoar, atau kesaksian. Namun, ini
  tidak berarti bahwa tulisan nonfiksi sama sekali tidak memberikan
  kebebasan bagi penulisnya. Seorang penulis nonfiksi tentu saja dapat
  menuliskan apa pun tema yang ia inginkan. Hanya saja ia harus
  menyampaikannya dengan data yang dapat dipertanggungjawabkan,
  minimal oleh dirinya sendiri. Bahkan dalam praktiknya, bisa dibilang
  topik untuk tulisan nonfiksi berbentuk opini atau feature juga lebih
  mudah ditemukan. Cukup dengan mengamati, menilai, atau memiliki
  usul, sebuah topik akan cepat didapat. Satu hal lagi yang membedakan
  tulisan nonfiksi dengan fiksi adalah kejelasan makna yang ingin
  disampaikan penulis dalam karyanya. Dengan menulis sebuah nonfiksi
  yang baik dan sistematis, pembaca akan lebih mudah digiring ke
  sebuah opini atau pesan yang ingin disampaikan penulis tanpa perlu
  mengartikan simbolisasi atau metafora pesan yang ingin disampaikan
  seperti yang terjadi pada cerita fiksi.

  Pada perkembangan selanjutnya, fiksi zaman sekarang juga sudah
  berbeda dengan kisah fiksi lama yang sering identik dengan dongeng.
  Tulisan fiksi saat ini tidak melulu berisi hal-hal atau cerita
  imajinatif dan penuh khayalan. Kita bisa melihat contohnya pada
  fiksi-fiksi yang ditulis dengan gaya realis. Tak jarang sebuah fiksi
  yang ditulis dengan gaya realis yang baik mampu membuat banyak
  pembaca mengidentifikasikan kisah tersebut dengan kondisi nyata di
  sekeliling mereka. Fiksi (biasanya cerpen) yang ditulis dengan cara
  bertutur seperti sebuah jurnal atau laporan juga ada. Termasuk
  disini adalah novel klasik "Poor People" karangan Fyodor Dostoyevsky
  yang ditulis dengan gaya surat-menyurat. Selanjutnya ada juga genre
  fiksi-ilmiah yang memadukan dasar-dasar ilmu sains ilmiah dengan
  kisah-kisah khayalan. Fiksi-fiksi yang antara lain dipopulerkan oleh
  penulis seperti HG Wells dan Isaac Asimov itu pada perkembangannya
  juga sering mengilhami penemuan-penemuan yang kita kenal saat ini.

  Berkebalikan dengan fiksi ilmiah yang biasanya mengemukakan hal-hal
  yang belum terjadi, kita pun mengenal adanya novel-novel sejarah.
  Mulai dari novel-novel Pramoedya Ananta Toer yang menyajikan cerita-
  cerita yang dilengkapi referensi sejarah sampai novel "Da Vinci
  Code" dengan pemaparan data yang sebegitu `meyakinkan` hingga
  membuat banyak pemimpin Kristen kalang kabut dan orang Kristen
  bimbang akan fakta sejarah kekristenannya.

  Hal sebaliknya juga terjadi dalam penulisan nonfiksi. Tulisan
  nonfiksi saat ini tidak selalu bergaya laporan yang kaku yang penuh
  kutipan data serta referensi yang membuatnya `kering`. Tulisan
  demikian bisa dilihat dari sejumlah tulisan bercorak jurnalisme
  sastrawi, yaitu jurnalisme yang memakai estetika layaknya sastra
  dengan isi yang menguak satu topik secara lebih dalam dan kadang
  juga disajikan dengan gaya sebuah narasi karya sastra. Jadi,
  jurnalisme macam ini bukan saja melaporkan apa yang dilakukan
  seseorang, tapi juga psikologi yang bersangkutan dan menerangkan
  mengapa ia melakukan hal tersebut. Hal serupa juga bisa kita lihat
  dari tulisan-tulisan feature, biografi, otobiografi, memoar, yang
  kini semakin banyak yang bisa kita nikmati seperti halnya membaca
  karya fiksi atau sastra.

  Seorang penulis memang bebas untuk menulis apa pun, baik fiksi
  maupun nonfiksi. Tak ada yang melarang seorang sastrawan menulis
  tulisan ilmiah dan tak ada yang melarang seorang wartawan menulis
  novel. Tidak jarang pula kita mengenal penulis-penulis terkenal yang
  bisa menulis keduanya dengan sama baik, namun biasanya seorang
  penulis tetap memiliki kecenderungan untuk memilih salah satunya.

  Faktor-faktor yang memengaruhi pilihan ini bisa bersumber dari
  beberapa hal. Yang paling berpengaruh adalah faktor bacaan.
  Mengingat proses pembelajaran manusia pada awalnya selalu dengan
  meniru, seorang penulis pemula yang lebih banyak membaca tulisan-
  tulisan berbentuk jurnal atau opini (nonfiksi) biasanya cenderung
  akan membuat tulisan-tulisan bergaya serupa. Hal sebaliknya juga
  terjadi pada penulis nonfiksi.

  Faktor selanjutnya bisa berasal dari lingkungan, budaya, dan sistem
  pendidikan. Disadari atau tidak, ini adalah faktor yang cukup
  berpengaruh. Misalnya pada budaya yang menganggap pengungkapan
  pendapat secara langsung dan terus terang sebagai sesuatu yang tidak
  sopan atau bahkan subversif, tulisan fiksi yang memungkinkan
  penyampaian pendapat atau kritik lewat simbol-simbol biasanya akan
  dipilih. Demikian juga dengan metode pendidikan. Apa yang terjadi
  pada metode pengajaran di Indonesia adalah contoh yang mudah
  dilihat. Fakta bahwa pelajaran bahasa dan sastra Indonesia diubah
  menjadi pelajaran yang hanya mementingkan penghafalan nama dan data-
  data saja, bahwa para pengajarnya sendiri ternyata gagal menunjukkan
  bagaimana membuat sastra menjadi sesuatu yang menarik dan penting
  bagi kehidupan, menulis fiksi (atau bahkan menulis saja) pun bisa
  dipandang sebagai aktivitas yang tidak ada gunanya.

  Faktor yang lain tentunya aspek psikologis penulis itu sendiri.
  Sebagaimana masing-masing manusia selalu memiliki salah satu belahan
  otak yang lebih dominan dalam bekerja, demikian pula seorang penulis
  selalu memiliki kecenderungan pilihan antara menulis fiksi atau
  nonfiksi.

  Melihat beberapa hal ini (terutama faktor-faktor luar), paling tidak
  kita dapat mengetahui, atau juga mengarahkan pilihan kita atau orang
  lain dalam belajar menulis.

  Sebagai penutup, tulisan ini sekali lagi memang tidak dimaksudkan
  untuk mengunggulkan atau menjelek-jelekkan tulisan fiksi maupun
  nonfiksi. Sebagaimana menulis pada akhirnya lebih banyak berurusan
  dengan panggilan hati, menentukan fiksi atau nonfiksi juga tidak
  dapat dipaksakan. Tentunya menyuarakan kebenaran menjadi hal yang
  terpenting. Menulis dan menulislah!

  Sumber diedit dari:
  Milis          : Kesasarpetra
  Penulis        : Tadeus <mahardica(at)>
  Alamat milis   : kesasarpetra <kesasarpetra(at)yahoogroups.com>

<>------------------------------------------------------------------<>
= TIPS =

                      ANTARA FIKSI DAN NONFIKSI
                      =========================

  Sastrawan menulis buku nonfiksi? Bukan hal aneh. Ilmuwan atau
  wartawan yang menulis cerpen atau novel juga banyak. Umberto Eco
  menulis novel "The Name of Rose" sebaik ia menulis teori-teorinya
  tentang semiologi. Jean Paul Sartre dikenal sebagai tokoh filsafat,
  namun dinobatkan juga sebagai pemenang Nobel Sastra atas karya
  novelnya. Tahun lalu, Sihar Ramses Simatupang yang berprofesi
  sebagai wartawan Sinar Harapan juga turut berkarya dengan
  meluncurkan sebuah novel berjudul Lorca.

  Menekuni satu bidang memang baik karena keterbiasaan akan membuat
  kualitas tulisan kita lebih bagus. Namun, tak ada salahnya jika
  sesekali kita mencoba bentuk tulisan lain.

  Bagi penulis pemula, terutama yang sudah merasa `nyaman` dengan
  jenis tulisan yang ia geluti (fiksi maupun nonfiksi), membuat suatu
  tulisan yang berbeda dengan yang biasa ia tulis bisa menimbulkan
  kesulitan tersendiri. Berikut beberapa tips yang mungkin bisa Anda
  coba untuk mengatasi kesulitan tersebut.

  1. Anda perlu menyesuaikan referensi bacaan. Sebagaimana bahan
     bacaan sering memengaruhi cara atau kecenderungan menulis kita,
     banyak membaca tulisan tertentu juga akan mampu mengubah apa yang
     kita tulis. Jadi, jika ada orang yang ingin membuat sebuah
     tulisan fiksi yang baik, saya yakin dia tidak akan mampu
     melakukannya kalau hanya membaca buku-buku teori yang berjudul
     "Bagaimana Cara Menulis Fiksi yang Baik" sekalipun. Pelajaran
     paling baik adalah dengan terjun langsung ke kancah bacaan fiksi
     itu sendiri, bukan hanya menjadi pengamat dari luar. Hal yang
     sama juga terjadi pada kasus sebaliknya. Seorang yang ingin mampu
     menulis karya nonfiksi atau merancang sebuah jurnal ilmiah akan
     sulit untuk menyampaikan idenya secara sistematis, analitis, dan
     jelas jika ia malah membaca karya Shakespeare yang memakai bahasa
     yang penuh metafora.

  2. Tulisan jenis nonfiksi menuntut kata-kata yang dapat menjelaskan
     makna dengan efektif. Karenanya, Anda perlu berlatih menulis
     kalimat-kalimat bermakna tunggal, tidak bersayap, atau dengan
     prinsip satu paragraf satu ide. Karenanya kata-kata yang
     digunakan hendaknya lugas, jelas, dan sebisanya menghilangkan
     metafora atau simbol-simbol yang sering terdapat di bacaan
     sastra. Sebaliknya, bagi yang ingin menulis fiksi. Memperluas
     pengetahuan kosakata, kiasan, dan melatih penempatannya dalam
     kalimat menjadi sangat penting untuk narasi maupun dialog dalam
     fiksi.

  3. Tulisan fiksi menuntut daya imajinasi tinggi, sementara nonfiksi
     dibatasi oleh fakta dan aturan-aturan atau hukum tertentu. Jadi
     bagi yang ingin menulis fiksi, kreativitas, daya imajinasi, dan
     kemampuan mendramatisasi suatu adegan perlu dilatih. Sementara
     itu, bagi yang ingin menulis nonfiksi, berlatihlah menulis dengan
     selalu memerhatikan unsur-unsur seperti 5W1H, cara mengutip dan
     menempatkan referensi, logika berpikir dalam tulisan, dsb.

  4. Berlatih dan terus berlatih. Seperti halnya setiap masa belajar
     dan penyesuaian, proses ini juga membutuhkan banyak latihan. Tak
     jarang ketika mencoba menulis nonfiksi, seorang yang terbiasa
     menulis fiksi akan dikritik bahwa tulisannya berbelit-belit,
     tidak fokus dan membingungkan pembaca. Bagi seorang yang terbiasa
     menulis nonfiksi, cerpen buatannya pada awalnya mungkin juga akan
     dikritik karena terlalu kering, bahasanya kaku dan kurang
     ekspresif. Ini adalah wajar, jadi tidak perlu putus asa.

  5. Pada akhirnya, niat dan ketekunan adalah kuncinya. Tanpa niat
     untuk melengkapi referensi data-data yang dapat mendukung sebuah
     ide, tulisan yang dimaksudkan sebagai jurnal ilmiah hanya akan
     berakhir sebagai sebuah komentar sambil lalu yang mudah
     disanggah. Sementara tanpa ketekunan untuk melatih teknik narasi
     dan dramatisasi, sebuah tulisan yang dimaksud sebagai cerpen
     hanya akan menjadi sebuah berita bohong belaka.

  Penulis: Ary Cahya Utomo

<>------------------------------------------------------------------<>
= POJOK KATA =

                            ENGDONESIAN
                            ===========

  Bahasa Indonesia, seperti bangsa Indonesia, sejak dari sono-nya
  merupakan gado-gado alias campuran atawa indo bin blasteran binti
  hibrid. Dalam bahasa kita, mengalir lancar istilah Melayu, Jawa,
  India, China, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, dan seterusnya. Ini
  sama sekali bukan cela, noda, atau bencana. Tapi juga bukan barang
  unik atau berkah istimewa. Itu ciri milik semua bahasa dan bangsa
  mutakhir.

  Di mata para peneliti, masuk-keluar dan nongkrong-nya istilah yang
  semula asing ke tubuh bahasa Indonesia itu tidak kebetulan atau
  acak-acakan. Ada pola yang tidak sama dari zaman ke zaman.

  Yang namanya Soempah Pemoeda 1928 lahir dari sebuah kongres yang
  membahas makalah-makalah berbahasa Belanda yang ditulis pemuda-
  pemudi Indonesia. Di kalangan orang sekolahan pada generasi itu,
  bahasa-bahasa Eropa perlu dikuasai sebaik-baiknya. Bukan hanya
  untuk kepentingan karir pribadi, tapi juga kepentingan bangsa dan
  "kemajuan" alias modernitas masyarakat ini.

  Cendekia pribumi lulusan sekolah kolonial pada masa itu lazimnya
  menguasai dua atau tiga bahasa Eropa sekaligus. Namun bagaimanapun
  fasihnya, bagi mereka bahasa-bahasa Eropa itu merupakan bahasa
  asing. Semacam alat yang bisa dipakai bila diperlukan atau dilepas
  bila tidak diperlukan. Mereka tetap menggunakan bahasa-bahasa daerah
  di Nusantara sebagai bahasa ibu.

  Di sinilah ironisnya. Berbagai bahasa asing dan Nusantara
  berhamburan setiap kali Presiden Soekarno berpidato. Tapi dia juga
  presiden yang paling galak menentang politik imperialisme Barat
  pimpinan Amerika Serikat. Ia menentang masuknya musik pop Barat dan
  memenjarakan musikus Indonesia yang ikut-ikutan musikus pop Barat.

  Pada masa Orde Baru, ironi berlanjut, tetapi secara terbalik. Sejak
  revolusi kemerdekaan, terlebih-lebih lagi sejak berjayanya
  pemerintahan Orde Baru, terjadi banjir modal dan budaya pop dari
  Barat, khususnya Amerika Serikat. Bukan cuma Coca-Cola, tetapi juga
  slogan dan iklannya. Bukan cuma banjir film Hollywood, tapi juga
  jazz, rock, pop top 40, soul, reaggae, punk, dan hiphop. Bertolak
  belakang dengan semangat revolusioner pemerintahan sebelumnya,
  pemandangan kota-kota Indonesia pada masa Orde Baru dipadati istilah
  Inggris. Kursus bahasa Inggris versi Amerika hiruk-pikuk
  menggantikan serunya pawai partai di zaman sebelumnya.

  Ironisnya, bersamaan dengan semua itu terjadi kemerosotan yang
  mencolok pada rata-rata kemampuan cendekiawan negeri ini dalam
  berbahasa Inggris secara formal. Yang lebih parah, para pemimpin
  nasional Orde Baru bahkan tampak kerepotan berbicara, apalagi
  menulis dalam bahasa Indonesia sekalipun.

  Maka tidak aneh kalau sepuluh tahun setelah merasakan enaknya
  kekuasaan negara, di tahun 1975 pemerintah Orde Baru menyediakan
  modal besar-besaran untuk program pengembangan dan pembinaan bahasa
  Indonesia yang baik dan benar. Hasilnya? Sampai di akhir masa
  kekuasaannya, Soeharto si "Bapak Pembangunan Indonesia" kesusahan
  berbicara bahasa Indonesia secara "baik dan benar". Apalagi
  berbahasa asing!

  Bagaimana dengan bahasa anak-anak gaul Indonesia di kedua zaman
  tersebut? Para sarjana asing (misalnya, Ben Anderson, Krishna Sen,
  dan David Hill) mencatat pergeseran yang serupa. Sebelum bangkitnya
  Orde Baru, istilah-istilah Inggris berhamburan dalam komik,
  karikatur, atau juga grafiti. Semuanya tampil sebagai bahasa milik
  bangsa asing yang ditolak, namun digairahi. Hal serupa masih
  berlanjut dalam film nasional Indonesia di zaman Orde Baru. Dalam
  film di masa itu, bahasa Inggris, seperti wajah Indo berperan sama
  dengan gambar adegan film yang diambil di negeri-negeri bermusim
  empat. Semuanya hiasan tempel pemikat konsumen. Semuanya serba asing
  dan tidak menjadi bagian terpadu dari kisah yang dituturkan.

  Itu terjadi pada film. Lain pula ceritanya pada bacaan pop. Sejak
  berjayanya Orde Baru, bahasa Inggris menjadi bagian yang tidak bisa
  dihindari oleh generasi novelis Lupus, majalah Hai, atau Gadis.
  Apalagi sejak mengudaranya RCTI yang disusul dengan MTV Asia.

  Sekarang generasi gaul Orde Baru dan pasca-Orde Baru kesusahan
  menyelesaikan satu kalimat berbahasa Indonesia tanpa menggunakan
  istilah Inggris. Maka, suka atau tidak suka, Engdonesian menjadi
  lingua franca generasi gaul Indonesia di kota-kota: "Hei bebi, long
  time no see. Lho apa ini? Oh, ngasih oleh-oleh? For mi? Repot-repot
  aja. Waduh, so lovely! Ai laf yu. Tengkyu ya. Nanti malam bisa
  ikutan diner ama kita-kita? Aku sudah buking-in buat kamu. Plis join
  as. Gitu dulu, ya. Bai-bai."

  Tadinya, selama berpuluh tahun di sekitar kita hanya ada Taglish
  (Tagalog English) dan Singlish (Singaporean English). Lain halnya di
  negeri kita. Belanda enggan mengajarkan bahasa Eropa pada kaum
  terjajah di Hindia Belanda. Maka, sesudah puluhan tahun Belanda
  pergi, Indonesia tidak pernah mengalami gejala poskolonial. Yang
  ada hanya gejala kolonial dan antikolonial berkelanjutan.

  Sebagai orang yang bertahun-tahun mengkritik propaganda "Bahasa
  Indonesia Baik dan Benar" dua puluh tahun lalu, saya sempat
  terperangah oleh maraknya gejala Engdonesia. Seakan-akan wilayah
  publik urban di Indonesia saat ini telah menjadi lembaran-lembaran
  majalah Hai, Gadis, novel Lupus, atau studio MTV Asia. Patut
  disesalkan? Tidak untuk saya. Itulah budaya pop urban.

  Tapi sejujurnya, Engdonesia membunuh selera baca saya ketika ramai-
  ramai dipakai wartawan untuk menyampaikan laporan jurnalistik resmi
  atau oleh penulis kolom di media cetak.

  Saya kagum akan kreativitas anak-anak muda sekarang yang menciptakan
  istilah-istilah baru untuk berkirim SMS. Seperempat abad lalu,
  generasi saya punya padanannya berkat adanya telegram. Waktu itu
  belum ada internet atau faksimile. Kini kening saya berkerut ketika
  ada mahasiswa menggunakan istilah-istilah SMS dalam menuliskan tugas
  kuliahnya.

  Tulisan diambil dan diedit dari:
  Judul artikel: Engdonesian
  Penulis      : Ariel Heryanto
  Alamat URL   : http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0510/30/naper/2163906.htm

<>------------------------------------------------------------------<>
= STOP PRESS =

                "AKSARA" -- KURSUS MENULIS SENI VISUAL
                ======================================

  Sebagai upaya membantu tetap tumbuhnya penulis-penulis bidang seni
  visual, Yayasan Seni Cemeti mulai bulan Mei 2006 mendatang mempunyai
  program kursus menulis seni visual. Program ini dirancang bagi Anda
  yang berusia maksimal 24 tahun. Kursus ini untuk setiap angkatan
  berlangsung per 3 bulan (10 kali pertemuan), dengan instruktur-
  instruktur yang telah berkompeten di bidangnya. Hanya tersedia
  maksimal 15 kursi untuk setiap angkatan.

  1. Biaya pendaftaran: Rp 50.000, - (lima puluh ribu rupiah)

  2. Fasilitas:
     - snack dan minum
     - sertifikat

  3. Syarat peserta:
     - menguasai bahasa Indonesia
     - tertarik untuk menulis tentang seni visual
     - tidak buta huruf
     - menguasai alat ketik/komputer
     - bersedia mengikuti kursus hingga selesai

  * Angkatan I: Mei - Juli 2006
    Instruktur: Kris Budiman
    Setiap hari Rabu pukul 19:00 - 21:00 WIB
    Kelas dimulai pada 10 Mei 2006
    Tempat: Yayasan Seni Cemeti
    NB: Pendaftaran paling lambat 9 Mei 2006.

  * Angkatan II: Agustus - Oktober 2006
    Instruktur: Antariksa
    Setiap hari Rabu pukul 19:00 - 21:00 WIB
    Kelas dimulai: (informasi menyusul)
    Tempat: Yayasan Seni Cemeti

  * Angkatan III: November 2006 - Januari 2007
    (info lebih lengkap menyusul*)
    * Calon instruktur lainnya adalah: Ugoran Prasad dan Puthut E A

  * Angkatan IV: Februari - April 2007
    (info lebih lengkap menyusul*)
    * Calon instruktur lainnya adalah: Ugoran Prasad dan Puthut E A

  Bagi Anda yang benar-benar tertarik dan serius ingin mengikuti
  program ini silakan hubungi:
  Yayasan Seni Cemeti
  c.p. Agustina Tri W [Tina]

  Cemeti Art Foundation | Yayasan Seni Cemeti
  Jalan Patehan Tengah No. 37
  Yogyakarta 55133, INDONESIA
  Tel. +62.274.375 247, Tel./Fax. +62.274.372 095
  Email: artysc<at>indosat.net.id
         doc<at>cemetiartfoundation.org
  URL  : http://www.cemetiartfoundation.org

<>------------------------------------------------------------------<>
Staf Redaksi   : Ary, Puji, dan Raka
Berlangganan   : Kirim email ke <subscribe-i-kan-penulis(at)xc.org>
Berhenti       : Kirim email ke <unsubscribe-i-kan-penulis(at)xc.org>
Kirim bahan    : Kirim email ke <staf-penulis(at)sabda.org>
Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/
Situs CWC      : http://www.ylsa.org/cwc/
Situs Pelitaku : http://www.sabda.org/pelitaku/
<>------------------------------------------------------------------<>
      Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
             Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
                     Copyright(c) e-Penulis 2006
                  YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/
                       http://katalog.sabda.org/
                    Rekening: BCA Pasar Legi Solo
                 No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
<><-------------------------------oo-------------------------------><>

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org