Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/173 |
|
e-Penulis edisi 173 (7-1-2016)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ 173/Januari/2016 Tema: Karya Kristiani di Dunia Sastra Sekuler (I) e-Penulis -- Karya Kristiani di Dunia Sastra Sekuler (I) Edisi 173/Januari/2016 DAFTAR ISI DARI REDAKSI: PEMBERITAAN FIRMAN TUHAN MELALUI TULISAN ARTIKEL: KARYA KRISTIANI DI DUNIA SASTRA SEKULER POJOK BAHASA: ABSENSI ATAU PRESENSI? DARI REDAKSI: PEMBERITAAN FIRMAN TUHAN MELALUI TULISAN Pemberitaan firman Tuhan tak hanya dilakukan di depan mimbar dengan berkhotbah, tetapi di mana saja kita berada dan dengan apa saja yang telah Tuhan taruh dalam hidup kita. Sebagai penulis Kristen, kita seharusnya menggunakan talenta ini untuk memberitakan kebenaran-Nya? Sejak lama, penulis sastra Kristen bergumul akan hal ini. Apakah sekarang pergumulan ini masih berkobar untuk diwujudkan? Simaklah e- Penulis edisi perdana pada tahun ini, kiranya bisa menginspirasi dan mendorong setiap penulis Kristen untuk berkarya bagi kemuliaan nama Tuhan. Sebagai informasi, mulai tahun 2016 ini, publikasi e-Penulis dan e- Buku akan dilebur menjadi Publikasi e-Penulis. Hal ini kami lakukan supaya semua pelanggan e-Penulis dan e-Buku mendapatkan lebih banyak informasi seputar buku dan penulisan Kristen yang berkualitas. Tak lupa, segenap redaksi e-Penulis mengucapkan "Selamat Tahun Baru 2016". Mari kita menjalani hari-hari di tahun ini bersama dengan Tuhan. Tuhan Yesus memberkati. Pemimpin Redaksi e-Penulis, Santi T. < santi(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > ARTIKEL: KARYA KRISTIANI DI DUNIA SASTRA SEKULER Ditulis oleh: Santi T. Tidak gampang untuk mendapatkan karya sastra yang memuat unsur Kristen di dalamnya. Bahkan, dalam rak perpustakaan gereja pun belum tentu ada. Jika kita membaca artikel-artikel dalam internet mengenai topik ini, kita akan menemukan sebuah polemik yang pernah terjadi di antara para penulis terkemuka di Indonesia mengenai "Kristen dalam Sastra Indonesia" pada awal tahun 1970-an. Berawal dari diberikannya sebuah tema "Kristen dalam Sastra Indonesia" oleh Dewan Kesenian Jakarta kepada Dick Hartoko untuk diceramahkan. Dick Hartoko menerima tema tersebut, tetapi dalam ceramahnya ia memberi judul "Mengerling Sastra Indonesia dari Sudut Kristen", yang akhirnya memicu banyak respons dari para penulis. Respons dari para penulis mengenai tema ini pun bisa menjadi indikasi yang menentukan apakah kelak nilai-nilai kristiani dapat disalurkan melalui karya-karya sastra. Satyagraha Hoerip, seorang penulis novel, cerpen, dan skenario film yang cukup terkenal di dunia sastra Indonesia, merespons hal ini dengan penolakan yang ia nyatakan di Majalah KOMUNIKASI No. 13 Tahun I (10 Januari 1970), halaman 27 -- 28 dalam opininya berjudul "Sastra Kristen yang Kita Harap-Harapkan". Mungkinkah karya kristiani akan mendapatkan tempat di dunia sastra sekuler? Polemik mengenai hal ini memang belum menemukan titik terang kala itu, tetapi M.S. Hutagalung, sastrawan dan kritikus yang dikenal sebagai pentolan aliran Rawamangun dalam jagat kritik sastra Indonesia, mencoba menjelaskan maksud dari penamaan sastra Kristen. Namun, seiring berjalannya waktu, opininya pun juga mendapat sanggahan dari Th. Sumartono, seorang penulis. Seperti perjalanan yang tanpa ujung, wacana Kristen dalam sastra Indonesia pun masih terkesan sulit diterima. Namun, kita perlu bersyukur karena akhirnya ada satu buku yang membahas unsur Kristen dalam karya sastra. Buku tersebut berjudul "Kristen dalam Sastra Indonesia" (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1977) yang ditulis oleh Hadzarmawit Netti. Buku ini menjadi jawaban bagi semua orang, khususnya para penulis yang pernah terlibat dalam polemik mengenai hal ini. Buku ini lebih menekankan pandangan dan sikap Hadzarmawit Netti mengenai adanya unsur Kristen dalam sastra Indonesia. Jika kita amati, sebenarnya banyak orang percaya (Kristen atau Katolik) yang menyukai bidang sastra. Sejak terbitnya buku "Kristen dalam Sastra Indonesia", muncul sejumlah karya sastra puisi yang mengandung unsur Kristen. Salah satunya adalah buku berjudul "Natal dan Paskah dalam Kontemplasi Penyair" (2013). Selain itu, ada banyak puisi Kristen yang ditulis oleh M. Poppy Donggo-Hutagalung, Mezra E. Pellondou, Hans Ch. Louk, Viktus Murin, dll.. Ada pula Remy Silado, seorang penulis cerpen, puisi, naskah, dan pelukis, yang juga memanfaatkan karya sastra sebagai media untuk mengekspresikan nilai- nilai kristiani. Beberapa karyanya mengandung unsur kristiani seperti "Di Basilika Sacre-Coeur", "Denah Atas Tempat Ziarah Banneux", "Dengan Harmoni Agape", dll.. Meskipun beberapa karya Remy Silado mengandung nilai-nilai kristiani, karyanya tetap digunakan sebagai bahan referensi dalam dunia pendidikan, khususnya sastra dan bahasa Indonesia. Dengan demikian, sebenarnya, setiap penulis Kristen bisa berkreasi untuk menyampaikan nilai-nilai kekristenan dalam sebuah karya sastra. Di tengah-tengah melimpahnya karya sastra sekuler, adakah kerinduan para sastrawan Kristen untuk berbagi kebenaran firman Tuhan melalui tulisan? Rindukah kita agar dunia ini diterangi kebenaran-Nya? Jika Anda suka menulis, mari kita gunakan talenta ini untuk menghasilkan karya-karya yang berkualitas, yang memuliakan nama Tuhan. Terlebih lagi, adanya perkembangan teknologi saat ini, kita semakin dipermudah untuk memublikasikan tulisan kita. Pesatnya perkembangan teknologi membuka banyak kesempatan bagi kita untuk menyebarluaskan firman Tuhan melalui tulisan. Mari kita menulis bagi hormat dan kemuliaan nama-Nya! Sumber bacaan: 1. Netti, A. G. Hadzarmawit. "Sorot Balik Tentang Kehadiran Buku Kristen Dalam Sastra Indonesia (BPK Gunung Mulia Jakarta 1977) #1". Dalam http://bianglalahayyom.blogspot.co.id/2014/10/sorot-balik- tentang-kehadiran-buku.html 2. Sehandi, Yohanes. "Kristen dalam Sastra". Dalam http://yohanessehandi.blogspot.co.id/2014/03/kristen-dalam-sastra.html 3. "Satyagraha Hoerip". Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Satyagraha_Hoerip POJOK BAHASA: ABSENSI ATAU PRESENSI? Masalah dinamika penggunaan bahasa Indonesia selalu menarik untuk didiskusikan, selain merunut pembenaran dari aturan baku yang ada. Kata yang akan kita bahas kali ini adalah "Absen" dan atau "Absensi". Kata ini sudah sangat familiar bagi kita yang bergelut di dunia akademik ataupun profesional, khususnya terkait karyawan. Kita sudah akrab dengan "Daftar Hadir", "Daftar Absen", atau "Daftar Presensi". Namun, dari ketiga istilah di atas, manakah yang paling cocok dan paling relevan dengan pemahaman kita sehari-hari dalam menggunakannya? "Daftar Hadir" bisa diintegrasikan sebagai kata benda (nomina) yang jika dilogika, pikiran kita akan membentuknya dan memahaminya sebagai urutan beberapa nama orang atau benda yang ada dan disaksikan dalam sebuah konteks fisik, untuk kemudian menjadi bahan cek dan ricek kebenarannya memenuhi definisi kata "Hadir". "Daftar Absen", dengan konteks yang sama dalam penggunaannya, pada hakikatnya istilah ini berbeda. Walaupun sama-sama tergolong nomina, "Daftar Absen" bisa diartikan sebagai sebuah susunan/urutan pengecekan nama orang atau barang yang kemudian menjadi bahan pembenaran "Ketidakhadiran". Contoh yang lain adalah istilah "Daftar Hitam" yang isinya adalah (semisal) nama-nama karyawan sebuah perusahaan yang dikategorikan bermasalah atau melanggar kualifikasi yang benar dan baik. Jika dicari di Kamus, ab?sen /abs?n/ v tidak masuk (sekolah, kerja, dsb.); tidak hadir; meng?ab?sen v memanggil (menyebutkan, membacakan) nama-nama orang pada daftar nama untuk memeriksa hadir tidaknya orang. "Daftar Presensi", pada dasarnya istilah ini bermakna sama dengan "Daftar Hadir". KBBI mendefinisikannya sebagai pre?sen?si /pr?s?nsi/ n kehadiran. Bagaimana kenyataan di sekitar kita? Saya sering kali mendapati penyalahgunaan dua istilah berlainan makna di atas (Absensi x Presensi). Di kelas saya, sering kali orang salah paham dengan menyebut Daftar Hadir sebagai "Absen". Semisal, "Tolong dong ambilkan absen itu." Atau, "Wahyu, pastikan teman-teman kamu mengisi absensi satu-satu," kata Pak Dono. Nah, menurut saya, penggunaan kata "absen" dalam kalimat tersebut tidak relevan karena arti sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan kehadiran setiap teman yang ada di situ. Harusnya, dikatakan "Tolong, pastikan teman-teman kamu mengisi presensi satu-satu." Dalam bahasa Inggris, absen sering dipakai dalam bentuk istilah "List of Absent", yang artinya adalah daftar nama anggota yang tidak hadir. Sementara "Daftar Hadir" biasa ditulis "List of Presence" atau List of Partisipants. Kesalahan penggunaan seperti ini tidak hanya terjadi di lingkup sederhana seperti kelas, tetapi saya sering mendengar berita yang menggunakan istilah ini guna merujuk ke makna yang seharusnya adalah "Daftar Hadir". Jadi, seharusnya "Presensi"lah yang ditulis di bagian atas setiap tabel yang dimaksudkan diisi dengan daftar nama personal yang HADIR, bukan "ABSENSI". Diambil dan disunting dari: Nama situs: Kompasiana Alamat URL: http://www.kompasiana.com/afsee/absensi-atau-presensi_55005a74a3331159735106bf Penulis artikel: Findo Sido Tanggal akses: 24 Desember 2015 Kontak: penulis(at)sabda.org Redaksi: Santi T., Margaretha I., N. Risanti, dan Odysius Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2016 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |