Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/17 |
|
e-Penulis edisi 17 (20-3-2006)
|
|
<>--------------------------------oo--------------------------------<> < e-Penulis > (Menulis untuk Melayani) Edisi 017/Maret/2006 <>------------------------------------------------------------------<> MEMBERKATI LEWAT PUISI <>------------------------------------------------------------------<> = DAFTAR ISI = * Dari Redaksi * Artikel : Ah, Puisi? * Artikel : Syairmu Penabalmu, yang Menahbiskanmu Jadi Penyair * Asah Pena : Biografi Kahlil Gibran (1883-1931) <>------------------------------------------------------------------<> = DARI REDAKSI = Salam kasih, Sebagai karya tulis yang ditengarai dengan bahasanya yang sulit dipahami, banyak orang enggan membaca, lebih-lebih menulis puisi. Namun, metamorfosa yang terjadi pada puisi dalam segi kemasan dan gaya bahasa agar lebih komunikatif dan menjadi milik semua orang bisa mengubah pandangan tersebut. Selain itu, kekhasan sifat dari puisi juga membuka kemungkinan untuk memakainya sebagai media dalam menyampaikan pendapat dan pikiran. Nah, pada edisi kali ini, secara khusus kami menyajikan artikel yang mengulas tentang puisi. Diharapkan sajian ini bisa semakin membukakan mata dan pikiran setiap orang yang terkait di pelayanan literatur Kristen bahwa puisi pun bisa dipakai sebagai sarana yang efektif untuk menyampaikan kebenaran Tuhan. Simak pula biografi Kahlil Gibran dan juga sebuah artikel singkat yang bisa menjadi inspirasi tentang bagaimana caranya memublikasikan puisi kita kepada khalayak. Akhir kata, mari berkarya dan menjadi terang melalui puisi. Selamat menulis! Staf Redaksi e-Penulis, (Puji) <>------------------------------------------------------------------<> = ARTIKEL = AH, PUISI? ========== Apakah yang ada di benak kita saat menyebut kata "puisi"? Apakah syair-syair cinta seperti yang ada di Kidung Agung? Ataukah untaian kalimat indah, sebagaimana di kartu-kartu ucapan, yang memakai gaya bertutur ala Shakespeare, Gibran, atau bahkan Rangga? Ataukah bait- bait kalimat yang diucapkan dengan suara lantang seperti orang berorasi? Mungkin kita malah menganggap setiap kalimat yang tidak umum dan disusun secara berirama sebagai puisi? Gambaran tiap orang tentang sebuah puisi memang bisa berbeda-beda. Semua tergantung pengalaman pribadinya dengan apa yang disebut puisi itu. Meski begitu, tentunya puisi bukanlah suatu bentuk tulisan yang asing bagi kita. Secara pribadi, saya menyetujui hakikat puisi sebagai suatu bentuk tulisan yang bersifat sangat pribadi/personal. Sebuah puisi biasanya dan mungkin juga hanya akan berisi cerminan pemahaman sang penulis puisi (penyair) akan sesuatu hal di dunianya. Ini tentu jauh lebih pribadi dari artikel yang bisa lebih banyak mengutip pendapat orang lain daripada pendapatnya sendiri; juga lebih personal dari karya seorang novelis yang tidak selalu mewakili dirinya sendiri. Sedemikian privasi dan subyektifnya sebuah puisi sehingga memiliki makna tersendiri. Hal ini menjadi salah satu alasan yang menyebabkan sebagian orang menganjurkan agar puisi tidak diterjemahkan. Puisi, untuk satu dan lain hal, bentuknya juga cenderung mudah dikenali, baik ketika masih berbentuk aksara maupun setelah dibacakan. Kata-kata yang tidak biasa, penggunaan metafor, hingga ketidaklengkapan kalimatnya memberi ciri tersendiri bagi puisi. Ribut Wijoto malah berpendapat bahwa salah satu ciri mendasar dari puisi menyerupai gaya bertutur pengidap skizofrenia. Apakah itu alasan yang menimbulkan pendapat bahwa menulis puisi adalah sulit? Bisa ya bisa tidak. Apakah itu yang membuat orang suka menulis puisi? Bisa ya bisa tidak. Namun, penggunaan berbagai metafor atau kata-kata yang tidak biasa dalam puisi sendiri pada dasarnya adalah bagian dari proses berkomunikasi dan berbahasa. Sama seperti jika ada orang Indonesia yang lebih suka mengungkapkan beberapa hal (rasa sakit, rasa terkejut, rasa senang, dsb) dalam bahasa Inggris karena ia merasa kata itu lebih tepat dan efektif dalam menggambarkan apa yang ada di pikirannya. Karenanya, seorang penyair tentu saja orang yang pandai mengolah bahasa. Inilah sifat puisi yang lain, yakni efektif dalam memakai kata-kata untuk menyampaikan pendapat dan pikiran. Oleh karenanya, tak heran jika kita mengenal genre puisi yang berasal dari Jepang bernama haiku, yang hanya terdiri dari 14 suku kata. Bahkan dalam dunia puisi modern, kita juga bisa menjumpai sebuah puisi yang hanya berisi satu atau dua kata saja. Dalam konteks sejarah, puisi juga termasuk salah satu bentuk tulisan yang usianya sangat tua. Mungkin bisa disebut sebagai nenek moyang dalam dunia penulisan. Keberadaan syar-syair tua seperti Kidung Agung, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, serta syair-syair mitologi Yunani sebagaimana terdapat dalam Iliad dan Odyssey karya Homerus adalah buktinya. Demikian juga dengan kitab-kitab kebijaksanaan Tao dan Konfusius, atau tradisi sastra lokal seperti pantun, gurindam, seloka, dsb., semuanya disajikan dalam syair-syair yang indah. Seiring perkembangan sejarah peradaban manusia, puisi (sastra) juga terus-menerus mengambil semakin banyak peran dan pengaruh dalam kemajuan kehidupan manusia. Kemajuan peradaban Tiongkok (yang juga mempengaruhi Vietnam, Jepang, dll.) tentu tak bisa dilepaskan dari budaya mereka yang sangat menjunjung tinggi sajak-sajak dan para penyair. Sementara dalam dunia sosial dan politik telah berkali-kali pula dicatat peran para penyair misalnya, Pablo Neruda, Wiji Thukul, Nikolai Vaptsarov, Fransisco Borja da Costa, juga Chairil Anwar yang lewat puisi mereka memimpin bangsanya ke arah perubahan. Pemimpin politik seperti Ho Chi Minh dan Mao Zedong pun merasa bahwa puisi adalah sarana yang cocok untuk mengekspresikan pikirannya. Karena puisi pulalah hati dan gairah dapat menyala dan berkobar, dan puisi pulalah yang sanggup memerahkan telinga wapres kita sampai akhirnya marah-marah di acara HUT PGRI ke-60 di Solo beberapa waktu lalu. Sejarah puisi terlihat indah dan penuh kemenangan. Namun, bagaimana dengan kenyataan yang ada sekarang? Puisi sukar dipahami. Bahasanya terlalu `ndakik-ndakik`, kata kritikus. Seperti telah disinggung di atas, bisa jadi itulah yang membuat orang malas menulis atau membaca puisi. Di dunia di mana budaya konsumerisme semakin menjadi pilihan untuk menjalani hidup, keinginan untuk mendapatkan segala sesuatu secara instan adalah yang utama. Posisi puisi dengan bahasa yang sepertinya sengaja `dipersulit` untuk bisa dimengerti dan hanya berkutat pada masalah pribadi si penyair (apalagi yang belum terkenal) tentu akan semakin tersingkirkan atau menjadi terlalu eksklusif. Slogan seni untuk seni (l`art pour l`art) yang mungkin masih diyakini oleh beberapa penyair sampai saat ini hanya menempatkan puisi sebagai menara gading. Puisi hanya semata masalah keindahan. Bagi perkembangan masyarakat, ia tidak membawa dampak apa-apa. Akibatnya masyarakat sendiri menjadi apatis dengan puisi. Puisi hanya menjadi milik mereka yang `paham`. Penulisan puisi kemudian terbatas di kartu-kartu ucapan yang hanya dibaca sekali lalu lebih sering dibuang. Apresiasi masyarakat atas puisi atau sastra atau seni menjadi seperti apresiasi penduduk Yunani akan Allah yang Tak Dikenal (Kis. 17:23); tahu bahwa Ia ada, namun terasa jauh, sukar dipahami, dan seringkali mengakibatkan `pengetahuan` itu menjadi milik segelintir orang saja (seniman, kritikus, kurator, dsb.). Paradigma dan keadaan seperti itu tentulah bukan sesuatu yang harus dipertahankan. Dalam lingkungannya sendiri, seni dan sastra realis, baik realisme sosialis, realisme magis, dan sejenisnya, yang menolak bentuk eksklusif dan tidak menyuarakan apa-apa selain nilai estetika, sempat dan masih sering dipakai untuk mengatasi masalah itu. Sementara dalam segi kemasan, sastra, khususnya puisi mulai mengalami metamorfosanya sendiri. Film seperti "Ada Apa dengan Cinta", milis-milis, juga komunitas-komunitas penggemar jenis tulisan puisi (anggotanya bahkan umumnya anak muda, yang beberapa di antaranya malah sudah menerbitkan buku antologi puisi karya mereka sendiri), menjadi media yang subur bagi pengembangan puisi. Gaya bahasa puisi kontemporer yang semakin sederhana, pembawaan puisi dengan gaya teatrikal, meledak-ledak seperti orasi, dsb. menjadi beberapa cara yang telah ditempuh guna mengubah puisi agar lebih komunikatif dan menjadi milik semua orang. Anggapan bahwa pembaca puisi hanyalah kalangan yang terbatas saat ini juga mulai menyurut. Setidaknya lihatlah betapa banyak buku Kahlil Gibran yang beredar di toko buku saat ini. Dalam literatur Kristen, tengok pula berapa banyak orang terinspirasi oleh puisi berjudul "Footprints". Begitu juga fakta bahwa banyak orang telah mendapat inspirasi dan hidupnya berubah setelah membaca ayat dalam Kitab Suci yang ditulis dengan gaya bersyair. Namun, sekali lagi harus diakui bahwa mengubah paradigma masyarakat yang menganggap berpuisi dan membaca puisi sebagai kegiatan tak berguna merupakan perjuangan tersendiri. Dunia penulisan Kristen tampaknya juga mengalami masalah yang kurang lebih serupa. Tanpa mengurangi penghargaan kepada penulis Kristen yang mungkin selama ini telah mendedikasikan dirinya dalam dunia puisi, kita tentu tak dapat membohongi diri bahwa saat ini tak banyak orang Kristen yang mau menulis puisi untuk menyuarakan pendapatnya dan pendapat-Nya untuk dunia ini. Mengingat kekhasannya, semestinya mereka juga dapat memanfaatkan puisi sebagai sarana penyampaian pendapat sebagaimana tulisan khotbah, kesaksian dan renungan. Lagi pula, sebagai bagian dari seni dan budaya, puisi juga dengan sendirinya dapat lebih mudah diserap oleh kalangan luas, sehingga menyebabkan para pemimpin negara atau juga para penjajah dulu begitu memperhatikan gerakan para penyair dan seniman. Mereka menyadari bahwa puisi juga menjadi salah satu sarana penyebaran ideologi yang efektif. Lalu pertanyaannya sekarang adalah mungkinkah kita bisa benar-benar serius memakai puisi sebagai media penyataan terang-Nya? Semua memang kembali kepada diri kita sendiri. Saya sendiri yakin bahwa militansi para penulis Kristen tentu tak kalah dengan seorang buruh pelitur mebel asal Solo bernama Wiji Thukul yang rela menanggung risiko dilenyapkan oleh militer sampai sekarang. Bahkan kerelaan hati kita tentu juga bisa lebih dari yang dimiliki penyair sekuler macam W.S. Rendra yang pada masa-masa awal karirnya rela hanya makan nasi dan garam demi tekad untuk hidup dari seni (puisi) dan tidak lagi memandang seni sebagai kegiatan pengisi waktu saja. Ketika Roland Barthes memproklamirkan "Kematian Pengarang", mengingat pada masa ini pembacalah yang lebih dominan menilai dan memahami satu karya daripada sang pengarang, penulis Kristen tak perlu jera dan gentar menghadapinya. Sejarah membuktikan, kenyataan di sekitar menunjukkan, dan Roh Kudus yang akan memampukan, bahwa puisi bukanlah sebuah kesia-siaan. Puisi dapat menjadi alat komunikasi yang efektif dalam menyatakan kebenaran-Nya. Bahkan jika ditulis dan dikemas dengan baik ia akan sanggup melewati sekat-sekat yang selama ini membatasi tulisan-tulisan Kristen untuk diterima masyarakat luas. Ah, puisi ternyata memang tidak melulu masalah puitis atau tidak. Beberapa Sumber Bacaan: 1. JJ Kusni, Esai Ketika Dicemoohkan, Puisi Terus Ditulis http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category=5&id=1030351856 2. Percy Bysshe Shelley, A Defence of Poetry (dalam bentuk ebook dari Project Gutenberg) 3. Ribut Wijoto, Artikel Skizofrenia pada Gejala Estetik Puisi http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/014/bud3.html Penulis: Ary Cahya Utomo <>------------------------------------------------------------------<> = ARTIKEL = Syairmu Penabalmu, yang Menahbiskanmu Jadi Penyair ================================================== Mau jadi penyair? Ya, berkaryalah. Memangnya siapa yang memberi status penyair kepada Raja Ali Haji? Kepada Amir Hamzah? Kepada Sutardji Calzoum Bachri? Atau kepada Hasan Aspahani? Karyalah yang menjadikan seseorang itu jadi penyair atau bukan. Memangnya Dolorosa Sinaga disebut pematung kalau dia tidak membuat sebuah karya patung pun? Memangnya, Amri Yahya itu disebut pelukis kalau dia tidak melukis sebidang kanvas pun? Memangnya GM Sudarta itu mau disebut kartunis kalau dia tidak menciptakan tokoh Oom Pasikom? Tentu berkarya saja tidak cukup, dan lantas kau disebut sebagai penyair. Kalau karyamu hanya kau simpan di map dan diselipkan di laci, siapa yang tahu bagus tidaknya karyamu? Sosialisasikan karyamu setelah kau yakin itu layak disebut sebagai karya bermutu, dan bisa pula mendukung niatmu untuk disebut sebagai penyair. Eit, jangan putus asa kalau redaktur menolak karyamu. Jangan memaki bahwa redaktur sastra itu penguasa yang otoriter. Sosialisasi kan tidak harus lewat satu majalah, satu surat kabar, atau jurnal saja. Kenapa tidak kau bukukan saja sendiri? Seperti Dee dengan Supernova-nya. Kenapa tidak mencari cara sosialisasi lain yang lebih kreatif, tidak cengeng, dan bahkan cara sosialisasi itu bersama karya hebatmu bisa dengan cepat mengangkat kau ke singgasana penyair, kalau memang itu yang benar-benar hendak kau duduki. Kau bisa ikut lomba cipta puisi, kau juga bisa kirim ke situs-situs sastra. Mau contoh? Buatlah brosur puisi, buatlah pembacaan puisi keliling dari sekolah ke sekolah, dari terminal ke terminal, atau buatlah majalah sastra sendiri. Kamu pikir Taufik Ikram Jamil itu siapa kalau tidak ketekunannya berkarya dan membina sejumlah majalah sastra seperti Berdaulat, Menyimak, dan Sagang. Kau pikir D. Zawawi Imron itu mengemis-ngemis ke redaktur sastra supaya karyanya dimuat? Kau pikir siapa yang menerbitkan buku puisi Subagio Sastrowardoyo pertama kali? Bukan penerbit tapi seorang pelukis bernama Jeihan. Lalu apakah Jeihan yang mengangkat almarhum sebagai penyair? Bukan, tapi karyanya itu. Kualitas karya. Itulah pemaknaan tunggal. Tapi, ingat kualitas tidak dilihat dari dimuat tidaknya sebuah karya di media. Karena belum tentu yang dimuat itu bagus, dan sebaliknya yang tak dimuat belum tentu jelek. Tak ada jalan pintas. Karena seorang redaktur itu orang yang makan gaji. Itu hanya sebuah jabatan struktural di sebuah media. Ia bisa dan kadang sangat subjektif. Eh, kira-kira di mana posisi seorang kritikus, ya? Apa pedulinya kita? Dulu memang ada HB Jassin yang tak bisa ditampik telah membesarkan dan menemukan seorang Chairil Anwar. Tapi, kembalilah tengok karyanya. Jassin mungkin tak akan pasang badan membela Chairil (apa untungnya?) kalau karyanya memang tak bermutu? Terbukti toh Jassin benar sampai sekarang, puisi-puisi Chairil tetap saja tak kehilangan kebaruannya. Jadi kembali lagi ke karyamu. Kalau memang mutiara, kritisi akan tahu meskipun ia menyelam dalam dan kau berada dalam cangkang yang keras tebal pejal. Selamat jadi penyair, eh, selamat membuat syair. Diedit dari sumber: Website: http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/arsipesai.cgi?category=5&view=3.09.02-5.17.02 Penulis: Hasan Aspahani <>------------------------------------------------------------------<> = ASAH PENA (Artikel Sejarah Penulis Dunia) = BIOGRAFI KAHLIL GIBRAN (1883-1931) ================================== Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di Beshari, Lebanon. Beshari sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam. Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Bairut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat (School of Wisdom) sejak tahun 1898 sampai 1901. Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Tirani kerajaan Ottoman, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab. Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu. Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang meyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronite. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat. Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC. Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan`s Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal. Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya. Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis. Sebelum tahun 1912 "Broken Wings" telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya. Pengaruh "Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama "Broken Wings" ini dipersembahkan untuk Mary Haskell. Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Syria yang tinggal di Amerika. Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat. Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems". Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman". Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922. Sebelum terbitnya "Sang Nabi", hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis. Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi". Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran. Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain "The Garden of the Propeth". Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hati dan TBC, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent`s Hospital di Greenwich Village. Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran. Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Ma Sarkis, sebuah biara Carmelite di mana Gibran pernah melakukan ibadah. Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku." Bahan dirangkum dari: Buku : 10 Kisah Hidup Penulis Dunia Judul : Khalil Gibran Editor : Anton WP dan Yudhi Herwibowo Penerbit : Katta Solo, 2005 Halaman : 63 - 70 <>------------------------------------------------------------------<> Staf Redaksi : Ary, Puji, dan Endah Berlangganan : Kirim email ke <subscribe-i-kan-penulis(at)xc.org> Berhenti : Kirim email ke <unsubscribe-i-kan-penulis(at)xc.org> Kirim bahan : Kirim email ke <staf-penulis(at)sabda.org> Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/ Situs CWC : http://www.ylsa.org/cwc/ <>------------------------------------------------------------------<> Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA. Didistribusikan melalui sistem network I-KAN. Copyright(c) e-Penulis 2006 YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/ http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati <><-------------------------------oo-------------------------------><>
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |