Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/17

e-Penulis edisi 17 (20-3-2006)

Memberkati Lewat Puisi

<>--------------------------------oo--------------------------------<>
                            < e-Penulis >
                       (Menulis untuk Melayani)
                         Edisi 017/Maret/2006
<>------------------------------------------------------------------<>
                        MEMBERKATI LEWAT PUISI
<>------------------------------------------------------------------<>
  = DAFTAR ISI =
    * Dari Redaksi
    * Artikel   : Ah, Puisi?
    * Artikel   : Syairmu Penabalmu, yang Menahbiskanmu Jadi Penyair
    * Asah Pena : Biografi Kahlil Gibran (1883-1931)

<>------------------------------------------------------------------<>
= DARI REDAKSI =

  Salam kasih,

  Sebagai karya tulis yang ditengarai dengan bahasanya yang sulit
  dipahami, banyak orang enggan membaca, lebih-lebih menulis puisi.
  Namun, metamorfosa yang terjadi pada puisi dalam segi kemasan dan
  gaya bahasa agar lebih komunikatif dan menjadi milik semua orang
  bisa mengubah pandangan tersebut. Selain itu, kekhasan sifat dari
  puisi juga membuka kemungkinan untuk memakainya sebagai media dalam
  menyampaikan pendapat dan pikiran.

  Nah, pada edisi kali ini, secara khusus kami menyajikan artikel yang
  mengulas tentang puisi. Diharapkan sajian ini bisa semakin
  membukakan mata dan pikiran setiap orang yang terkait di pelayanan
  literatur Kristen bahwa puisi pun bisa dipakai sebagai sarana yang
  efektif untuk menyampaikan kebenaran Tuhan. Simak pula biografi
  Kahlil Gibran dan juga sebuah artikel singkat yang bisa menjadi
  inspirasi tentang bagaimana caranya memublikasikan puisi kita kepada
  khalayak. Akhir kata, mari berkarya dan menjadi terang melalui
  puisi. Selamat menulis!

  Staf Redaksi e-Penulis,
  (Puji)

<>------------------------------------------------------------------<>
= ARTIKEL =

                             AH, PUISI?
                             ==========

  Apakah yang ada di benak kita saat menyebut kata "puisi"? Apakah
  syair-syair cinta seperti yang ada di Kidung Agung? Ataukah untaian
  kalimat indah, sebagaimana di kartu-kartu ucapan, yang memakai gaya
  bertutur ala Shakespeare, Gibran, atau bahkan Rangga? Ataukah bait-
  bait kalimat yang diucapkan dengan suara lantang seperti orang
  berorasi? Mungkin kita malah menganggap setiap kalimat yang tidak
  umum dan disusun secara berirama sebagai puisi? Gambaran tiap orang
  tentang sebuah puisi memang bisa berbeda-beda. Semua tergantung
  pengalaman pribadinya dengan apa yang disebut puisi itu. Meski
  begitu, tentunya puisi bukanlah suatu bentuk tulisan yang asing bagi
  kita.

  Secara pribadi, saya menyetujui hakikat puisi sebagai suatu bentuk
  tulisan yang bersifat sangat pribadi/personal. Sebuah puisi biasanya
  dan mungkin juga hanya akan berisi cerminan pemahaman sang penulis
  puisi (penyair) akan sesuatu hal di dunianya. Ini tentu jauh lebih
  pribadi dari artikel yang bisa lebih banyak mengutip pendapat orang
  lain daripada pendapatnya sendiri; juga lebih personal dari karya
  seorang novelis yang tidak selalu mewakili dirinya sendiri.
  Sedemikian privasi dan subyektifnya sebuah puisi sehingga memiliki
  makna tersendiri. Hal ini menjadi salah satu alasan yang menyebabkan
  sebagian orang menganjurkan agar puisi tidak diterjemahkan.

  Puisi, untuk satu dan lain hal, bentuknya juga cenderung mudah
  dikenali, baik ketika masih berbentuk aksara maupun setelah
  dibacakan. Kata-kata yang tidak biasa, penggunaan metafor, hingga
  ketidaklengkapan kalimatnya memberi ciri tersendiri bagi puisi.
  Ribut Wijoto malah berpendapat bahwa salah satu ciri mendasar dari
  puisi menyerupai gaya bertutur pengidap skizofrenia.

  Apakah itu alasan yang menimbulkan pendapat bahwa menulis puisi
  adalah sulit? Bisa ya bisa tidak. Apakah itu yang membuat orang suka
  menulis puisi? Bisa ya bisa tidak.

  Namun, penggunaan berbagai metafor atau kata-kata yang tidak biasa
  dalam puisi sendiri pada dasarnya adalah bagian dari proses
  berkomunikasi dan berbahasa. Sama seperti jika ada orang Indonesia
  yang lebih suka mengungkapkan beberapa hal (rasa sakit, rasa
  terkejut, rasa senang, dsb) dalam bahasa Inggris karena ia merasa
  kata itu lebih tepat dan efektif dalam menggambarkan apa yang ada di
  pikirannya. Karenanya, seorang penyair tentu saja orang yang pandai
  mengolah bahasa. Inilah sifat puisi yang lain, yakni efektif dalam
  memakai kata-kata untuk menyampaikan pendapat dan pikiran. Oleh
  karenanya, tak heran jika kita mengenal genre puisi yang berasal
  dari Jepang bernama haiku, yang hanya terdiri dari 14 suku kata.
  Bahkan dalam dunia puisi modern, kita juga bisa menjumpai sebuah
  puisi yang hanya berisi satu atau dua kata saja.

  Dalam konteks sejarah, puisi juga termasuk salah satu bentuk tulisan
  yang usianya sangat tua. Mungkin bisa disebut sebagai nenek moyang
  dalam dunia penulisan. Keberadaan syar-syair tua seperti Kidung
  Agung, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, serta syair-syair mitologi
  Yunani sebagaimana terdapat dalam Iliad dan Odyssey karya Homerus
  adalah buktinya. Demikian juga dengan kitab-kitab kebijaksanaan Tao
  dan Konfusius, atau tradisi sastra lokal seperti pantun, gurindam,
  seloka, dsb., semuanya disajikan dalam syair-syair yang indah.

  Seiring perkembangan sejarah peradaban manusia, puisi (sastra) juga
  terus-menerus mengambil semakin banyak peran dan pengaruh dalam
  kemajuan kehidupan manusia. Kemajuan peradaban Tiongkok (yang juga
  mempengaruhi Vietnam, Jepang, dll.) tentu tak bisa dilepaskan dari
  budaya mereka yang sangat menjunjung tinggi sajak-sajak dan para
  penyair. Sementara dalam dunia sosial dan politik telah berkali-kali
  pula dicatat peran para penyair misalnya, Pablo Neruda, Wiji Thukul,
  Nikolai Vaptsarov, Fransisco Borja da Costa, juga Chairil Anwar yang
  lewat puisi mereka memimpin bangsanya ke arah perubahan. Pemimpin
  politik seperti Ho Chi Minh dan Mao Zedong pun merasa bahwa puisi
  adalah sarana yang cocok untuk mengekspresikan pikirannya. Karena
  puisi pulalah hati dan gairah dapat menyala dan berkobar, dan puisi
  pulalah yang sanggup memerahkan telinga wapres kita sampai akhirnya
  marah-marah di acara HUT PGRI ke-60 di Solo beberapa waktu lalu.

  Sejarah puisi terlihat indah dan penuh kemenangan. Namun, bagaimana
  dengan kenyataan yang ada sekarang? Puisi sukar dipahami. Bahasanya
  terlalu `ndakik-ndakik`, kata kritikus. Seperti telah disinggung di
  atas, bisa jadi itulah yang membuat orang malas menulis atau membaca
  puisi. Di dunia di mana budaya konsumerisme semakin menjadi pilihan
  untuk menjalani hidup, keinginan untuk mendapatkan segala sesuatu
  secara instan adalah yang utama. Posisi puisi dengan bahasa yang
  sepertinya sengaja `dipersulit` untuk bisa dimengerti dan hanya
  berkutat pada masalah pribadi si penyair (apalagi yang belum
  terkenal) tentu akan semakin tersingkirkan atau menjadi terlalu
  eksklusif. Slogan seni untuk seni (l`art pour l`art) yang mungkin
  masih diyakini oleh beberapa penyair sampai saat ini hanya
  menempatkan puisi sebagai menara gading. Puisi hanya semata masalah
  keindahan. Bagi perkembangan masyarakat, ia tidak membawa dampak
  apa-apa. Akibatnya masyarakat sendiri menjadi apatis dengan puisi.
  Puisi hanya menjadi milik mereka yang `paham`. Penulisan puisi
  kemudian terbatas di kartu-kartu ucapan yang hanya dibaca sekali
  lalu lebih sering dibuang. Apresiasi masyarakat atas puisi atau
  sastra atau seni menjadi seperti apresiasi penduduk Yunani akan
  Allah yang Tak Dikenal (Kis. 17:23); tahu bahwa Ia ada, namun terasa
  jauh, sukar dipahami, dan seringkali mengakibatkan `pengetahuan` itu
  menjadi milik segelintir orang saja (seniman, kritikus, kurator,
  dsb.).

  Paradigma dan keadaan seperti itu tentulah bukan sesuatu yang harus
  dipertahankan. Dalam lingkungannya sendiri, seni dan sastra realis,
  baik realisme sosialis, realisme magis, dan sejenisnya, yang menolak
  bentuk eksklusif dan tidak menyuarakan apa-apa selain nilai
  estetika, sempat dan masih sering dipakai untuk mengatasi masalah
  itu. Sementara dalam segi kemasan, sastra, khususnya puisi mulai
  mengalami metamorfosanya sendiri. Film seperti "Ada Apa dengan
  Cinta", milis-milis, juga komunitas-komunitas penggemar jenis
  tulisan puisi (anggotanya bahkan umumnya anak muda, yang beberapa di
  antaranya malah sudah menerbitkan buku antologi puisi karya mereka
  sendiri), menjadi media yang subur bagi pengembangan puisi. Gaya
  bahasa puisi kontemporer yang semakin sederhana, pembawaan puisi
  dengan gaya teatrikal, meledak-ledak seperti orasi, dsb. menjadi
  beberapa cara yang telah ditempuh guna mengubah puisi agar lebih
  komunikatif dan menjadi milik semua orang.

  Anggapan bahwa pembaca puisi hanyalah kalangan yang terbatas saat
  ini juga mulai menyurut. Setidaknya lihatlah betapa banyak buku
  Kahlil Gibran yang beredar di toko buku saat ini. Dalam literatur
  Kristen, tengok pula berapa banyak orang terinspirasi oleh puisi
  berjudul "Footprints". Begitu juga fakta bahwa banyak orang telah
  mendapat inspirasi dan hidupnya berubah setelah membaca ayat dalam
  Kitab Suci yang ditulis dengan gaya bersyair. Namun, sekali lagi
  harus diakui bahwa mengubah paradigma masyarakat yang menganggap
  berpuisi dan membaca puisi sebagai kegiatan tak berguna merupakan
  perjuangan tersendiri.

  Dunia penulisan Kristen tampaknya juga mengalami masalah yang kurang
  lebih serupa. Tanpa mengurangi penghargaan kepada penulis Kristen
  yang mungkin selama ini telah mendedikasikan dirinya dalam dunia
  puisi, kita tentu tak dapat membohongi diri bahwa saat ini tak
  banyak orang Kristen yang mau menulis puisi untuk menyuarakan
  pendapatnya dan pendapat-Nya untuk dunia ini. Mengingat kekhasannya,
  semestinya mereka juga dapat memanfaatkan puisi sebagai sarana
  penyampaian pendapat sebagaimana tulisan khotbah, kesaksian dan
  renungan. Lagi pula, sebagai bagian dari seni dan budaya, puisi juga
  dengan sendirinya dapat lebih mudah diserap oleh kalangan luas,
  sehingga menyebabkan para pemimpin negara atau juga para penjajah
  dulu begitu memperhatikan gerakan para penyair dan seniman. Mereka
  menyadari bahwa puisi juga menjadi salah satu sarana penyebaran
  ideologi yang efektif.

  Lalu pertanyaannya sekarang adalah mungkinkah kita bisa benar-benar
  serius memakai puisi sebagai media penyataan terang-Nya? Semua
  memang kembali kepada diri kita sendiri. Saya sendiri yakin bahwa
  militansi para penulis Kristen tentu tak kalah dengan seorang buruh
  pelitur mebel asal Solo bernama Wiji Thukul yang rela menanggung
  risiko dilenyapkan oleh militer sampai sekarang. Bahkan kerelaan
  hati kita tentu juga bisa lebih dari yang dimiliki penyair sekuler
  macam W.S. Rendra yang pada masa-masa awal karirnya rela hanya makan
  nasi dan garam demi tekad untuk hidup dari seni (puisi) dan tidak
  lagi memandang seni sebagai kegiatan pengisi waktu saja.

  Ketika Roland Barthes memproklamirkan "Kematian Pengarang",
  mengingat pada masa ini pembacalah yang lebih dominan menilai dan
  memahami satu karya daripada sang pengarang, penulis Kristen tak
  perlu jera dan gentar menghadapinya. Sejarah membuktikan, kenyataan
  di sekitar menunjukkan, dan Roh Kudus yang akan memampukan, bahwa
  puisi bukanlah sebuah kesia-siaan. Puisi dapat menjadi alat
  komunikasi yang efektif dalam menyatakan kebenaran-Nya. Bahkan jika
  ditulis dan dikemas dengan baik ia akan sanggup melewati sekat-sekat
  yang selama ini membatasi tulisan-tulisan Kristen untuk diterima
  masyarakat luas. Ah, puisi ternyata memang tidak melulu masalah
  puitis atau tidak.

  Beberapa Sumber Bacaan:

  1. JJ Kusni, Esai Ketika Dicemoohkan, Puisi Terus Ditulis
     http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category=5&id=1030351856

  2. Percy Bysshe Shelley, A Defence of Poetry (dalam bentuk ebook
     dari Project Gutenberg)

  3. Ribut Wijoto, Artikel Skizofrenia pada Gejala Estetik Puisi
     http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/014/bud3.html

  Penulis: Ary Cahya Utomo

<>------------------------------------------------------------------<>
= ARTIKEL =

          Syairmu Penabalmu, yang Menahbiskanmu Jadi Penyair
          ==================================================

  Mau jadi penyair? Ya, berkaryalah. Memangnya siapa yang memberi
  status penyair kepada Raja Ali Haji? Kepada Amir Hamzah? Kepada
  Sutardji Calzoum Bachri? Atau kepada Hasan Aspahani? Karyalah yang
  menjadikan seseorang itu jadi penyair atau bukan. Memangnya Dolorosa
  Sinaga disebut pematung kalau dia tidak membuat sebuah karya patung
  pun? Memangnya, Amri Yahya itu disebut pelukis kalau dia tidak
  melukis sebidang kanvas pun? Memangnya GM Sudarta itu mau disebut
  kartunis kalau dia tidak menciptakan tokoh Oom Pasikom?

  Tentu berkarya saja tidak cukup, dan lantas kau disebut sebagai
  penyair. Kalau karyamu hanya kau simpan di map dan diselipkan di
  laci, siapa yang tahu bagus tidaknya karyamu? Sosialisasikan karyamu
  setelah kau yakin itu layak disebut sebagai karya bermutu, dan bisa
  pula mendukung niatmu untuk disebut sebagai penyair. Eit, jangan
  putus asa kalau redaktur menolak karyamu. Jangan memaki bahwa
  redaktur sastra itu penguasa yang otoriter.

  Sosialisasi kan tidak harus lewat satu majalah, satu surat kabar,
  atau jurnal saja. Kenapa tidak kau bukukan saja sendiri? Seperti Dee
  dengan Supernova-nya. Kenapa tidak mencari cara sosialisasi lain
  yang lebih kreatif, tidak cengeng, dan bahkan cara sosialisasi itu
  bersama karya hebatmu bisa dengan cepat mengangkat kau ke singgasana
  penyair, kalau memang itu yang benar-benar hendak kau duduki. Kau
  bisa ikut lomba cipta puisi, kau juga bisa kirim ke situs-situs
  sastra.

  Mau contoh? Buatlah brosur puisi, buatlah pembacaan puisi keliling
  dari sekolah ke sekolah, dari terminal ke terminal, atau buatlah
  majalah sastra sendiri. Kamu pikir Taufik Ikram Jamil itu siapa
  kalau tidak ketekunannya berkarya dan membina sejumlah majalah
  sastra seperti Berdaulat, Menyimak, dan Sagang.

  Kau pikir D. Zawawi Imron itu mengemis-ngemis ke redaktur sastra
  supaya karyanya dimuat? Kau pikir siapa yang menerbitkan buku puisi
  Subagio Sastrowardoyo pertama kali? Bukan penerbit tapi seorang
  pelukis bernama Jeihan. Lalu apakah Jeihan yang mengangkat almarhum
  sebagai penyair? Bukan, tapi karyanya itu.

  Kualitas karya. Itulah pemaknaan tunggal. Tapi, ingat kualitas tidak
  dilihat dari dimuat tidaknya sebuah karya di media. Karena belum
  tentu yang dimuat itu bagus, dan sebaliknya yang tak dimuat belum
  tentu jelek. Tak ada jalan pintas. Karena seorang redaktur itu orang
  yang makan gaji. Itu hanya sebuah jabatan struktural di sebuah
  media. Ia bisa dan kadang sangat subjektif.

  Eh, kira-kira di mana posisi seorang kritikus, ya? Apa pedulinya
  kita? Dulu memang ada HB Jassin yang tak bisa ditampik telah
  membesarkan dan menemukan seorang Chairil Anwar. Tapi, kembalilah
  tengok karyanya. Jassin mungkin tak akan pasang badan membela
  Chairil (apa untungnya?) kalau karyanya memang tak bermutu? Terbukti
  toh Jassin benar sampai sekarang, puisi-puisi Chairil tetap saja tak
  kehilangan kebaruannya.

  Jadi kembali lagi ke karyamu. Kalau memang mutiara, kritisi akan
  tahu meskipun ia menyelam dalam dan kau berada dalam cangkang yang
  keras tebal pejal.

  Selamat jadi penyair, eh, selamat membuat syair.

  Diedit dari sumber:
  Website: http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/arsipesai.cgi?category=5&view=3.09.02-5.17.02
  Penulis: Hasan Aspahani

<>------------------------------------------------------------------<>
= ASAH PENA (Artikel Sejarah Penulis Dunia) =

                  BIOGRAFI KAHLIL GIBRAN (1883-1931)
                  ==================================

  Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di Beshari, Lebanon.
  Beshari sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa
  serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa
  menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya
  banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.

  Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran
  pindah ke Boston, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran
  kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh
  para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada
  akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston,
  diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk
  oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran
  hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali
  ke Bairut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat (School of
  Wisdom) sejak tahun 1898 sampai 1901.

  Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa
  depannya mulai terbentuk. Tirani kerajaan Ottoman, sifat munafik
  organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar
  sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian
  dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.

  Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun,
  namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah
  menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu
  untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya
  kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda
  menjadi satu.

  Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga
  1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya,
  "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York,
  yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang
  meyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran
  menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronite. Akan
  tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai
  harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.

  Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran
  menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi
  telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda
  berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.

  Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan
  toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga
  meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga
  telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna,
  yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan
  keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu
  terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya
  lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan
  berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

  Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai
  penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil
  menjahit di Miss Teahan`s Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu,
  Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang
  masih awal.

  Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup
  senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell,
  seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun
  dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di
  Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux
  Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah
  studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga
  mengambil alih pembiayaan keluarganya.

  Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran
  bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah
  bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.

  Sebelum tahun 1912 "Broken Wings" telah diterbitkan dalam Bahasa
  Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang
  muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya
  sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang
  uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai
  otobiografinya.

  Pengaruh "Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena di
  sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan
  mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang
  memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam
  perkawinan. Cetakan pertama "Broken Wings" ini dipersembahkan untuk
  Mary Haskell.

  Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada
  tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga
  terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan
  kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran
  menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat
  Syria yang tinggal di Amerika.

  Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup.
  Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan
  dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat
  mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk
  mengagumi kehebatan Barat.

  Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya
  dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems".
  Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman".
  Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah
  "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada
  tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami
  dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di
  Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan
  kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris
  pada tahun 1918-1922.

  Sebelum terbitnya "Sang Nabi", hubungan dekat antara Mary dan Gibran
  mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha
  kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah
  dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau
  hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai
  pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka,
  namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang
  berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan
  dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas
  telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima
  Florance Minis.

  Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang
  dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini
  merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya
  reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah
  Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi".
  Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang
  sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di
  New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.

  Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son
  of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya,
  "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran
  menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain
  "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan
  tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya
  yang lain "The Garden of the Propeth".

  Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia.
  Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hati dan TBC, tapi
  selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari
  terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent`s Hospital di Greenwich
  Village.

  Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk
  mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya
  yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri
  untuk melayat Gibran.

  Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Ma Sarkis,
  sebuah biara Carmelite di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

  Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk
  studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas
  yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk
  membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku."

  Bahan dirangkum dari:
  Buku       : 10 Kisah Hidup Penulis Dunia
  Judul      : Khalil Gibran
  Editor     : Anton WP dan Yudhi Herwibowo
  Penerbit   : Katta Solo, 2005
  Halaman    : 63 - 70

<>------------------------------------------------------------------<>
Staf Redaksi   : Ary, Puji, dan Endah
Berlangganan   : Kirim email ke <subscribe-i-kan-penulis(at)xc.org>
Berhenti       : Kirim email ke <unsubscribe-i-kan-penulis(at)xc.org>
Kirim bahan    : Kirim email ke <staf-penulis(at)sabda.org>
Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/
Situs CWC      : http://www.ylsa.org/cwc/
<>------------------------------------------------------------------<>
      Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
             Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
                     Copyright(c) e-Penulis 2006
                  YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/
                       http://katalog.sabda.org/
                    Rekening: BCA Pasar Legi Solo
                 No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
<><-------------------------------oo-------------------------------><>

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org