Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/169

e-Penulis edisi 169 (3-9-2015)

Menulis Panduan (Instruction Writing) (I)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                         169/September/2015
           Tema: Menulis Panduan (Instruction Writing) (I)

e-Penulis -- Menulis Panduan (Instruction Writing) (I)
Edisi 169/September/2015

DAFTAR ISI
DARI REDAKSI: BUKU SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI
ARTIKEL: PENGERTIAN BUKU PEDOMAN SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI
POJOK BAHASA: PANCASILA, PASCASARJANA, COCA-COLA
STOP PRESS: PUBLIKASI E-DOA: MELENGKAPI PENDOA KRISTEN


             DARI REDAKSI: BUKU SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI

Media komunikasi terus berkembang. Apabila pada masa prasejarah orang-
orang menuliskan apa yang ada dalam pikiran mereka pada lempengan 
batu, papirus, atau perkamen, pada masa modern saat ini orang-orang 
bisa menuliskannya di kertas/buku, bahkan media digital. Sebagai salah 
satu bentuk media komunikasi, buku menjadi media yang efektif untuk 
memberikan informasi. Sebagai contoh, buku pedoman. Buku ini berisi 
informasi dan petunjuk bagi pembaca untuk mengetahui sesuatu secara 
lengkap. Anda ingin memahami lebih jauh tentang buku pedoman? Silakan 
menyimaknya dalam kolom Artikel yang telah kami sajikan.

Simaklah pula rubrik bahasa yang memicu kita untuk dapat memahami 
setiap kata dan mengucapkannya secara tepat. Alfabet "c" hendaknya 
dibaca dengan "c", dan tidak ada perubahan dari "c" menjadi "k". 
Simaklah seluruh edisi e-Penulis kali ini, kami berharap sahabat e-
Penulis akan semakin diperkaya akan khasanah bahasa Indonesia.

Redaktur Tamu e-Penulis,
Amidya
< http://pelitaku.sabda.org >


      ARTIKEL: PENGERTIAN BUKU PEDOMAN SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI

Berikut merupakan penjelasan pengertian buku pedoman sebagai media 
komunikasi. Buku pedoman sering disebut sebagai "hand book", buku 
panduan, buku penuntun, dan buku pegangan. Effendy mengatakan bahwa 
buku pedoman adalah "Buku yang berisi informasi, petunjuk, dan lain-
lain yang menjadi petunjuk tuntunan bagi pembaca untuk mengetahui 
sesuatu secara lengkap". Sebenarnya, dari pendapat yang dikemukakan 
oleh Effendy di atas, untuk memperoleh berbagai informasi yang 
dibutuhkan dalam buku pedoman sebagai penuntun selama beraktivitas 
dalam ruang lingkup tertentu, maka pembaca bukan sekadar mengetahui, 
mengerti, dan memahami, tetapi dilanjutkan pada tahap perbuatan. 
Menurut Blake dan Haroldsen bahwa "Media komunikasi seperti sedianya 
buku penuntun lebih tepat disebut sebagai medio communication".

Istilah media komunikasi dalam bahasa Latin, yaitu medio communication 
(komunikasi medio). Menurut Blake dan Haroldsen bahwa Medio dapat 
diartikan sebagai "tengah". Maksudnya bahwa dalam konteks komunikasi, 
kata "tengah" dapat diartikan sebagai antara komunikasi persona dan 
komunikasi "massa". Effendy menambahkan "Komunikasi medio menggunakan 
media yang tidak memiliki ciri-ciri yang terdapat pada media massa, 
terutama pada ciri keserempakannya". Berdasarkan sasaran yang dituju 
media nirmassa/nonmassa dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, 
yaitu terdiri dari media yang ditujukan pada satu orang dan banyak 
orang. Penjelasannya dapat dilihat di bawah ini:

1. Media Individual

Media individual adalah media nirmassa/nonmassa yang dipergunakan 
untuk komunikasi point-to-point atau "dari-titik-ke-titik". Maksudnya 
adalah komunikasi terjadi di antara seseorang dengan seseorang 
lainnya. Adapun yang termasuk pada media individual seperti surat, 
telepon, telegram, teleks, dan lain-lain. Jadi, media individual ini 
merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesan yang ditujukan hanya 
pada satu orang.

2. Media Umum

Media umum di sini adalah sebagai sarana komunikasi yang dipergunakan 
untuk menyampaikan pesan kepada publik, baik publik intern maupun 
publik ekstern, dalam jumlah yang relatif banyak. Contoh dari media 
umum seperti buku pedoman, papan pengumuman, poster, spanduk, pamflet, 
baliho, pameran, open house, dan lain-lain.

Diambil dari:
Nama situs: jurnalapapun.blogspot.com
Alamat URL: http://jurnalapapun.blogspot.com/2014/03/pengertian-buku-pedoman-sebagai-media.html
Penulis artikel: Tidak dicantumkan
Tanggal akses: 14 Juli 2015


           POJOK BAHASA: PANCASILA, PASCASARJANA, COCA-COLA

Proses teknologi kata pun terjadi ketika kita menangkap bunyi dan 
menguncinya di atas kertas dalam wujud gambar. Aksara adalah gambar 
yang dirancang untuk menyimpan bunyi agar ada yang tersisa --
katakanlah residu -- ketika ucapan tidak terdengar lagi. Yang terjadi 
selanjutnya adalah memanfaatkan rentetan aksara untuk menyimpan 
pengetahuan, mimpi, harapan, kenangan, dan apa saja agar tidak menguap 
begitu saja, agar bisa diperiksa ulang oleh yang merentetkan aksara 
itu sendiri ataupun orang lain yang membacanya.

Demikianlah maka segala hal yang kita tulis tersimpan di luar diri 
kita (di batu, lontar, kertas, dan dunia maya) sehingga bisa pada 
gilirannya dimanfaatkan untuk mengembangkan pengetahuan dan 
pengalaman. Sejak bunyi kita teknologikan, ilmu pengetahuan dan 
pengalaman manusia berkembang dengan sangat cepat dan semakin cepat: 
dalam waktu beberapa ribu tahun, perkembangan pengetahuan tidak 
sebanding lagi dengan jutaan tahun ketika manusia belum mengenal 
aksara.

Namun, kita tetap saja masih ingin -- dan harus -- berkomunikasi 
lisan. Kata yang sudah berupa gambar di atas kertas kita lisankan 
lagi, dan timbullah "masalah". Bunyi yang kita ucapkan ternyata 
terdengar berbeda-beda di telinga kita. Sebagai contoh saja, ketika 
ayam jantan berkokok, orang Jawa mendengar dan menuliskannya sebagai 
"kukuruyuk". Kalau jago itu mengibas-ngibaskan sayapnya dan berkokok 
di Bandung, Mang Koko akan mendengarnya sebagai "kongkorongok". Harap 
dicatat: ayam jantan yang berkokok, ya, yang itu-itu juga. Lha, kalau 
ayam yang sama dibawa ke Madrid dan berkokok, penyair Federico Garcia 
Lorca mendengarnya sebagai "cocorico". Di London, Pangeran Philips 
mendengarnya sebagai "cock-a-doodle-do".

Tentu ada yang "salah" dengan telinga kita, mendengar suara yang 
persis sama, tetapi kemudian menuliskannya berbeda-beda. Anehnya, 
rentetan aksara yang sudah kita tulis itu tampaknya perlu dilisankan 
kembali. Seandainya si ayam bisa membeda-bedakan, ia akan heran 
mengapa suaranya jadi berubah-ubah, "Padahal aku `kan tidak mengubah-
ubah kokokku," demikian mungkin kata si ayam dalam hati.

Memang, kita tidak hanya memiliki "kualitas" telinga yang berbeda-
beda, tetapi juga "watak" mulut yang berlainan. Ketika mengubah bunyi 
menjadi gambar pun, kita menghasilkan berbagai jenis aksara yang tentu 
saja harus sesuai dengan telinga dan mulut masing-masing. Alif-ba-ta 
berbeda dengan a-b-c, berbeda pula dengan ha-na-ca-ra-ka. Nenek saya, 
orang Jawa, susah sekali mengucapkan huruf f dan mengucapkannya 
sebagai peh atau ep. Namun, beliau mengenal dua jenis ucapan untuk 
huruf d, yang tidak akan menimbulkan masalah kalau ditulis dengan 
aksara Jawa. Akan tetapi, ketika harus menuliskannya dalam aksara 
Rumi, ia pun mendapatkan akal: bunyi yang satu ditulis sebagai gugus 
konsonan dh, satunya lagi biasa saja, dengan huruf d.

Kalau keliru menulis, akibatnya bisa menjengkelkan sekaligus 
menggelikan. Dalam bahasa Jawa, "wedi" artinya takut, sedangkan 
"wedhi" artinya pasir. "Mendem" itu mabuk, "mendhem" itu mengubur. 
Kolom Bahasa! dalam Tempo pun kadang-kadang masih keliru. Yang pasti, 
dalam novel Umar Kayam yang diterbitkan Grafiti masih banyak kesalahan 
serupa itu meskipun konon editornya orang Jawa.

Lha, kalau orang Bali harus mengucapkan tiap-tiap Sabtu, toko-toko 
patung tutup, suaranya akan jadi aneh bagi orang Manado karena bunyi 
t-nya tidak sama dengan t dalam tetapi. Sebaliknya, orang Manado 
cenderung mengacaukan ucapan wedi dan wedhi -- keduanya dibaca wedhi. 
Karena telinga dan mulut kita ternyata memiliki alat dengar dan alat 
ucap berbeda-beda, terjadilah kekisruhan ketika harus mengucapkan 
Kompleks Senen karena x bisa diucapkan (dan kemudian ditulis) sebagai 
eks atau ek saja. Di samping itu, saking bingungnya orang Sunda 
menuliskan nama kampungnya, Banceuy, dan nama makanannya, peuyeum, 
supaya bunyinya pas di telinganya, tetapi kalau orang Jawa melisankan 
bunyinya pasti jadi lucu, dan seterusnya.

Namun, tulisan yang "ngalor-ngidul" ini hanya ingin menyampaikan satu 
hal penting, yakni bahwa kata pascasarjana seharusnya diucapkan sama 
dengan Pancasila.

Dalam banyak kesempatan, saya sering mendengar rekan mengucapkannya 
sebagai paskasarjana, bahkan kemudian menuliskannya demikian juga. 
Kita tahu, "c" dalam kata itu dulunya dieja "tj", bukan "k". Namun, 
karena "c" dalam Coca-Cola (merek dagang berbahasa asing yang tidak 
boleh diubah ucapannya) dibaca sebagai k, menderitalah kata-kata 
seperti pascabayar, pascaperang, dan pascapanen. Sebaiknya, tidak 
usahlah kita ikut-ikut membuat kata "pasca" itu menderita 
berkepanjangan.

Bayangkan kalau Pancasila kita baca sebagai Pankasila. Bung Karno 
pasti akan bangkit dari kubur dan menuding kita, "Kalian ini 
subversif!"

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: Rubrik Bahasa
Alamat URL: https://rubrikbahasa.wordpress.com/2014/05/05/pancasila-pascasarjana-coca-cola/#more-2617
Penulis artikel: Sapardi Djoko Damono
Tanggal akses: 20 Januari 2015


       STOP PRESS: PUBLIKASI E-DOA: MELENGKAPI PENDOA KRISTEN

Apakah Anda seorang pendoa? Anda membutuhkan sumber-sumber bahan untuk 
melengkapi pelayanan doa Anda?

Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org > menerbitkan Publikasi e-Doa 
< http://sabda.org/publikasi/e-doa/arsip/ > untuk memperlengkapi 
pelayanan doa Anda. Dapatkan berbagai renungan, artikel, kesaksian, 
dan inspirasi dari tokoh-tokoh pendoa dalam e-Doa. Publikasi e-Doa 
rindu untuk memperkaya pendoa Kristen Indonesia dalam kehidupan 
rohani, memberikan memberikan inspirasi, dan penguatan iman.

Ingin berlangganan secara GRATIS? Kirimkan alamat e-mail Anda ke: < 
doa(at)sabda.org > atau < subscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org >

Dengan menjadi pelanggan e-DOA, otomatis Anda telah menjadi pelanggan 
untuk pokok-pokok doa dari Open Doors, 40 Hari Doa bagi Bangsa-Bangsa, 
dan Kalender Doa SABDA (KADOS). Bergabunglah sekarang juga!

Kunjungi juga situs Doa di: < http://doa.sabda.org > untuk mendapatkan 
bahan-bahan yang lebih lengkap.


Kontak: penulis(at)sabda.org
Redaksi: Berlin B., Santi T., dan N. Risanti
Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org