Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/167 |
|
e-Penulis edisi 167 (3-7-2015)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 167/Juli/2015 Tema: Mengembangkan Bahasa Indonesia (I) e-Penulis -- Mengembangkan Bahasa Indonesia (I) Edisi 167/Juli/2015 DAFTAR ISI DARI REDAKSI: PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA MELALUI MEDIA PERS ARTIKEL: PERANAN PERS DALAM PENGEMBANGAN BAHASA POJOK BAHASA: MEMASYARAKATKAN BAHASA INDONESIA MELALUI LSM STOP PRESS: E-WANITA: PUBLIKASI BAGI WANITA KRISTEN INDONESIA DARI REDAKSI: PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA MELALUI MEDIA PERS Pernahkah Anda berpikir apa peranan pers dalam pengembangan bahasa Indonesia? Sebagai media penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan radio (menurut KBBI), pers memiliki peran penting dalam pengembangan bahasa Indonesia. Sajian e-Penulis kali ini akan menyoroti lebih detail tentang hal ini. Mau tak mau, berita yang disebarkan melalui pers akan memberi pengaruh bagi setiap pembaca tentang pemakaian bahasa Indonesia dan perkembangannya. Melalui banyaknya topik tulisan, genre tulisan, dan pemilihan kata untuk menjelaskan maksud penulis, secara tidak langsung pers mengajarkan kepada pembaca mengenai pemakaian bahasa Indonesia. Untuk itu, kita perlu mengetahui hal-hal apa saja yang bisa memengaruhi berkembang/tidaknya peranan pers dalam pengembangan bahasa Indonesia supaya kita bisa lebih arif dalam menggunakan kata-kata/istilah- istilah tertentu bahasa Indonesia ke dalam bentuk tulisan ataupun lisan. Lebih lengkapnya, silakan membaca dalam kolom Artikel dan Pojok Bahasa di bawah ini, dan jangan lupa bagikanlah kepada rekan-rekan Anda berkat yang Anda dapatkan melalui edisi e-Penulis ini. Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati. Staf Redaksi e-Penulis, Santi T. < http://pelitaku.sabda.org > ARTIKEL: PERANAN PERS DALAM PENGEMBANGAN BAHASA Peranan pers dalam pengembangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia telah diakui. Para pemuda dari berbagai daerah yang menghadiri Kerapatan Pemuda pada 28 Oktober 1928 dengan gampang menerima isi Sumpah Pemuda diktum yang ketiga, yaitu "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia", antaranya karena pada waktu itu bahasa Melayu lingua franca (yang diganti namanya menjadi "bahasa Indonesia") digunakan dalam pers nasional secara luas. Setelah Sumpah Pemuda, peranan pers dalam mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sangat besar. Peranan itu kian besar karena sesudah merdeka, pers yang berkembang di seluruh tanah air hanyalah pers berbahasa nasional. Pers bahasa daerah peranannya kian kecil. Ada satu dua yang berbahasa Inggris, tetapi hanya di Jakarta, dan tampaknya terutama dibaca oleh orang-orang asing. Setelah hubungan kita baik kembali dengan RRC, muncul kembali pers berbahasa Mandarin. Akan tetapi, pembacanya tidak seberapa. Pers bukan saja memperluas jangkauan pemakai bahasa Indonesia, melalui cetakan, lisan (radio), ataupun melalui pers elektronik seperti televisi dan internet, melainkan juga berperan sebagai contoh pemakaian bahasa Indonesia bagi kebanyakan orang. Karena kesempatan bertemu dengan bahasa Indonesia melalui pers lebih banyak dan lebih mudah daripada dengan teks tertulis dalam buku-buku, pengaruh bahasa pers itu lebih besar daripada pengaruh pelajaran bahasa Indonesia di kelas-kelas. Padahal, kemampuan wartawan yang menulis atau menyampaikan secara lisan berita-berita itu tidak semuanya baik, ditambah pula mereka harus merangkai bahasa secara singkat dan cepat, maka kita saksikan kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam kalimat-kalimat berita yang kita baca atau dengar. Dalam bahasa lisan radio atau televisi, kita sering mendengar kalimat rancu dan salah ucap bukan saja waktu menyampaikan kata-kata atau nama-nama asing yang agaknya tak dikenal oleh si pembawa berita, tetapi juga ketika menyampaikan kata-kata bahasa Indonesia, terutama vokal e dan ? yang berasal dari bahasa daerah atau kosakata Melayu lama sering tertukar. Dalam berita tercetak, kita sering menemukan kata-kata baru yang berasal dari (terutama) bahasa Inggris yang begitu saja digunakan dalam bahasa Indonesia dengan mengubah ejaannya, padahal sebenarnya kata atau istilah tersebut ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Hal itu disebabkan karena si wartawan yang menulisnya mendapat sumber dari berita dalam bahasa Inggris, tidak mengerti arti kata itu, dan malas memeriksanya dalam kamus. Dengan demikian, setiap hari menyerbulah kata-kata baru yang tidak perlu, yang berasal dari bahasa Inggris, yang dipakai dalam pers Indonesia. Dan hal itu memengaruhi pemakaian bahasa dalam masyarakat. Tidak hanya yang berasal dari bahasa asing yang dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia karena kemalasan atau kekurangmampuan berbahasa Indonesia si wartawan, tetapi juga yang berasal dari bahasa daerah(nya). Misalnya, belakangan ini banyak digunakan kata "kalau", "pabila", "jika", dan semacamnya untuk arti "bahwa". Mula-mula yang menggunakannya adalah wartawan dari Jawa, terutama dalam pers yang terbit di Jawa Tengah dan Timur. Akan tetapi, sekarang banyak juga digunakan oleh wartawan bukan orang Jawa yang bekerja di Jakarta. Bahkan, juga dalam Pikiran Rakyat Bandung. Kerancuan itu timbul karena dalam bahasa Jawa, kata "yen" mempunyai dua arti, selain mempunyai arti "kalau" juga mengandung arti "bahwa". Wartawan orang Jawa yang menulis dalam bahasa Indonesia mengacaukan keduanya dan kemudian diikuti oleh wartawan-wartawan bukan orang Jawa yang kurang mampu berbahasa dan mengira bahwa kerancuan itu merupakan "gaya" baru yang baik untuk diikuti. Kemalasan lain yang juga banyak berpengaruh kepada pemakaian bahasa sehari-hari masyarakat ialah meluluhkan semua huruf "p" kalau mendapat awalan me- yang berasal dari gagasan Salomo Simanungkalit ("Mang Ayat dan Bahasa", Kompas, 2 Juni 2006). Seperti diketahui, dalam bahasa Indonesia (yang berasal dari bahasa Melayu), kata-kata dasar yang dimulai dengan huruf "p" kalau mendapat awalan me-, kebanyakan luluh, tetapi ada yang tidak luluh sehingga tetap digunakan kata dasar seutuhnya, misalnya kata prihatin menjadi memprihatinkan, tetapi dengan gagasan Salomo, itu menjadi memrihatinkan. Jadi, tak ada kekecualian seperti dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan kemudian, para redaktur bahasa buku-buku juga mengikutinya. Belakangan, Pusat Bahasa juga mengikuti atau "mengesahkan" gagasan yang bermula dari kemalasan tersebut. Dalam hal ini, saya berpendapat yang lalai adalah para penyusun buku tata bahasa Indonesia. Seharusnya, mereka sejak lama mendaftarkan kata-kata yang bermula dengan huruf p (dan juga huruf t, dan lainnya) yang tidak luluh menghadapi awalan me- (yang saya kira jumlahnya tidak seberapa). Kata-kata yang merupakan kekecualian itu harus dihafalkan oleh mereka yang belajar bahasa Indonesia, seperti kita juga harus menghafalkan irregular verbs kalau belajar bahasa Inggris. Kalau ada daftar demikian, orang tidak usah kebingungan dalam menggunakan awalan me- sehingga tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang malas untuk mencari jalan pintas. Diambil dan disunting dari: Nama situs: Rubrik Bahasa Alamat URL: https://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/01/02/peranan-pers-dalam-pengembangan-bahasa/ Penulis artikel: Ajip Rosidi Tanggal akses: 7 Mei 2015 POJOK BAHASA: MEMASYARAKATKAN BAHASA INDONESIA MELALUI LSM Dunia abad 21 ini sebetulnya hanya menggunakan tiga landasan dalam berkomunikasi: 1. Bahasa Inggris 2. Komunikasi digital: internet, multimedia atau ICT (Information Communication Technology). 3. Hampir semua bidang atau disiplin ilmu menuntut metode analisa yang rasional. Bukan berarti harus secara matematis saja, tetapi juga harus runtut dan sistematis. Tiga landasan komunikasi di ataslah yang menyebabkan orang India memiliki bahasa Inggris versi India, Malaysia dengan bahasa Inggris versi Malaysia, demikian juga Singapura, dan termasuk Perancis. Di Perancis, bahkan kini ada satu sikap yang menolak keras the Americanization of Marian. Marian adalah seorang perempuan muda yang mengibarkan bendera pada saat revolusi Perancis. Nama Marian kini menjadi lambang nasionalisme Perancis. Perancis berjuang mati-matian agar kosakata bahasa Inggris tidak menyerbu masuk ke dalam bahasa Perancis. ICT (Information Communication Technology) tidak bisa dimungkiri didominasi oleh apa yang terjadi di negara-negara barat, terutama di Silicon Valley di Amerika Serikat yang notabene berbahasa Inggris. Mulai dari perangkat keras, perangkat lunak, aplikasi hingga ke sistem. Cara berpikir analitis juga ikut terpengaruh sehingga pengaruh ICT (Information Communication Technology) memaksa kita untuk berpikir lebih cepat. Tuntutan berpikir cepat ini bertentangan dengan budaya Indonesia yang sering kali kita diam atau tersenyum sebagai pernyataan sikap kita. Sikap diam dan senyum ini jelas tidak tertangkap oleh ICT (Information Communication Technology) yang semuanya harus serba eksplisit. Hal-hal semacam inilah yang membuat Dewan Bahasa di setiap negara kewalahan. Untuk meminimalkan tiga gelombang pasang ini terhadap bahasa Indonesia, maka harus ada kegiatan yang secara terus-menerus dilakukan melalui kelompok-kelompok besar seperti: birokrasi, militer, partai politik, dan dunia akademik. Namun, kelompok yang lebih besar lagi yang menurut saya paling efektif dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia adalah ribuan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang tersebar di Indonesia. Ribuan LSM inilah yang sekarang merasuki berbagai jenis permasalahan di sekitar kita yang tidak sempat ditangani pemerintah. Mulai dari yang peduli soal lingkungan hingga hanya satu spesies hewan. Kalau kita lihat dari rentangan LSM di dunia, jelas sekali keperluan bahasa itu bukan main. LSM ini jelas harus diikutsertakan dalam pengembangan dan pemasyarakatan bahasa. Inilah yang belum dilakukan oleh Dewan Bahasa. ICT (Information Communication Technology) bisa dimanfaatkan untuk saling bertukar informasi antar-LSM, misalnya pada saat bicara masalah "global warming". Apa betul terjemahannya pemanasan bumi? Istilah lain misalnya "globalization". Apa tepat menerjemahkannya menjadi globalisasi? Sebab, rakyat kita belum tentu mengerti istilah globalisasi. Secara gramatika, global itu dari globe dan -sasi itu dari -zation. Mengapa bukan penduniaan? Yang kini ada di garis depan pembangunan bangsa adalah generasi muda yang terlibat dalam ribuan LSM karena pada masa depan, tidak mungkin pemerintah mampu menampung generasi muda. Jadi, jika Anda ingin menyelamatkan khazanah nasional atau national heritage seperti candi- candi, Anda akan dihadapkan pada kenyataan yang memiliki banyak sekali istilah arkeologi yang belum memiliki padanan dalam bahasa Indonesia sehingga masih menggunakan istilah-istilah asing hingga sekarang. Ditambah lagi dengan Google yang menguasai pemetaan dunia, sehingga jika seseorang ingin mencari lokasi Borobudur, setiap peristilahan yang muncul di peta Google semuanya dalam bahasa Inggris. Tentunya, pertanyaan berikutnya adalah apakah semuanya harus di-Indonesiakan? Kita jelas menghadapi dilema yang tidak bisa dihindari. Di bidang ilmu kedokteran, kini ada istilah rekayasa DNA atau GMO (genetically modified organism) yang dikritik habis oleh LSM karena menyebabkan timbulnya makanan baru yang disebut Frankefood, yaitu makanan yang serupa Frankenstein karena mencampur DNA tumbuhan, hewan, dan manusia. Bagaimana menerjemahkan persoalan di atas ke dalam bahasa Indonesia yang mampu dimengerti oleh rakyat? Jadi, dalam pembentukan istilah atau mencari padanan kata istilah asing di dalam bahasa Indonesia, anggota Dewan Bahasa sebaiknya tidak hanya terdiri atas ahli bahasa (linguist), tetapi juga para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang mampu bekerja sama dengan Pusat Bahasa. Misalnya, orang yang tahu betul masalah teaterlah yang bisa berbicara mengenai peristilahan di dalam dunia teater. Ketika saya ditahan bersama almarhum W.S. Rendra, saya pernah ditantang untuk menerjemahkan puisi-puisinya ke dalam bahasa Inggris. Sebuah tantangan yang menarik karena menerjemahkan puisi tidak bisa menerjemahkannya begitu saja tanpa memahami arti dari puisi itu sendiri. Diambil dan disunting dari: Nama situs: Bahasa Kita Alamat URL: http://www.bahasakita.com/memasyarakatkan-bahasa-indonesia-melalui-lsm/ Penulis: Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti Tanggal akses: 9 Juni 2015 STOP PRESS: E-WANITA: PUBLIKASI BAGI WANITA KRISTEN INDONESIA Kembangkan wawasan dan kehidupan rohani Anda dengan bahan-bahan yang lengkap dan alkitabiah seputar dunia wanita dalam publikasi e-Wanita yang diterbitkan oleh Yayasan Lembaga SABDA. Anda dapat berlangganan e-Wanita untuk mendapatkan artikel, tips, kesaksian, kisah tokoh-tokoh wanita Kristen, dan informasi-informasi lain seputar wanita Kristen secara GRATIS! Caranya sangat mudah. Anda hanya perlu mengirimkan email Anda ke: < subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org > atau < wanita(at)sabda.org > Dapatkan juga arsip e-Wanita sejak tahun 2008 di halaman: < http://sabda.org/publikasi/e-wanita/arsip/ >. Mari, kembangkan dan perluas wawasan Anda bersama e-Wanita! Kontak: penulis(at)sabda.org Redaksi: Berlin B., Santi T., dan N. Risanti Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |