Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/165 |
|
e-Penulis edisi 165 (7-5-2015)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 165/Mei/2015 Tema: Pembentukan Istilah dalam Bahasa Indonesia (I) e-Penulis -- Pembentukan Istilah dalam Bahasa Indonesia (I) Edisi 165/Mei/2015 DAFTAR ISI DARI REDAKSI: PERKEMBANGAN BAHASA MELALUI PEMBENTUKAN ISTILAH BARU ARTIKEL: UNGGAH, UNGGAH UNGGIH? SEBUAH USULAN TEROBOSAN BARU POJOK BAHASA: BAKAL DAN CALON LAGI DARI REDAKSI: PERKEMBANGAN BAHASA MELALUI PEMBENTUKAN ISTILAH BARU Semakin maju peradaban sebuah bangsa akan memengaruhi perkembangan bahasa yang dimilikinya untuk dapat menaikkan levelnya sebagai salah satu sarana komunikasi dunia. Sebagai contoh, perkembangan teknologi informasi di Indonesia ternyata cukup signifikan dalam membentuk sejumlah kosakata baru yang terkait dengan bidang tersebut, yang dalam 10 atau 15 tahun sebelumnya tidak kita kenal. Faktor daya kreativitas (SDM), ragam bahasa suku/etnis, budaya, perkembangan zaman, dan kerangka rumusan untuk penyerapan bahasa juga berperan penting untuk menyumbang pembentukan istilah dalam sebuah bahasa. Bangsa Indonesia sesungguhnya telah cukup memiliki modal untuk memperkaya perkembangan bahasanya dengan pembentukan istilah baru. Akan tetapi, dalam kenyataannya, bahasa Indonesia masih saja belum sekaya bahasa Jawa, misalnya, dalam penggunaan kata-kata yang bersifat spesifik. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan jika kita ingin menaikkan level bahasa Indonesia di tingkat dunia. Dalam edisi kali ini, kami akan memberikan dua artikel yang berkenaan dengan pembentukan istilah baru dalam bahasa Indonesia. Kami harap artikel yang disajikan akan semakin memperkaya pemahaman kita untuk turut mengembangkan bahasa Indonesia, paling tidak untuk menggunakan istilah-istilah baru secara tepat dalam kehidupan sehari-hari, dibandingkan menggunakan istilah asing. Jangan lupa, kebanggaan kita dalam menggunakan istilah dalam bahasa sendiri juga menjadi faktor paling penting untuk menaikkan level bahasa Indonesia di tingkat dunia. Staf Redaksi e-Penulis, N. Risanti. < http://pelitaku.sabda.org > ARTIKEL: UNGGAH, UNGGAH UNGGIH? SEBUAH USULAN TEROBOSAN BARU Ada kata baru dalam perbendaharaan bahasa Indonesia: unggah -- yang berarti upload. Kata ini untuk menimpali "unduh" -- yang berarti download yang muncul lebih dulu. Saya tidak tahu persis kapan sebenarnya "unggah" masuk ke dalam bahasa kita. Mungkin sebelumnya ada orang yang menggunakannya. Akan tetapi, yang jelas Kompas menggunakan kata tersebut. Kemunculan kata ini tampaknya dipicu oleh beredarnya sebuah video, yang tiba-tiba membuat orang berkepentingan untuk menemukan padanan upload dalam bahasa Indonesia. Ditemukanlah unggah - - yang secara etimologi, menurut saya, mendudukkan seseorang (biasanya anak kecil) pada tempat duduk yang tinggi. Kemunculan kata "unggah" menurut saya menarik. Pertama, tampaknya orang mulai sadar betapa perlunya mengimbangi kosakata Inggris yang setiap hari berkelebat dalam kebahasaan kita. Kedua, sebenarnya tidak terlalu susah untuk menemukan kata-kata baru yang bisa diambil dari kekayaan bahasa kita. Dengan sedikit berpikir, kita bisa menemukan kata baru. Dan, ketiga, ini yang paling penting, ada ruang yang sangat luas yang tersedia bagi kita untuk berkreasi dengan menjajal kata-kata baru dalam kebahasaan kita. Setelah itu, tentu semuanya diserahkan kepada pasar. Mereka mau atau tidak. Bila pasar mau, tentu kata yang kita jajal tersebut akan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa kita. Bila tidak, ia akan hilang dengan sendirinya. Namun, kreativitas seperti ini belum cukup, karena, dengan demikian, akan terlalu banyak kata yang harus dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Dahulu pernah orang membuat kata "lepas-landas" sebagai padanan take-off. Cara ini sebenarnya bagus karena "lepas" bisa berfungsi sebagai awalan yang memberi arti negatif pada kata yang ditempelinya, seperti halnya dalam bahasa Inggris. Namun, entah mengapa terobosan ini tidak berkembang. Salah satunya, mungkin, orang mengira ini adalah kata majemuk, apalagi bunyi akhirnya berima. Belum lagi tidak adanya keseragaman dalam menulis kata ini, lepas landas, lepas-landas, atau lepaslandas, sehingga membingungkan para pengguna bahasa. Saya punya akal. Dalam tradisi kebahasaan kita, kita sering mengubah vokal sebuah kata untuk mendapatkan lawannya. Sana-sini, bolak-balik, wara-wiri, larak-lirik, pontang-panting. Vokal a dan i begitu kentara, memberi makna "ke sana ke sini". Sekarang pertanyaannya, mengapa kata- kata ini tidak kita pecah? Kalau kita pecah, kita akan mendapatkan kata-kata baru dengan makna yang bertolak belakang. Misalnya, "jangan suka melarak, melirik boleh". Maksudnya, "jangan suka menaksir istri orang (sana), mengagumi istri sendiri boleh (sini)". Dengan demikian, kita tidak perlu menciptakan kata yang benar-benar baru untuk lawan katanya. Cukup hanya dengan mengubah vokal! Masih belum setuju dengan ide ini? Tidak apa-apa. Anda tidak harus setuju dengan ide yang tampak nyeleneh ini. Namanya juga kreativitas. Namun, coba pikirkan. Tanpa kita sadari, kita sebenarnya menggunakan pola a-i ini dalam bahasa kita. "Jantungnya kebat-kebit." Bagi saya, kata "kebat-kebit" menunjukkan cara kerja jantung yang bergerak ke kanan ke kiri. Persis seperti bandul jam. Pola yang sama kita temukan dalam kocar-kacir, morat-marit, gerakan ke kanan ke kiri, ketika seorang lari ketakutan, tidak ada keseimbangan, bisa jatuh ke kanan atau ke kiri. Bila kita sepakat, pola ini kita bisa perluas lagi. Misalnya, a (jauh) untuk atas, dan i (dekat) untuk bawah. Jadi, kita akan mendapatkan unggah (upload) dan unggih (download). Banyak kata baru yang bisa kita ciptakan, dengan harga murah. Hanya mengubah vokal akhir. Terbang (take-off), terbing (landing). Ide ini sebenarnya agak semena-mena karena bahasa dengan demikian diciptakan dalam sebuah kehampaan. Tiba-tiba saya melontarkan kata- kata yang tidak dimengerti orang lain. Tidak ada kesepakatan. Betul, bahwa bahasa adalah kesepakatan. Namun, itu dulu. Sekarang, bahasa adalah kreasi dan eksperimentasi. Teori kesepakatan berasal, di antaranya dari Ferdinand de Saussure yang berasumsi bahwa bahasa tercipta berkat adanya kesepakatan-kesepakatan yang ada di masyarakat. Saussure betul. Kelemahannya adalah Saussure tidak menerangkan bagaimana kesepakatan terjadi. Tidak mungkin terjadi kesepakatan tanpa adanya kreasi orang per orang yang karena memiliki kekuasaan, kreasi itu kemudian diterima oleh orang banyak dan sejak itu dianggap sebagai "kesepakatan". Dengan kata lain, ada unsur "pemaksaan" yang menyebabkan sebuah kata dengan muatan makna tertentu terlontar ke tengah pemakai bahasa. Sekarang, masalahnya adalah siapa yang memiliki kekuasaan tersebut? Bagi saya, setiap kita sebenarnya memiliki kekuasaan, dengan tingkat yang berbeda-beda tentu saja. Orang yang bisa menyampaikan maksudnya dengan baik, baik secara lisan maupun tulisan, memiliki "power" tertentu sehingga ia bisa memengaruhi kebahasaan orang lain. Contohnya: Beberapa tahun yang lalu, tiba-tiba pemirsa televisi di Tanah Air diperdengarkan dengan "maknyus" -- sebuah kata yang dipopulerkan oleh Bondan Winarno. Setiap kali ia mencicipi makanan yang disajikan, ia bilang "maknyus". Artinya, sedap dan nikmat. Sekarang, pertanyaannya, kapan kita sepakat bahwa maknyus berarti sedap dan nikmat? Tidak pernah! Namun, sejauh ini tidak ada yang keberatan dengan kata tersebut. Tanya punya tanya, Bondan menerangkan bahwa kata tersebut ia dapatkan dari budayawan Umar Khayam, dan Khayam, mungkin, memungutnya dari khazanah bahasa Jawa. Baik Bondan maupun Umar adalah orang-orang yang punya "power". Bondan adalah wartawan, penulis, pengarang, pembawa acara, wajahnya setiap kali muncul di televisi, dst.. Sementara Umar adalah sastrawan, profesor, budayawan, dst.. Dengan kata lain, betapa bahasa yang mereka gunakan memengaruhi bahasa orang lain. Kalau saja mereka bilang "meknyes", bukannya "maknyus", niscaya orang akan menurut saja. Atas dasar ini, saya berasumsi mengapa kita tidak bereksperimen dengan bahasa kita. Apalagi bahasa Indonesia, menurut saya, meskipun kaya dengan perbendaharaan kata, tetapi tidak memiliki sistem yang apik sehingga lagi-lagi kita meminjam dari bahasa lain. Teori bahwa bahasa adalah kesepakatan sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang cepat. Teknologi mengeluarkan produk baru setiap hari, dan produk itu harus diberi nama. Saya terkadang tersenyum sendiri betapa mudahnya orang Barat menciptakan bahasa. Gambar yang terkadang kita taruh dalam teks disebut smiley. Mungkin gambar awalnya tersenyum, smile. Hanya diplesetkan sedikit, jadilah smiley. Dan, semua orang pakai. Tidak ada kesepakatan, meskipun pada akhirnya disepakati. Memang kalau masing-masing kita tidak pernah sepakat, kata itu tidak pernah terwujud. Namun, tokoh itu tidak pernah terjadi. Tidak seperti itu bahasa berkembang. Sebagai konsumen, kita manut saja pada produsen. Mau apalagi, memang kemajuan ilmu dan teknologi dari sana. Namun, sebenarnya banyak yang bisa kita lakukan, bila saja kita sadar bahwa bahasa membutuhkan kreativitas. Bahasa harus diciptakan. Saya punya kenalan, orang Amerika. Namanya Ben Zimmer. Setelah lulus dari Chicago University, ia bekerja sebagai pakar bahasa, salah satunya di The New York Times. Setiap minggu, ia menulis kolom, khusus tentang bahasa. Menariknya, di Barat, kesadaran orang untuk menciptakan bahasa dan kata-kata baru sudah terjadi lama sekali. Tentu saja yang paling piawai di sini adalah mereka yang aktif di dunia tulis-menulis: wartawan, pengarang, sastrawan, dan profesor. Dalam salah satu kolomnya, Ben menceritakan bagaimana kata "cool" menjadi bagian dari bahasa sehari-hari. Yang artinya keren, asyik atau bagus. Sebelumnya, tidak ada orang yang menggunakannya. Sekarang, semua orang menggunakan kata itu. Dalam kolom yang lain, ia juga menulis tentang perdebatan health care reform yang terjadi di Senate AS yang menimbulkan pro dan kontra begitu dalam sehingga menimbulkan istilah "how to get yes", atau "how to get no". Nah, yang saya ceritakan ini adalah contoh bagaimana bahasa berkembang. Caranya macam-macam. Cara yang paling sering dilakukan adalah orang mengambil kata dari bahasa lain dan dipakai dalam bahasa kita. Neologisme adalah kata baru yang memasuki ranah bahasa. Sebenarnya, tidak baru juga. Dalam bahasa Inggris, kata-kata baru sering diambil dari bahasa Latin, Prancis, atau Jerman. Untuk bahasa Indonesia, tentu kita bisa memperkaya bahasa kita dengan bahasa Sanskerta, Arab, Melayu, Jawa, dan Sunda. Namun, cara ini menurut saya tidak cukup. Kita harus mencari terobosan baru. Misalnya dengan memanipulasi vokal yang jelas-jelas ada dalam tradisi kita, a untuk jauh, i untuk dekat. Sekali lagi saya katakan, kita harus mencoba. Diambil dan disunting dari: Nama situs: BahasaKita Alamat URL: http://www.bahasakita.com/unggah-unggah-unggih/ Penulis: Jajang Jahroni Tanggal akses: 26 Februari 2015 POJOK BAHASA: BAKAL DAN CALON LAGI Belum lama ini saya membaca istilah "bakal calon Presiden" di beberapa koran, berhubungan dengan pasar Presiden yang sedang diramaikan di Indonesia. Pertama-tama, kelihatan agak janggal, ganjil, dan bersifat mengada-ada. Akan tetapi, setelah direnungkan beberapa saat, saya berubah pikiran dan memahami istilah ini sebagai salah satu bentuk daya cipta bahasa Indonesia yang baik berguna maupun cukup cerdas. Tanpa alasan yang berdasar, bakal dan calon nyaris secara otomatis dibedakan dalam benak saya. Bakal saya artikan kira-kira sebagai sesuatu yang pasti akan terjadi, sedangkan calon saya artikan sebagai sesuatu yang mungkin akan terjadi. Maka, seseorang yang haus akan kekuasaan dan tertarik pada peluang untuk menebalkan kantong sendiri, bisa saja disebut bakal calon Presiden. Begitu pula dengan orang yang dengan tulus ingin memperbaiki nasib Indonesia, tentunya. Renungan dangkal ini tentu saja terjadi di dalam otak saya sebelum saya membaca kolom bahasa Mulyo Sunyoto yang mencerahkan (24 Mei, 2014) dalam koran ini. Dalam kolom tersebut, diargumentasikan bahwa bakal dan calon memiliki arti yang sama. Dengan demikian, bakal calon bukan saja konyol dan lucu, melainkan juga keliru. Bakal calon hanya masuk akal kalau calon calon atau bakal bakal masuk akal (bukan calon- calon dan bakal-bakal, lho). Saya terbujuk oleh argumentasi Sunyoto ini, dan merevisi pemahaman asal saya tadi. Namun, saya tetap perlu membuka KBBI untuk memeriksa kedua lema ini. Dan, ternyata, bakal antara lain diartikan sebagai "yang akan dijadikan", "sesuatu yang akan menjadi", dan bahkan "calon". Sementara itu, calon dirumuskan di antara lain sebagai orang yang akan menjadi. Gagasan Sunyoto sepertinya didukung oleh penemuan ini. Namun, yang menarik adalah bahwa di bawah lema bakal juga tercantum bakal calon yang diartikan sebagai "orang yang akan dicalonkan untuk menduduki suatu jabatan pimpinan (seperti bupati, gubernur)". (Mengingat pimpinan adalah "hasil memimpin", barangkali para penyusun KBBI bermaksud "pemimpin", tetapi itu masalah lain.) Selain itu, setelah membaca KBBI, saya dapat kesan bahwa bakal seringnya berhubungan dengan benda (bakal persawahan, bakal rumah), sedangkan calon berhubungan dengan orang (calon menantu, calon guru, calon presiden). Karena masih belum jelas, saya mengalihkan perhatian kepada Tesaurus bahasa Indonesia, karya Eko Endarmoko. Di sana, calon dan bakal memiliki arti yang nyaris sama, dan secara bijak, penyunting Tesaurus membedakan arti yang berhubungan dengan manusia dan yang berhubungan dengan benda. Namun, kedua arti tersebut dapat ditemukan, baik di bawah lema bakal maupun di bawah lema calon. Pendek kata, kesimpulan Sunyoto sepertinya mesti kami terima; bakal dan calon memiliki arti yang sama. Dengan kata-kata penulis kolom sendiri: "Bakal tidak dapat dimaknai sebagai eksistensi yang lebih awal dari calon". Meskipun ini benar semua, saya tetap menyimpan harapan dalam hati saya bahwa lama-lama bakal dan calon justru akan berpisah dan ambil jalan sendiri-sendiri. Harapan saya justrulah supaya bakal dapat dimaknai sebagai eksistensi yang lebih awal dari calon. Mengingat bahwa bahasa adalah organisme hidup, dan bahwa satu-satunya hal yang dapat dikatakan pasti adalah bahwa bahasa akan berubah sesuai zaman, maka tidak mustahil harapan kecil ini dapat dikabulkan. Sepertinya, sebagian nyamuk pers alias wartawan sudah mengawali pekerjaan itu. [Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 7 Juni, 2014.] Diambil dan disunting dari: Nama situs: bahasa.dalang.se Alamat URL: http://www.bahasa.dalang.se/?p=228 Penulis: Andre Tanggal akses: 26 Februari 2015 Kontak: penulis(at)sabda.org Redaksi: Berlin B., Santi T., dan N. Risanti Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |