Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/164 |
|
e-Penulis edisi 164 (2-4-2015)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 164/April/2015 Tema: Baca Tulis: Upaya Merdeka dari Pembodohan (II) e-Penulis -- Baca Tulis: Upaya Merdeka dari Pembodohan (II) Edisi 164/April/2015 DAFTAR ISI DARI REDAKSI: MENGAMBIL BAGIAN DALAM MENGGAPAI CITA-CITA BANGSA RENUNGAN PASKAH: BEBAS DALAM KASIH TIP MENULIS: MENUMBUHKAN DAHAGA MEMBACA TOKOH PENULIS: ROMO MANGUN DARI REDAKSI: MENGAMBIL BAGIAN DALAM MENGGAPAI CITA-CITA BANGSA "Mencerdaskan kehidupan bangsa" menjadi cita-cita luhur dari para pendiri bangsa ini, yang melintasi dimensi ruang, suku, agama, waktu, bahkan dinamika politik yang silih berganti. Namun, pada kenyataannya, masih banyak anak bangsa di negeri ini belum dapat mengecap manisnya arti kemerdekaan, khususnya dalam bidang pendidikan dan pengentasan kebodohan. Sebagai manusia yang telah mendapat pembebasan dari belenggu dosa 2000 tahun yang lalu, kita pun diberi mandat budaya dari Allah. Salah satu mandat budaya yang harus kita emban mungkin berupa upaya-upaya mengentaskan bangsa kita dari belenggu kebodohan dan pembodohan. Melalui e-Penulis edisi 164 yang bertepatan dengan bulan peringatan Paskah, kami ingin mengajak Anda melihat makna kebebasan melalui kolom renungan Paskah dan dalam diri tokoh penulis kami kali ini. Terdapat pula tip untuk menumbuhkan minat membaca sebagai upaya untuk membebaskan diri dari kebodohan. Seluruh Redaksi e-Penulis mengucapkan selamat Paskah 2015 kepada Pembaca e-Penulis semua. Selamat menghidupi dan memaknai kebebasan sejati dari Kristus dalam kehidupan sehari-hari! Staf Redaksi e-Penulis, N. Risanti < http://pelitaku.sabda.org > RENUNGAN PASKAH: BEBAS DALAM KASIH Bagi umat kristiani di seluruh dunia, hari Paskah, pada hari Minggu pertama sesudah bulan purnama musim semi pertama, merupakan hari gembira. Pada hari itu, mereka memperingati momen Yesus dibangkitkan Allah dari kematian-Nya di salib. Dengan demikian, hari Paskah merupakan hari kemenangan atas kematian, tetapi bukan kemenangan dengan tari gembira, bukan kemenangan yang menghancurkan musuh. Tidak ada musuh yang mau dikalahkan Yesus. Di salib, Yesus memaafkan mereka yang membawanya ke tempat itu. "Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan." Kemenangan Yesus bukan kemenangan balas dendam, melainkan kemenangan cinta kasih. Mereka yang memusuhi-Nya pun masih dirangkul. Jadi, kemenangan Paskah adalah kemenangan kebaikan hati terhadap kebencian, kemenangan pengampunan terhadap balas dendam, kemenangan hati yang baik terhadap hati yang keras. Dalam kemenangan Paskah, mereka yang sesat hatinya pun dirangkul dan dicintai. Waktu masih mengajar di Palestina, Yesus mengalami saat tidak dipercayai, ditolak, dicurigai, dibenci, mengalami kekerasan, siksaan, dan akhirnya dibunuh. Waktu Yesus mau ditangkap, dan murid-Nya, Petrus, menarik pedang, Yesus menegur, "Masukkan pedangmu ke tempatnya. Bukankah Bapa-Ku dapat mengirim kepada-Ku dua belas pasukan malaikat untuk menyelamatkan Aku? Tetapi, bagaimana lantas Kitab Suci akan terpenuhi?" Membebaskan Dari sikap Yesus, kita dapat mengetahui bahwa Allah tidak membenci pendosa, tidak membalas, melainkan bersedia mengampuni. Di hadapan Allah, tak ada orang yang perlu putus asa. Di hadapan Allah, segala- galanya dapat menjadi baik karena Allah adalah cinta kasih. Terlalu sering kita, manusia, sudah menjadi tawanan ketertutupan hati kita sendiri. Begitu kita sedikit saja dicurigai atau tidak disukai, kita menutup diri dan menjadi curiga juga. Dari curiga, hati kita menjadi keras. Dan, kekerasan hati akan semakin memperkuat sikap negatif mereka yang dianggap lawan. Kita terbelenggu dalam lingkaran setan ketakutan, kecurigaan, dan kebencian yang dapat melibatkan kita dalam permusuhan dan kekerasan. Dari Yesus, kita boleh memperoleh keberanian untuk keluar dari lingkaran setan itu. Kita mengalami kebebasan hati orang yang bersikap baik terhadap siapa pun, termasuk terhadap musuhnya. Pepatah Jawa mengatakan dengan bagus, "sing becik dibeciki, sing ala dibeciki" (yang baik kita perlakukan dengan baik, yang tidak bersikap baik kita perlakukan dengan baik juga). Dengan demikian, kita menjadi bebas. Kita tidak lagi terbelenggu otomatisme benci melawan yang membenci. Kita dapat berhadapan dengan siapa pun dengan hati yang baik. Kita menjadi bebas dari rasa-rasa yang membuat gelap hati kita, yang membuat kita keras, terbelenggu dalam kepicikan kita sendiri yang meracuni hati kita, dari belenggu dendam kesumat. Kita tak lagi di bawah hukum "gigi lawan gigi, mata lawan mata". Sekarang, kita mengerti kata Yesus, "Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu." Sikap ini bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan. Tentu kita tidak selalu boleh "memberikan pipi kiri" juga. Sikap "menyerahkan pipi kiri" adalah tanda kebebasan kita dari hukum balas dendam. Agar kebebasan itu mungkin, masyarakat-masyarakat dunia sejak ribuan tahun membangun struktur-struktur yang menunjang hubungan antarmanusia: segala macam adat istiadat, aturan sopan santun, hukum, peraturan dan norma, serta sistem peradilan yang bertugas menjamin keadilan. Melalui struktur itu, masyarakat mengatur agar pemukulan pipi tidak gampang terjadi, dan kalau terjadi agar ada cara penyelesaiannya. Karena itu, kita tentu boleh menuntut, seperlunya di depan pengadilan agar hak-hak kita itu dihormati. Kita bahkan sering wajib membela diri karena kita tidak hidup sendirian. Dari kita bergantung orang lain, ruang kebebasan hidupnya, kita tidak boleh membiarkan mereka yang berada dalam tanggung jawab kita diperlakukan tidak adil. Yang dapat diberikan oleh kegembiraan Paskah, kegembiraan bahwa cinta dan kebaikan menang atas kebencian dan kejahatan, adalah kebebasan hati mendalam yang tidak lagi tergerogoti nafsu kebencian gelap, yang dengan senyum kebaikan menawarkan pipi kiri untuk dipukul juga. Suatu kebebasan hati dari keprihatinan terhadap diri sendiri, suatu kebebasan yang membuat kita juga bebas dari rasa resah. Bebas mencintai, bebas membuka hati, bebas mengharapkan biji kebaikan bahkan di hati mereka yang memusuhi kita. Seperti ditulis seseorang yang mengalami pembaruan dalam harapan kebangkitan, "Cinta buah kebangkitan itu sabar, murah hati, tidak cemburu. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Cinta percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Cinta tidak berkesudahan." Sepintas cinta macam itu kelihatan bodoh. Namun, kalau kita bersentuhan dengannya, kita tahu bahwa cinta itulah kekuatan yang sebenarnya. Franz Magnis-Suseno SJ -- Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Sumber asli: Nama situs: Sarapan Pagi Biblika Alamat URL: http://www.unpatti.ac.id/index.php/component/content/article/35-opinion/128-renungan-paskah-qbebas-dalam-kasihq Judul artikel: Bebas dalam Kasih Penulis artikel: Franz Magnis-Suseno SJ Tanggal akses: 12 Maret 2015 Diambil dari: Nama situs: Paskah Indonesia Alamat URL: http://paskah.sabda.org/bebas_dalam_kasih Tanggal akses: 27 Maret 2015 TIP MENULIS: MENUMBUHKAN DAHAGA MEMBACA Kita ketinggalan lebih dari 64 tahun dari negara lain. Demikian ujar sastrawan Taufiq Ismail memaparkan keprihatinannya terhadap minat baca anak Indonesia yang rendah. Bahkan, kini, siswa SMA di Indonesia tak punya kewajiban membaca buku alias 0 buku. Di negara lain, siswa SMA wajib membaca buku sastra minimal 5 judul. Menurut data Badan Pusat Statistik 2009 seperti dilansir situs Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, hanya 18,94 persen yang menyenangi aktivitas membaca. Survei ini dilakukan pada penduduk berusia 10 tahun ke atas. Data ini sekaligus menunjukkan presentase penonton terus meningkat pada data 3 tahunan BPS tersebut. Pada kurun 2006 -- 2009, presentasi penonton naik hampir 5 persen dan presentase pembaca menurun sekitar 5 persen. Menumbuhkan minat membaca menjadi kunci untuk merangsang kebiasaan membaca dan kebutuhan membaca. Menumbuhkan minat juga butuh proses. Yang perlu dilakukan sedari dini. Ayah, Bunda, yuk hidupkan budaya membaca di rumah! - "Puasa" Teknologi Berilah waktu jeda tanpa teknologi, baik televisi, radio, komputer, ponsel, maupun internet, jadwalkan rutin, baik harian maupun mingguan. Hal ini penting agar anak tak kecanduan teknologi, terlebih untuk mengakses informasi. - 1 -- 2 Jam per Hari Luangkanlah waktu 1 -- 2 jam per hari untuk membaca buku. Sesuaikan tahap usia anak. Jika belum bisa membaca, buku cerita bergambar menarik menjadi cara efektif memperkenalkan buku. - "Storytelling" Bacakan buku cerita atau dongeng pada anak prasekolah. Bercerita bisa menjadi kegiatan hiburan bersama anak maupun aktivitas relaks menjelang tidur. Ragam pengalaman dan eksplorasi emosi yang dirasakan kala mendengarkan cerita tersebut dapat menumbuhkan minat baca dalam diri anak. - Ciptakan Lingkungan Mendukung Caranya, tak lain dengan memberi asupan beragam buku. Tak perlu yang berbiaya tinggi. Selain meminjam ke perpustakaan, manfaatkan ajang pesta buku yang menyediakan diskon besar, biasa diselenggarakan toko buku besar. - Beri Contoh! Rumus klasik, tetapi terbukti paling efektif menanamkan nilai pada anak. Kegiatan membaca bersama pun bisa menjadi kegiatan seru untuk dilakukan bersama seluruh anggota keluarga. [ADT] Diambil dan disunting dari: Nama koran: Kompas, Klasika, Edisi Nusantara, 1 Februari 2015 Penulis artikel: ADT Halaman: 33 TOKOH PENULIS: ROMO MANGUN Dirangkum oleh: N. Risanti Romo Mangun lahir pada tanggal 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah, sebagai anak tertua dari pasangan Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah. Setelah ditahbiskan menjadi imam bagi umat Katolik, Romo Mangun kemudian mendapat amanat dari gereja untuk melanjutkan pendidikan pada bidang arsitektur di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman pada tahun 1960. Ketika lulus pada tahun 1966, Romo yang memiliki nama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya ini lalu melanjutkan pendidikannya dalam bidang Humanistic Studies di Colorado. Minatnya yang mendalam pada bidang humanistik itulah yang kemudian mendorongnya untuk berkarya di bidang kemanusiaan, sastra, dan pendidikan. Karya-karya beliau di bidang arsitektur dan sastra sungguh kental dengan visinya untuk memanusiakan manusia. Tengoklah pemukiman penduduk di Kali Code yang menurutnya, "Penataan lebih pada segi sosio-politis dan pengelolaan kemasyarakatan", bukannya pada sekadar pembangunan fisik dan materi semata. Gaya bahasanya yang sarat dengan realitas dan kesederhanaan selalu menjadi ciri khas dalam setiap karya sastra yang dihasilkannya. Tidak berhenti sampai di situ, konsepnya dalam pendidikan pun menjadi konsep pendidikan yang sangat orisinal, yang lahir dari kegelisahan jiwanya ketika melihat sistem pendidikan di tanah air pada zaman Orde Baru tidak bersifat memerdekakan peserta didiknya. Romo Mangun melihat bahwa model pendidikan pada zaman orde baru, khususnya pada tingkat sekolah dasar, adalah pendidikan yang bersifat sentralistis, yang berorientasi untuk taat pada perintah. Murid atau peserta didik tidak dilihat sebagai subjek, melainkan sebagai objek yang harus menurut pada otoritas guru. Dengan demikian, peserta didik tidak terbebaskan daya imajinasinya, tidak mampu untuk bereksplorasi, dan pada akhirnya tidak dapat mencapai tahap pembebasan dalam berpikir dan bersikap. Di pihak lain, manusia sesungguhnya adalah makhluk yang berakal budi, yang mampu berpikir, menentukan pilihan, dan mengambil tindakan berdasarkan pilihan bebasnya. Dengan demikian, manusia juga mempunyai tanggung jawab atas apa yang dipilih dan diperbuatnya. Bertolak dari landasan berpikir itulah, Romo Mangun kemudian mengenalkan konsep pendidikan sebagai proses untuk pemerdekaan manusia. Bagi Romo Mangun, pendidikan pemerdekaan merupakan langkah pertama dalam proses pendidikan anak. Hati yang tulus menjadi ruang pembuka untuk membuka wawasan anak terhadap dunia anak yang lebih luas. Sebab, hati merupakan pangkal dari seluruh pembelajaran, bukan otak. Hati mampu menangkap yang sensasi dan esensi, bukan sekadar interpretasi. Untuk tujuan tersebut, pada tahun 1987, Romo Mangun mendirikan Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar (DED) di Yogyakarta, yang eksperimennya kemudian diterapkan pada tahun 1994 di SD Kanisius Mangunan (SDKM) di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Tujuan Romo Mangun mendirikan DED dan SDKM adalah untuk memberikan pelayanan pendidikan dasar bagi anak-anak miskin, yang menurutnya, tidak diberikan kesempatan untuk berkembang melalui kurikulum pendidikan nasional. SD Mangunan memiliki prinsip dasar bahwa sekolah bukanlah lembaga diskriminasi yang berfungsi sebagai pasak pemecah-belah sosial, akan tetapi suatu convivium, lembaga untuk hidup bersama. Selain itu, SD Mangunan juga menawarkan model pendekatan yang berbeda dari sekolah pada umumnya, yaitu bahwa guru dan murid berperan sebagai sesama subjek yang setara untuk saling mengembangkan kemanusiaan. Menarik bahwa Romo Mangun memandang pendidikan dasar jauh lebih penting daripada pendidikan tinggi. Hal itu tampak dari ujarannya, "Biarlah pendidikan tinggi berengsek dan awut-awutan. Namun, kita tidak boleh menelantarkan pendidikan dasar." Pemikiran itu mungkin berasal dari keyakinannya bahwa pada dasarnya, dalam diri manusia sudah tertanam bakat-bakat atau potensi-potensi yang diberikan oleh Tuhan padanya. Dalam diri anak sudah ada sifat "Mahaguru", yaitu potensi ingin selalu tahu, ingin bertanya, ingin mengeksplorasi, ingin maju, ingin mekar, dan ingin mencapai kepenuhan diri. Pendidikan dasar kemudian menjadi amat penting karena dalam usia anak-anaklah potensi- potensi itu mulai ditumbuhkan dan dikembangkan, agar semakin matang dan kuat seiring dengan pertumbuhan mereka menjadi manusia dewasa. Tidak heran jika kemudian dalam tesisnya, Catherine Mills mengutip ucapan Romo Mangun, "When I die, let me die as a primary school teacher (kalau saya meninggal, biarkan saya meninggal sebagai guru sekolah dasar)." Dirangkum dari: 1. Dani, Alfons. 2013. "Mengusung Pendidikan Pemerdekaan di Tengah Bangsa yang Semakin Terpuruk". Dalam http://edukasi.kompasiana.com/2013/02/12/mengusung-pendidikan-pemerdekaan-di-tengah-bangsa-yang-semakin-terpuruk-533590.html 2. Dani, Alfons. 2013. "Pendidikan Pemerdekaan YB Mangunwijaya". Dalam http://edukasi.kompasiana.com/2013/02/13/pendidikan-pemerdekaan-yb-mangunwijaya-533874.html 3. Kurnia, R.S. 2007. "Y. B. Mangunwijaya". Dalam http://biokristi.sabda.org/selayang_pandang_y_b_mangunwijaya. 4. Mustaqim, M. Fatah. 2012. "Romo Mangun dan Humanisasi Pendidikan". Dalam https://ekolemindonesia.wordpress.com/2013/10/11/romo-mangun-dan-humanisasi-pendidikan/ Kontak: penulis(at)sabda.org Redaksi: Berlin B., Santi T., dan N. Risanti Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |