Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/159

e-Penulis edisi 159 (6-11-2014)

Lebih Dalam Lagi tentang Menulis Feature (I)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                       Edisi 159/November/2014
               Tema: Lebih Dalam Lagi tentang Menulis Feature (I))


e-Penulis -- Lebih Dalam Lagi tentang Menulis Feature (I)
Edisi 159/November/2014

DAFTAR ISI
DARI REDAKSI: FEATURE, BERITA RINGAN YANG BERBOBOT
ARTIKEL: PENULISAN BERITA FEATURE
POJOK BAHASA: KORELASI BAHASA DALAM MANIFESTASI HEGEMONI POLITIK
STOP PRESS: SUMBER BAHAN NATAL BERKUALITAS DARI SABDA


        DARI REDAKSI: FEATURE, BERITA RINGAN YANG BERBOBOT

Shalom,

Bulan Juni yang lalu, kita tentu sering membaca atau bahkan dibanjiri
dengan berita mengenai Piala Dunia. Di tengah hiruk pikuknya prediksi
pertandingan dan kabar terbaru dari lapangan, kita pasti menemukan ada
banyak liputan menarik seputar perhelatan akbar itu. Misalnya, kisah
trofi legendaris Jules Rimet, sepak terjang tim kuda hitam selama
turnamen  2014, latar belakang seorang pemain, atau bahkan kisah
tentang kehidupan di favela Brazil selama perhelatan itu berlangsung.
Kisah-kisah atau liputan yang ringan tetapi berbobot inilah yang
disebut "feature".

Pada edisi ini dan edisi berikutnya, redaksi ingin mengajak Sahabat
sekalian untuk mendalami feature dan apa prinsip yang harus
diperhatikan ketika kita menulisnya. Untuk informasi, e-Penulis pernah
menyajikan tentang topik ini pada edisi  013 (tahun  2005) dan bisa
Sahabat akses di < http://sabda.org/publikasi/e-penulis/013/Feature >.
Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati!

Pemimpin Redaksi e-Penulis,
Yudo
< yudo(at)in-christ.net >
< http://pelitaku.sabda.org >


                 ARTIKEL: PENULISAN BERITA FEATURE

Feature, Bukan Sebagai Berita Ganjal

Berita feature acapkali dipandang dengan sebelah mata, ditempatkan
sekadar sebagai ganjal pada halaman surat kabar. Feature dianggap
sebagai berita "ringan" dan karenanya dianggap tidak penting. Sebab,
feature lebih sering bertutur tentang  "Pak Kumis, penjual lontong
sayur", "Yu Ijah, penjaja jamu", atau "Ucok, sopir angkot".

Pak Kumis, Ijah, atau Ucok adalah bagian dari dunia bawah dalam strata
sosial. Mereka adalah bagian dari akar rumput yang jarang mendapat
liputan istimewa dari media. Para jurnalis menempatkan realitas
kehidupan mereka sehari-hari dalam bentuk feature.   "Buat saja
feature!"  Dari sinilah, kesalahan persepsi mengenai berita feature
bermula. Feature yang sebenarnya adalah gaya atau cara bertutur dalam
penulisan berita, kemudian dipersepsikan sebagai isi berita. Feature
diidentikkan dengan berita "ringan", berita "ecek-ecek".

Pada media tertentu, kisah sehari-hari "pak Kumis", "Ijah", ataupun
"Ucok" bahkan acap ditulis dengan gaya banyolan dengan bahasa yang tak
jarang melecehkan mereka sebagai subjek berita. Media baru menjadikan
kisah kalangan akar rumput sebagai  "top story"  ketika mereka
bertiwikrama menjadi kekuatan yang mengancam -- secara langsung atau
tidak -- tatanan sosial yang ada, sebagai massa atau kelompok anonim.
Misalnya dalam aksi massa menentang sebuah rezim, atau dalam aksi
buruh menggugat kesewenang-wenangan majikan, atau juga dalam amuk para
pedagang kaki lima menolak penggusuran. Ketika berbicara "top story",
tak ada ruang bagi feature. "Top story is totally straight news".

Isi atau Gaya

Feature adalah suatu cara atau gaya penulisan sebuah berita yang ciri
khasnya adalah menggunakan bahasa sederhana, dengan alur cerita yang
mengalir, ringan, sehingga enak untuk dibaca. Kesan "sederhana" dan
"ringan"  inilah yang acap disalahpersepsikan bahwa feature adalah
berita ringan yang dimaksudkan untuk sekadar menghibur atau sebagai
berita selingan. Kesalahan persepsi ini kemudian memengaruhi cara
penggarapan feature.

Karena dianggap sebagai "berita ringan" dan "sekadar menghibur"  atau
"sekadar sebagai berita selingan", penulisan feature juga dilakukan
secara "asal-asalan"  dengan dukungan data seadanya, tanpa analisis,
pengembangan konteks, dan latar belakang. Feature benar-benar menjadi
sebuah berita ecek-ecek karena hanya berbicara pada aras permukaan,
tanpa kedalaman, tanpa alur dan narasi. Tidak mengherankan bila
kemudian feature yang demikian ini hanya dijadikan ganjal pada halaman
koran yang sewaktu-waktu bisa digusur oleh jenis berita lain atau
bahkan oleh sepotong iklan: "Tanya, Kenapa?"

Menulis feature sebenarnya bukan perkara mudah. Kisah pak Kumis juga
bukan kisah sederhana. Feature yang baik akan mampu mengangkat kisah
pak Kumis bukan saja menjadi kisah menarik dan menghibur, melainkan
juga mencerahkan dan merangsang pemikiran lebih jauh. Kisah pak Kumis
hanya akan menjadi kisah "ringan"  bila berhenti pada data dan fakta:
siapa pak Kumis, berapa usianya, berapa istri dan anaknya, berapa
penghasilannya, bagaimana ia menjajakan lontongnya.

Lebih dari itu, dengan eksplorasi data lebih jauh, kisah pak Kumis
sebenarnya bisa menjadi pintu masuk bagi analisis mengenai problem
sosial-ekonomi dan politik lebih besar dan kompleks yang menuntut
perhatian serius. Sebab, boleh jadi, pak Kumis adalah korban "revolusi
hijau", korban involusi pertanian. Kekalahan yang mengakibatkan pak
Kumis terdampar sebagai pekerja informal di kota adalah representasi
kekalahan perangkat sosial-ekonomi tradisional menghadapi serbuan
mesin industri kapitalis global. Tergantung bagaimana sudut pandang
kita, pak Kumis bisa tampil sebagai "korban" yang bisa mengharu biru
rasa kemanusiaan dan menggugah kesadaran eksistensial, atau bisa juga
tergambarkan sebagai "pejuang"  yang mampu menginspirasi bagi upaya
"survival". Di sinilah, feature mempunyai potensi besar bukan sekadar
sebagai cerita selingan dan hiburan. Feature juga berhak dan layak
menjadi "top story".

Menulis Feature

Lalu, bagaimana menulis sebuah feature yang baik? Sebuah feature yang
beraroma sastra? Sebenarnya, tidak ada resep yang manjur untuk membuat
feature atau karya jurnalistik sastrawi. Berbeda dari berita yang
bersifat langsung (straight news), menulis feature tidak cukup hanya
berbekal rumus 5W+1H.

"Straight news"  menuntut penulisan yang lugas, langsung, dengan
informasi yang aktual. Tekanannya pada aktualitas, efisiensi kata, dan
struktur yang tegas. Sedangkan feature menuntut lebih dari itu. Karena
feature, dan lebih jauh jurnalisme sastrawi, berbicara soal karakter,
plot, dan narasi, pengetahuan dan pemahaman mengenai unsur-unsur
dramatis dalam penulisan perlu dipelajari. Itu pun tidak bisa
dipelajari sekali dua kali. Kuncinya adalah latihan, praktik, dengan
terjun ke lapangan, menemui subjek peliputan, mewawancara, menggali
data, memahami konteks, menuliskannya sambil terus mengkaji ulang dan
menuliskannya kembali sampai menemukan alur cerita yang paling pas.

Belajar dari kisah-kisah fiksi, drama, atau film bisa membantu. Juga
banyaklah menonton film-film dokumenter yang baik. Film dokumenter
adalah bentuk jurnalisme sastrawi dalam dunia jurnalistik televisi
(audio visual).

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: Graha Media School
Alamat URL: http://grahamediaschool.com/penulisan-berita-feature/
Penulis artikel: Winarto
Tanggal akses: 3 Juni 2014


 POJOK BAHASA: KORELASI BAHASA DALAM MANIFESTASI HEGEMONI POLITIK

Bahasa takkan pernah lepas dari wacana politik. Memilih memakai bahasa
atau kata-kata tertentu, menekankan pengertian tertentu atas kata,
bahkan memakai dialek tertentu tak lain dari berpolitik dalam maknanya
yang paling dalam dan luas. Apabila disepakati bahwa sebagian tindakan
manusia, termasuk tindakan-tindakan politik, dilakukan lewat dan
dipengaruhi oleh penggunaan dan artikulasi kebahasaan, sudah
sewajarnya apabila bahasa menempati posisi penting dalam telaah ilmu
politik dan sosial. Khususnya dalam telaah politik, akhir-akhir ini
pemahaman lewat wacana bahasa  (language discourse)  semakin mengakui
pentingnya sebuah makna dalam bahasa, terutama setelah muncul
pascamodernisme dan pascastrukturalisme dalam kancah filsafat dan
epistemologi modern.

Bahasa dan praktik kebahasaan tak lagi dimengerti dalam konteks
perspektif konvensional, yakni sebagai alat dan medium netral yang
dipakai untuk menjelaskan kenyataan sosial politik. Namun, semakin
disadari bahwa bahasa, di dalam dirinya, tampil sebagai representasi
ruang bagi penggelaran (deployment) berbagai macam kuasa. Oleh karena
itu, bahasa lantas dilihat pula sebagai salah satu ruang (space)
tempat konflik-konflik berbagai kepentingan, kekuatan, kuasa, serta
proses hegemoni dan hegemoni tandingan  (counter hegemony)   yang
terjadi.

Berpolitik pada hakikatnya adalah mengintegrasikan diri pada lingkaran
persikerasan antarkelompok masyarakat yang berkepentingan demi
perluasan kekuasaan. Tujuannya adalah agar kelompok tertentu yang
terdominasi dapat keluar dan lepas dari kungkungan dan cengkeraman
kelompok pendominasi. Kekuasaan sendiri sesungguhnya merujuk pada daya
dan kekuatan, untuk mengendalikan maksud tertentu demi tujuan yang
telah diformulasikan. Kehendak untuk lepas dari lingkaran kekuasaan
kelompok masyarakat yang mendominasi sering berlanjut pada keinginan
melibas kembali lingkaran kekuasaan yang semula mendominasinya. Maka,
yang terjadi lalu adalah rantai persikerasan yang sering tidak ada
ujung pangkalnya. Dalam konteks bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah
yang tersebar di seluruh penjuru nusantara juga memiliki kekuatan
tertentu di setiap wilayahnya. Setiap bahasa daerah memiliki
keberagaman daya dan kekuatan yang termanifestasi dalam besar kecilnya
jumlah populasi penutur bahasa daerah tersebut.

Jika dikilasbalikkan dengan Sumpah Pemuda  28 Oktober  1928, ketika
bahasa Melayu Riau diangkat menjadi bahasa persatuan, sesungguhnya
ketika itu getar dan geliat bahasa-bahasa daerah banyak terjadi,
kendatipun mereka tetap terbelenggu. Setiap bahasa daerah berjuang
keras untuk melawan dominasi bahasa nasional, yakni bahasa Melayu Riau
yang telah beralih status menjadi bahasa Indonesia. Ada indikasi
perjuangan bahasa-bahasa daerah yang kuat dan hingga kini terus
meletup-letup muncul dalam manifestasi kosakata bahasa daerah di dalam
pemakaian bahasa Indonesia.

Merunut perspektif sejarahnya, bahasa tidak pernah terlepas dari
politik-kekuasaan. Maksudnya, selalu ada manifestasi-manifestasi
khusus dari denyut kekuasaan dan politik itu di dalam sosok bahasa
tertentu, seperti halnya bahasa Indonesia. Namun, yang banyak terjadi
sekarang ini adalah bahwa cara elit-elit politik kita berwacana dengan
bahasa Indonesia sering kali tidak tepat benar. Dengan kata lain,
rekayasa bahasa politik-kekuasaan telah dilakukan oleh elit-elit
politik kita, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dengan
rekayasa bahasa itu, mereka telah membangun hegemoni terhadap
pemakaian bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia juga telah dieksploitasi sedemikian rupa demi tujuan
politik dan kekuasaan. Manifestasi hegemoni pemakaian bahasa Indonesia
tersebut tampak dominan sekali dalam fakta akronimisasi dan pemakaian
bentuk eufemisme terhadap istilah-istilah politik yang berlebihan.
Penggunaan kedua bidang linguistik tersebut sepertinya telah terlalu
jauh berlebihan dan terbukti telah lepas dari kendali pada saat-saat
sekarang ini. Bahkan, pemakaian akronim dan eufemisme itu telah jauh
melampaui hakikat akronim dan eufemisme sendiri dalam persejarahan
linguistik. Pesan-pesan politik banyak sekali yang terwujud dalam
rupa-rupa bentuk akronim. Kadar kandungan propagandanya jauh lebih
besar daripada kejujuran pesannya sendiri. Lihatlah terminologi
politik yang latah sekali digunakan dalam beberapa kali pelaksanaan
pemilihan umum. Terminologi "Luber", kependekan dari Langsung-Umum
-BEbas-Rahasia, dipropagandakan dengan kuat sekali dan barangkali
masih menggema pada pelaksanaan pemilu mendatang. Akan tetapi,
kenyataannya, betulkah pemilu-pemilu tersebut benar-benar sesuai
dengan pesan yang diakronimkan? Itulah realitas politisasi vokabuler
yang telah terjadi dalam masyarakat Indonesia.

Eufemisme juga terbukti telah dipakai latah dalam aktivitas berbahasa
Indonesia, dengan serta-merta menyiratkan bahwa sesungguhnya
masyarakat kita takut dengan fakta sosial budayanya sendiri. Ambillah
contoh pemakaian kata   "korupsi"   yang dialih-alihkan menjadi
"komersialisasi jabatan", kata "teror"  yang dialih-alihkan menjadi
"ancaman keselamatan". Juga, "kekurangan air" sebagai bentuk eufemisme
dari kata "kekeringan", "kekurangan makanan" sebagai bentuk halus dari
kata  "kelaparan". Pemakaian eufemisme semacam itu telah jauh dari
sekadar kesantunan linguistik, tetapi sarat dengan aneka muatan
politis. Jadi, jelas bahwa dengan pemakaian bahasa yang demikian telah
terjadilah politisasi makna bahasa. Masih segar dalam ingatan kita
bagaimana kata  "karyawan"   atau  "wiraswastawan"  digunakan dalam
dokumen-dokumen pemerintahan untuk menggantikan kata "pengangguran".
Kalau berani tulus dan jujur, barangkali mereka yang sesungguhnya
pencopet, pencuri, atau bahkan teroris sekalipun akan mendapatkan
sebutan "wiraswastawan". Nah, kalau ini yang dimaksudkan, celakalah
para pemerhati bahasa  (linguis) di Indonesia. Inilah kondisi dan
situasi riil yang sekarang terjadi terhadap penjungkirbalikkan makna
bahasa!

Diambil dari:
Nama situs: Agustinus Sungkalang
Alamat URL: http://agustinussungkalang.wordpress.com/2009/10/29/korelasi-bahasa-dalam-manifestasi-hegemoni-politik/
Penulis artikel: Agustinus Sungkalang
Tanggal akses: 11 Juni 2014


        STOP PRESS: SUMBER BAHAN NATAL BERKUALITAS DARI SABDA

Anda membutuhkan bahan-bahan Natal untuk persiapan Natal Anda tahun
ini? Yayasan Lembaga SABDA  (YLSA) telah menyediakan berbagai bahan
seputar Natal di Situs Natal Indonesia, Youtube, dan Facebook Natal.

Situs Natal berisi Renungan Natal, Artikel Natal, Cerita/Kesaksian
Natal, Drama Natal, Puisi Natal, Tips Natal, Bahan Mengajar Natal,
Blog Natal, Resensi Buku Natal, Gambar/Desain Natal, Lagu Natal, dll..
Selain itu, Anda juga bisa mendapatkan bahan Natal berupa video audio
dari SABDA melalui Youtube, serta bergabung dengan komunitas Facebook
Natal sehingga Anda dapat berbagi hal-hal seputar Natal dan menambah
relasi dengan saudara-saudari seiman. Jadi, tunggu apa lagi? Segera
kunjungi sumber-sumber bahan Natal dari YLSA!

--> Situs Natal: http://natal.sabda.org/
--> Youtube:
      1. Kisah Natal Matius: http://www.youtube.com/watch?v=q8tSbbQPGZg
      2. Kisah Natal Lukas: http://www.youtube.com/watch?v=MWxqm9U-KeY
      3. Carita Natal Matius: http://www.youtube.com/watch?v=w3Vt18UvxsU
      4. Carita Natal Lukas: http://www.youtube.com/watch?v=j0ThUUrWVV8
--> Facebook Natal: http://fb.sabda.org/natal


Kontak: penulis(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Santi T., dan Berlin B.
Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org