Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/157 |
|
e-Penulis edisi 157 (4-9-2014)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 157/September/2014 Tema: Beradu Argumen Melalui Tulisan (I) e-Penulis -- [e-Penulis] Beradu Argumen Melalui Tulisan (I) Edisi 157/September/2014 DAFTAR ISI DARI REDAKSI: BERARGUMEN, BUKAN ASAL NGOTOT ARTIKEL: LOGIKA DAN ARGUMEN POJOK BAHASA: KESATUAN STOP PRESS: SITUS GUBUK DARI REDAKSI: BERARGUMEN, BUKAN ASAL NGOTOT Shalom, Desmond Tutu, sang uskup pejuang kemanusiaan dari Afrika Selatan, pernah berkata, "Jangan tinggikan nada suara Anda. Sebaliknya, perbaiki argumen Anda." Nasihat beliau itu sangat tepat, terutama karena sering kali, kebanyakan orang yang ingin mempertahankan pandangan atau keyakinannya cenderung bersikap kasar atau menunjukkan penolakan ketika apa yang ia yakini itu dipertanyakan atau bahkan bertentangan dengan sudut pandang orang lain. Akan tetapi, apa yang dimaksud dengan argumen? Dan, bagaimana membangun argumen yang kokoh serta meyakinkan? Dalam edisi ini, e-Penulis ingin mengajak Pembaca mengenal elemen- elemen dasar sebuah argumen sehingga ketika kita terjun ke dalam sebuah perdebatan atau argumen, kita dapat melakukannya dengan benar. Simak juga kolom Pojok Bahasa yang kali ini membahas makna kata yang sangat berkaitan dengan kenegaraan kita. Akhir kata, selamat membaca dan teruslah berkarya! Tuhan Yesus memberkati kita sekalian! Pemimpin Redaksi e-Penulis, Yudo < yudo(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > ARTIKEL: LOGIKA DAN ARGUMEN Apa yang dimaksud dengan argumen? Sebuah argumen yang baik terdiri dari beberapa hal berikut ini: - Sebuah klaim yang menyatakan posisi penulis mengenai permasalahan yang sedang dibahas. - Pengakuan akan perspektif yang berbeda dari sudut pandang yang dipegang penulis. - Serangkaian premis yang didefinisikan secara jelas untuk menggambarkan pola pikir argumen si penulis. - Bukti yang mengesahkan premis-premis atas argumen si penulis. - Kesimpulan yang meyakinkan pembaca bahwa argumen si penulis telah dijabarkan secara masuk akal dan menarik. Jika argumen Anda memiliki sifat-sifat penting itu, Anda mungkin telah membangun sebuah argumen yang baik. Akan tetapi, "mungkin" tidaklah cukup untuk seorang pemikir muda seperti Anda. Lalu, bagaimana cara membuktikan bahwa argumen Anda benar-benar masuk akal? Analisis Toulmin terhadap Argumen Salah satu cara untuk memastikan keabsahan argumen Anda adalah dengan mengujinya menggunakan metode yang diciptakan oleh Stephen Toulmin -- beliau adalah seorang filsuf dan pendidik yang mengabdikan kariernya untuk mengembangkan analisis penalaran moral. Metode beliau didesain supaya kita dapat menilai keabsahan argumen mana pun yang kita temui. Namun, metode ini juga dapat dipakai untuk menentukan sejauh mana keabsahan argumen kita sendiri. Toulmin mengklasifikasikan enam elemen penting dalam sebuah argumen. Tiga elemen yang terpenting (dan yang akan kita bahas dalam artikel ini) adalah klaim (claim), dasar argumen (grounds), dan pendukung (warrants). Klaim adalah argumen yang Anda tegaskan atau ajukan; yang termasuk dasar argumen adalah bukti-bukti yang mendukung klaim Anda; sedangkan pendukung adalah serangkaian alasan yang menjamin sebuah bukti dapat mendukung klaim yang Anda ajukan. Dari ketiganya, pendukung adalah aspek argumen yang paling "genting" karena di dalamnya terkandung banyak keyakinan dan asumsi yang dapat atau tidak dapat dinyatakan secara eksplisit. Meninjau Dasar Argumen Anda Dalam membangun sebuah argumen, Anda akan membuat klaim dan mengumpulkan bukti-bukti untuk meyakinkan pembaca Anda bahwa klaim yang Anda ajukan itu sah. Setelah mengumpulkan bukti-bukti atau alasan-alasan yang masuk akal untuk mendukung klaim, Anda perlu memeriksa kembali apakah bukti-bukti tersebut cukup untuk mendukung klaim Anda. Dengan kata lain, Anda harus benar-benar yakin bahwa bukti-bukti tersebut dapat menjamin klaim yang sedang Anda perjuangkan. Anda dapat memulai proses pemeriksaan ulang ini dengan meninjau kembali cara Anda memakai bukti-bukti tersebut. Apakah Anda Menekan Bukti Anda? Bukti yang tidak mendukung argumen seharusnya tetap diperhitungkan, bukan diabaikan. Pastikan bahwa Anda tidak membuang bukti yang Anda dapat melawan atau mengganjal argumen Anda. Apakah Anda Memanipulasi Bukti? Kadang-kadang, kita menggali informasi yang tidak terlalu dapat mendukung perspektif kita, tetapi bukti itu tetap kita butuhkan untuk mengokohkan argumen kita. Jika demikian, apakah diperbolehkan memanipulasi sebuah informasi agar dapat sesuai dengan tujuan kita? Tentu saja tidak! Kecuali jika Anda ingin mengungkapkan perbuatan tersebut pada pembaca dan menyerahkan penilaian kepada mereka; apakah manipulasi yang Anda lakukan adalah sesuatu yang adil atau tidak. Tinjaulah kembali pokok utama dari argumen Anda dan pertimbangkan apakah masing-masing pokok utama tersebut cukup meyakinkan jika hanya dilihat dari bukti-buktinya saja. Pertimbangkan pula, apakah Anda hanya bertumpu pada retorika Anda semata untuk mendukung pokok utama tersebut. Jika ya, Anda mungkin perlu kembali kepada sumber bukti- bukti Anda. Apakah Anda Menyertakan Terlalu Banyak Bukti? Bacalah kembali makalah atau karya tulis Anda. Apakah Anda terlalu banyak mengutip sampai-sampai kutipan itu menenggelamkan buah pikiran Anda sendiri? Jika ya, mungkin argumen Anda telah tertimbun oleh argumen orang lain. Jika Anda merasa demikian, pembaca Anda pun akan kepayahan memahami informasi yang Anda sajikan karena mereka akan berusaha mencari argumen yang sebenarnya tidak ada dalam makalah Anda tersebut. Apakah Anda Menggunakan Bukti yang Masih Berlaku dan Dapat Dipercaya? Ini tidak berarti bahwa Anda tidak dapat menggunakan sumber yang sudah lama. Pertanyaan ini bermaksud menghindarkan Anda dari risiko yang disebabkan oleh penggunaan bukti yang nantinya dapat melemahkan perspektif Anda sendiri. Selain itu, Anda juga perlu memastikan bahwa sumber Anda benar-benar dapat dipercaya. Ingatlah peribahasa ini, "Anda tidak selalu dapat memercayai semua yang Anda baca." Peribahasa itu benar sekali, terutama ketika Anda berhadapan dengan informasi yang berasal dari internet; tempat orang-orang mengunggah apa pun, dan kadang-kadang tidak memikirkan tentang keabsahannya. Apakah Bukti Anda Cukup Kuat untuk Menjamin Klaim Anda? Pertimbangkan baik-baik, mengapa Anda percaya bahwa bukti Anda sudah cukup kuat. Apakah bukti-bukti tersebut berdasarkan penelitian yang Anda lakukan? Berdasarkan keahlian Anda dalam bidang tersebut? Ataukah pada asumsi dan kepercayaan umum? Jika bukti itu berdasar pada alasan yang terakhir, Anda perlu memeriksa kembali asumsi tersebut. Bahkan, kadang-kadang, Anda perlu menyediakan bukti pendukung tambahan/additional backing (elemen keempat yang disebutkan oleh Toulmin). Dua elemen sisanya adalah kemampuan untuk menetapkan syarat- syarat dalam situasi seperti apakah sebuah argumen dapat dianggap benar (qualifier), dan juga kemampuan menyusun bantahan (rebuttal) untuk menentukan syarat-syarat dalam situasi apakah sebuah argumen tidak dapat dianggap salah. (t/Yudo) Diterjemahkan dan disunting dari: Nama situs: Dartmouth Alamat URL: http://writing-speech.dartmouth.edu/learning/materials-first-year-writers/logic-and-argument#Toulmin Judul asli artikel: Logic and Argument Penulis artikel: Tidak dicantumkan Tanggal akses: 21 April 2014 POJOK BAHASA: KESATUAN "Wahai pemuda Indonesia, jika Tuanku Abdul Rahman bertanya kepadamu, `Berapa jumlah pemuda Indonesia?` jawablah: `Satu!`" Demikian gelegar pidato Bung Karno saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia. Jawaban "Satu!" yang diberikan Bung Karno tentu bukan karena beliau malas menghitung berapa persisnya jumlah pemuda Indonesia saat itu. Juga bukan berarti Bung Karno kalah soal berhitung dibanding Rhoma Irama, hanya karena Bang Haji melantunkan "Seratus tiga puluh lima juta/Penduduk Indonesia ...." "Satu!" adalah jawaban kuat Bung Karno untuk menekankan karakter pemuda Indonesia yang tak mudah tercerai-berai. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jawaban Bung Karno tersebut sepadan dengan "Satu bahasa", yakni satu anggapan (pikiran, pandangan, dsb.); sedangkan kata "satu" dalam KBBI adalah: 1. Bilangan yang dilambangkan dengan angka 1 (Arab) atau I (Romawi). 2. Nama bagi lambang bilangan asli 1 (angka Arab) atau I (angka Romawi). 3. Urutan pertama sebelum ke-2. 4. Bilangan asli terkecil sesudah 0. Tentu Bung Karno bukan maestro pidato kalau bersedia ikut kamus dan mengubah ungkapannya menjadi: "Jawablah: `Satu bahasa!`" Selain tidak lucu dan kehilangan daya gugah, jawaban demikian akan digugat oleh aktivis bahasa daerah yang kerap mengingatkan bahwa Sumpah Pemuda bukan berisi "Satu bahasa: bahasa Indonesia", melainkan "Menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia". Kata "satu" di atas erat kaitannya dengan kata "kesatuan" dalam KBBI: ke?sa?tu?an (n) 1. Perihal satu. 2. Keesaan; sifat tunggal. 3. Satuan. Contoh: a. Kesatuan penggiling padi: Mesin pengolah padi yang dilengkapi dengan pemecah kulit padi, pemisah gabah, dan pemutih beras. b. Kesatuan sosial: (1) Unsur studi dalam kemasyarakatan yang diberi batasan tertentu dan yang secara relatif bersifat konstan, seperti individu, keluarga, dan taraf hidup. (2) Kesatuan orang yang terikat atas ciri-ciri tertentu dalam kehidupan masyarakat. Jika kita menyebut Indonesia sebagai negara kesatuan, lazim disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia, pengertian manakah dalam KBBI yang cocok untuk itu? Jika tidak ada pengertian yang cocok dalam Kamus Besar bagi kata "kesatuan" yang dimaksudkan dalam NKRI, berarti kata "kesatuan" sudah dianggap dipahami dan dihayati segenap rakyat Indonesia hingga tidak perlu lagi dinyatakan dalam kamus. Ia dianggap hadir secara implisit mendarahi segenap pengertian kata "kesatuan". Urusan ini bolehlah kita anggap beres. Masalahnya, pada zaman multipartai, multitafsir, multi-interest, dan berbagai multi lainnya, bisa saja muncul kelompok eksplisit yang menggugat sikap implisitisme kaum implisit. Mereka akan menuduh bahwa tidak adanya pengertian "kesatuan" dalam kamus sebagaimana dimaksudkan oleh kata "kesatuan" dalam NKRI merupakan bukti bahwa pada dasarnya Indonesia sebagai negara kesatuan belum merupakan fakta, melainkan baru imajinasi belaka. Mereka yang implisit akan menekankan, meski tidak ada pengertian resmi dalam Kamus Besar, bangun Indonesia sebagai negara kesatuan adalah nyata, hidup, tak terbantah, bahkan tak bisa ditawar. Kaum eksplisit tentu menghendaki segala sesuatunya relatif eksplisit, sedangkan kaum implisit beranggapan semua yang dihayati dan diketahui bersama tentu diketahui dan dihayati bersama, tak perlu dieksplisitkan, alias "tahu sama tahu". Masalah akan menjadi rumit jika kedua kelompok itu mulai saling memamerkan bukti. Pasalnya, kedua kubu ini punya fakta. Ibu-ibu yang tengah dipusingkan dengan pencarian sekolah bagi anak mereka pada dasarnya tidak peduli dengan perdebatan ini. Biaya pendidikan yang menggila sudah membuat mereka frustrasi, apalagi jika pendidikan supermahal itu hanya berujung di lembah pengangguran yang menganga. Namun, tatkala lulusan sekolah di Depok, yang jaraknya selangkah dari DKI, tidak bisa masuk sekolah di DKI karena dibatasi kuota lima persen untuk siswa dari luar Jakarta, mereka mulai panik. Anak mereka yang sudah lulus ujian akhir nasional (manifestasi negara kesatuan) harus berhadapan dengan kuota (manifestasi negara federasi). Mereka mungkin penasaran dan mulai membuka Kamus Besar untuk melihat makna kata "kesatuan". Mereka mungkin tidak paham hukum tata negara, tetapi mereka dapat merasakan bahwa negara bukanlah negara kesatuan jika penduduk suatu kota tidak diperlakukan sama di kota lain dalam negara kesatuan tersebut. Bagi kaum eksplisit, sebuah negara kesatuan haruslah mengumumkan secara eksplisit bahwa warga negara pemegang kartu tanda penduduk NKRI mendapat perlakuan yang sama dan dapat berada di mana saja di seluruh wilayah negara kesatuan Indonesia. Seorang beretnis Papua dapat berada di tempat yang 99,99 persen penduduknya berbeda agama, etnis, bahkan sikap politik dengan dia, dan hak-hak serta keselamatannya dijamin negara kesatuan kita sejauh dia tidak melanggar hukum. Maka, lulusan sekolah di mana saja di seluruh pelosok Indonesia harus diperlakukan sama saat ia mendaftar sekolah di mana pun di wilayah Indonesia tanpa dikenai diskriminasi asal daerah. Saudara-saudara sekalian, siapa bilang kamus tidak penting? Kalau negara kesatuan menjalankan prinsip federasi, kamus memang dibutuhkan, bukan? Diambil dan disunting dari: Nama situs: RubrikBahasa Alamat URL: http://rubrikbahasa.wordpress.com/2011/07/11/kesatuan/ Penulis artikel: Agus R. Sarjono Tanggal akses: 17 April 2014 STOP PRESS: SITUS GUBUK Anda ingin membaca buku-buku Kristen secara online? Atau, mengunduh buku-buku dan bundel publikasi e-Buku? Anda tidak perlu bingung mencari. Situs GUBUK, Gudang Buku Kristen, hadir untuk menyediakan buku-buku online yang mungkin Anda cari. Berbagai buku berkategori konseling, Alkitab, kepemimpinan, dan pelayanan Anak dapat Anda baca di situs GUBUK. Selain itu, juga ada banyak resensi buku dengan berbagai kategori yang memberi informasi sebelum Anda membeli buku. Anda juga bisa membaca berbagai informasi yang terkait dengan buku dan kegiatan membaca. Pastikan Anda berkunjung ke situs ini, berkomentar, dan mengirimkan bahan untuk dimuat. Tertarik? Ketik http://gubuk.sabda.org/ dan Anda akan langsung tiba di beranda situs GUBUK. Selamat berkunjung! Kontak: penulis(at)sabda.org Redaksi: Yudo, Santi T., dan Berlin B. Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |