Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/155

e-Penulis edisi 155 (8-7-2014)

Menulis di Media Massa (I)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                         Edisi 155/Juli/2014                           
                   Tema: Menulis di Media Massa (I)

e-Penulis -- [e-Penulis] Menulis di Media Massa (I)
Edisi 155/Juli/2014

DAFTAR ISI:
DARI REDAKSI: PENULIS YANG TERAMPIL DAN SANTUN
ARTIKEL: MENYOAL ETIKA MENULIS DI MEDIA MASSA
POJOK BAHASA: PENTINGNYA BERBAHASA INDONESIA BAKU
STOP PRESS: BERGABUNGLAH DI FACEBOOK E-JEMMI

DARI REDAKSI: PENULIS YANG TERAMPIL DAN SANTUN

Shalom,

Menulis di media massa mungkin merupakan salah satu impian setiap 
penulis. Bagaimana tidak? Pemikiran, opini, ataupun karya yang kita 
hasilkan akan dibaca ribuan orang! Akan tetapi, seberapa baikkah 
kesiapan kita agar karya kita dapat diterbitkan dalam media massa? Apa 
saja yang harus diperhatikan? Dalam edisi ini, e-Penulis akan mengajak 
Pembaca sekalian untuk menyimak tentang apa saja yang perlu kita 
perhatikan sebelum menulis di media massa. Selamat membaca!

Pemimpin Redaksi e-Penulis,
Yudo
< yudo(at)in-christ.net >
< http://pelitaku.sabda.org >


            ARTIKEL: MENYOAL ETIKA MENULIS DI MEDIA MASSA

Ketika rezim Orde Baru berkuasa, kebebasan pers dibungkam. Pemerintah 
bersikap antikritik. Segalanya harus berjalan sesuai keinginan 
pemerintah -- yang direpresentasikan oleh sosok Soeharto. Mereka yang 
membangkang pasti diberedel aparat. Nasib Tempo, misalnya. Diberedel 
karena terlalu nyaring "menyalak" pada pemerintah.

Lalu, angin perubahan datang. Soeharto jatuh pada Mei 1998. Pers 
kembali memperoleh kebebasannya. Pilar keempat demokrasi -- setelah 
legislatif, eksekutif, dan yudikatif -- ini kembali "menyalak" dan 
"menggonggong", sesuai peran awalnya sebagai "watch dog". Pers 
menyampaikan informasi-informasi agar masyarakat bisa mengambil sikap 
dalam menjaga kemerdekaan serta mengatur diri mereka sendiri (Kovach, 
Sembilan Elemen Jurnalisme, 2006).

Menurut Yudi Latif, salah seorang peneliti dan pengamat politik, 
kebebasan pers adalah satu-satunya keberhasilan produk demokrasi di 
era reformasi. Hal ini disampaikannya di harian Republika (14/12) 
ketika ditanya bagaimana tanggapannya tentang "curhat" terbaru 
presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SBY menuding pers sebagai kambing 
hitam atas menurunnya tingkat kepercayaan publik pada lembaga hukum. 
"Tidak sepatutnya presiden berkata demikian. Itu mencerminkan sikap 
defensif pemerintah. Jika pers dikekang, kita kembali ke belakang," 
kata Yudi.

Yudi menilai pers telah melakukan perannya dengan cukup baik. Pers 
menjaga perannya sebagai "watch dog" dengan melakukan "cover both 
side" untuk menyajikan informasi secara terang dan berimbang kepada 
masyarakat. "Ini prestasi yang patut dipertahankan," ujarnya.

Hal senada disampaikan Bill Kovach dalam bukunya "The Elements of 
Journalism: What People Should Know and Public Should Expect". Pada 
elemen keempat dan kelima, Kovach menyebutkan bahwa pers harus mampu 
bersikap independen (dari pengaruh penguasa) dan berperan sebagai 
pemantau kekuasaan. Buku yang ditulis Kovach dan koleganya, Tom 
Rosentiel, ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul 
"Sembilan Elemen Jurnalisme", terbitan Yayasan Pantau (2006).

Bagi masyarakat yang ingin menulis di media massa, maka ia harus 
memperhatikan elemen-elemen jurnalisme. Mengapa? Karena media massa 
adalah salah satu produk jurnalisme. Isinya tentu harus bersesuaian 
dengan kaidah jurnalistik. Pada bukunya, Kovach menyebutkan ada 
sembilan elemen yang harus dipegang, yaitu berpegang pada kebenaran, 
loyalitas kepada publik, senantiasa melakukan disiplin verifikasi, 
bersikap independen, berperan sebagai pemantau kekuasaan, menerima 
kritik dan dukungan, menyajikan informasi secara menarik dan relevan, 
komprehensif dan profesional, dan bersandar pada hati nurani.

Pada hari Kamis (9/12/2010) yang lalu, saya berkesempatan melakukan 
wawancara dengan Samuel Lantu, Redaktur Opini di harian Pikiran 
Rakyat, untuk membahas ihwal tulis-menulis di media massa. "Ketika 
Anda menulis di media massa, Anda memosisikan diri sebagai seorang 
intelektual publik," kata Samuel. Menurutnya, intelektual publik 
adalah orang yang memiliki pengetahuan dan otoritas tentang suatu isu 
yang berkembang, kemudian menyampaikannya ke publik melalui media 
massa. Tujuannya untuk menjelaskan, menginterpretasikan, menganalisis, 
memberi alternatif solusi, atau sekadar memberi makna tentang sebuah 
peristiwa yang sudah, sedang, atau akan terjadi.

Pengetahuan dan otoritas si penulis menjadi aspek penilaian penting 
atas kualitas suatu tulisan. Penulis harus memiliki dasar pengetahuan 
yang kuat tentang apa yang ditulisnya. Hal ini bisa diketahui dari 
latar belakang pendidikan penulis. Lain halnya dengan otoritas, aspek 
ini bisa diperkuat, salah satunya dengan menjadi anggota komunitas 
yang bersesuaian dengan bidang yang hendak dibahas. Oleh karena itu, 
untuk menilai pengetahuan dan otoritas si penulis, biasanya redaksi 
akan meminta CV (Curriculum Vitae).

Hal lain yang perlu diperhatikan ketika hendak menulis di media massa 
adalah keaktualan tema. Membahas masalah-masalah yang sedang hot dan 
ramai dibicarakan, tentu akan memperbesar peluang sebuah tulisan untuk 
dimuat di media massa. Cara jitu yang lain, yakni dengan mencermati 
momentum hari-hari besar. "Sebagai contoh, hari ini kan Hari 
Antikorupsi Sedunia, nah manfaatkanlah momen-momen seperti itu. Pada 
Pikiran Rakyat edisi hari ini, ada dua tulisan di rubrik Opini yang 
membahas korupsi," kata Samuel.

Bahasa populer merupakan bahasa yang wajib dipakai ketika menulis di 
media massa. Dasarnya jelas, agar informasi pada tulisan bisa mudah 
dimengerti oleh masyarakat, tidak membingungkan. Selain itu, akan 
lebih baik jika ditulis sesuai gaya bahasa yang dipakai media massa 
tersebut. Sebelum menulis, hendaknya rajin-rajinlah mengobservasi gaya 
bahasa penulisan media yang akan dikirimi tulisan. "Masing-masing 
media punya gaya bahasanya sendiri-sendiri. Di Pikiran Rakyat, Anda 
bisa menemukan penggunaan bahasa Sunda di dalamnya. Hal yang sulit, 
atau bahkan tidak mungkin, ditemukan di Kompas," jelasnya.

"Dosa terbesar seorang penulis adalah melakukan plagiarisme," tegas 
Samuel. Redaksi Pikiran Rakyat mengambil kebijakan untuk mem-blacklist 
penulis yang kedapatan melakukan plagiarisme. Orisinalitas tulisan 
harus dinomorsatukan.

Pembahasan pada sebuah tulisan harus fokus dan tidak melebar ke mana-
mana. "Sering kali, karena saking semangatnya, pembahasan melebar 
sehingga tidak mendalam. Hal ini sungguh disayangkan padahal tema yang 
dibahasnya menarik untuk dimuat," sesal Samuel.

Untuk teknis penulisan, Samuel memberikan kriteria bahwa panjang 
tulisan hendaknya ada di kisaran 4000 -- 5500 karakter dan menyertakan 
referensi/data dari pakar, buku, artikel, jurnal, atau yang lainnya, 
sebagai pendukung tulisan. Samuel menyarankan agar tidak mengirimkan 
artikel yang sama ke lebih dari satu media dalam waktu yang bersamaan.

Berkaitan dengan peran pers yang dibahas di awal tulisan ini, 
masyarakat yang menulis di media massa harus menjiwai semangat dan 
etika jurnalisme. Ada empat sense yang harus disertakan ketika 
menulis, yaitu accuracy (keakuratan), responsibility (tanggung jawab), 
fairness (keadilan), dan honesty (kejujuran) (Dewabrata, Kalimat 
Jurnalistik, 2006). Jangan sampai isi tulisan menyinggung pihak-pihak 
lain atau bahkan menuding tanpa disertai bukti. Kasus Refly Harun, 
misalnya. Ia menulis di harian Kompas dan mengatakan bahwa ada kasus 
suap di Mahkamah Konstitusi. Hal yang mengundang reaksi keras dari 
seorang Mahfud MD, sang ketua MK. Mahfud menantang Refly untuk 
membuktikan tudingannya. Mungkin maksud Refly baik agar MK tetap 
terjaga citra bersihnya. Namun, cara penyampaiannya dinilai kurang 
tepat oleh beberapa kalangan. Jika tudingannya tidak terbukti, ia bisa 
dijerat pasal hukum pencemaran nama baik.

Menulis di media massa ada etikanya sendiri. Sudah sepatutnya para 
penulis atau calon penulis memperhatikan etika-etika tersebut. Dengan 
demikian, visi menjadi seorang intelektual publik bisa tercapai.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: Didasadariksa
Alamat URL: http://didasadariksa.wordpress.com/2010/12/24/menyoal-etika-menulis-di-media-massa/
Penulis artikel: Dida Sadariksa
Tanggal akses: 28 Februari 2014


        POJOK BAHASA: PENTINGNYA BERBAHASA INDONESIA BAKU

Malam minggu ini, saya menemukan tayangan waras dari Metro TV, yaitu 
Idenesia; Ide untuk Indonesia yang dipresenteri Yovie Widiyanto, 
seorang musisi berkualitas dari Indonesia yang ternyata punya 
kemampuan mengarahkan acara dengan bagus. Nggak menyangka saya. 
Tayangan yang baru saya sadari itu membahas tentang bahasa baku 
Indonesia dengan tema, kalau tidak salah "Bahasa Indonesia Bisa Juga 
Gaul".

Narasumber yang dihadirkan adalah blogger, Raditya Dika, seorang 
presenter perempuan yang saya lupa namanya dan budayawan -- sastrawan, 
Radhar Panca Dahana.

Hal ini menarik karena fenomena bahasa nonbaku yang sering digunakan 
anak muda, atau yang lebih dikenal sebagai bahasa "alay" atau gaul, 
mendapat pandangan dari dua generasi yang berbeda. Dua dari sudut 
pandang anak muda dan perwakilan dari rakyat sipil yang "awam" 
mengenai tata bahasa baku. Dan, yang satunya dari profesional.

Pada kesimpulannya, kita akan menemukan betapa kita memang harus 
menempatkan kapan dan terhadap siapa kita memakai bahasa Indonesia 
yang baik dan benar karena menurut Radhar, penggunaan bahasa itu 
terbagi menjadi tiga. Satu, bahasa konseptual; dua, bahasa praktik; 
tiga, bahasa puitik.

Apa yang kita kenal dengan bahasa alay atau dengan teks percampuran 
huruf angka yang ngetren pada medio 2009, adalah bahasa praktik. 
Bahasa keseharian dengan kata ganti "lo, gue", baik yang kita gunakan 
sebagai komunikasi langsung ataupun tulisan blogger, masuk ke dalam 
bahasa praktik. Kesimpulannya, hal ini tentu dilegalkan karena 
mobilitas sosial tidak pernah mengenal kata baku. Ada yang tua, 
berarti ada yang muda. Mereka yang muda mencari `cara` agar 
identitasnya berbeda dari seniornya. Maka, mereka membuat kosakata 
yang hanya dimengerti oleh mereka, yang kemudian diikuti oleh yang 
sebaya dengan dirinya.

Bahasa konseptual, adalah ketika kita menggunakan bahasa atas 
pertimbangan kapan dan terhadap siapa kita berbicara. Contohnya ketika 
kita berpidato kenegaraan, kita wajib menggunakan bahasa Indonesia 
baku. Presentasi makalah di kelas, wawancara kerja, ujian sidang, 
adalah contoh lainnya. Di media teks, tulisan karya ilmiah wajib 
menggunakan bahasa Indonesia sesuai EYD. Contohnya skripsi, tugas mata 
kuliah, mata pelajaran, dan sejenisnya.

Bahasa puitik, adalah bahasa penuh ambiguitas dan multitafsir. 
Digunakan dalam karya sastra jenis puitik, dan deskripsi cerpen atau 
novel yang acap kali memerlukan dramatisasi teks seperti kalimat penuh 
perumpamaan. Jadi, kita akan menemukan bahasa puitik dalam karya fiksi 
seperti novel, cerpen, cerbung, atau teks drama. Dalam ranah 
perfilman, kita juga bisa menemukan bahasa puitik karena bahasa adalah 
alat komunikasi yang dipakai dalam cerminan kehidupan manusia (film). 
Lagi pula, tanpa skenario, sebuah film tidak akan pernah ada. Beberapa 
film menggunakan teknis bahasa puitik karena biasanya film di luar 
mainstream ini kurang mendapat perhatian masyarakat luas.

Kemudian, pada akhirnya, kita diberi keleluasaan untuk menggunakan 
bahasa sesuai porsi dan situasi. Secara pribadi, saya tidak risih 
dengan temuan bahasa-bahasa alay dari anak muda zaman sekarang. Itu 
hanya sebatas membuat saya tersenyum sambil ngulum rambutan. Saya 
hanya khawatir, jika tata bahasa alay/gaul itu terus dipelihara, bukan 
tidak mungkin anak/pengguna bahasa yang bersangkutan akan menemukan 
kesulitan ketika dia beranjak dewasa.

Dalam dunia kerja atau dunia akademik misalnya, seseorang akan 
terlihat "terdidik" dan "berisi" jika mampu menggunakan bahasa 
Indonesia baku. Jadi, mari kembali memahami dan belajar mengenai 
penggunaan bahasa Indonesia baku yang baik dan benar, yang bisa kita 
pelajari dengan mudah dengan membaca koran nasional, cerpen, 
novel/karya sastra Indonesia, atau menonton program berita Indonesia. 
Meski untuk memahami pungtuasi/tanda baca, akan lebih efektif jika 
kita rajin baca koran pagi (harian Kompas terutama).

Dan, tahukah Anda, jika kita punya kemampuan bahasa Indonesia yang 
baik, hal itu akan membuat diri kita lebih mudah menganalisis dan 
menuangkannya ke dalam media teks ataupun dialog? Sebab, jika kita 
pernah merasa susah mengemukakan pendapat, baik dalam dialog maupun 
teks, atau merasa susah mengemukakan ide/gagasan, barangkali itu 
karena kita terlalu rajin memakai penggunaan bahasa nonbaku, dan 
mengesampingkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik.

Namun, saya percaya bahwa banyak anak muda Indonesia berpikir kalau 
menggunakan bahasa Indonesia baku itu keren, seperti blog Samandayu 
yang konsisten memakai bahasa Indonesia baku, sebagai wujud kecintaan 
saya terhadap Indonesia. Meski, tentu saja, karena blog adalah media 
menguraikan pendapat, penggunaan bahasa yang dipakai adalah bahasa 
praktik, yang tentu tidak sepenuhnya baku, sesuai EYD, dan disusupi 
bahasa-bahasa keseharian.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: Wanasedaju
Alamat URL: http://wanasedaju.blogspot.com/2012/01/pentingnya-berbahasa-indonesia-baku.html
Penulis artikel: Saman Dayu
Tanggal akses: 28 Februari 2014


          STOP PRESS: BERGABUNGLAH DI FACEBOOK E-JEMMI

Bergabunglah menjadi penggemar Facebook e-JEMMi untuk mendapatkan 
informasi mengenai dunia pelayanan misi dan juga artikel-artikel yang 
terkait dengan pelayanan Amanat Agung. Tidak hanya mendapatkan 
informasi seputar dunia misi, di sini Anda juga dapat saling mendoakan 
dan meneguhkan dengan sesama orang percaya yang lain.

Jangan tunda lagi, segeralah bergabung di:

==> http://fb.sabda.org/misi


Kontak: penulis(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Santi T., dan Berlin B.
Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org