Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/149

e-Penulis edisi 149 (9-1-2014)

Flash Fiction (I)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                       Edisi 149/Januari/2014                           
                      Tema: Flash Fiction (I)

e-Penulis -- Flash Fiction (I)
Edisi 149/Januari/2014

DAFTAR ISI:
DARI REDAKSI: SEMANGAT BARU UNTUK BERKARYA
ARTIKEL: APA ITU "FLASH FICTION"?
POJOK BAHASA: BAHASA DAN KAUM INTELEKTUAL
STOP PRESS: BERGABUNGLAH DALAM KELAS PASKAH DARI YLSA!

                 DARI REDAKSI: SEMANGAT BARU UNTUK BERKARYA

Shalom,

Selamat Tahun Baru! Apa kabar Sahabat e-Penulis? Semoga baik-baik saja ya. Pada 
edisi awal tahun ini, e-Penulis ingin mengajak Sahabat untuk kembali bersemangat 
mencermati "Flash Fiction", salah satu subgenre dalam kepenulisan fiksi yang 
cukup unik karena hanya terdiri dari beberapa kata saja, tetapi sanggup 
menggelitik pembacanya untuk mengambil interpretasi yang beragam. Jangan lupa 
menyimak kolom Pojok Bahasa yang kali ini membahas tentang kaitan antara bahasa 
dengan kaum intelektual bangsa kita. Semoga apa yang kami sajikan ini dapat 
terus memacu Sahabat e-Penulis untuk semakin giat berkarya.

Pada kesempatan ini, redaksi juga memberitahukan kepada Sahabat e-Penulis bahwa 
pada tahun 2014 ini, publikasi e-Penulis akan terbit sebulan sekali, setiap hari 
Kamis minggu pertama. Terima kasih banyak atas perhatiannya. Selamat membaca!

Pemimpin Redaksi e-Penulis,
Yudo
< yudo(at)in-christ.net >
< http://pelitaku.sabda.org >


                    ARTIKEL: APA ITU "FLASH FICTION"?

Belum lama ini, sebuah penerbit di Indonesia meluncurkan buku yang diklaim 
sebagai "flash fiction". Sebenarnya, apa yang disebut dengan flash fiction, yang 
akrab disingkat sebagai "flashfic"? Tulisan berikut akan mengulas seluk-beluk 
flash fiction.

Flash fiction sering disebut dengan nama lain "sudden fiction", "micro fiction", 
"postcard fiction" atau "short-short fiction". Jenis fiksi ini adalah subgenre 
dari cerita pendek (cerpen). Ciri khas dari genre ini adalah jumlah kata yang 
lebih sedikit. Cerpen yang biasa kita kenal memiliki jumlah kata berkisar 2.000 
-- 20.000 kata. Sedangkan flash fiction memiliki jumlah kata kurang dari 2000 
kata sehingga secara umum flash fiction yang ditulis akan berkisar antara 250 --
1500 kata. Sebagai panduan, biasanya flash fiction dimaksudkan untuk dibaca 
dalam sekejap (flash).

Karena jumlah kata yang sedikit, sering kali flash fiction memiliki cara yang 
berbeda untuk membentuk cerita yang dibawanya. Jika dalam novel atau cerpen 
tradisional kita bisa membangun karakter protagonis, antagonis, setting, 
konflik, dan penyelesaian dengan leluasa; [dalam flash fiction], elemen-elemen 
tersebut sering kali bisa dihilangkan.

Sebenarnya, flash fiction sudah ada sejak lama, namun karena perkembangan 
internet dan blog yang menghendaki karya yang terus-menerus di-update, flash 
fiction mulai mendapat tempatnya. Kemudian, beberapa majalah mulai memuatnya, 
dan setelah itu mulai merambah buku.

Versi lain dari flash fiction adalah "micro fiction" atau "short-short fiction". 
Berbeda dengan yang lain, kalau kita membuat micro fiction, semua elemen cerita 
harus muncul, yaitu karakter, setting, konflik, dan penyelesaian. Ini lebih 
repot lagi. Kadang-kadang, kalau dibaca, micro fiction ini malah terasa seperti 
puisi dalam bentuk prosa. Micro fiction ini memiliki jumlah kata berkisar 300 
kata.

Micro fiction sudah pendek, ternyata ada yang lebih pendek lagi yaitu "nano 
fiction". Nano fiction berasal dari istilah yang diperkenalkan oleh R. Sean 
Borgstrom untuk mendeskripsikan sesuatu yang dipakai dunia game. Beberapa tahun 
lalu, kita mungkin pernah gemar memainkan permainan kartu "Magic: The 
Gathering". Kalau dilihat, di bagian bawah kartu tertulis beberapa kata yang 
menceritakan tentang karakter yang ada pada kartu. Seperti itulah nano fiction. 
Walaupun cuma separagraf, kata-kata yang tercantum dalam kartu tersebut 
mendeskripsikan motif, atmosfer permainan, dan latar belakang karakter tersebut.

Beberapa jenis flash fiction terbentuk berdasar jumlah kata yang boleh dipakai. 
Misalnya ",55 fiction", yang jumlah katanya harus 55 kata. Tidak boleh lebih dan 
tidak boleh kurang (tidak termasuk judul). Kemudian, ada "Drabble", yang jumlah 
katanya harus 100 kata. Kalau dipikir-pikir, repot juga kalau harus menulis 
dibatasi sebanyak sekian kata. Semua kata harus dipikirkan kegunaannya supaya 
efektif. Tidak boleh membuat tulisan dengan gaya mendayu-dayu karena bisa 
membuat kata-kata yang dipakai bertambah banyak.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: Long Journal
Alamat URL: http://longjournal.wordpress.com/2008/05/11/apa-itu-flash-fiction/
Penulis: Didik Wijaya
Tanggal akses: 7 Desember 2013


                  POJOK BAHASA: BAHASA DAN KAUM INTELEKTUAL

Bahasa menentukan otoritas intelektualitas saat Indonesia menapaki abad ke-20. 
Kartini memilih bahasa Belanda untuk memasuki pengembaraan intelektual, mencari 
dan menemukan keajaiban-keajaiban modernitas. Bahasa Belanda menjadi berkah, 
membentuk identitas dan kehendak menjadi intelektual. Buku-buku berbahasa 
Belanda ibarat bacaan keramat. Kartini memang perempuan Jawa, hidup di Jawa, dan 
bersama orang-orang Jawa. Pesona tak muncul dari bahasa Jawa, bahasa lawas dan 
misterius. Hasrat mendapat pesona dunia justru terwujud oleh bahasa Belanda, 
bahasa milik penjajah.

Kartini tak sekadar terpikat dan terikat oleh bahasa Belanda. Dia ingin berjalan 
ke Barat, memetik hikmah-hikmah modernitas. Kartini hidup di Jawa, tetapi 
sanggup mengalami keajaiban saat mengolah diri dengan bahasa Belanda. Kita 
mengenang Kartini sebagai intelektual, menulis dalam rangsangan nalar modern dan 
perasaan-perasaan dramatis. Pilihan bahasa adalah pilihan nasib. Kartini menjadi 
referensi perubahan di ujung abad ke-19, tokoh dilematis berlatar modernitas dan 
feodalisme di Jawa. Bahasa Belanda pernah memberi terang bagi Kartini, sekejap 
tetapi menakjubkan.

Biografi Kartini berbeda dengan biografi Sida, orang desa yang berhasrat jadi 
bagian dari "zaman kemadjoean". Sida adalah tokoh dalam "Tjarijos 
Lelampahanipoen Sida" (1917) garapan Mas Sastradiardja. Buku cerita berbahasa 
Jawa ini mengisahkan kehendak bocah desa menjadi kaum terpelajar, manusia modern 
di Jawa. Keinginan Sida adalah menjadi guru. Sida bersekolah, belajar pelbagai 
mata pelajaran. Penguasaan bahasa memengaruhi keberhasilan mewujudkan cita-cita, 
mengerti dan memiliki dunia modern. Keinginan jadi guru berbekal kemampuan 
bahasa Jawa, Melayu, Arab, dan Belanda. Buku itu tak mengisahkan keajaiban 
bahasa Belanda dalam biografi lelaki dari desa.

Kartini mengalami pengekangan tradisi, tetapi bisa mengalami kemodernan melalui 
membaca-menulis dengan bahasa Belanda. Biografi Kartini terbentuk oleh bahasa 
Belanda. Kartini ialah manusia modern saat Jawa bergerak ke modernisasi. Sida 
adalah manusia bersahaja tanpa terlena dalam buaian bahasa Belanda. Zaman pun 
berubah. Bahasa Jawa tetap ada meski bersaing dengan bahasa Belanda dan Melayu. 
Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat juga tampil sebagai 
pengisah "zaman kemadjoean". Mereka lahir dan tumbuh bersama bahasa Jawa, 
Melayu, dan Belanda. Kaum intelektual itu selalu mengalami dilema, mengolah 
identitas diri dalam sengketa bahasa.

Pilihan bahasa terbentuk oleh sekolah, buku, koran, organisasi, dan pekerjaan. 
Kartini telah menunaikan misi perubahan dengan bahasa Belanda. Misi juga 
dijalankan Boedi Oetomo (1908), yang bermisi pendidikan dan adab. Kaum 
intelektual bersepakat menjadi pewarta dan penggerak zaman. Pilihan bahasa 
menentukan pengaruh ide. Mereka sering mengalami kebingungan, ragu dalam 
berbahasa. Wahidin Soedirohoesodo (1905) mengajukan usul aneh mengenai agenda-
agenda "kemadjoean". Tokoh asal Jawa itu menganggap kaum muda dan kaum tua 
berhasrat maju, tetapi kesulitan berbahasa Belanda (Akira Nagazumi, 1989). 
"Kemadjoean" bukan cuma milik kaum intelektual di perkotaan. Propaganda ide juga 
mesti dijalankan dengan penerbitan buku dan koran berbahasa Jawa agar ada 
tanggapan dari desa. Boedi Oetomo pun berjalan di persimpangan bahasa.

Modernisasi di abad ke-20 terbentuk oleh bahasa Belanda. Kartini dan Boedi 
Oetomo turut berperan besar. Bahasa Belanda memberi terang dunia, merangsang 
agenda-agenda perubahan. Mereka membaca-menulis dengan bahasa Belanda. 
Kesanggupan memperalat bahasa Belanda membuktikan tanggapan atas dominasi 
kolonial. Kita bisa mempelajari ide-ide mereka meski kerepotan jika tak ada 
terjemahan dalam bahasa Indonesia. Buku-buku sejarah dan biografi para tokoh di 
masa awal abad ke-20 sering bergantung pada referensi-referensi berbahasa 
Belanda.

Kaum intelektual pada 1920-an telah bermufakat memilih bahasa Indonesia sebagai 
modal perubahan, dari negeri terjajah menjadi negara merdeka. Pilihan itu 
mengandung makna politik, intelektual, estetika, dan adab. Ingatan masa silam 
berubah saat kaum intelektual tak menampilkan diri sebagai pemuja bahasa 
Belanda. Seruan-seruan menggunakan bahasa Indonesia terus disampaikan oleh Sutan 
Takdir Alisjahbana, Mohammad Hatta, Slamet Muljana, dan Ajip Rosidi. Mereka 
masih berharap bahasa Indonesia sanggup mewujudkan ide dan imajinasi demi 
Indonesia. Bahasa Indonesia adalah modal perubahan, memartabatkan Indonesia. 
Pengharapan itu tak bisa terkabulkan.

Kaum intelektual di Indonesia mulai kesulitan menggunakan bahasa Indonesia saat 
mengajukan ide. Mereka sering tergoda menggunakan bahasa Inggris ketimbang 
bahasa Indonesia berdalih kepantasan menjadi intelektual-global di abad ke-21.

Bahasa Belanda telah jadi sejarah di Indonesia. Bahasa Jawa bernasib jelek. 
Bahasa Indonesia belum sanggup mengisahkan Indonesia. Bahasa Inggris justru 
lebih sering digunakan untuk menganalisis sejarah dan politik di Indonesia. Kaum 
intelektual mesti mawas diri untuk tak abai sejarah dan mengajukan 
pertanggungjawaban atas pilihan bahasa demi Indonesia.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: Rubrik Bahasa
Alamat URL: http://rubrikbahasa.wordpress.com/2013/04/14/bahasa-dan-kaum-intelektual/
Penulis: Bandung Mawardi
Tanggal akses: 7 desember 2013


          STOP PRESS: BERGABUNGLAH DALAM KELAS PASKAH DARI YLSA!

Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org > melalui program Pendidikan Elektronik 
Studi Teologi Awam (PESTA) kembali membuka Kelas PASKAH 2014. Kelas diskusi 
Paskah mempelajari tentang arti Paskah dalam Perjanjian Lama maupun dalam 
Perjanjian Baru. Secara khusus, kelas ini membahas mengenai isu-isu kebangkitan 
Yesus Kristus dan maknanya bagi kehidupan Kristen.

Kelas diskusi ini akan dilaksanakan melalui milis (email) selama 1 bulan (3 
Maret -- 8 April 2014). Bagi Bapak/Ibu yang mengikuti kelas diskusi ini, silakan 
mendaftarkan diri ke Admin PESTA di < kusuma(at)in-christ.net >. Kami tunggu!


Kontak: penulis(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Santi T., dan Berlin B.
Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org