Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/147

e-Penulis edisi 147 (5-12-2013)

Menulis Adaptasi (I)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                       Edisi 147/Desember/2013                           
                      Tema: Menulis Adaptasi (I)

e-Penulis -- Menulis Adaptasi (I)
Edisi 147/Desember/2013

DAFTAR ISI:
DARI REDAKSI: MENGENAL KARYA ADAPTASI
ARTIKEL: MENULIS ADAPTASI
POJOK BAHASA: SOAK
STOP PRESS: PUBLIKASI E-JEMMI

              DARI REDAKSI: MENGENAL KARYA ADAPTASI

Shalom,

Adaptasi literatur bukanlah hal yang asing dalam dunia kepenulisan kita, tetapi 
sejauh mana Anda mengenal karya adaptasi? Apa saja kriterianya? Bagaimana cara 
membuat adaptasi yang baik? Di edisi ini, kami menyajikan artikel untuk membawa 
Pembaca lebih mengenal lagi tentang adaptasi dalam dunia literatur. Jangan 
lewatkan juga kolom Pojok Bahasa yang kali ini membahas tentang akronim dalam 
masyarakat kita. Akhir kata, selamat membaca edisi ini, semoga bermanfaat bagi 
Pembaca sekalian. Tuhan Yesus memberkati!

Pemimpin Redaksi e-Penulis,
Yudo
< yudo(at)in-christ.net >
< http://pelitaku.sabda.org >


                    ARTIKEL: MENULIS ADAPTASI
                           Oleh: Yudo

Kita tentu pernah mendengar istilah "adaptasi". Secara umum, adaptasi 
didefinisikan sebagai proses penyesuaian terhadap suatu lingkungan yang baru. 
Namun, tak hanya dalam bidang biologi, istilah adaptasi juga sering dipakai 
dalam bidang literatur.

Apa itu adaptasi literatur?

Dalam dunia literatur, adaptasi sering kali dimengerti sebagai suatu proses 
"penerjemahan" suatu karya literatur ke dalam media yang berbeda, seperti drama 
atau film. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan bahwa adaptasi juga dapat 
dilakukan ke dalam media yang sama, seperti dari novel ke novel. Meskipun novel 
adalah karya literatur yang paling sering diadaptasi, bentuk-bentuk literatur 
lain seperti puisi, autobiografi, jurnal, buku harian, maupun catatan sejarah 
juga dapat menjadi karya yang menjadi sumber bagi sebuah adaptasi.

Sejak kapan teknik ini digunakan?

Teknik adaptasi bukanlah hal yang baru dalam sejarah literatur. Teknik ini 
bahkan digunakan oleh penulis legendaris seperti William Shakespeare untuk 
menulis beberapa karyanya yang terkenal. Misalnya saja "Romeo and Juliet", kisah 
tragis tentang cinta terlarang yang ditulis oleh Shakespeare kira-kira tahun 
1595 itu diadaptasi dari salah satu novela karya seorang penulis Italia bernama 
Matteo Bandello. Tak hanya itu, "Romeo and Juliet" ternyata juga memuat ide-ide 
yang terdapat pada puisi yang ditulis oleh Publius Ovidius Naso (lebih dikenal 
sebagai Ovid), seorang penyair Roma yang hidup pada tahun 43 sM -- 18 M.

Seberapa jauh sebuah karya dapat disebut sebagai adaptasi?

Secara umum, sebuah karya adaptasi dinilai berdasarkan skala kesetiaannya 
terhadap karya sumber; mulai dari adaptasi yang setia hingga adaptasi bebas 
(loose adaptation). Adaptasi yang setia biasanya berusaha menerjemahkan sebagian 
besar ide, inti kisah, tokoh, dan nuansa yang dibangun oleh pencipta karya 
sumber. Sebaliknya, adaptasi bebas hanya mengambil ide utama dari karya sumber, 
sedangkan detail-detailnya tidak menjadi perhatian utama.

Pernah menonton "The Hobbit"? Film layar lebar yang disutradarai Peter Jackson 
itu dapat dinilai sebagai sebuah film adaptasi yang cukup setia terhadap karya 
sumbernya karena sang sutradara dan penulis naskahnya mempertahankan tak hanya 
ide utama, tetapi juga penamaan tokoh-tokoh, latar belakang, dan banyak lagi 
detail kecil lainnya. Namun, bagi mereka yang pernah membaca prekuel "The Lord 
of the Rings" ini tentu dapat menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dengan yang 
ada di novelnya. Misalnya saja, kemunculan Frodo di awal film dan munculnya 
Radagast, si Penyihir Coklat, yang bertemu bahkan berinteraksi dengan kelompok 
tokoh utama, hal-hal itu sama sekali tidak terdapat dalam novelnya. Perbedaan-
perbedaan itu bisa jadi karena interpretasi sang sutradara dan penulis naskahnya 
terhadap karya sumber, tetapi juga karena struktur novel dan film yang berbeda 
sehingga harus terjadi penyesuaian di sana-sini agar karya adaptasi itu bisa 
memberikan efek yang diinginkan oleh pembuatnya.

Contoh adaptasi bebas/"loose adaptation" bisa kita temukan dalam film animasi 
"The Lion King". Film animasi yang bercerita tentang petualangan singa kecil 
bernama Simba itu ternyata mengadaptasi drama "Hamlet" karya Shakespeare. Inti 
kisah "Hamlet" yang menceritakan tentang perjuangan sang pangeran Denmark yang 
menuntut balas atas kudeta yang dilakukan pamannya sendiri itu, ditiru dan 
disesuaikan oleh Disney sehingga layak dikonsumsi oleh target penontonnya. 
Akhir, kisahnya pun sangat berbeda. Dalam "Hamlet", sang tokoh utama dan 
kekasihnya tewas walaupun usahanya untuk menggulingkan pemerintahan pamannya 
tercapai. Namun, dalam "The Lion King", Simba justru hidup, bersatu dengan 
kekasihnya, dan menjadi raja yang arif menggantikan pemerintahan Scar, pamannya 
yang kejam.

Apa kriteria karya adaptasi yang baik?

Sebelum memberi kriteria adaptasi yang baik, kita harus benar-benar memahami 
bahwa dalam proses mengadaptasi suatu karya, bukan berarti menyalinnya. Dalam 
proses adaptasi, imajinasi dan ide-ide orisinal orang yang mengadaptasi juga 
ikut berperan. Itu juga berarti tidak menelan mentah-mentah ide orang lain dan 
kisahnya, tetapi berusaha untuk mengolah ide itu menjadi suatu karya yang segar.

Kesetiaan terhadap karya sumber tidak melulu menjadi standar untuk dapat menilai 
baik/buruk sebuah karya adaptasi. Jika adaptasi suatu karya harus benar-benar 
setia, ada banyak aspek yang akan terlihat dipaksakan dalam media yang lain. 
Sekali lagi, struktur karya adaptasi dan karya sumbernya bisa saja sangat 
berbeda (seperti film dan novel) karena itu membutuhkan penyesuaian dalam 
berbagai hal. Sebuah karya adaptasi dapat juga dinilai dari upaya pembuatnya 
untuk berimprovisasi dan mengembangkan kemungkinan-kemungkinan yang hanya 
terlihat sedikit atau sekilas saja dalam karya sumbernya. Intinya, selama ide 
utama dari karya sumber juga menjadi ide utama dalam karya adaptasi, karya 
adaptasi itu masih bisa diterima.

Bagaimana etika adaptasi yang benar?

Kita juga harus bisa membedakan antara membuat adaptasi dan menulis kisah yang 
terinspirasi dari suatu sumber atau bahan. Dalam adaptasi, setidaknya kita harus 
mencantumkan bahwa karya kita adalah sebuah upaya adaptasi dari suatu karya 
orang lain. Berbeda dengan kisah yang terinspirasi dari karya atau peristiwa 
nyata, membuat adaptasi berarti kita menulis berdasarkan karya dan ide orang 
lain. Dalam skala kecil, seperti untuk menulis di majalah dinding, kita bisa 
saja lolos (walau tetap saja ada konsekuensi moral jika ketahuan). Namun, jangan 
sekali-kali menerbitkan karya adaptasi tanpa mencantumkan karya sumber yang kita 
pakai sebab cepat atau lambat, pasti akan ada orang yang menyadarinya dan 
membuat tuntutan atas tindakan kita yang tidak bertanggung jawab itu.

Sumber bacaan:

1. Akin, Jimmy. 2009. "What is a Good Adaptation?". Dalam 
   http://jimmyakin.com/2009/03/what-is-a-good-adaptation.html
2. Writing Studio, The. 2012. "The Art of Adaptation: To adapt or not to adapt". 
   Dalam http://www.writingstudio.co.za/page62.html
3. Munso, Dany. 2013. "Adapt to Survive: Writers and adaptations". Dalam 
   http://www.moviescopemag.com/24-fps/adapt-to-survive/


                       POJOK BAHASA: SOAK

Ketika membaca sebuah berita di lembaran "Kabar Jabar" koran Republika terbitan 
26 Desember 2012 halaman 26, saya dihentikan oleh sepotong kata: rutilahu. Saya 
balik ke awal. Ternyata "rutilahu" itu akronim dari rumah tidak layak huni.

Saya tidak tahu apakah faktor "Jabar" yang memicu "kreativitas" penciptaan 
akronim baru ini. Maklum, saya terkesima melihat suburnya akronim di masyarakat 
Priangan. Dimulai dari akronim comro dan misro. Comro (oncom di jero atau oncom 
di dalam) adalah gorengan dari singkong parut berisi oncom, sedangkan misro 
(amis di jero atau manis di dalam) berisi gula aren.

Ada colenak (dicocol enak), yakni tape singkong bakar yang disantap dengan 
cocolan gula merah. Cilok (aci dicolok), tepung tapioka goreng yang disajikan 
pada tusukan bambu atau lidi seperti sate. Cireng (aci digoreng). Kombinasi 
cireng dan cilok menghasilkan cimol (aci digemol, aci yang dibentuk bulat).

Ada Cimol yang lain. Dahulu, di Jalan Cibadak, Bandung, banyak pedagang kaki 
lima khusus pakaian bekas. Muncullah julukan Cibadak Mall (dibaca Cibadak Mol, 
jadinya Cimol). Meski lokasinya sudah dipindahkan ke Gedebage, Cimol sebagai 
nama tidak luntur.

Di Jakarta, sampai 2007, ada pertokoan Sogo di Plaza Indonesia yang mengilhami 
julukan Sogo Jongkok bagi pedagang pakaian kaki lima sebab pembelinya terpaksa 
jongkok di muka lapak dagangan. Andai julukan ini jatuh ke tangan orang Bandung, 
saya tak yakin ia bakal selamat dari cinta mereka yang berlebihan kepada 
akronim.

Selain itu, ada batagor (bakso tahu goreng) dan gehu (tauge di dalam tahu). Di 
depan sebuah rumah dekat Jalan Gatot Subroto, Bandung, ada tulisan batras. 
Rupanya, itu pun akronim dari pengobatan tradisional.

Di Jawa Tengah, ada nasgithel (panas, legi, kenthel), yakni teh panas, manis, 
kental; dan bangjo (abang-ijo atau merah-hijau) untuk lampu lalu lintas. Entah 
mengapa, tampaknya lampu kuning tak masuk hitungan. Di Makassar, ada bentor, 
akronim dari becak-motor (tambahan "n" di tengah akronim tampaknya hanya supaya 
enak diucapkan), yakni sepeda motor yang kepalanya dipancung, lalu dilas dengan 
becak. Mirip helicak (helikopter becak?) di Jakarta tempo dulu.

Kecuali rutilahu dan bangjo, kasus-kasus akronim di atas merupakan kreativitas 
spontan rakyat kecil demi keringkasan, juga untuk kemudahan lisan mengucapkan 
dan konsumen mengingat sebab konteksnya komersial.

Sedangkan rutilahu, alutsista, curanmor, menparekraf, dan lain-lain keluaran 
lembaga-lembaga negara, dan disponsori media massa, sebaiknya tak dipakai, 
sebagai pedoman bagi masyarakat. Produksi dan akumulasi akronim formal oleh 
instansi pemerintah, terutama kepolisian dan militer, mengacaukan sistem kata. 
Sering kali, kata-kata yang diringkus di dalamnya sulit diurai dan dilacak oleh 
kita sekarang ini, apalagi generasi masa depan.

Lantas, apa itu soak, yang jadi judul tulisan ini? Kata serapan dari bahasa 
Belanda, zwak, yang artinya lemah? Oh, bukan. Itu akronim juga. Kepanjangannya 
"Soal Akronim". Maaf, lupa menjelaskan.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: Rubrik Bahasa
Alamat URL: http://rubrikbahasa.wordpress.com/2013/01/18/soak/
Penulis: Kurnia JR
Tanggal akses: 5 Desember 2013


                     STOP PRESS: PUBLIKASI E-JEMMI

Apakah Anda ingin mendapatkan beragam informasi tentang dunia misi? Kami ajak 
Anda untuk berlangganan Milis Publikasi e-JEMMi! Publikasi yang diterbitkan 
Yayasan Lembaga SABDA ini menyajikan informasi berupa berita-berita atau 
kesaksian seputar pelayanan misi dan penggerakan misi di seluruh dunia. Anda 
juga dapat berpartisipasi dengan mengirimkan informasi seputar misi.

Jadi, tunggu apa lagi? Segeralah bergabung sekarang juga!

Untuk berlangganan, kirim email ke: < subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >

Untuk mendapatkan bahan-bahan yang lebih lengkap, kunjungi situs Misi di: 
< http://misi.sabda.org >


Kontak: penulis(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Santi T., dan Berlin B.
Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org