Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/137 |
|
e-Penulis edisi 137 (5-7-2013)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 137/Juli/2013 Tema: Sastra dan Nasionalisme (I) e-Penulis -- Sastra dan Nasionalisme (I) Edisi 137/Juli/2013 DAFTAR ISI DARI REDAKSI: DAPATKAH SASTRA MENJAGA KEUTUHAN BANGSA? ARTIKEL: SASTRA SEBAGAI WAHANA MEMUPUK NASIONALISME SISWA POJOK BAHASA: BAHASA MENUNJUKKAN BANGSA DARI REDAKSI: DAPATKAH SASTRA MENJAGA KEUTUHAN BANGSA? Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia tinggal sebulan lagi, persiapan apa yang sudah Sahabat lakukan untuk menyambutnya? Setiap tahun, kita selalu diingatkan bahwa kemeriahan Hari Kemerdekaan seharusnya tidak hanya diisi dengan perayaan- perayaan seremonial semata, melainkan dengan hal-hal yang dapat membawa bangsa dan negara kita ke dalam era yang lebih baik. Pertanyaannya, apa yang sudah kita lakukan bagi bangsa ini sebagai penulis muda? Sudahkah kita memperjuangkan kemegahan Indonesia? Ataukah sejauh ini kita hanya mencibir dan tak acuh terhadap keadaan bangsa kita? Melalui edisi e-Penulis bulan ini, redaksi berharap Sahabat e-Penulis semakin diingatkan bahwa salah satu panggilan kita sebagai penulis-penulis muda Indonesia adalah untuk berjuang bagi Indonesia dalam bidang yang kita geluti sehingga jika ada yang bertanya kepada kita, "Dapatkah sastra menjaga keutuhan bangsa?" Kita dapat menjawab dengan mantap, "Ya!" Akhir kata, redaksi e-Penulis mengucapkan selamat membaca dan mempersiapkan hadiah terbaik bagi negeri ini. Tuhan Yesus memberkati! Pemimpin Redaksi e-Penulis, Yudo < yudo(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > ARTIKEL: SASTRA SEBAGAI WAHANA MEMUPUK NASIONALISME SISWA Menjelang bulan Agustus yang merupakan bulan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sepertinya menjadi saat yang tepat bagi kita semua untuk melihat kembali ke dalam nurani kita masing-masing -- masih adakah atau masih sedalam apakah nasionalisme yang kita miliki bagi bangsa ini? Di tengah keterpurukan kondisi bangsa, nasionalisme sangat dibutuhkan untuk membangkitkan kembali bangsa ini. Ya, nasionalisme diyakini sebagai syarat mutlak untuk membentuk sebuah negara yang mandiri. Paham kebangsaan ini menjadi tolok ukur kemajuan dan kemandirian Bangsa Indonesia ke depan. Nasionalisme adalah sikap atau perilaku yang diwujudkan atau diaktualisasikan dalam bentuk tindakan untuk memelihara dan melestarikan identitas dan untuk terus berjuang memajukan bangsa dan negara, dengan membasmi setiap kendala yang menghalangi di jalan kemajuan. Nasionalisme adalah rasa cinta setiap elemen bangsa kepada tanah air, yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Semakin nasionalis, seseorang akan semakin mengutamakan kepentingan bangsa dibandingkan kepentingan kelompok atau pribadi. Namun, apa yang kita lihat dan kita dengar selama beberapa tahun terakhir, mungkin membuat kita kembali harus merenungi makna nasionalisme di atas. Kecintaan terhadap negara Indonesia mengalami penyusutan luar biasa. Tak hanya di kalangan generasi muda, bahkan di tingkat elite pun nasionalisme kian pudar. Hal ini terlihat dari sikap para elite (politik) yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Selain itu, kita juga merasakan bahwa ada kecenderungan yang muncul, yang menampilkan bahwa semangat solidaritas dan kebersamaan pun terasa semakin hilang. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukan upaya untuk menumbuhkan dan memupuk rasa nasionalisme bagi Bangsa Indonesia. Sejalan dengan dicanangkannya pendidikan karakter, maka karakter nasionalisme (cinta tanah air dan semangat kebangsaan) pun ikut dimasukkan sebagai nilai karakter yang harus dikembangkan pada generasi muda. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan dan memupuk rasa nasionalisme ini adalah melalui kegiatan apresiasi sastra, yang merupakan bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Karya-karya sastra dapat digunakan sebagai pembangkit rasa nasionalisme. Mungkin, anggapan yang selama ini banyak berkembang adalah bahwa karya sastra hanya fiktif belaka, hanya bersifat imajinatif sehingga tidak layak untuk menjadi bahan ajar. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa karya sastra, baik novel maupun puisi, bisa memengaruhi pikiran dan sikap pembaca (warga negara). Sastra banyak menawarkan pemikiran dan pembelajaran dengan cara yang unik. Sebagai contoh mari kita simak kutipan cerpen berikut. ... "Apa katamu? Sakit telingamu mendengarnya? Itu artinya kau tidak cinta pada Tanah Airmu!" "Tetapi, tidak saatnya lagu kebangsaan itu diputar sekarang!" "Sekarang adalah saat yang tepat! Tidak kau lihat mereka sudah mulai berkelahi. Masing-masing telah meminta lagu daerah mereka sendiri-sendiri." "Tetapi, telingaku sakit mendengar lagu Indonesia Raya itu." "Berarti kau dari jenis para pengkhianat! Sebaiknya kau keluar dari dalam bus ini!" "Tetapi...," kata orang berseragam hijau dengan tiga pucuk pistol. "Tetapi, kau sudah membayar ongkos? Itu yang mau kau katakan," kata orang yang berseragam hijau dengan dua pistol di pinggangnya. "Ya! Aku sudah membayar ongkos!" "Saya akan ganti uang sisa ongkos perjalananmu. Lagu Indonesia Raya ini harus berkumandang sampai tujuan akhir. Kalau kau tidak suka, kau boleh keluar dari dalam bus ini! Tak ada tempat bagi yang tidak suka lagu kebangsaannya sendiri." Cerita di atas merupakan kutipan dari cerpen "Lagu di Atas Bus" karya Hamsad Rangkuti. Cerpen tersebut menceritakan perjalanan sebuah bus malam bersama penumpangnya menuju suatu tujuan. Untuk memberikan kenyamanan dan hiburan bagi penumpangnya, sopir bus akhirnya memutarkan sebuah lagu. Tetapi, belum sampai lagu itu selesai ada penumpang yang minta lagunya diganti dengan lagu kesukaannya. Sang sopir pun segera menggantinya. Namun, belum lagi lagu itu selesai, penumpang lain minta lagu tersebut diganti dengan lagu kesukaannya. Begitu seterusnya. Masing-masing penumpang menyodorkan lagu kesukaannya. Mulai dari lagu berirama jazz, dangdut, keroncong, pop, Gending Jawa, Kacapi Sunda, Saluang Minang, dan sebagainya, yang akhirnya menimbulkan keributan antarpenumpang bus. Di tengah keributan tersebut, seorang penumpang meminta sopir bus untuk memutar lagu Indonesia Raya. Semua penumpang terkejut, bahkan ada yang tidak suka. Tetapi, tidak dapat tidak, Lagu Indonesia Raya-lah yang bisa mewadahi keinginan semua untuk diputar dan didengarkan selama perjalanan. Cerpen di atas cukup menarik. Hamsad Rangkuti menggunakan "bus" sebagai metafor negara Indonesia, dan "penumpang bus" sebagai warga negaranya. Adapun "perjalanan bus malam" merupakan metafor dari perjalanan bangsa ini. Cerpen ini mengusung pesan bahwa sebagai warga negara Indonesia, kita harus mencintai tanah air Indonesia. Ketika muncul perbedaan keinginan, maka harus dikembalikan kepada hal yang dapat mewadahi keinginan semua, dalam hal ini mengutamakan kepentingan bangsa. Contoh lain, misalnya adalah puisi berikut. INDONESIA, MASIHKAH ENGKAU TANAH AIRKU? karya Husni Djamaluddin Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku di sanalah aku digusur dari tanah leluhur Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku di sanalah airku dikemas dalam botol-botol aqua Indonesia tanah airku di sanalah aku berdiri jadi kuli sepanjang hari jadi satpam sepanjang malam Indonesia tanah airku Indonesia di manakah tanahku Indonesia tanah airku Indonesia di manakah airku Indonesia tanah airku tanah bukan tanahku Indonesia tanah airku air bukan airku Indonesia, masihkah engkau tanah airku? Tuhan, jangan cabut Indonesiaku dari dalam hatiku Puisi di atas menggambarkan kekecewaan berkepanjangan `seorang` warga negara Indonesia terhadap negara Indonesia. Hal ini terlihat dalam hampir keseluruhan bait-bait puisi tersebut. Namun, pada bait terakhir `seseorang` tersebut tetap berdoa agar tanah air Indonesia tetap menjadi cintanya. Pesan yang diusung puisi ini kurang lebih adalah bagaimanapun atau apa pun yang diberikan Bangsa Indonesia kepada kita (warga negaranya), kita harus tetap mencintainya. Dari kedua contoh karya di atas, jelas dapat dilihat bahwa karya sastra dapat digunakan sebagai wahana memupuk rasa nasionalisme kepada generasi muda (siswa). Tentu saja masih banyak karya yang lain, misalnya Burung-burung Manyar (novel -- Mangunwijaya), Bumi Manusia (novel -- Pramoedya Ananta Toer), Kembalikan Indonesia Padaku (puisi -- Taufik Ismail), Malu Aku Jadi Orang Indonesia (puisi -- Taufik Ismail), Tanah Airmata (puisi -- Sutardji Calzoum Bachri), dan masih banyak lagi. Dengan sastra, kita tidak hanya belajar nilai-nilai kekinian, tetapi juga menelusuri perjalanan bangsa di masa lalu. Lebih jauh lagi, apresiasi terhadap sastra yang bertema nasionalisme dapat meningkatkan rasa nasionalisme karena dengan demikian kita dapat mengenal jatuh bangunnya sebuah bangsa. Upaya ini akan berhasil dengan baik bila didukung dengan kegiatan apresiasi yang menarik. Untuk itu, guru Bahasa Indonesia dan (sastra) harus pandai mengemas kegiatan bersastra dan juga pandai memilih bahan ajar (sastra) yang tepat. Salam. Diambil dan disunting dari: Nama situs: BektiPatria.wordpress.com Alamat URL: http://bektipatria.wordpress.com/2011/08/18/sastra-sebagai-wahana-memupuk-nasionalisme-siswa/ Penulis: Bekti Patria Tanggal akses: 11 Juni 2013 POJOK BAHASA: BAHASA MENUNJUKKAN BANGSA Pepatah lama mengatakan, "Bahasa menunjukkan bangsa." Sepintas, peribahasa ini terlihat sangat sederhana, tetapi sesungguhnya memiliki makna yang sangat luas. Bahasa, dalam bentuk tuturan atau ucapan, sering menjadi petunjuk utama dalam pengidentifikasian seseorang. Di Indonesia, misalnya, identitas kesukuan seseorang -- di samping dapat dikenali melalui bahasa yang digunakan -- juga dapat dengan mudah dikenali melalui tuturannya: pada umumnya, orang Batak tidak fasih melafalkan bunyi /e/ pepet; orang Aceh dan Bali tidak fasih melafalkan bunyi /t/; orang Melayu tidak fasih melafalkan bunyi /r/; dst.. Sebagai salah satu penanda identitas, ternyata bahasa juga mencerminkan kedudukan/posisi penutur dalam tata kemasyarakatannya. Itulah sebabnya, dalam kajian sosiolinguistik, diyakini bahwa bahasa memang tidak dapat dipisahkan dari kondisi dan latar belakang sosial penuturnya. Latar belakang sosial penutur yang berbeda akan membuat bahasa yang digunakan berbeda pula. Pada penutur yang berpendidikan tinggi, misalnya, akan terlihat perbedaan karakter penggunaan bahasanya dengan penutur yang tidak berpendidikan/berpendidikan rendah, sekalipun mereka menggunakan bahasa yang sama. Umumnya, pada penutur yang berpendidikan tinggi akan terlihat penggunaan bahasa yang baik dan benar: sesuai dengan situasi pemakaian dan kaidah bahasa. Logat mereka cenderung standar (tidak menunjukkan ciri kelompok/suku tertentu) serta pilihan katanya tepat, sesuai dengan konteks. Sebaliknya, penutur yang tidak berpendidikan cenderung menunjukkan penggunaan bahasa yang abai terhadap kaidah. Logat mereka medok, memperlihatkan ciri kelompok/suku tertentu. Pemilihan kata (diksi)-nya pun terkesan apa adanya (tidak kreatif). Dalam banyak kasus, bahasa sering dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mempertegas identitas kelompoknya agar terkesan (lebih) eksklusif. Kelompok-kelompok itu biasanya melakukan "pelanggaran-pelanggaran berbahasa" sebagai bentuk ekspresi yang mereka yakini akan membedakannya dari kelompok lain. Kelompok selebriti, misalnya, gemar menggunakan istilah-istilah/kata-kata asing (terutama Inggris). Bahkan, beberapa di antara mereka bertutur dalam Bahasa Indonesia dengan logat asing, keinggris-inggrisan. Sementara itu, kelompok waria melakukan "manipulasi" unsur-unsur kebahasaan dengan sistem tertentu (yang kemungkinan hanya dipahami oleh anggota kelompoknya). Sebagai akibatnya, muncullah "bahasa-bahasa baru": seperti Bahasa Gaul dan Bahasa Alay. Entah apa penyebabnya, kini kedua bahasa baru itu, dengan berbagai variasinya, berkembang pesat penggunaannya di kalangan remaja. Belakangan ini, bahkan, muncul "jenis bahasa" baru yang lain lagi: Baby Talk `Celoteh Bayi`. Konon, penggunaan bahasa yang meniru-niru logat balita itu justru digandrungi oleh orang-orang dewasa. Beberapa dekade terakhir ini, di dunia akademik berkembang sebuah kajian yang mengaitkan penggunaan bahasa dengan latar budaya masyarakat. Kajian itu (dikenal dengan beberapa sebutan: antropologi bahasa, antropolinguistik, atau etnolinguistik) memfokuskan analisisnya pada penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan budaya kelompok penuturnya, terutama tentang nilai-nilai budaya yang ditunjukkan melalui penggunaan bahasa. Cara pengekspresian (melalui penggunaan bahasa) nilai-nilai budaya masyarakat/suku tertentu biasanya tidak sama dengan cara yang dilakukan oleh masyarakat/suku lain. Cara yang dilakukan masyarakat/Suku Minangkabau dalam mengekspresikan nilai kesantunan dan/atau kesopanan, misalnya, berbeda dengan cara yang dilakukan masyarakat/suku Batak. Pada umumnya, masyarakat/Suku Minangkabau memilih menggunakan ungkapan tidak langsung (indirect speech) untuk menyampaikan maksud- maksud tertentu, sedangkan masyarakat/suku Batak memilih menggunakan ungkapan langsung (direct speech). Ketika bertamu, misalnya, orang Minangkabau akan menyindir tuan rumah dengan berkata, "Panas betul udara di sini," atau "Jauh betul tempat ini," agar segera disuguhi minuman. Hal seperti itu tidak lazim dilakukan oleh masyarakat/suku Batak karena kebiasaan mereka tidak menyukai basa-basi. Dalam hal ini, masyarakat/suku Batak tidak merasa segan/malu untuk mengatakan haus atau lapar kepada tuan rumah. Begitulah, melalui bahasa, seluruh aspek kehidupan manusia (baik secara personal maupun komunal) dapat dibaca. Di sinilah pepatah: Bahasa menunjukkan bangsa itu menemukan relevansinya. Ibarat cermin, bahasa mampu memperlihatkan segala sesuatu yang ada di depannya dengan sempurna. Dengan kata lain, bahasa merupakan potret diri penggunanya. Nah, bagaimana dengan Bangsa Indonesia? Sudahkah bangsa ini memiliki kesadaran penuh bahwa bahasa menunjukkan bangsa? Jawabannya pasti beragam. Sebagai penutup, mari kita renungkan makna bidal berikut ini. "Yang kurik ialah kundi, yang merah ialah saga. Yang baik ialah budi, yang indah ialah bahasa." Diambil dan disunting dari: Nama situs: Cabik Lunik URL situs: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/03/alinea-bahasa-menunjukkan-bangsa.html Penulis: Yanti Riswara Tanggal akses: 1 Juli 2013 Kontak: penulis(at)sabda.org Redaksi: Yudo, Santi T., dan Berlin B. Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |