Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/135

e-Penulis edisi 135 (5-6-2013)

Historiografi (I)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                         Edisi 135/Juni/2013                           
                        Tema: Historiografi(I)               
                
e-Penulis -- Historiografi(I)
Edisi 135/Juni/2013 -- Historiografi(I)

DAFTAR ISI
DARI REDAKSI: METODE MEMBAHASAKAN PERISTIWA
ARTIKEL     : HISTORIOGRAFI INDONESIA
POJOK BAHASA: BAHASA INDONESIA TEMPO DULU LEBIH CANTIK?
STOP PRESS  : DAPATKAN POKOK DOA SELAMA BULAN PUASA: "MENGASIHI BANGSA 
              DALAM DOA"!

DARI REDAKSI: METODE MEMBAHASAKAN PERISTIWA

Shalom!

Harus diakui bahwa Indonesia telah melewati sejarah yang cukup panjang 
untuk mencapai pada titik sekarang ini. Bukan hanya sejarah dalam 
perjuangan membebaskan diri dari penjajahan Belanda, sejarah Indonesia 
juga mencakup budaya, agama, dan juga kesusastraan. Perubahan yang 
terus terjadi dalam bidang-bidang tersebut menjadi catatan yang dapat 
diwariskan bangsa ini kepada generasi penerusnya. Pada gilirannya, 
generasi penerus inilah yang akan menamai catatan tersebut dengan 
"sejarah". 

Kita tentu pernah belajar sejarah, entah dari sekolah, menonton film, 
atau dari membaca buku. Mungkin, kita pernah bertanya, "Bagaimana 
semua kisah itu didokumentasikan atau dituliskan?" Dalam kepenulisan, 
kita mengenal suatu istilah "historiografi", yang merupakan bagian 
dari metode penulisan sejarah. Ini merupakan teknik membahasakan 
peristiwa sehingga peristiwa yang terjadi di masa lalu masih dapat 
diketahui oleh generasi berikutnya. Dalam edisi kali ini, kami 
mengangkat topik tentang historiografi untuk mengintip karya-karya 
sejarah Indonesia. Kiranya artikel ini bermanfaat bagi Anda, terutama 
Anda yang tertarik dengan kepenulisan sejarah. Pada kolom Pojok 
Bahasa, Anda juga dapat menyimak contoh pergeseran gaya bahasa dalam 
Bahasa Indonesia, yang tentunya menjadi bagian dari sejarah 
perkembangan kesusastraan Indonesia. Selamat membaca.

Redaksi e-Penulis,
Berlin B.
http://pelitaku.sabda.org


               ARTIKEL: HISTORIOGRAFI INDONESIA

Metode historis sebagai metode penulisan sejarah meliputi empat 
langkah, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. 
Langkah keempat, yakni historiografi, merupakan wujud atau hasil karya 
dengan metode sejarah. Dalam materi Historiografi Indonesia kali ini 
akan dibahas tentang perkembangan historiografi (penulisan sejarah) di 
Indonesia.

Historiografi Indonesia

Karya sejarah Indonesia baik dari masa lampau sampai masa sekarang 
(dikenal dengan nama sejarah kontemporer) telah banyak ditulis, baik 
oleh sejarawan atau pemerhati sejarah bangsa kita sendiri, maupun 
bangsa asing. Dari berbagai penulisan sejarah Indonesia (historiografi 
Indonesia) dari berbagai zaman/masa, baik ditulis oleh bangsa maupun 
bahasa asing; maka penulisan sejarah Indonesia dapat dikelompokkan 
menjadi tiga, yakni:
a. historiografi tradisional,
b. historiografi kolonial, dan
c. historiografi nasional.

a. Penulisan Sejarah Tradisional (Historiografi Tradisional)

Penulisan sejarah tradisional adalah penulisan sejarah yang dimulai 
dari zaman Hindu sampai masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. 
Penulisan sejarah pada zaman ini berpusat pada masalah-masalah 
pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa, bersifat istanasentris, 
yang mengutamakan keinginan dan kepentingan raja. Penulisan sejarah di 
zaman Hindu-Buddha pada umumnya ditulis diprasastikan dengan tujuan 
agar generasi penerus dapat mengetahui peristiwa di zaman kerajaan 
pada masa dulu, di mana seorang raja memerintah.

Dalam historiografi tradisional terjalinlah dengan erat unsur-unsur 
sastra, sebagai karya imajinatif dan mitologi, sebagai pandangan hidup 
yang dikisahkan sebagai uraian peristiwa pada masa lampau, seperti 
tercermin dalam babad atau hikayat. Contoh-contoh historiografi 
tradisional di antaranya ialah sejarah Melayu, hikayat raja-raja 
Pasai, hikayat Aceh, Babad Tanah Jawi, Babad Pajajaran, Babad 
Majapahit, Babad Kartasura, dan masih banyak lagi.

Adapun ciri-ciri dari historiografi tradisional adalah sebagai 
berikut.

1. Religio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau 
   keluarga raja (keluarga istana), maka sering juga disebut istana 
   sentris atau keluarga sentris atau dinasti sentris.

2. Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan 
   hanyalah kehidupan kaum bangsawan feodal, tidak ada sifat 
   kerakyatannya. Historiografi tersebut tidak memuat riwayat 
   kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segi sosial dan ekonomi 
   dari kehidupan rakyat.

3. Religio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal 
   yang gaib.

4. Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan yang nyata.

5. Tujuan penulisan sejarah tradisional untuk menghormati dan 
   meninggikan kedudukan raja, dan nama raja, serta wibawa raja supaya 
   raja tetap dihormati, tetap dipatuhi, tetap dijunjung tinggi. Oleh 
   karena itu, banyak mitos bahwa raja sangat sakti, raja sebagai 
   penjelmaan/titisan dewa, apa yang dikatakan raja serba benar 
   sehingga ada ungkapan "sadba pandita ratu datan kena wowawali" (apa 
   yang diucapkan raja tidak boleh berubah, sebab raja segalanya). 
   Dalam konsep kepercayaan Hindu, raja adalah "mandataris dewa" 
   sehingga segala ucapan dan tindakannya adalah benar.

6. Bersifat regio-sentris (kedaerahan), maka historiografi tradisional 
   banyak dipengaruhi daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau 
   cerita-cerita dewa di daerah tersebut.

7. Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma 
   (bertuah, sakti).

b. Historiografi Kolonial

Berbeda dengan historiografi tradisional, historiografi kolonial 
merupakan penulisan sejarah yang membahas masalah penjajahan Belanda 
atas Bangsa Indonesia. Penulisan tersebut dilakukan oleh orang-orang 
Belanda dan banyak di antara penulisnya yang tidak pernah melihat 
Indonesia. Sumber-sumber yang dipergunakan berasal dari arsip negara 
di negeri Belanda dan di Jakarta (Batavia); pada umumnya tidak 
menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Sesuai dengan 
namanya, yaitu historiografi kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat 
bila disebut penulisan sejarah Indonesia. Lebih tepat disebut sejarah 
Bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Mengapa demikian? Hal 
ini tidaklah mengherankan, sebab fokus pembicaraan adalah Bangsa 
Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah Bangsa Indonesia di 
masa penjajahan Belanda. Itulah sebabnya, sifat pokok dari 
historiografi kolonial ialah Eropa sentris atau Belanda sentris. Yang 
diuraikan atau dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas 
Bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni 
(orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal 
dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. 
Aktivitas rakyat tanah jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama 
sekali.

Contoh historigrafi kolonial, antara lain sebagai berikut.
1. Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van Leur.
2. Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke.
3. Indonesian Society in Transition karangan Wertheim.

c. Historiografi Nasional

Sesudah Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945, maka 
sejak saat itu ada kegiatan untuk mengubah penulisan sejarah Indonesia 
sentris. Artinya, Bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia menjadi fokus 
perhatian, sasaran yang harus diungkap, sesuai dengan kondisi yang 
ada, sebab yang dimaksud dengan sejarah Indonesia adalah sejarah yang 
mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala 
aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Dengan 
demikian, maka muncul historiografi nasional yang memiliki sifat-sifat 
atau ciri-ciri sebagai berikut. 1. Mengingat adanya character and 
nation-building. 2. Indonesia sentris. 3. Sesuai dengan pandangan 
hidup Bangsa Indonesia. 4. Disusun oleh orang-orang atau penulis-
penulis Indonesia sendiri, mereka yang memahami dan menjiwai, dengan 
tidak meninggalkan syarat-syarat ilmiah.

Contoh historiografi nasional, antara lain sebagai berikut.
1. Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan 
   Imperialisme, editor Sartono Kartodirdjo.
2. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I sampai dengan VI, editor 
   Sartono Kartodirdjo.
3. Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara, karya R. Moh. 
   Ali.
4. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid I sampai dengan XI, 
   karya A.H. Nasution.

Pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam kajian sejarah dikaitkan dengan 
ketidakpuasan para sejarawan sendiri dengan bentuk-bentuk 
historiografi lama yang ruang lingkupnya terbatas. Historiografi baru 
membuka ruang cakupan yang lebih luas. Untuk itu, diperlukan 
penyempurnaan metodologi, yaitu penggunaan konsep-konsep ilmu sosial 
dalam analisis-analisisnya. Sehubungan dengan ini, maka lebih jelas 
dibedakan antara sejarah lama (the old history) dan sejarah baru (the 
new history), seperti di bawah ini.

a. Sejarah Lama (The Old History):
1. Disebut sejarah konvensional; sejarah tradisional.
2. Mono dimensional.
3. Pemaparan deskriptif-naratif.
4. Ruang cakup terbatas.
5. Tema terbatas (sejarah politik lama atau sejarah ekonomi lama).
6. Para pelaku sejarah terbatas pada raja-raja, orang-orang besar, 
   pahlawan atau jenderal.
7. Tanpa pendekatan ilmu-ilmu sosial.

b. Sejarah Baru (The New History):
1. Disebut sejarah baru, sejarah ilmiah (scientific history atau 
   social scientific history); sejarah total (total history).
2. Multi dimensional.
3. Para pelaku sejarah luas dan beragam, segala lapisan masyarakat 
   (vertikal ataupun horisontal; top down atau bottom up).
4. Ruang cakup luas; segala aspek pengalaman dan kehidupan manusia 
   masa lampau.
5. Tema luas dan beragam, sejarah politik baru, sejarah ekonomi baru, 
   sejarah sosial, sejarah agraria (sejarah petani, sejarah pedesaan), 
   sejarah kebudayaan, sejarah pendidikan, sejarah intelektual, 
   sejarah mentalitas, sejarah psikologi, sejarah lokal, sejarah 
   etnis.
6. Pemaparan analitis-kritis.
7. Menggunakan pendekatan interdisiplin ilmu sosial (politikologi, 
   ekonomi, sosiologi, antropologi, geografi, demografi, psikologi).

Catatan: Artikel "Historiografi Indonesia" ini merupakan rangkuman 
yang diambil dari empat buku yang diambil dari BSE karangan Wardhani, 
Tarunasena, Dwi ari Listyani, dan Hendrayana. Semua materi 
historiografi Indonesia ini masih berhubungan erat dengan materi zaman 
aksara di Indonesia.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: Sentra Edukasi
Alamat URL: http://www.sentra-edukasi.com/2011/08/historiografi-indonesia.html
Penulis: Alfiansyah
Tanggal akses: 8 Mei 2013


      POJOK BAHASA: BAHASA INDONESIA TEMPO DULU LEBIH CANTIK?

Tanpa kita sadari, Bahasa Indonesia sudah banyak mengalami perubahan 
penampilan dibandingkan dengan era tahun 1950-an. Menurut saya, pada 
zaman itu, gaya bahasanya lebih cantik dan lebih mengena di hati. 
Barangkali pada masa itu, pengaruh Bahasa Melayu masih sangat kental 
merasuk pada gaya penulisan wartawan dan sastrawan dan secara pelan 
tapi pasti "genre" ini menyurut dan meluntur. Bahasa Indonesia yang 
kita geluti sekarang ini terasa lebih lugas (zakelijk) dan lebih 
harfiah (letterlijk). Berikut akan saya coba ungkit kenangan manis 
penulisan bahasa kita tempo dulu yang kini nyaris tak dikalamkan orang 
lagi.

"Alangkah girang hatinya, mengetahui sang istri telah berbadan dua". 
Idiom "berbadan dua" sebagai ungkapan "hamil" terasa begitu puitis. 
"Pembegal itu akhirnya dijebloskan ke hotel prodeo". Kata Latin 
`prodeo` (secara harfiah berarti "untuk Tuhan") bermakna "gratis", dan 
metafora "hotel gratis" tentu dimaksudkan dengan "penjara". Rasanya 
tak pernah lagi saya membaca kiasan "hotel prodeo" ini ditulis pada 
media massa kontemporer. "Hari belum begitu larut malam, namun dia 
telah beranjak ke pulau kapuk". Aduhai, sangat nostalgik mendengar 
perumpamaan "pulau kapuk" ini. Bagi generasi muda yang mungkin masih 
asing dengan istilah ini, saya jelaskan bahwa "pulau kapuk" adalah 
"kasur", jadi "pergi ke pulau kapuk" berarti "tidur".

"Skandal yang menghebohkan itu nampaknya akan dipetieskan". Baru 
beberapa waktu berselang saya "menemukan" bahwa "kulkas" di Malaysia 
dinamakan dengan "peti sejuk" atau "peti ais" (dari Bahasa Belanda 
"ijskast"). Rupanya, di negeri kita sendiri kata "peti es" ini pernah 
eksis, terbukti ada idiom "dipetieskan". Kalau dalam wacana masa kini, 
kita sering menggunakan istilah "dibekukan", maknanya "tidak akan 
diungkap lebih lanjut dan dicoba untuk ditutupi". "Pemerintah hanya 
berpangku tangan menghadapi krisis ekonomi". Ekspresi cantik ini 
bermakna "tidak berbuat sesuatu apa pun atau hanya terpekur".

"Menghadapi gempuran yang bertubi-tubi, musuh akhirnya bertekuk 
lutut". Meskipun kita dapat mengatakan dengan "musuh menyerah", kiasan 
"musuh bertekuk lutut" ini terasa amat anggun. "Jangan menjadi benalu 
dalam rumahtangganya". Perumpamaan "benalu" yang bermakna "orang yang 
mengambil keuntungan tanpa imbal jasa" terasa sangat kuat geregetnya. 
Di masa tahun 1950an, saya juga sering membaca cercaan "Dasar orang 
tak tahu diuntung". Apatah artinya "orang tak tahu diuntung"? Dia 
adalah orang yang egois, orang yang membalas kebaikan dengan 
keburukan".

Pada masa itu, pejabat yang mengundurkan diri dinamakan dengan 
"meletakkan jabatan" dan acara penyerahan jabatan dinamakan dengan 
"acara timbang terima". Diskon atau korting harga barang di toko 
dinamakan dengan "rabat". "Pemuka masyarakat itu sudah tamat 
riwayatnya". "Tamat riwayatnya" tentu bukan tewas, melainkan "habis 
masa depan kariernya". Dan yang bersangkutan biasanya akan bergumam 
"celaka tiga belas". "Pada hari Ahad saya biasa makan angin dengan 
mengendara sepeda kumbang." Ada yang masih ingat dengan "sepeda 
kumbang"? Ya, benar, dia adalah "sepeda motor" alias "motor bebek".

Sekian dahulu, saya tutup nostalgia bahasa ini sampai di sini dahulu.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama situs   : Kompasiana.com
URL situs    : http://bahasa.kompasiana.com/2013/03/11/bahasa-indonesia-tempo-dulu-lebih-cantik-541109.html
Penulis      : Gustaaf Kusno
Tanggal akses: 4 Juni 2013


       STOP PRESS: DAPATKAN POKOK DOA SELAMA BULAN PUASA: 
                  "MENGASIHI BANGSA DALAM DOA"!

Apakah Anda terbeban untuk menanam lutut Anda bagi bangsa-bangsa yang 
belum mengenal Kristus? Kami mengajak Anda bersatu hati untuk berdoa 
bagi saudara-saudara kita, khususnya bagi mereka yang akan 
melaksanakan ibadah puasa.

Jika Anda rindu untuk turut ambil bagian berdoa bagi bangsa, kami akan 
mengirimkan pokok-pokok doa dalam versi e-mail untuk menjadi pokok doa 
kita bersama. Untuk berlangganan, silakan kirimkan e-mail ke: 
==> < subscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org >

Bagi Anda yang ingin agar teman-teman Anda pun bisa ikut berdoa dengan 
memakai bahan pokok doa ini, silakan kirimkan alamat e-mail mereka ke 
Redaksi e-Doa di: < doa(at)sabda.org >

Marilah kita bersama berpuasa dan berdoa untuk Indonesia agar tangan 
Tuhan yang penuh kuasa memulihkan bangsa kita untuk hormat dan 
kemuliaan bagi nama-Nya. Selamat menjadi "penggerak doa" di mana pun 
Anda berada dan biarlah karya Tuhan terjadi di antara umat-Nya, 
khususnya bangsa Indonesia. Selamat berdoa.


Kontak: penulis(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Santi T., dan Berlin B.
Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Arsip: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org