Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/127 |
|
e-Penulis edisi 127 (7-2-2013)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 127/Februari/2013 Tema: Pengaruh Budaya Nusantara dalam Sastra Indonesia (I) e-Penulis -- Pengaruh Budaya Nusantara dalam Sastra Indonesia (I) Edisi 127/Februari/2013 DAFTAR ISI DARI REDAKSI: BUDAYA: ABSTRAK SEKALIGUS NYATA DALAM SASTRA ARTIKEL : PENGARUH BUDAYA NUSANTARA TERHADAP SASTRA POJOK BAHASA: EFEK JERA DENGAN BAHASA GAMBLANG STOP PRESS : IKUTILAH! KELAS DISKUSI DASAR-DASAR IMAN KRISTEN (DIK) PERIODE MEI/JUNI 2013 DARI REDAKSI: BUDAYA: ABSTRAK SEKALIGUS NYATA DALAM SASTRA Shalom! Setiap orang memiliki paling tidak satu faktor yang paling berpengaruh dalam membentuk kehidupannya. Faktor-faktor itu bisa jadi pola pikirnya, kedua orang tuanya, lingkungannya, maupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Tetapi, apa yang memengaruhi setiap faktor tersebut? Jawabannya adalah budaya. Budaya merupakan ibu dari setiap ritual, kebiasaan, kesenian, dan adat, dalam masyarakat manusia. Sekalipun nyata, budaya merupakan sesuatu yang abstrak dan selalu berkembang, tidak terikat pada suatu masa, sekalipun selalu berkaitan dengan wilayah geografis. Sastra merupakan perwujudan budaya dalam bidang komunikasi. Sastra menyampaikan pokok pikiran seorang penulis/penggubah melalui bahasa (salah satu pembentuk budaya) secara tertulis maupun lisan. Di dalam sastra, budaya menjelma menjadi kitab-kitab, lagu-lagu, bahkan mantra- mantra. Lalu, bagaimana budaya memengaruhi sastra, dan sejauh mana sastra dipengaruhi budaya? Temukan jawabannya dalam artikel yang kami sajikan dalam edisi ini. Selamat membaca. Tuhan Yesus memberkati! Pemimpin Redaksi e-Penulis, Yudo < yudo(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > ARTIKEL: PENGARUH BUDAYA NUSANTARA TERHADAP SASTRA Ditulis Oleh: Santi T. Budaya dan Bahasa Ketika berbicara mengenai budaya, kita harus mau membuka pikiran untuk menerima banyak hal baru. Budaya bersifat kompleks, luas, dan abstrak. Budaya tidak terbatas pada seni yang sering kali dilihat dalam gedung kesenian atau tempat bersejarah, seperti museum. Tetapi, budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh. Budaya memunyai banyak aspek yang turut menentukan perilaku komunikatif. Beberapa orang bisa mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain. Hal ini dikarenakan budaya memunyai keistimewaannya sendiri. Budaya masyarakat satu berbeda dengan budaya masyarakat yang lainnya, sehingga seseorang harus bisa menyesuaikan perbedaan-perbedaannya. Kebudayaan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Ada banyak unsur yang membentuk budaya, termasuk bahasa, adat istiadat, sistem agama dan politik, perkakas, pakaian, dan karya seni. Bahasa merupakan perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi, baik melalui tulisan, lisan, ataupun gerakan. Sebagai perwujudan budaya, bahasa dapat berperan dalam dua hal: 1. Sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, mengadakan integrasi, dan adaptasi sosial. 2. Sebagai alat untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengaruh Budaya Terhadap Sastra Bahasa tidak hanya memunyai hubungan dengan budaya, tetapi juga sastra. Bahasa memunyai peranan yang penting dalam sastra karena bahasa punya andil besar dalam mewujudkan ide/keinginan penulisnya. Banyak hal yang bisa tertuang dalam sebuah sastra, baik itu puisi, novel, roman, bahkan drama. Setiap penulis karya sastra hidup dalam zaman yang berbeda, dan perbedaan zaman inilah yang turut ambil bagian dalam menentukan warna karya sastra mereka. Oleh karena itu, ada beberapa periode dalam penulisan karya sastra, seperti Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya. Setiap periode "mengangkat" latar belakang yang berbeda-beda sesuai zaman dan budaya saat itu. Sebagai contoh, kesusastraan Indonesia. Kesusastraan Indonesia menjadi potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Tidak jarang, kesusastraan Indonesia mencerminkan perjalanan sejarah Indonesia, "kegelisahan" kultural, dan manifestasi pemikiran Bangsa Indonesia. Misalnya, kesusatraan zaman Balai Pustaka (1920 -- 1933). Karya-karya sastra pada zaman itu menunjukkan problem kultural ketika Bangsa Indonesia dihadapkan pada budaya Barat. Karya sastra tersebut memunculkan tokoh- tokoh (fiksi) yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Selain itu, ada budaya "lama", seperti masalah adat perkawinan dan kedudukan perempuan yang mendominasi novel Indonesia pada zaman Balai Pustaka. Sekarang ini, novel Indonesia cenderung menyajikan konflik cinta, sains, kekeluargaan, dll.. Bagaimana pendapat Anda mengenai puisi zaman sekarang? Tentu saja ada perbedaan yang sangat kentara, baik dalam topik yang "diangkat" maupun bahasa yang digunakan. Sebagai contoh, kumpulan puisi Mbeling karya Remy Sylado, tahun 2005. Sebagian besar puisi Mbeling yang ia tulis mengangkat kehidupan politik pada saat itu, seperti korupsi, koruptor, individualisme, dll.. Secara penulisan, beberapa puisi karya Remy Sylado hanya terdiri 1 -- 2 kata saja dan disusun dengan tipografi yang unik. Misal, puisi berjudul "Individualisme dalam Kolektivisme". Puisi ini hanya terdiri dari kata "kita" dan "aku". Kedua kata ini disusun dengan pola membentuk persegi panjang, dengan kata "AKU" (kapital) pada titik diagonalnya. Jika dibandingkan dengan puisi pada zaman Muhammad Yamin, tentu mengalami perbedaan. Meskipun mengangkat tema yang sama, misalnya politik, tetapi konten penyajian puisi sangatlah berbeda. Puisi Muhammad Yamin lebih mengangkat sisi perumusan konsep kebangsaan, meskipun saat itu masih dalam lingkup Sumatera. Jelas sangat berbeda dengan puisi Remy Sylado, yang lebih condong menyajikan sisi kehidupan politik sebuah bangsa berkembang dengan kondisi pemerintahan yang kurang baik. Perbedaan karya sastra setiap periode bukanlah semata-mata karena ide/gagasan dari penulisnya. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik, dan budaya yang terjadi pada saat itu. Bahkan, jika kita mau merunut karya sastra dari awal sampai sekarang, dan meneliti lebih dalam mengenai latar belakang ideologi saat itu, kita bisa mendapati bagaimana proses perjalanan Bangsa Indonesia. Meskipun karya sastra di Indonesia bisa dibilang hampir pada posisi "tengah" -- tidak terlalu menonjol dan tidak terpuruk, namun perlu disadari bahwa budaya barat sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu, turut memengaruhi karya sastra Indonesia. Pernahkah Anda mendengar karya sastra Indonesia modern? Gaya sastra asing (barat) dan pengaruh bentuk menjadi patokan untuk menyebut sastra Indonesia yang modern. Pada kenyataannya, ketika pengarang hidup dalam budayanya, ia mencoba untuk menerima tradisi estetis (gaya barat) dengan budayanya. Penerimaan tradisi estetis tersebut dituangkan dalam karyanya, dijadikan latar/setting pada tulisannya, sekadar memberi warna dalam proses kreatif yang ia lakukan. Akibatnya, sastra lama hanya akan menjadi sebuah artefak. Para peneliti sastra pun menjadi asing dengan tradisi yang dimiliki oleh sejarah panjang sastra di Indonesia, melalui karya-karya sastra yang ada. Budaya dan sastra memunyai ketergantungan satu sama lain. Sastra sangat dipengaruhi oleh budaya, sehingga segala hal yang terdapat dalam kebudayaan akan tercermin di dalam sastra. Masinambouw mengatakan bahwa sastra (bahasa) dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Jika kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, bahasa (sastra) adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya suatu interaksi. Sumber bacaan: 1. Muhyidin, Asep, M.Pd.. "Artikel-Artikel Tentang Sastra Indonesia". Dalam http://sihombing92.blogspot.com/2012/05/artikel-sastra-indonesia.html 2. Sihombing, Bobby. "Artikel Sastra Indonesia". Dalam http://sihombing92.blogspot.com/2012/05/artikel-sastra-indonesia.html 3. ________________. "Hubungan Budaya dan Sastra". Dalam http://nindy91.wordpress.com/2010/10/28/hubungan-budaya-dan-sastra/ POJOK BAHASA: EFEK JERA DENGAN BAHASA GAMBLANG "Sebagian besar balita di dusun itu menderita gizi buruk." Demikian kalimat yang dikutip dari sebuah berita di sebuah surat kabar. Sepertinya, tak ada yang salah dengan kalimatnya. Juga tak ada yang salah dengan penulis beritanya. Hanya ada istilah yang saat ini jadi sering digunakan, yaitu "gizi buruk". Maksudnya, busung lapar atau balita yang menderita sakit karena kurang makan, kurang gizi, kurang vitamin, pokoknya serba kuranglah. Maunya sih memperhalus bahasa, mungkin penulisnya ingin agar terlihat lebih terpelajar. Jika kita melihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "gizi" adalah sebuah kata nomina (kelas kata yang tidak dapat digabung dengan kata "tidak") yang berarti zat makanan pokok yang diperlukan bagi pertumbuhan dan kesehatan badan. Sedangkan "buruk" memunyai banyak arti: (1) Rusak atau busuk karena sudah lama; (2) (kelakuan dsb.) Jahat; tidak menyenangkan; (3) (muka, rupa, dsb.) Tidak cantik; tidak elok; jelek. Jadi, gizi buruk artinya adalah zat makanan yang tidak baik atau yang jelek. Pertanyaannya adalah, mengapa harus memakai istilah "gizi buruk"? Apa yang salah jika kita memakai kata-kata yang gamblang? "Sebagian besar balita di dusun itu menderita kurang gizi" atau "Sebagian besar balita di dusun itu menderita kelaparan!" tampaknya akan lebih menohok dibanding menggunakan istilah baru yang terlalu halus. Dengan begitu, jika di antara pembaca ada orang yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, tentunya akan malu (meski zaman sekarang banyak yang `nggak` punya malu), dan sudah seharusnya langsung bertindak memperbaiki kelalaiannya, agar balita yang kurang gizi tak terjadi lagi. "Polisi menangkap tersangka illegal logging yang merupakan suami dari seorang bintang film terkenal." Mengapa tidak pakai istilah "maling kayu" saja? Biar pelakunya malu sekalian, atau bisa juga membuat calon pelaku lain mengurungkan niatnya, hanya karena tidak ingin disebut maling. Istilah yang cukup baru dan sering digunakan adalah PSK, kepanjangan dari Pekerja Seks Komersial (meski banyak pekerja biro iklan yang juga mengaku sebagai PSK, alias Pekerja Seni Komersial. Hehehe ...). Padahal dulu sebelumnya kita mengenal istilah Wanita Tuna Susila (WTS) atau gigolo jika pelakunya pria, yang maksudnya juga untuk memperhalus, tetapi lama-kelamaan juga dianggap istilah kasar. Bukan tak mungkin istilah PSK semakin lama dianggap kasar juga? Jadi, mengapa tidak sekalian saja gunakan istilah aslinya pelacur. Dengan harapan, para pelakunya jadi malu, dan minimal punya niat untuk tidak melacur lagi. Penggunaan bahasa gamblang memang belum tentu serta-merta dapat memberi efek jera pada para pelaku, atau yang bertanggung jawab terhadap objek kalimat. Namun, paling tidak dapat langsung memberi tahu masyarakat akan sebuah kenyataan buruk yang sudah bukan saatnya lagi untuk ditutup-tutupi, atau dimanipulasi seolah-olah "everything oke". Jika para pemimpin bank yang membawa lari uang nasabahnya dan juga merugikan negara miliaran rupiah itu membaca, bahwa dirinya ternyata adalah seorang maling uang nasabah, dan bukan seorang penunggak utang BLBI, tentunya mereka akan malu menginjakkan kaki ke istana Presiden Republik Indonesia yang saat ini sudah dianggap sebagai antek kapitalis AS (bukan sekutu dekat AS). "Emang gua pikirin!" ujar salah seorang debitor dana BLBI, eh ... tukang `tilep` dana BLBI, yang mungkin sedang membaca tulisan ini. Diambil dari: Nama Situs : Bahasa, please! Alamat URL : http://benwal.blogdetik.com/2008/12/01/efek-jera-dengan-bahasa-gamblang/ Penulis : Bene Waluyo Tanggal akses: 18 Januari 2013 STOP PRESS: IKUTILAH! KELAS DISKUSI DASAR-DASAR IMAN KRISTEN (DIK) PERIODE MEI/JUNI 2013 Apakah Anda rindu mempelajari pokok-pokok penting seputar iman Kristen bersama rekan-rekan seiman dari berbagai penjuru melalui dunia maya? Yayasan Lembaga SABDA (YLSA) < http://ylsa.org > mengundang Anda untuk bergabung di kelas diskusi Dasar-Dasar Iman Kristen Mei/Juni 2013 yang diselenggarakan oleh Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam (PESTA) < http://pesta.org >. Dalam kelas ini setiap peserta akan belajar bersama secara khusus tentang penciptaan manusia, kejatuhan manusia dalam dosa, rencana keselamatan Allah melalui Yesus Kristus, dan hidup baru dalam Kristus. Pelajaran-pelajaran ini sangat berguna, baik orang Kristen lama maupun baru, untuk memiliki dasar-dasar iman kepercayaan yang teguh sesuai dengan kebenaran Alkitab. Diskusi akan dilakukan melalui milis diskusi (email) dan berlangsung mulai 08 Mei - 18 Juni 2013. Pendaftaran dibuka mulai hari ini dan segera hubungi Admin PESTA di < kusuma(at)in-christ.net >. Secepatnya, kami akan mengirimkan bahan DIK untuk dikerjakan setiap peserta sebagai tugas tertulis. Peserta kelas hanya dibatasi untuk 20 orang saja. Karena itu, daftarkanlah diri Anda sekarang juga! Kontak: penulis(at)sabda.org Redaksi: Yudo, Santi T., dan Berlin B. Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |