Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/125

e-Penulis edisi 125 (3-1-2013)

Pelestarian Budaya Lewat Sastra Daerah (I)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                        Edisi 125/Januari/2013
           Tema: Pelestarian Budaya Lewat Sastra Daerah (I)

DAFTAR ISI
DARI REDAKSI: LESTARIKAN WARISAN BUDAYA KITA LEWAT TULISAN!
ARTIKEL: ADA APA DENGAN SASTRA NUSANTARA?
POJOK BAHASA: SUARAKAN BAHASA DAERAHMU!

DARI REDAKSI: LESTARIKAN WARISAN BUDAYA KITA LEWAT TULISAN!

Shalom!

Menurut KBBI, sastra daerah adalah karya sastra yang ditulis dalam 
bahasa daerah. Tak hanya kitab-kitab sastra kuno, hikayat, dongeng, 
cerita rakyat, dan pantun dari masa lalu, kini cerpen, novel, maupun 
puisi berbahasa daerah juga dapat disebut sebagai sastra daerah, 
sastra daerah modern tepatnya.

Berkaitan dengan upaya pelestarian budaya, sastra daerah seharusnya 
dinilai sebagai alat yang paling efektif sebab sastra daerah tak hanya 
mengandung bahasa daerah, tetapi juga mengandung informasi tentang 
budaya serta adat istiadatnya. Sayangnya, berita yang kita baca akhir-
akhir ini justru menunjukkan kurangnya perhatian masyarakat kita 
terhadap sastra daerah. Hal ini semakin diperparah oleh kurangnya 
dukungan dari pemerintah kita, yang menurut saya sering 
mengumandangkan pentingnya pelestarian budaya, namun gagal mendorong 
perkembangan sastra daerah.

Kiranya lewat sajian dalam edisi ini, kami dapat menggugah Sahabat 
sekalian untuk menyadari betapa berharganya sastra daerah yang kita 
miliki dan ikut ambil bagian dalam upaya pelestarian budaya kita, 
melalui karya-karya kita. Selamat membaca dan tetaplah berkarya! Tuhan 
Yesus memberkati kita sekalian!

Pemimpin Redaksi e-Penulis,
Yudo
< yudo(at)in-christ.net >
< http://pelitaku.sabda.org >


             ARTIKEL: ADA APA DENGAN SASTRA NUSANTARA?

Ada apa dengan sastra Nusantara? Pertanyaan ini sudah terlintas lama 
di benak para pecinta sastra Nusantara. Belakangan ini, heboh bahwa 
bahasa daerah mulai hilang popularitasnya di zaman yang modern ini. 
Bahkan, peranannya dalam membudayakan tradisi pun semakin tidak 
dipandang sebagai sesuatu yang `Wah`. Sungguh sangat disayangkan. 
Sejalur dengan hal ini, M. Syahrizal pernah membahas bahwa Bahasa 
Indonesia menyebabkan punahnya bahasa-bahasa daerah. Benarkah? Dalam 
tulisannya dipaparkan, perkembangan bahasa daerah saat ini mulai 
memprihatinkan. Pasalnya, dari 742 bahasa daerah di Indonesia, hanya 
13 bahasa daerah saja yang penuturnya di atas satu juta orang. 
Selebihnya, terdapat 729 bahasa daerah yang penuturnya kurang dari 
satu juta orang, sementara 169 bahasa daerah lainnya terancam punah. 
Sungguh amat disayangkan melihat keadaan ini.

Bagaimana dengan kondisi sastra Nusantara di Indonesia saat ini? 
Pertanyaan inilah yang harus kita ulas lebih dalam. Sejatinya, sastra 
terlahir karena budaya. Begitu juga sebaliknya, sastra punah karena 
budaya itu punah. Perkembangan sastra Nusantara mulai terpinggirkan 
oleh sastra-sastra modern yang memakai bahasa yang serbaguna dan 
populer, seperti bahasa "alay" atau bahasa "gaul". Tentunya, kita 
merujuk pada pembelajaran sastra Nusantara yang meliputi sastra 
Melayu, sastra Minangkabau, sastra Batak, sastra Jawa, sastra Sunda, 
sastra Bali, sastra Aceh, sastra Karo, dan sastra daerah lainnya.

Lahirnya sastra modern saat ini tidak terlepas dari perjuangan sastra 
Nusantara. Puisi, pantun, maupun cerita pendek yang berkembang pesat 
di zaman canggih ini, semua itu karena ada sumbangsih sastra 
Nusantara. Semenjak puisi dan cerpen menjadi perbincangan dewasa ini, 
sastra Nusantara telah melahirkan itu semua, baik dalam puisi, pantun, 
maupun cerita rakyat. Puisi yang berkembang saat ini justru telah jauh 
berbeda dengan puisi zaman dulu. Puisi sekarang tampaknya tidak begitu 
mengikat dengan segala aturan dan kaidah perpuisian sastra Nusantara. 
Bahkan, semenjak lahirnya puisi kontemporer yang dibawa Sutardji 
Calzoum Bachri menyebabkan kaidah puisi lama seperti yang ada pada 
zaman sastra Nusantara, jauh bergeser. Memang hal yang luar biasa 
kalau dunia sastra semakin berkembang mengikuti zaman, namun alangkah 
baiknya jika kita tidak membuang kaidah-kaidah itu terlalu berlebihan. 
Hal ini justru menyebabkan puisi lama semakin merosot karena tak mampu 
mengikuti peradaban modern.

Sastra Nusantara tidak hanya dapat disuguhkan dengan pembacaan puisi 
yang sering diperlombakan seperti biasa, tanpa iringan musik. Dengan 
membawa sastra Nusantara ke dunia perpuisian, kita juga dapat 
menikmati pertunjukan puisi itu dengan musik tradisional seperti yang 
pernah dilakukan masyarakat Karo, Melayu, dan Minangkabau yang 
menjadikannya sebagai penghibur atau pengisi dalam upacara adat di 
zaman dulu.

Sudah saatnya kita, sebagai bangsa Indonesia, lebih menjunjung tinggi 
sastra Nusantara karena bagaimanapun, sastra Nusantara tidak boleh 
terlepas dari tradisi kebudayaan suku masing-masing. Apabila budaya 
dan sejarah sebagai identitas bangsa ini hilang, maka akan hilang 
jugalah sastra Nusantara. Ingatlah bahwa negara lain telah mengincar 
budaya kita. Itu terlihat jelas dengan banyaknya pendatang asing yang 
mau belajar di Indonesia, baik itu belajar berbahasa Indonesia maupun 
belajar budaya dan kesenian Indonesia. Memang suatu kebanggaan untuk 
kita jika Bahasa Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai bahasa 
yang paling diminati dunia. Tetapi, semua itu jangan membuat kita 
merasa tinggi hati dan lupa diri karena secara perlahan identitas 
negara ini dapat dikuasai oleh negara lain.

Untuk dapat mengembalikan popularitas sastra Nusantara dalam dunia 
modern, perlu ditekankan kepada penulis-penulis muda untuk lebih 
mengembangkan budaya lewat tulisan. Mengembangkan budaya lewat sastra 
merupakan sumbangan yang paling baik agar dapat meningkatkan sastra-
sastra Nusantara yang kini mematung bisu di tengah peradaban dan hanya 
dijadikan potret senja masa lalu.

Alangkah lebih baik jika penulis-penulis muda mengangkat nilai-nilai 
budaya lewat sastra seperti halnya Sartika Sari, Ria Ristiana Dewi, 
Wahyu Wiji Astuti, Rudiansyah Siregar, dan penulis muda lainnya. 
Mereka adalah sebagian kecil penulis yang cukup peduli dengan 
perkembangan sastra lewat budaya.

Jadi intinya, mulailah melestarikan budaya daerah lewat sastra! 
Karena, dunia sastra akan terus mencari jati dirinya. Mulailah 
memuliakan hidup lewat tulisan disertai dengan budaya, sebab negeri 
kita memunyai potensi yang cukup untuk dibawa berimajinasi. 
Kreativitas seorang pemikir sastra tidak akan pernah mati dan selalu 
mencari jati diri untuk menemukan jalannya sendiri. Hidup dunia sastra 
dan budaya!

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama Situs: Analisa Daily
Alamat URL: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/05/20/51566/ada_apa_dengan_sastra_Nusantara/#.UKrzpGdBd30
Penulis: Tri Harun Syafii
Tanggal akses: 12 November 2012


             POJOK BAHASA: SUARAKAN BAHASA DAERAHMU!

"Demam" berbahasa Indonesia sedang melanda daerah pedesaan. Para orang 
tua, terutama yang pernah tinggal atau menempuh pendidikan di kota, 
telah menggunakan Bahasa Indonesia kepada anak-anak mereka. Pilihan 
ini menyebabkan para anak lebih menguasai Bahasa Indonesia daripada 
bahasa daerahnya dan juga bahasa sukunya. Ada semacam kebanggaan pada 
diri orang tua, merasa hebat dan modern, ketika anaknya menguasai 
Bahasa Indonesia, dan justru tidak mengerti bahasa daerahnya.

Seperti kita tahu, di Indonesia ada sekitar 746 bahasa daerah yang 
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dan, sebuah peringatan besar 
telah ditabuhkan ketika UNESCO, melalui Organisasi Pendidikan, 
Keilmuan, dan Kebudayaannya, mengeluarkan hasil penelitiannya. Mereka 
menyebutkan sekitar 700 bahasa daerah di Indonesia terancam punah pada 
akhir abad 21. Kepunahan itu terjadi karena berbagai faktor, antara 
lain perkawinan campur dengan suku lain, urbanisasi, dan bencana alam.

Kita tentu tidak ingin kehilangan begitu banyak kekayaan budaya 
bangsa. Bahasa daerah harus tetap lestari menjadi bahasa yang 
dikuasai, selain Bahasa Indonesia dan bahasa lainnya. Untuk itu, 
sangat diperlukan komitmen kuat dari pemerintah. Salah satu cara 
melestarikan bahasa daerah adalah, misalnya, dengan memasukkan bahasa 
daerah ke dalam kurikulum pendidikan. Tidak hanya di tingkat 
pendidikan Sekolah Dasar, namun juga tingkat pendidikan di atasnya. 
Guru yang mengampu mata pelajaran ini juga harus benar-benar kompeten 
di bidangnya. Sehingga, kelestarian bahasa daerah tetap terjaga.

Saya cinta Bahasa Indonesia, saya juga cinta bahasa daerah saya. 
Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan dan nasional, sedangkan 
bahasa daerah merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia. Salah 
satu warisan budaya yang perlu dijaga kelestariannya. Mari suarakan 
bahasa daerahmu. Melestarikan bahasa daerah bukan hanya tugas yang 
diletakkan di bahu Negara, namun merupakan tanggung jawab kita 
bersama.

Buang jauh-jauh pikiran "ndeso" atau "katrok" ketika berbicara dalam 
bahasa daerah. Buang persepsi dalam diri, merasa modern dan hebat, 
ketika mengaku tidak lagi bisa berbahasa daerah. Tegaskan dalam diri, 
menguasai bahasa daerah berarti cinta budaya bangsa, bangga menjadi 
bangsa Indonesia yang sangat beragam.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama Situs: Kompasiana.com
Alamat URL: http://bahasa.kompasiana.com/2011/12/10/%E2%80%98%E2%80%99suarakan-bahasa-daerahmu%E2%80%99%E2%80%99/
Penulis: Suryono Brandoi Siringo-ringo
Tanggal akses: 12 November 2012


Kontak: penulis(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Santi T., dan Berlin B.
Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Arsip: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org