Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/118

e-Penulis edisi 118 (19-9-2012)

Pesan Moral dalam Tulisan (II)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                        Edisi 118/September/2012
                 Tema: Pesan Moral dalam Tulisan (II)

DAFTAR ISI
DARI REDAKSI: PENGAJAR YANG TAK MENGGURUI
TIP MENULIS: TIGA CARA PENYAMPAIAN PESAN MORAL DALAM KARYA FIKSI
TOKOH PENULIS: PHILIP YANCEY: ZIARAH KERAGUAN SEORANG PENULIS
PENA MAYA: THE SPURGEON ARCHIVE
STOP PRESS: PEMBUKAAN KELAS DISKUSI NATAL PESTA 2012

               DARI REDAKSI: PENGAJAR YANG TAK MENGGURUI

Shalom!

Sejak baru belajar membaca sampai lulus kuliah, mungkin sudah ribuan
judul karya fiksi yang mewarnai imajinasi kita. Dari cerita-cerita
rakyat sampai novel-novel populer, kita mempelajari berbagai nilai
moral sambil tetap menikmati alur cerita yang menawan. Namun demikian,
pasti kita juga pernah menemukan karya fiksi yang dikemas dalam cara
bercerita yang kaku dan seolah-olah menggurui. Alih-alih menghibur
kita, kisah itu justru lebih mirip catatan khotbah, padahal seharusnya
karya fiksi adalah pengajar yang tak menggurui; pengajar yang
menyampaikan nilai-nilai moral melalui kisah yang menakjubkan, bukan
kalimat-kalimat yang kaku.

Jadi, bagaimana cara menyampaikan pesan moral yang seharusnya? Anda
bisa menyimaknya dalam tip yang kami sajikan pada edisi ini. Jangan
lewatkan pula kolom Tokoh Penulis, yang kali ini mengangkat kisah
hidup Philip Yancey. Kiranya sajian kami dapat bermanfaat bagi Sahabat
e-Penulis sekalian. Selamat membaca. Tuhan Yesus memberkati.

Pemimpin Redaksi e-Penulis,
Yosua Setyo Yudo
< yudo(at)in-christ.net >
< http://pelitaku.sabda.org >

         TIP MENULIS: TIGA CARA PENYAMPAIAN PESAN MORAL DALAM
                              KARYA FIKSI
                      Ditulis oleh: Yosua S. Yudo

Hal utama yang harus diingat ketika menulis karya fiksi adalah mengapa
orang ingin membaca karya kita? Orang yang membaca karya fiksi tentu
saja sedang mencari hiburan. Bayangkan betapa kecewanya Anda ketika
sedang mencari hiburan lewat membaca cerpen, tetapi yang Anda temui
justru sebuah "catatan khotbah", lengkap dengan ayat-ayat dari Kitab
Suci. Hal itu bukan hanya menggelikan, tetapi juga membuat nilai-nilai
yang baik itu seolah menjadi hambar dan klise.

Menyajikan hiburan bukan berarti tidak bisa memberikan nasihat atau
pesan moral kepada pembacanya. Di bawah ini, saya akan menunjukkan
tiga cara yang dipakai oleh Bapak Literatur Fantasi dunia, J.R.R.
Tolkien, untuk membawa pembacanya mempelajari nilai-nilai moral
sekaligus menikmati karyanya.

1. Menggunakan tokoh dalam cerita.

Pesan moral disampaikan melalui tokoh-tokoh dalam cerita, sehingga
setiap tokoh menggambarkan nilai-nilai tertentu. Perhatikan bagaimana
J.R.R. Tolkien mengungkapkan nilai moral melalui karakter Sam Gamgee
menjelang akhir kisah "Kembalinya sang Raja" dalam trilogi "The Lord
Of The Rings":

Tangan Sam gamang. Pikirannya panas penuh kemarahan dan ingatan pada
kejahatan. Sangat adil bila membunuh makhluk pengkhianat dan pembunuh
ini, adil dan patut; dan kelihatannya inilah tindakan paling aman.
Tapi jauh di lubuk hatinya ada sesuatu yang menahannya: ia tidak bisa
memukul makhluk yang berbaring dalam debu itu, makhluk yang sedih,
hancur, dan sangat sial. Sam sendiri ... sudah pernah membawa Cincin
... ia bisa menduga penderitaan pikiran dan tubuh Gollum yang sudah
mengerut, diperbudak oleh Cincin, tak pernah lagi bisa mendapatkan
kedamaian atau ketenangan dalam hidupnya. Tapi Sam tidak memiliki
kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya.

"Ah, terkutuklah kau makhluk busuk! ... Pergi! Enyah! ... Kalau tidak,
aku akan menyakitimu ... ("The Hobbit", hlm. 266)

Tolkien tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa Sam memiliki belas
kasihan terhadap Gollum, makhluk yang sudah mengkhianati dan
mencelakai dirinya dan tuannya, Frodo. Tolkien hanya mengungkapkan apa
yang dirasakan, dilihat oleh Sam, dan apa yang dilakukannya, lalu
membebaskan pembaca untuk mengambil kesimpulan sendiri mengenai apa
yang mereka baca.

2. Menggunakan dialog antartokoh.

Bacalah dialog antara Bilbo Baggins dan Thorin Oakenshield yang tengah
sekarat di bawah ini, carilah pesan moral yang terkandung di dalamnya.

[Thorin berkata] "Selamat berpisah pencuri yang baik, katanya. "Aku
akan pergi ke aula penantian, duduk di sisi para leluhurku, menunggu
sampai dunia diperbarui. Karena aku akan pergi tanpa membawa emas atau
perakku, ke tempat di mana harta benda itu tak lagi berarti, maka aku
ingin berpisah denganmu sebagai sahabat ...."

Dengan sangat sedih Bilbo berlutut satu kaki. "Selamat berpisah, Raja
di Bawah Gunung!" katanya. "Petualangan kita sangat hebat, walau harus
berakhir begini. Dan segunung emas masih belum memadai untuk pelipur
lara karena perpisahan ini. Tapi aku gembira karena telah mengatasi
bahaya bersamamu. Ini merupakan kehormatan besar yang belum pernah
dialami oleh keluarga Baggins."

"Tidak!" kata Thorin. "Masih banyak kebaikan dalam dirimu yang tidak
kau sadari, O anak yang baik dari Barat. Kau memiliki keberanian dan
kebijaksanaan. Kalau saja kami semua lebih menghargai makanan dan
nyanyian lebih daripada harta dan emas, dunia ini pasti akan lebih
menyenangkan. Tapi menyenangkan atau menyedihkan, aku harus
meninggalkannya sekarang. Selamat tinggal!" ("The Lord of the Rings:
Kembalinya Sang Raja", hlm. 331)

Nilai moral apa yang dapat Anda tangkap dari percakapan di antara
kedua tokoh itu? Tentang persahabatan? Tentang apa yang lebih berharga
daripada harta? Apa pun itu, Tolkien membebaskan pembacanya untuk
menarik pesan moral itu sendiri.

3. Menggunakan jalinan cerita.

Cara lain untuk menyampaikan pesan moral adalah melalui jalan cerita
itu sendiri. Penulis hanya bercerita, jalan cerita itu sendirilah yang
akan "berbicara" kepada pembacanya. Bacalah kisah Frodo Baggins dan
sahabat-sahabatnya dalam trilogi "The Lord of the Rings", maka Anda
akan menemukan nilai-nilai persahabatan di salah satu bagiannya, nilai
moral tentang kesetiaan di bagian yang lain, serta nilai tentang
keberanian dan kegigihan dalam keseluruhan kisahnya.

Hal yang sama juga bisa Anda tiru. Selipkan pesan moral di berbagai
peristiwa yang membangun kisah yang Anda tulis, atau malah jangan
berusaha menyelipkannya; bercerita saja sambil dituntun oleh
nilai-nilai moral yang Anda percayai, biarkan cerita itu yang
memunculkan kesimpulan-kesimpulan dalam diri pembaca Anda.

Itulah 3 dari sekian banyak cara yang digunakan oleh Tolkien untuk
menyampaikan nilai-nilai moral kepada pembacanya. Gampang-gampang
sulit, tetapi bukan berarti tidak dapat dipelajari. Satu hal yang
harus diingat, jangan pernah menuliskan pesan moral secara eksplisit.
Itu sama saja seperti mengguyur pembaca Anda dengan air es saat mereka
membutuhkan selimut, akan sangat menyebalkan. Sebaliknya, tangkaplah
perhatian pembaca Anda dengan kisah yang menarik, plot yang cerdas,
dan tokoh-tokoh yang hidup, nilai moral yang ingin Anda sampaikan akan
berbicara dengan sendirinya kepada mereka. Selamat berkarya!

Sumber bacaan:
1. Tolkien, J.R.R. 2005. "The Hobbit". Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
   Hlm. 331.
2. Tolkien, J.R.R. 2005. "The Lord of the Rings: Kembalinya Sang Raja".
   Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 266.

    TOKOH PENULIS: PHILIP YANCEY: ZIARAH KERAGUAN SEORANG PENULIS

Philip Yancey besar di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, saat
segregasi (pemisahan) rasial masih mewarnai wilayah itu. Keluarganya
berjemaat di gereja yang kaku dan fundamentalistik. Di lingkungan ini,
Allah tampil sebagai sosok orang tua yang suka menindas: keras,
legalistik, pemarah, dan siap mengayunkan palu setiap kali kita
melakukan kesalahan.

Gerejanya pun tak luput dari sikap rasis. Mereka mencemooh Martin
Luther King. Pendetanya, dari atas mimbar, mengejek Martin Luther King
sebagai "Martin Lucifer Coon". Dan, mereka bersorak-sorak di gereja
saat menonton film yang memperlihatkan polisi memakai anjing dan
selang air, untuk menghadapi para demonstran kulit hitam.

Para pemimpin di gerejanya juga mendesak ayah Yancey yang sedang
sakit, untuk melepaskan alat bantu pernapasan. Mereka meyakinkan bahwa
ayahnya akan disembuhkan. Satu minggu kemudian, ayah Yancey meninggal.
Saat itu, Yancey baru berumur satu tahun.

Melalui buku-buku yang ia baca, Yancey menemukan jendela untuk
memandang dunia yang sesungguhnya. Ia melahap berbagai buku, seperti
",1984", "Animal Farm", dan "To Kill a Mockingbird". Buku-buku tersebut
membuka pikirannya, menantang pola didikannya, dan mempertanyakan
segala sesuatu yang telah diajarkan kepadanya. Semakin banyak ia
membaca, ia merasa semakin frustrasi. Perasaan dikhianati
melingkupinya, sehingga ia sempat melewati kurun waktu yang membuatnya
menolak gereja sama sekali. "Kalau mereka berdusta tentang hal ini,
mungkin mereka juga berdusta kepada saya tentang Alkitab; dan Yesus;
dan Allah; dan segala sesuatu yang lain," katanya.

Ruang Bagi Keraguan

Ia memulai kembali perjalanannya menuju iman melalui perjumpaan dengan
dunia yang sangat berbeda dari yang selama ini diajarkan kepadanya. Ia
menemukan jejak Tuhan di dalam keindahan alam, musik klasik, dan cinta
romantis. Saat mengalami hal itu, ia menyadari bahwa mungkin gambaran
Allah yang dipahaminya selama ini keliru. Lingkungan gereja masa
kecilnya tidak memberi tempat untuk keraguan. "Pokoknya percaya saja!"
kata mereka. Siapa saja yang menyimpang dari kebenaran yang sudah
digariskan, mengambil risiko dihukum sebagai pembangkang.

Dalam perjalanan imannya, ia menemukan gereja yang penuh kasih karunia
dan komunitas orang kristiani yang memberi tempat aman bagi
keraguannya. Ia melihat di dalam Injil, bahwa murid Yesus, Tomas,
tetap bersama-sama murid yang lain, walaupun ia tidak bisa memercayai
penuturan mereka tentang kebangkitan Yesus. Dan, di tengah komunitas
itulah, Yesus menampakkan diri untuk memperkuat iman Tomas.

Dengan cara yang sama, teman dan rekan-rekannya di majalah "Campus
Life", "Christianity Today", dan Gereja La Salle Street di Chicago
menciptakan pelabuhan penerimaan yang menopang dirinya ketika imannya
goyah. Ia bisa berkata di depan kelas yang ia pimpin di gereja, "Saya
tahu, seharusnya saya memercayai ini, tetapi terus terang, saat ini
saya mengalami masalah."

Ia merasa sedih bagi para peragu yang sendirian. "Kita semua
memerlukan teman yang bisa dipercaya dalam keraguan," katanya.

Menurutnya, "hal terbaik yang bisa dilakukan gereja adalah menyediakan
tempat yang aman dan terlindung; tempat di mana kepercayaan suatu hari
bisa tumbuh. Kita tidak perlu membawa kepercayaan yang sudah jadi ke
pintunya, sebagai tiket masuk. Ketika saya mulai menulis secara
terbuka tentang keraguan dan mempertanyakan beberapa dogma dalam
Injil, saya mengira akan menerima penolakan dan hukuman, seperti yang
saya alami di masa remaja. Namun, ternyata surat-surat yang marah dan
menuding jauh lebih sedikit daripada yang mendukung pertanyaan saya
dan hak saya untuk bertanya. Lambat laun, keraguan-keraguan itu mulai
kelihatan kurang penting atau menemukan jawaban, dan saya kira itu
terjadi karena ketakutan mencair. Saya belajar bahwa lawan iman
bukanlah keraguan, melainkan rasa takut."

Memanjat Gunung

Pergumulan seperti itulah yang mendorongnya meneliti, merenungkan, dan
menjelajahi pertanyaan-pertanyaan seputar iman. Ia kemudian
menuangkannya ke dalam buku-buku laris, seperti "Disappointment with
God", "Where ia God When It Hurts?", dan "What`s So Amazing About
Grace?"

Setelah melewati pergumulan iman itu, bagaimana sekarang ia mendekat
pada Allah yang dulu ia takuti? Ia meluangkan satu jam setiap pagi
untuk membaca buku-buku yang memberinya makanan rohani, merenungkan
firman Tuhan, berdoa, dan menikmati hadirat Allah. Saat teduh setiap
pagi secara khusus dipakainya tak lain untuk "menyesuaikan" diri
dengan Allah pada hari yang bersangkutan. Kemudian, sore harinya, ia
membaca Alkitab -- sekitar satu pasal setiap hari. "Saya mencoba untuk
tidak hanya berkonsentrasi pada pendalaman Alkitab, tetapi lebih fokus
pada, `Bagaimana saya bisa mengenali apa yang tengah Allah katakan
kepada saya?`"

Philip Yancey lulus sarjana Komunikasi dan Bahasa Inggris dari Wheaton
College Graduate School dan University of Chicago. Ia memulai karier
menulisnya dengan menjadi staf redaksi "Campus Life Magazine" pada
1971 dan bekerja di situ selama sepuluh tahun. Kemudian, ia
berkonsentrasi sebagai penulis lepas di berbagai media, selain menulis
kolom bulanan dan menjadi Editor [kolom] "at Large" di majalah
"Christianity Today".

Ia sudah menulis tak kurang dari enam belas buku yang terjual sampai
tiga belas juta eksemplar. Delapan judul di antaranya memenangkan Gold
Medallion Awards dari asosiasi penerbit kristiani Amerika Serikat.
Para manajer toko buku kristiani memilih "The Jesus I Never Knew"
sebagai Book of the Year 1996, dan "What`s So Amazing About Grace?"
pada 1998. Musim gugur 2006 buku terbarunya terbit, yaitu "Prayer:
Does It Make Any Difference?"

Tentang harapannya ke depan, ia berkata, "Saya ingin memanjat semua
gunung di Colorado yang tingginya lebih dari 14.000 kaki. Ada 54
gunung dan saya sudah memanjat 44 di antaranya. Saya ingin menulis
memoar tentang kepedihan dan sekaligus kengerian bertumbuh sebagai
seorang fundamentalis. Saya ingin tetap menikah dengan wanita yang
sama ... dan saya ingin terus meningkatkan wawasan dan menemukan
tantangan."

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: The Impact: Kisah Orang-orang Biasa yang Berdampak
            Luar Biasa
Penulis: Arie Saptaji
Penerbit: Gloria Graffa, Yogyakarta 2008
Halaman: 83 -- 89

                    PENA MAYA: THE SPURGEON ARCHIVE

Situs ini merupakan situs penulis Kristen yang dibuat oleh Phillip R.
Johnson, yang isinya berasal dari kumpulan tulisan, renungan, dan
kumpulan khotbah yang diambil dari 140 buku khotbah milik Spurgeon,
seorang pendeta yang berpengaruh pada kebangunan rohani di Inggris
pada abad ke-19. Beberapa menu, seperti Spurgeon`s Sermon (Khotbah
Spurgeon), Spurgeon`s Writing (Tulisan Spurgeon), Spurgeon`s Library
(Perpustakaan Surgeon), About Spurgeon (Tentang Spurgeon), dan
lain-lain dapat Anda temukan di situs ini. Pada halaman utama
disediakan pula menu tambahan seperti Pencarian, FAQ, Links, Indeks,
dan kontak webmaster. Kelebihan lain dari situs ini, yaitu pengunjung
dapat menikmati renungan secara luring (luar jaringan/"offline"), bisa
menggunakan AvantGo, dan memasang The Spurgeon Archive untuk mengunduh
A Daily Dose of Spurgeon. Anda dapat melakukan ini dengan mengunjungi
menu "Spurgeon To Go". (DIY)

Sumber
==> http://www.spurgeon.org

Diambil dari:
Nama situs: SABDA.org
Alamat URL: http://www.sabda.org/publikasi/icw/1147
Tanggal akses: 27 Juli 2012

          STOP PRESS: PEMBUKAAN KELAS DISKUSI NATAL PESTA 2012

PESTA kembali membuka kelas akhir tahun, yaitu kelas Natal 2012.
Diskusi akan berlangsung mulai tgl. 5 November -- 7 Desember 2012.
Kelas diskusi Natal ini akan mempelajari pokok-pokok penting seputar
kelahiran Tuhan Yesus Kristus dan relevansinya pada masa kini.

Daftarkanlah diri Anda sekarang juga ke Admin PESTA di
< kusuma(at)in-christ.net >. Pendaftaran ditutup tanggal 23 Oktober
2012. Jangan lewatkan kesempatan ini karena kelas hanya akan menampung
20 orang peserta saja. Pendaftaran tidak dipungut biaya!

Peserta akan mendapatkan sertifikat jika telah menyelesaikan tugas
wajib yaitu menulis renungan pendek berkaitan dengan Natal (tema
bebas).

Kontak: < penulis(at)sabda.org >
Redaksi: Yosua Setyo Yudo dan Novita Yuniarti
Kontributor: Santi Titik Lestari
Tim Editor: Davida Welni Dana, Novita Yuniarti, dan Santi Titik Lestari
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org/ >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/penulis >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org