Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-leadership/130

e-Leadership edisi 130 (12-11-2012)

Godaan Kepemimpinan (I)

==========MILIS PUBLIKASI E-LEADERSHIP EDISI NOVEMBER 2012============

                        GODAAN KEPEMIMPINAN (I)

                    e-Leadership 130 -- 12/11/2012

DAFTAR ISI
ARTIKEL: GODAAN KEPEMIMPINAN (I)
INSPIRASI: JAUHILAH GODAAN

Shalom,

Semakin besar dan tinggi kedudukan seseorang, maka semakin besar pula
ujian yang diterimanya. Status kekuasaan kerap menjadi salah satu
ujian bagi setiap pemimpin. Kekuasaan yang dimilikinya bisa
disalahgunakan untuk kepentingan personal semata. Hal semacam ini
bukanlah ciri khas pemimpin Kristen. Pada edisi kali ini, kita akan
belajar bagaimana kita bisa menjadi pemimpin yang dapat menghadapi
tiga hal dominan yang sering muncul dalam kepemimpinan, yakni
kekuasaan, ego, dan kemarahan. Bagian pertama dalam edisi ini akan
membahas tentang kekuasaan dan ego. Selamat menyimak. Tuhan
memberkati.

Pemimpin Redaksi e-Leadership,
Desi Rianto
< ryan(at)in-christ.net >
< http://lead.sabda.org >

"Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup
menurut Taurat TUHAN." (Mazmur 119:1)
< http://alkitab.mobi/tb/Mzm/119/1/ >

                   ARTIKEL: GODAAN KEPEMIMPINAN (I)

Bila kita membicarakan masalah kepemimpinan, biasanya kita langsung
mengaitkannya dengan kedudukan dan kekuasaan. Untuk dapat menjalankan
kepemimpinan secara benar, tidak jarang orang menghadapi berbagai
rintangan ataupun godaan. Dari sekian banyak rintangan, ada tiga hal
dominan yang acap kali muncul dalam kepemimpinan, yakni kekuasaan,
ego, dan kemarahan. Kegagalan dalam mengatasi ketiga hal itu, tidak
jarang membuat roda kepemimpinan tidak berjalan sebagaimana yang kita
harapkan. Karena itu, diperlukan kesungguhan hati dan kiat tertentu
dalam mengatasinya.

Kekuasaan

Pada waktu Yesus hidup di dunia, rupanya tindakan Yesus dianggap
sebagai ancaman bagi kedudukan dan wibawa yang dimiliki para pemimpin
agama saat itu. Mereka begitu antipati sehingga tidak ada satu pun
tindakan Yesus yang benar dalam anggapan mereka. Meskipun begitu,
mereka tidak dapat menunjukkan satu kesalahan pun yang dapat
dituduhkan terhadap Yesus.

Kekuasaan itu sendiri ada dua macam. Pertama, kekuasaan yang diperoleh
karena kedudukan. Kekuasaan seperti itu sifatnya rapuh. Bila orang
yang bersangkutan tidak bijaksana dalam menggunakannya, akibatnya bisa
fatal. Mungkin sepintas lalu orang kelihatan taat kepada kemauannya,
tetapi di belakangnya kita tidak tahu. Sering kali orang taat secara
terpaksa karena takut konduitenya rusak.

Kedua, kekuasaan yang diperoleh dari dalam. Kekuasaan jenis ini
memiliki sifat agak lain. Kekuasaan tersebut lebih permanen dan tetap
ada kendati pun yang bersangkutan tidak lagi memiliki kedudukan. Salah
seorang tokoh yang memiliki kuasa atau karisma seperti itu adalah
Perdana Menteri Winston Churchill. Melalui karisma yang dimilikinya,
Churchill berhasil memimpin rakyat Inggris melewati masa yang sukar
selama Perang Dunia II. Di tengah-tengah situasi yang cukup berat
tersebut, ia mampu memberikan motivasi kepada rakyat Inggris. Tokoh
lain yang memiliki karisma seperti itu adalah Presiden Franklin
Roosevelt. Dalam kondisi ekonomi yang berat, ia mampu membawa negara
Amerika Serikat melaluinya dengan mulus.

Bila kita melihat kedua tokoh berkarisma tersebut, kita sangat kagum.
Namun perlu diingat bahwa betapa pun hebatnya karisma yang kita
miliki, bila penggunaannya salah, akibatnya bisa lain. Sebagai contoh
Jim Jones di Guyana. Ia mampu meyakinkan orang bahwa ia dapat membuat
kehidupan para pengikutnya lebih berarti daripada kehidupan mereka
selama ini. Pendekatan yang dilakukan Jim Jones terasa logis,
mengandung fakta-fakta yang benar dan cukup beralasan. Penyimpangan
yang dilakukannya sulit diduga sebelumnya. Hal itu baru diketahui
melalui kejadian yang akhirnya Jim Jones mati bunuh diri bersama
sebagian besar pengikutnya.

Jim Jones memang licik sekali. Dengan cerdik ia mengarahkan pikiran
para pengikutnya, sehingga mereka mau melakukan apa saja yang dia
minta. Mereka tidak dapat berpikir kritis, sebab mereka sudah
terlanjur memercayai sepenuhnya ucapan Jim Jones.

Jawaban Yesus Terhadap Masalah Kekuasaan

Seorang filsuf Italia bernama Niccolo Machiavelli pernah mempersoalkan
kekuasaan mutlak. Ia mempertanyakan mana yang lebih baik antara
hubungan yang dilandasi kasih dengan hubungan yang dilandasi dengan
ketakutan (sebagaimana hubungan antara bawahan dan atasan yang
berkuasa penuh).

Di akhir penyelidikannya, akhirnya ia menyatakan bahwa kedua hal itu
sebaiknya ada dan dilakukan secara bersamaan. Namun bila kedua hal itu
tidak ada, lebih baik kita berusaha menjangkau pilihan kedua, yakni
mendasarkan hubungan atas dasar jabatan yang kita miliki. Dengan
demikian, wibawa kita bisa terus bertahan sampai masa jabatan habis.

Bila kita menerapkan hubungan berdasarkan kasih, namun tidak memiliki
karisma, hal itu berbahaya sebab jika orang tidak lagi merasa segan
terhadap kita, maka wibawa kita pun ikut lenyap bersamanya. Karena
itu, lebih aman bila kita menjaga jarak dan menerapkan peraturan
secara tegas, sehingga orang tetap segan selama kita menduduki kursi
kepemimpinan.

Prinsip Machiavelli ini rupanya banyak dilakukan orang. Kepemimpinan
Yesus tidaklah seperti itu. Ia lebih banyak menekankan unsur kasih.
Pada malam sebelum Yesus dikhianati dan diserahkan untuk disalib, Ia
berkata kepada murid-murid-Nya untuk saling mengasihi
(Yohanes 13:34-35). Dalam surat 1 Yohanes, Rasul Yohanes menulis
hubungan antara kasih dan ketakutan (baca 1 Yohanes 4:16-18).

Kekuasaan yang dimiliki Yesus berasal dari Allah dan Ia menjalankannya
melalui kasih. Ia memperagakan kuasa yang dimiliki-Nya dengan
hati-hati, agar murid-murid-Nya tidak salah mengerti. Karena itu, Ia
memerintahkan murid-murid-Nya untuk saling mengasihi.

Bila sebagai pemimpin kita mengasihi orang-orang yang kita pimpin,
tentu kita tidak akan melakukan sesuatu yang dapat menyesatkan mereka
atau memanfaatkan mereka untuk kepentingan pribadi. Sebaliknya, kita
akan berusaha memenuhi apa yang mereka perlukan dan memberikan yang
terbaik bagi mereka.

Dua simbol yang baik sekali dijadikan lambang kekristenan adalah
handuk dan salib. Handuk merupakan simbol pelayanan, sebab Tuhan Yesus
sendiri memberi contoh kepada kita dalam melayani dengan membasuh kaki
murid-murid-Nya. Sedangkan salib merupakan lambang ketaatan. Kedua hal
itu merupakan ciri khas dari kepemimpinan Kristen, sebab kepemimpinan
Yesus pun diwarnai oleh kedua hal itu.

Murid-murid sering kali dilibatkan dalam pekerjaan yang dilakukan-Nya.
Mereka melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa kepemimpinan yang
diperagakan Yesus adalah kepemimpinan yang tidak mencari kepentingan
pribadi. Hanya dengan cara seperti itu, firman Tuhan menjadi tampak
dalam ucapan dan tingkah laku kita, sehingga orang lain merasa senang
bergaul dengan kita dan mereka dapat mulai diperkenalkan kepada berita
Injil.

Ego

Pada suatu hari, seorang pembicara terkenal acara televisi diundang
membawakan ceramah pada pertemuan tahunan sebuah organisasi. Jauh
sebelum pertemuan itu, pembicara telah dihubungi melalui telepon
maupun surat oleh pemimpin pertemuan, yang intinya setiap peserta
mengharap kedatangannya. Para peserta dalam pertemuan itu ingin
berjumpa dan mendengar langsung orang yang selama ini hanya dapat
mereka kenal melalui acara televisi.

Hari yang ditentukan pun tiba. Pembicara telah sampai di tempat
seminar sebelum acara dimulai. Namun, orang-orang tidak begitu
mengenalnya sehingga ia diperlakukan sama seperti peserta lainnya.
Acara sudah hampir mulai, namun sang pembicara terlihat gelisah. Tidak
lama kemudian, ia datang menemui salah seorang panitia dan berkata
bahwa perasaannya terluka karena tidak mendapatkan sambutan sebagai
pembicara.

Sebagai manusia, Yesus juga memiliki Ego. Namun, arah dan motivasi
dari ego-Nya lain. Oleh sebab itu, kalau orang tidak begitu
memerhatikan-Nya, Ia tidak merasa kecil hati. Yesus bahkan sering kali
menghindar dari kegiatan-kegiatan yang akan semakin membuat-Nya
dikenal masyarakat luas.

Salah satu contoh mengenai hal tersebut terdapat dalam Injil Yohanes
mengenai penyataan sikap Natanael yang meragukan penglihatan Filipus,
yang juga menyangsikan Yesus Kristus (baca Yohanes 1:45-46). Namun,
Yesus tidak tersinggung dan marah. Sebaliknya, Ia berusaha meyakinkan
Natanael tentang keberadaan diri-Nya. Setelah Yesus berbicara secara
langsung kepada Natanael, akhirnya Natanael berkata, "Rabi, Engkau
Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!" (Yohanes 1:49)

Dalam pembicaraan-Nya, sering kali Yesus menyatakan bahwa Dia adalah
Mesias. Mungkin kita berpikir bahwa pernyataan-Nya baru akan didengar
orang jika disertai dengan tanda-tanda mukjizat. Namun Yesus tidak
melakukan hal itu. Sebagai seorang pemimpin, Yesus lebih memusatkan
perhatian-Nya kepada misi utama-Nya di dunia ini. Penampilan dan sikap
Yesus tidak pernah berubah. Ia tidak berusaha bersembunyi di balik
topeng yang indah-indah, agar kesan orang terhadap-Nya baik. Karena
itu, Ia tidak takut identitas pribadi-Nya dikenal orang.

Ke mana pun Yesus pergi, Dia tidak mengharapkan sambutan atau
penghormatan istimewa. Tujuan kedatangan-Nya ke dalam dunia bukan
untuk mencari penghormatan manusia (Yohanes 5:41). Ia datang dengan
misi menyelamatkan manusia dari dosa, bukan untuk merampas kedudukan
orang lain (baca Yohanes 4:31-34).

Kalau Yesus menyatakan seperti itu, bukan berarti Yesus tidak pernah
merasa lapar, tetapi segala sesuatu yang diperlukan dan diingini-Nya
selalu dihubungkan dengan tujuan-Nya datang ke dunia. Itulah sebabnya,
Ia juga melatih murid-murid-Nya dalam hal kepemimpinan, agar kelak
mereka dapat meneruskan pekerjaan yang telah dimulai-Nya.

Sekarang ini, kita jarang menjumpai kepemimpinan seperti itu. Kalau
dalam kehidupan masyarakat, kita bertugas sebagai pemimpin, hendaknya
kita belajar dari teladan Yesus. Seorang pemimpin yang disegani akan
mencurahkan seluruh perhatiannya kepada tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya. Dengan demikian, hasil kerja yang dicapai juga memuaskan.

Secara umum, seseorang biasanya mengharapkan penghargaan atau
pengakuan atas pekerjaan yang telah dilakukannya dengan susah payah.
Karena itu, wajar kalau orang bisa marah atau kecewa bila pekerjaan
yang telah dilakukan dengan susah payah tersebut, tidak diperhatikan
atau kurang mendapat penghargaan. Kalau kita dapat belajar dari contoh
yang diperagakan Yesus, tentu kita tidak akan bersikap seperti itu.

Pemimpin yang benar tidak terlalu memikirkan keuntungan yang mungkin
diperoleh untuk diri sendiri, tetapi lebih memusatkan diri pada tugas
yang menjadi tanggung jawabnya.

Pemimpin yang baik biasanya mampu melihat dan menghargai kelebihan
yang ada pada orang lain. Mereka tidak akan memanfaatkan kelebihan
orang lain untuk keuntungan diri sendiri. Bila orang lain memuji
keberhasilannya dalam menyelesaikan satu tugas tertentu, maka dengan
rendah hati ia akan berkata bahwa hal itu bukan hasil pekerjaannya
sendiri, melainkan hasil kerja sama dengan orang lain.

Pemimpin yang benar menyadari bahwa ia merupakan bagian dari suatu
tim. Karena itu kalau ada sesuatu yang baik, tidak langsung diambil
untuk diri sendiri. Ia juga tidak akan takut menampakkan diri
sebagaimana adanya. Seorang pemimpin yang bijaksana pernah berkata,
"Apabila saya dapat melakukan suatu pekerjaan dengan baik, saya sadar
akan hal itu. Itu sebabnya, kalau orang lain memuji dan menghargai
karya saya, saya menerima. Namun, saya bekerja bukan untuk mendapat
pujian. Yang penting saya telah melakukan yang terbaik. Selebihnya,
saya serahkan kepada Tuhan."

Apa pun model kepemimpinan yang kita lakukan, lakukanlah semuanya
dengan kesadaran bahwa semua itu pada akhirnya harus kita
pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Yesus berkata bahwa bila kita
mencari pujian manusia, maka kita tidak akan mendapatkan upah dari
Tuhan. Dan orang yang bekerja dengan tujuan untuk mendapatkan pujian,
biasanya kerjanya tidak benar.

Adalah sesuatu yang wajar, bila dalam pekerjaannya seseorang
membutuhkan pengakuan dan pujian atas hasil pekerjaan yang memang
baik. Jika seseorang telah bekerja dengan baik namun orang tidak
melihat, apa yang akan terjadi? Atau orang lain melihat pekerjaannya,
tetapi tidak menghargainya, apakah orang tersebut akan tetap
melanjutkan pekerjaannya? Kalau orang itu Yesus, kita dapat menjawab
"ya". Akan tetapi bila orang itu bukan Yesus, kita tidak dapat
menjawab dengan pasti. Bagaimanapun, tidak semua orang dapat melakukan
sesuatu tanpa pengakuan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita
sering kali menjumpai bahwa pujian manusia merupakan sesuatu yang
besar artinya.

Pemimpin-pemimpin Kristen terkemuka yang banyak kita kenal, adalah
orang-orang yang sungguh-sungguh mengabdikan diri bagi tugas yang
menjadi tanggung jawabnya. Biasanya faktor kemampuan tidak selalu
mutlak jadi ukuran. Orang yang kemampuan pribadinya tidak terlalu
menonjol, tetapi memiliki kesetiaan dan kejujuran justru sering kali
menjadi pemimpin yang berhasil (1 Korintus 4:2).

Pemimpin yang benar mengenal kemampuan dirinya. Mereka tidak takut
kehilangan jabatan. Mereka tidak merasa khawatir dikhianati oleh orang
yang mengingini jabatannya, sebab mereka telah belajar menyerahkan
kekhawatiran mereka kepada Tuhan. Rasul Paulus menasihatkan,
"Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi
nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan
permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui
segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus"
(Filipi 4:6-7).

Sumber: Disadur dari "Leadership Style Of Yesus", Oleh Michael Youssef

[Bersambung ke edisi 131]

Diambil dan disunting dari:
Judul majalah: Sahabat Gembala, Oktober 1994
Penulis: BS
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1994
Halaman: 10 -- 16

                               KUTIPAN

"Kekudusan yang dikehendaki Allah adalah kekudusan yang berakar dalam
kematian dan kebangkitan Kristus, kekudusan yang mengubah hati kita,
bukan hanya tindakan kita." (Rev. Gary L. Thomas, D.D)

                      INSPIRASI: JAUHILAH GODAAN

Baca: 2 Timotius 2:14-26

Menurut mitologi Yunani, peri laut mendiami beberapa daerah Pantai
Mediterania. Pada saat kapal-kapal lewat, para peri tersebut
menyanyikan lagu-lagu memikat. Akibat mendengar nyanyian tersebut,
para pelaut akan terjun dari kapal dan tenggelam. Mereka tertarik oleh
lagu-lagu itu.

Suatu saat, Odysseus sedang berada di atas sebuah kapal yang harus
melalui jalur itu. Karena sadar akan godaan lagu-lagu tersebut, ia
memberi perintah agar ia diikat dengan tali pada tiang kapal dan agar
telinga para awak kapal ditutupi dengan lilin. Dengan demikian, mereka
tidak lagi mendengar musik para peri yang menggoda. Berkat tindakan
pencegahan tersebut, Odysseus dan para awak kapal dapat berlayar
terus. Mereka pun tidak jatuh ke dalam godaan peri-peri laut.

Sebagai umat kristiani, kita perlu senantiasa siap sedia melawan
setiap godaan yang jahat. Kita harus membenci dosa dan bersikap serius
dalam melawan godaan-godaannya, dengan memutuskan untuk menyangkal
keinginan diri kita untuk ambil bagian di dalamnya.

Apakah ada dosa yang senantiasa muncul dalam hidup yang telah
mengalahkan Anda? Harus diambil cara-cara yang drastis. Anda harus
menjauhi setiap bujukan yang akan memanfaatkan kelemahan Anda.
Perlindungan terbaik terhadap godaan adalah dengan memerhatikan
peringatan yang diberikan Paulus kepada Timotius: "Jauhilah nafsu
orang muda, kejarlah keadilan." (2 Timotius 2:22) Nasihat tersebut
baik pada masa itu; dan tetap baik untuk hari ini.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama situs: SABDA.org (Publikasi e-RH)
Alamat URL: http://www.sabda.org/publikasi/e-rh/2005/08/26
Penulis: RWD
Tanggal akses: 25 September 2012

Kontak: < leadership(at)sabda.org >
Redaksi: Desi Rianto dan Yonathan Sigit
Tim Editor: Davida Welni Dana, Novita Yuniarti, dan Santi Titik Lestari
(c) 2012 Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org >
< http://fb.sabda.org/lead >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org