Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-leadership/127

e-Leadership edisi 127 (24-9-2012)

Memahami Kelemahan Diri Pemimpin (II)

=========MILIS PUBLIKASI E-LEADERSHIP EDISI SEPTEMBER 2012============

                  MEMAHAMI KELEMAHAN DIRI PEMIMPIN (II)

                    e-Leadership 127 -- 24/09/2012

DAFTAR ISI
ARTIKEL: ANUGERAH TUHAN DAN KELEMAHAN SEORANG PEMIMPIN KRISTEN
         (2 KORINTUS 12:1-10) (II)
JELAJAH BUKU: A FISH OUT OF WATER
STOP PRESS: PEMBUKAAN KELAS DISKUSI NATAL PESTA 2012

Shalom,

Kuasa Allah sungguh takjub. Ia dapat mengubah kelemahan menjadi
kekuatan dan gangguan menjadi kesempatan. Hal itulah yang tercermin
dalam bahasan bagian kedua e-Leadership bulan ini.

Mari kita mengkaji pengalaman hidup Rasul Paulus bersama Tuhan perihal
kelemahan dalam dirinya. Bagaimana Paulus mampu bertahan menghadapi
kenyataan demikian? Mungkin hari-hari ini, kita mengalami kenyataan
yang tidak jauh berbeda seperti Paulus, jawaban Tuhan kepada Paulus
juga menjadi jawaban kita, "Sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku
menjadi sempurna". Itulah bukti anugerah-Nya! Tuhan memberkati.

Pemimpin Redaksi e-Leadership,
Desi Rianto
< ryan(at)in-christ.net >
< http://lead.sabda.org >

"Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan
kuasa-Nya." (Efesus 6:10) < http://alkitab.sabda.org/?Efesus+6:10 >

       ARTIKEL: ANUGERAH TUHAN DAN KELEMAHAN SEORANG PEMIMPIN
               KRISTEN (2 KORINTUS 12:1-10) (II)

[Bagian pertama dibahas dalam e-Leadership 126: Anugerah Tuhan tidak
menghilangkan kelemahan seorang hamba-Nya.]

Kedua, kasih karunia Tuhan bekerja sempurna justru di dalam kelemahan
hamba-Nya. (2 Korintus 12:9)

Pada mulanya, Paulus tidak mengerti alasan mengapa Tuhan menaruh
"duri" dalam dagingnya yang membuatnya begitu lemah dan menderita.
Namun, setelah ia memohon dalam doa dan Tuhan menolak mengangkat
"duri" tersebut, ia mulai melihat "duri" itu dari perspektif yang
lain, yakni perspektif Allah: supaya ia tidak meninggikan diri. Dua
kali hal ini dinyatakan di ayat 7.

Mengapa Allah kelihatannya begitu "khawatir" kalau Paulus akan
meninggikan diri? Benarkah Paulus seorang yang sombong? Atau
barangkali Allah terlalu mengada-ada? Untuk mencari jawaban pertanyaan
tersebut, saya ingin mengajak pikiran Anda di kehidupan jemaat Kristen
mula-mula. Mari membayangkan, seandainya kita menghadiri Sidang Raya
Persekutuan Gereja-Gereja di Yerusalem untuk memberikan penghargaan
semacam hadiah Nobel sebagai dedikasi dan prestasi pelayanan,
kira-kira siapakah yang layak mendapat hadiah tersebut?

Saya terka pilihan dewan majelis akan jatuh pada rasul Paulus.
Alasannya adalah karena Paulus memunyai kualifikasi yang sungguh sukar
tertandingi. Ia telah merintis dan mendirikan banyak gereja, khususnya
di Asia Kecil, Makedonia. Dalam pelayanannya, ia tidak pernah undur
setapak pun meski sepanjang hidupnya diancam bahaya maut, kelaparan,
kedinginan, karam kapal, dan banyak bahaya lainnya. Bukan hanya itu,
ia juga memunyai banyak kelebihan dibanding hamba-hamba Tuhan yang
lain, baik secara intelektual dalam pengenalan tentang kebenaran
Allah, maupun pengalaman spiritual, khususnya menerima penglihatan dan
pernyataan Allah. Salah satu penglihatan yang paling luar biasa adalah
ia diangkat oleh Allah ke tingkat tiga dari surga. Hebat bukan? Paulus
jelas memunyai alasan untuk merasa lebih dari orang-orang lain.

Di samping itu, saya pikir Paulus tidak akan pernah bisa menerima
perlakuan Tuhan yang memberi "duri" dalam dagingnya dan bahkan menolak
permohonan doanya, bila memang ia tidak memunyai masalah dengan
kesombongan diri. Namun, karena ia sungguh-sungguh menyadari bahwa ia
memang orang yang sombong dan punya potensi untuk memegahkan diri, ia
bisa menerima keputusan Tuhan itu.

Jadi, "duri" yang sengaja dipancang oleh Allah ke dalam daging Paulus
bukanlah untuk menjatuhkannya, tetapi sebaliknya, untuk menopangnya
agar ia tidak jatuh dalam pelayanannya. "Duri" itu bukan untuk
membatasi pelayanan Paulus, tetapi sebaliknya, untuk membebaskannya
dari kesombongan. "Duri" itu bukan untuk mempermalukan dan mengurangi
wibawanya sebagai seorang pemimpin, tetapi untuk menyadarkan Paulus
akan realitas kemanusiaannya yang serba terbatas, dan mendorongnya
untuk terus bergantung penuh pada kasih karunia Allah.

Yang sangat menarik dari ayat 9 selain isinya adalah struktur
kata-kata pembukanya: "jawab Tuhan kepadaku" yang dalam bahasa
Yunaninya tertulis "eireken", memakai bentuk present perfect. Bentuk
ini mengandung arti bahwa suatu kejadian telah terjadi di masa lalu,
namun pengaruhnya masih dirasakan sampai saat ini. Paulus menggunakan
bentuk present perfect untuk kata "jawab Tuhan kepadaku" untuk
mengatakan kepada jemaat Korintus bahwa permohonan doanya telah
berhenti, tetapi gaung jawaban Tuhan atas doanya masih ia dengar
sampai sekarang ini. Apa yang ia dengar pada 14 tahun yang lalu, tetap
tinggal menjadi suatu sumber kekuatan dan penghiburan yang tak
habis-habisnya bagi dirinya. Meskipun "duri" atau kelemahan masih
tertinggal di dalam dirinya, namun ia yakin bahwa kapan pun utusan
Setan itu menyerangnya, ia akan memunyai kekuatan dari Allah untuk
mengatasinya.

Perhatikan apa yang Tuhan katakan kepada Paulus, "Cukuplah kasih
karunia-Ku bagimu." Penekanan jawaban Tuhan ini terletak pada kata
"cukuplah" yang diletakkan di depan kalimat, yang berarti "tidak
kurang". Ini menunjuk kepada kualitas dan kuantitas dari kasih karunia
yang telah Tuhan berikan kepada Paulus. Walaupun "duri" mendatangkan
kesakitan, tetapi kasih karunia tidak kurang memberi kelepasan;
meskipun "duri" mendatangkan rasa frustrasi, tetapi kasih karunia
tidak kurang memberikan penghiburan; kendati "duri" mendatangkan
kelemahan, tetapi kasih karunia tidak kurang memberikan kekuatan. Di
mana "duri" menusuk di situ, kasih karunia menutup.

"Kasih karunia" itu sendiri sering berarti kebaikan Allah yang jatuh
melimpah kepada diri kita dan juga pengampunan yang kita peroleh,
meskipun kita tidak layak mendapatkannya. Tetapi, jika di sini
dihubungkan dengan kuasa, itu bisa juga berarti kekuatan yang Allah
berikan kepada orang percaya, yang memampukannya mengatasi setiap
pencobaan yang datang dalam kehidupannya.

Allah berkata kepada Paulus, "Sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku
menjadi sempurna." Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa kelemahan
merupakan prasyarat mutlak bekerjanya kuasa Allah dengan sempurna
dalam diri seorang hamba-Nya. Pada waktu kita merasa kuat, kita tidak
akan menyadari betapa besarnya kita memerlukan kuasa Tuhan. Kebutuhan
itu hanya akan muncul jika, dan hanya jika, kita berada dalam keadaan
yang begitu lemah. Semakin kita lemah, semakin kita bergantung kepada
Allah, dan semakin leluasa kuasa Allah bekerja di dalam kita. Paulus,
dalam 2 Korintus 4:7 melukiskan dirinya sebagai bejana tanah liat yang
tidak memunyai kekuatan yang memadai, dan ia berkata bahwa kekuatan
yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari dirinya.
Semakin lembut si tanah liat, semakin mudah sang penjunan membuatnya
menjadi bejana yang sesuai dengan keinginannya.

Atas dasar itulah Paulus berkata, "Sebab itu terlebih suka aku
bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku."
Dengan kalimat ini, bukan berarti Paulus menikmati kelemahan yang ada
padanya atau ia bermain-main dengan pencobaan yang dapat membuatnya
"jatuh". Sebaliknya, yang ia nikmati adalah kuasa Kristus yang bekerja
menaunginya, mengontrolnya saat ia dalam keadaan yang lemah tak
berdaya, dan bergantung penuh pada-Nya.

Kita banyak menemukan di dalam Alkitab tokoh-tokoh iman yang dipakai
oleh Allah dengan luar biasa, berawal dari keadaan mereka yang lemah
dan tidak berdaya. Musa tidak pernah dapat dipakai oleh Allah selama
ia mengandalkan kekuatannya ketika ia menjadi pangeran Mesir. Tetapi,
ia justru dipakai oleh Allah setelah menjadi buronan dan menjadi
seorang gembala tak ternama, dan pada waktu kekuatan fisiknya tidak
lagi bisa diandalkan serta merasa diri tidak pandai bicara. Dalam
kelemahanlah, kekuatan Allah nyata. Allah juga memilih Daud dalam
keadaan yang tidak pernah diperhitungkan oleh banyak orang, termasuk
kakak-kakak dan ayahnya. Ia masih muda, remaja, dan pekerjaan
sehari-harinya adalah penjaga domba.

Jika kita melihat ke dalam Perjanjian Baru, kita akan mendapati bahwa
Yesus tidak memilih murid-murid yang memunyai kepandaian dan kuasa
yang luar biasa, untuk melakukan pekerjaan yang sangat luar biasa,
yaitu menjadikan seluruh bangsa murid-Nya. Sebaliknya, Ia memilih
orang-orang sederhana: nelayan, gembala, dan orang yang lemah lainnya.

Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia, yang memunyai kuasa
memimpin berlaksa-laksa bala tentara malaikat untuk mengambil alih
dunia, malah turun sebagai manusia dan menjadi hamba yang dipukul,
dihina, dan akhirnya mati di kayu salib sebagai orang lemah.
Sesungguhnya, itu bukanlah Mesias yang diharapkan oleh orang-orang
Yahudi yang mewakili pandangan dunia. Dunia mengharapkan seorang
pemimpin yang akan mengubah dunia adalah seorang manusia yang datang
dengan kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa, tetapi Yesus
memorakporandakan pandangan dunia. Ia datang menjadi manusia yang
terbatas untuk membiarkan kuasa Allah, Bapa-Nya, yang tak terbatas
masuk ke dalam dunia menjangkau mereka yang lemah.

Seorang teman saya pernah menceritakan tentang kisah menyedihkan yang
terjadi di gerejanya. Sejak pendetanya yang berusia 70-an tahun
meninggal karena penyakit kanker, gereja tempat ia berbakti mengalami
kemunduran, baik secara kualitas maupun kuantitas. Walaupun beberapa
pendeta telah diundang untuk melayani di gereja yang besar itu, tidak
ada seorang pun yang mampu menandingi reputasi pendeta yang telah
tiada itu. Sampai suatu saat, mereka mendapat seorang pendeta muda
yang berusia belum 40 tahun untuk melayani gereja itu, seorang yang
energik, pandai berkhotbah, dan kaya talenta. Dalam waktu singkat,
gereja itu mengalami kemajuan, bahkan lebih dari yang pernah dicapai
oleh almarhum pendeta mereka.

Namun, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Suatu hari
sang pendeta tersebut mendapat kecelakaan karena mobil yang
dikendarainya ditabrak oleh sebuah kereta api. Walaupun ia tidak
meninggal dunia, tetapi kedua kakinya harus diamputasi. Berbulan-bulan
lamanya, ia mengalami perawatan di rumah sakit, sebelum ia bisa
berjalan dan melayani kembali dengan kedua kaki palsunya. Betapa berat
beban kejiwaan yang harus ia tanggung, dari seorang yang penuh dengan
vitalitas menjadi seorang yang selalu berjalan dengan menyeret-nyeret
kaki palsunya, dari seorang yang kompeten dan siap menolong siapa saja
menjadi seorang yang invalid yang selalu dibantu oleh siapa saja.
Namun, pergumulan batin yang ia alami tidak pernah seorang pun yang
tahu. Ia tidak bisa menerima sorot mata belas kasihan dari jemaatnya
karena kelemahannya.

Suatu hari, jemaat dikejutkan dengan berita bahwa pendeta muda mereka
telah bunuh diri dalam ruang garasinya, dan meninggalkan sepucuk surat
yang mengisahkan betapa beratnya menjalani hidup seperti itu. Saya
hanya mencoba menghubungkan apa yang dialaminya dengan apa yang Paulus
alami dalam kasus yang disebut "duri" dalam daging, yang membuatnya
tidak bisa membanggakan dirinya selain selalu bergantung kepada Allah.
Paulus melihat dengan perspektif lain, perspektif Allah, bahwa semakin
ia lemah maka kuasa Allah semakin bekerja dengan sempurna. Dengan
pemahaman ini, selama belasan tahun bahkan sampai akhir hidupnya,
Paulus tetap bertahan untuk melayani Tuhan. Perpaduan antara kelemahan
yang permanen dan kasih karunia Tuhan yang tak berkesudahan,
menghasilkan buah-buah pelayanan yang lebat dan kekal.

Saya berusaha membayangkan apa yang terjadi jika pendeta muda itu
sungguh-sungguh bisa menerima keadaan dirinya yang lemah, dan kemudian
bergantung penuh pada kasih karunia Allah? Bukan tidak mungkin ia akan
melihat buah-buah pelayanan yang jauh lebih lebat daripada sebelumnya.

Kelemahan sering kali membawa kita pada jalan buntu dan keputusasaan
karena kita berpikir kelemahan membuat kita kontraproduktif, apalagi
disertai dengan perasaan tidak layak. Namun, firman Tuhan saat ini
menyaksikan hal yang sebaliknya. Di dalam kelemahan-kelemahan yang
kita miliki, kita masih dapat menjadi seorang pemimpin Kristen yang
efektif dan produktif. Dengan dasar itulah, kita tidak boleh berputus
asa. Di dalam kasih karunia Tuhan selalu terbuka segala kemungkinan.

Namun, yang perlu kita cermati adalah tidak semua kelemahan akan
menjadi tempat bekerjanya kuasa Allah dengan sempurna. Dari pergumulan
Paulus, kita dapat melihat bahwa kelemahan yang mendatangkan kekuatan
Allah adalah kelemahan yang diakui. Kita perlu jujur terhadap diri
kita sendiri, terhadap Allah, dan juga orang lain bahwa kita bukan
"superman" yang steril dari kelemahan. Tinggalkanlah kesibukan melabur
citra diri, tanggalkanlah segala bentuk "perisai" yang membuat kita
ingin tampak lebih dari keadaan diri kita yang sebenarnya. Satu hal
yang tidak kalah penting yang harus kita ingat adalah, mengakui
kelemahan bukan berarti kita terlena dalam kelemahan dan menjadikannya
sebagai dalih untuk kita mendapat maklum dari orang lain. Sebaliknya,
pengakuan itu membawa kita untuk sungguh-sungguh mencari dan
bergantung penuh pada sumber kekuatan yang dari atas, yaitu kasih
karunia Tuhan. Kasih karunia Tuhan itulah yang akan memberi dukungan
kuasa yang tak ada habis-habisnya dalam diri kita dalam menghadapi
kesulitan apa pun, sehingga kita akan dapat berkata seperti Paulus,
"Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa
Kristus turun menaungi aku.... Sebab jika aku lemah, maka aku kuat"
(2 Korintus 12:9-10a).

Mungkin tidak ada seorang pun dari jemaat di Korintus dan guru-guru
palsu yang selalu mencari kelemahan-kelemahan Paulus untuk
menjatuhkannya, pernah menduga bahwa selama ini pelayanan Paulus yang
luar biasa itu dihasilkan dari seorang Paulus yang memunyai kelemahan
yang permanen. Begitu permanennya sehingga sama sekali tidak ada
tempat dalam pelayanannya untuk bersandar pada kekuatan dirinya
sendiri, kecuali pada kasih karunia Tuhan.

C.S. Lewis berkata: "Rasa sakit/pedih adalah megafon Allah untuk
membangunkan dunia yang tuli." Dengan penekanan yang sama namun
aplikasi yang berbeda, saya ingin berkata, "Kelemahan adalah megafon
Allah untuk menyadarkan setiap pemimpin Kristen bahwa ia bukanlah
manusia yang luar biasa di luar kasih karunia Allah."

Diambil dan disunting dari:
Judul Jurnal: VERITAS, Volume 3, Nomor 2 (Oktober 2002)
Penulis: Benny Solihin
Penerbit: Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT), Malang 2002
Halaman: 187 -- 192

                               KUTIPAN

"Kekuatan itu lahir dalam hati yang tekun menanggung penderitaan,
bukan ditengah-tengah sukacita." (Felicia Hermans)

                  JELAJAH BUKU: A FISH OUT OF WATER

Judul buku: A Fish Out of Water
Judul asli buku: A Fish Out of Water
Penulis/Penyusun: George Barna
Penerjemah: Sri Wandaningsih
Editor: Dina Simbolon, S.H.
Penerbit: Immanuel Publishing House, Jakarta
Ukuran buku: 15,5 X 23 cm
Tebal: 216 halaman

Setiap pemimpin pasti pernah menemui permasalahan dalam perjalanan
kepemimpinannya. Bahkan terkadang sering muncul berbagai pertanyaan
keraguan, saat melakukan tugas dan perannya sebagai seorang pemimpin.

Buku "A Fish Out of Water" merupakan buku yang tepat untuk dibaca oleh
setiap pemimpin yang selalu bergelut dengan masalah-masalah yang
dihadapi oleh para pemimpin pada umumnya. Dalam buku ini, penulis
memberikan metode praktis menjadi pemimpin yang efektif sesuai dengan
kehendak Tuhan. Buku ini membahas sembilan tantangan umum yang kerap
dihadapi oleh setiap pemimpin. Tantangan-tantangan yang biasa ditemui
para pemimpin diuraikan dengan baik di setiap bab, yang dilengkapi
dengan contoh-contoh praktis. Di setiap akhir bahasan, penulis juga
melampirkan pertanyaan diskusi yang bermanfaat untuk membantu Anda
mendalami isi buku ini dengan baik. Selain itu, ada juga kata-kata
mutiara yang disisipkan secara terpisah di dalam setiap kotak untuk
memotivasi para pembaca.

Jika Anda saat ini menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dalam
kepemimpinan Anda, segera simak buku ini dan dapatkan langkah-langkah
cerdas di dalamnya. Setelah membaca buku ini, Anda bisa lebih mampu
mengembangkan karakter, metode, dan gaya kepemimpinan yang efektif
sesuai dengan kehendak Tuhan.

Diulas oleh: Gunung Yudi Pamungkas

         STOP PRESS: PEMBUKAAN KELAS DISKUSI NATAL PESTA 2012

PESTA kembali membuka kelas akhir tahun, yaitu kelas Natal 2012.
Diskusi akan berlangsung mulai tgl. 5 November -- 7 Desember 2012.
Kelas diskusi Natal ini akan mempelajari pokok-pokok penting seputar
kelahiran Tuhan Yesus Kristus dan relevansinya pada masa kini.

Daftarkanlah diri Anda sekarang juga ke Admin PESTA di
< kusuma(at)in-christ.net >. Pendaftaran ditutup tanggal 23 Oktober
2012. Jangan lewatkan kesempatan ini karena kelas hanya akan menampung
20 orang peserta saja. Pendaftaran tidak dipungut biaya!

Peserta akan mendapatkan sertifikat jika telah menyelesaikan tugas
wajib yaitu menulis renungan pendek berkaitan dengan Natal
(tema bebas).

Kontak: < leadership(at)sabda.org >
Redaksi: Desi Rianto dan Yonathan Sigit
Tim Editor: Davida Wenni Dana, Novita Yuniarti, dan Santi Titik Lestari
(c) 2012 Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org >
< http://fb.sabda.org/lead >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org